Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Ketakutan Memuncak Imbas Serangan Israel yang Menewaskan 9 Orang Palestina
27 Januari 2023 11:05 WIB
·
waktu baca 6 menitSebanyak sembilan orang Palestina tewas dalam serangan Israel di Jenin, Tepi Barat, pada Kamis (26/01). Insiden ini disebut pejabat Otorita Palestina sebagai serangan Israel paling mematikan terhadap kamp pengungsian Jenin selama hampir dua dekade.
Pejabat Palestina mengatakan dua orang yang meninggal adalah warga sipil, termasuk seorang perempuan berusia 61 tahun. Sementara kelompok militan Palestina mengaku tujuh lainnya adalah anggota mereka.
Pihak militer Israel mengatakan pasukannya memasuki kamp untuk menangkap anggota kelompok militan Jihad Islam yang disebut sedang merencanakan “serangan besar”.
Kantor presiden Palestina menuduh Israel melakukan "pembantaian" dan belakangan mengumumkan berakhirnya kerja sama dengan Israel di bidang keamanan.
Serangan Jenin yang terjadi 2002 silam masih membekas
Konteks sejarah sangat penting di sini. Saya sudah bepergian ke Jenin berulang kali sepanjang tahun lalu ketika serangan militer Israel memuncak.
Hal ini memicu baku tembak sengit dengan generasi baru Palestina yang memegang senjata.
Semua warga setempat yang saya ajak bicara akan membandingkan pengalaman mereka dengan kejadian pada April 2002 lalu, yakni saat puncak intifada kedua alias perlawanan rakyat Palestina.
Saat itu, Israel meluncurkan serangan skala besar yang kemudian dikenal sebagai Pertempuran Jenin. Serangan tersebut menewaskan 52 petempur Palestina, warga sipil dan 23 tentara Israel.
Kejadian ini terjadi setelah serangkaian insiden bom bunuh diri oleh orang Palestina di Israel, banyak di antaranya melibatkan pelaku dari kota Jenin.
Sebagian besar area kamp Jenin sudah diratakan pada 2002. Skala kehancuran dan kisah-kisah warga Palestina yang berusaha melawan pasukan yang masuk sudah menjadi bagian dari kenangan kolektif di sana.
Serangan tersebut melatari banyak hal yang terjadi sejak itu.
Pada musim semi lalu, Israel meluncurkan operasi militer bertajuk “Patahkan Ombak” (Break the Wave) di tengah maraknya serangan senjata dan pisau oleh orang Palestina yang menargetkan orang Israel.
Serangan semacam itu merupakan yang paling mematikan dalam beberapa tahun. Beberapa dilakukan oleh warga Palestina yang tinggal di Israel dan mendukung kelompok yang mengaku pegiat Negara Islam.
Tetapi beberapa diantara mereka adalah orang Palestina bersenjata dari Jenin, termasuk Ra'ad Hazem yang menembak mati tiga orang Israel di sebuah bar di Tel Aviv dan kemudian dibunuh oleh pasukan keamanan.
Serangan ini membuat Jenin kembali menjadi pusat konflik. Pasukan Israel menggerebek, menangkap dan menghancurkan rumah-rumah dalam serangan di kota Jenin dan di sekitar Kota Nablus hampir tiap malam.
Militer Israel mengaku sedang berusaha untuk mencegah serangan ke depannya, dan bahwa mereka telah menembak warga Palestina bersenjata yang menargetkan pasukan mereka.
Namun, tingkat kematian di Tepi Barat lebih besar dari yang dilaporkan.
Meskipun sebagian besar dari 150 warga Palestina yang dibunuh adalah pasukan bersenjata yang menduduki daerah Tepi Barat tahun lalu, banyak dari mereka yang ditembak tidak membawa senjata.
Beberapa dari mereka adalah sekelompok orang yang melempar batu atau bom petrol ke arah mobil jip, ada pula orang-orang yang hanya lewat atau warga sipil lainnya.
Sebagian dari korban serangan itu meninggal saat protes atau penolakan terhadap perluasan daerah kota dan pedesaan yang ditempati pendatang Israel yang mendirikan pos illegal.
Israel berulang kali dituduh oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan kelompok pembela hak asasi manusia karena menggunakan kekerasan yang berlebihan. Sebuah tuduhan yang mereka selalu bantah.
Baca juga:
Otoritas Palestina kehilangan kendali
Namun ada hal lain yang membuat konflik semakin memanas dan menjelaskan mengapa warga khawatir akan terjadi keruntuhan keamanan lebih lanjut di Tepi Barat.
Otorita Palestina, sebuah lembaga yang memegang kuasa terbatas atas area Palestina di bagian Tepi Barat, mulai kehilangan kendali atas kota Jenin dan kota Nablus.
Otorita Palestina memiliki peran penting, sebagai warisan dari perjanjian damai Oslo pada 1990. Namun kini, kepemimpinannya yang mulai menua sudah dianggap tidak relevan dengan pertempuran di jalanan Palestina.
Banyak yang memandang lembaga tersebut hanya sekadar perusahaan keamanan untuk pendudukan Israel.
Lembaga itu dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas.
Otorita Palestina ‘berkoordinasi’ dengan Israel untuk menjaga keamanan. Hal ini berarti mereka membagikan informasi tentang beberapa militan dan pasukan keamanannya yang menyingkir ketika Israel melakukan penangkapan.
Presiden Abbas mengatakan koordinasi keamanan akan ‘berakhir‘ akibat serangan di Jenin. Walaupun ancaman ini sudah pernah dilayangkan sebelumnya dan sangat jarang dijalankan sedikitpun.
Pada akhir 2021, pasukan keamanan Otorita Palestina ditolak kedatangannya di kamp pengungsi Jenin dan di kota kuno Nablus.
Mereka mulai kehilangan kendali. Proses ini sudah berjalan cukup lama namun baru dipercepat dengan beberapa insiden tahun lalu. Salah satunya adalah dampak dari perang pada bulan Mei antara Israel dan Hamas di Gaza yang membuat Otorita Palestina semakin tak disukai.
Kejadian lainnya adalah kekaguman publik untuk enam tahanan yang berhasil lolos dari penjara Israel sebelum ditangkap dua minggu kemudian.
Semua tahanan militer berasal dari Jenin, beberapa dari mereka terkenal karena serangan 2002.
Baca juga:
Pasukan Palestina generasi muda
Baca juga:
Generasi baru militan di kota Jenin dan Nablus menolak Otorita Palestina.
Mereka membawa senjata dan mengaitkan diri pada kelompok-kelompok resmi tetapi tidak terikat pada struktur tradisional.
Mereka menyebut diri mereka Batalion Jenin dan Goa Singa di Nablus. Kedua kelompok itu mendapatkan pengikut banyak dari akun TikTok dan Telegram mereka.
Anak-anak muda ini muncul dengan senjata buatan Amerika yang mereka ambil dari Yordania atau dicuri dan dijual di markas militer Israel.
Banyak dari mereka terlalu muda untuk mengingat serangan pada 2002, tetapi mereka sudah cukup umur untuk terinspirasi oleh kisah-kisah pertempuran itu.
Seperti yang dikatakan seorang jurnalis Israel yang melaporkan di dalam pasukan khusus militer Israel di Jenin: “Ini hal yang berbeda. Mereka adalah orang-orang biasa yang rela bertarung dan rela mati.”
Dari cerita-cerita warga yang tinggal di kamp pengungsi Jenin, saya sering mendengar tentang realita menyedihkan yang terus berlanjut: di pagi hari, prospek kerja menurun, pembatasan pendudukan militer, tidak ada kepercayaan pada masa depan politik.
Sedangkan di malam hari, ada kemungkinan terjadi lebih banyak serangan militer Israel.
Tentara Israel mengaku telah mencegah serangan terhadap warga sipil dan tentara.
Presiden Israel mengatakan sekarang "pasukan teror" Jihad Islam sedang dalam proses melakukan serangan terhadap Israel. Namun, kemungkinan terjadinya gejolak yang lebih besar masih dikhawatirkan.
Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken tiba di Israel pada Senin, saat negara tersebut mengalami protes massal terhadap pemerintahan paling nasionalis dalam sejarahnya.
Blinken mengungkapkan keinginannya untuk "melestarikan" solusi penggabungan dua negara – sebuah formula perdamaian internasional yang telah lama dipegang.
Namun realita yang terjadi di lapangan, bersama dengan posisi kebijakan yang dinyatakan dari koalisi baru Israel, menunjukkan bahwa dia bagaikan sedang berbicara dalam bahasa lain.