Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kisah Anggota Gereja Saksi Yehuwa yang Masuk Penjara Usai Tolak Wajib Militer
13 Oktober 2021 15:09 WIB
·
waktu baca 5 menitYeo Zheng Ye yang tumbuh besar di Singapura mengetahui dia harus masuk penjara.
Sebagai anggota gereja Saksi Yehuwa, keyakinannya itu mencegahnya membawa senjata dan bergabung dengan organisasi apa pun yang bertujuan untuk berperang.
Jadi pada usia 20 tahun, dia menolak ikut wajib militer, dan dijebloskan ke penjara karena menolaknya dengan alasan tak sesuai hati nurani.
Walaupun Singapura tidak berperang, wajib militer di negara itu diharuskan kepada semua warga laki-laki berbadan sehat maupun dari generasi kedua pendatang yang sudah berstatus penduduk tetap saat usianya memasuki 18 tahun.
Sejak 1970, rata-rata enam orang anggota Saksi Yehuwa telah dikirim ke penjara militer setiap tahun, meskipun tidak ada seorang pun yang memiliki catatan kriminal permanen.
Yeo menghabiskan hampir tiga tahun di penjara, satu tahun lebih lama dari program pelatihan nasional.
"Saya seringkali menangis."
Di dalam penjara, dia bangun jam lima pagi untuk membersihkan toilet dan mengepel koridor sepanjang 200 meter yang acap dikotori sepatu bot berlumpur.
Setelah menjalani absen harian di dalam selnya setiap jam delapan pagi, dia harus melakukan pekerjaan lain seperti berkebun dan mencuci pakaian.
"Anggota Saksi Yehuwa tidak diminta berpartisipasi dalam berbagai tugas dan latihan beban mengangkut karung pasir yang harus dilakukan narapidana lainnya setiap hari," ungkap seorang mantan perwira polisi militer yang menolak disebutkan namanya.
Baca juga:
Yeo mengaku butuh waktu - sekitar setahun - untuk terbiasa berada di penjara.
"Saya seringkali menangis, selama berhari-hari. Saya menangis sebelum masuk penjara, menyadari bahwa saya tidak akan menemui dan melihat keluarga dan teman-teman saya selama dua setengah tahun ke depan," katanya.
Ada sisi baiknya. Kakak laki-laki Yeo, yang sangat dekat dengannya dan hari ulang tahunnya sama, serta juga anggota gereja. Dia dijebloskan ke penjara setahun sebelum Yeo.
"Kupikir setidaknya saya bisa bertemu saudaraku."
Keluarga penganut yang taat
Semenjak kanak-kanak, Yeo dan saudara laki-lakinya sudah dikenalkan dengan keyakinannya itu.
Ayah mereka bergabung dengan gereja setelah menjalani kehidupannya sebagai tentara.
Dalam wajib militer yang diawali penyelesaian periode pelatihan selama dua tahun, mereka harus bertugas sebagai pasukan cadangan selama beberapa pekan setahun sekali. Itu berlangsung selama sepuluh tahun.
Dan ayah Yeo juga mengalami hidup di dalam penjara lantaran mengikuti pantangan dalam agamanya.
"Ibuku bukan anggota gereja, tapi dia tahu [hukuman penjara] akan menimpaku dan saudara laki-lakiku karena ayahku kembali ke lokasi penahanan beberapa kali, kadang-kadang dengan mempertaruhkan pekerjaannya," kata Yeo.
Para pimpinan perusahaan di negara itu secara hukum wajib mengizinkan karyawannya mengikuti pelatihan cadangan tahunan.
Namun, para anggota Saksi Yehuwa yang menolak pelatihan itu, sehingga dijebloskan ke penjara militer selama 40 hari atau lebih, dan mereka kehilangan perlindungan itu.
Jordan Chia, seorang anggota Saksi Yehuwa dan guru musik, menerima hukuman tujuh bulan, karena menolak kembali mengikuti tugas cadangan untuk kedua kalinya.
"Ini adalah tantangan karena saya tidak tahu persis berapa lama saya akan ditahan. Saya mengatakan kepada atasan saya bahwa mereka tidak berkewajiban untuk melindungi saya," kata Chia kepada BBC.
"Tapi untungnya mereka melakukannya."
Gereja dan Negara
Pertanyaan seputar perlunya mengirim para penentang yang didasari alasan hati nurani ke penjara telah diajukan ke Parlemen Singapura dalam beberapa kesempatan.
Tetapi para menteri berkeras perlunya kebijakan wajib militer yang ketat, dengan mengatakan bahwa "dinas nasional ini sangat penting demi keamanan negara kecil seperti Singapura".
"Tidak ada warga Singapura yang boleh menyebutkan alasan apa pun untuk membebaskan dirinya dari keharusan berkontribusi pada upaya pertahanan nasional.
"Karena, setiap warga Singapura mendapat manfaat dari perdamaian dan keamanan yang telah dijamin oleh Dinas Nasional," Matthias Yao Chih mengatakan kepada Parlemen pada 1998 ketika dia menjabat sebagai Menteri Pertahanan.
BBC menghubungi Kementerian Pertahanan Singapura terkait artikel ini dan mereka mengatakan: "Alasan untuk melarang pembebasan dari wajib militer berdasarkan alasan agama telah dibahas di Parlemen, dan tetap tidak berubah."
Para anggota Saksi Yehuwa telah meminta adanya perubahan pada kebijakan ini, dengan merujuk Korea Selatan sebagai contoh.
Dalam perubahan radikal pada Oktober lalu, Seoul berhenti mengirim para anggota Saksi Yehuwa ke penjara.
Sebagai gantinya, Korsel memperkenalkan skema baru yang memungkinkan mereka yang menolak wajib militer berdasarkan iman atau alasan pribadi, untuk melayani sebagai administrator penjara sebagai gantinya selama tiga tahun.
Mereka saat ini bekerja dan tinggal di penjara yang terpisah dari narapidana lain, dan diberi cuti tahunan selama beberapa pekan.
"Anggota kami di Singapura secara konsisten menyatakan keinginannya kepada pihak berwenang untuk memberikan kontribusi yang berarti bagi masyarakat," kata juru bicara Asosiasi Saksi Yehuwa Asia-Pasifik.
Yeo mengatakan dia juga berulang kali meminta untuk memberikan pelayanan sipil seperti pemadam kebakaran, di mana sejumlah pria di negara itu wajib melakukannya.
Dan sejauh ini ada dukungan internasional untuk tugas-tugas alternatif tersebut.
Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa mengatakan, negara harus memberikan bentuk layanan alternatif bagi warga negara yang meyakini bahwa "penggunaan kekuatan mematikan dapat sangat bertentangan dengan kebebasan hati nurani dan hak untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang."
Namun, Singapura secara teknis tidak melanggar kewajiban internasionalnya karena belum menandatangani konvensi ini, menurut Dr Paul Hedges, profesor studi antaragama di S.Rajaratnam School of International Studies, sekolah pascasarjana dan lembaga think-tank di Singapura.
"Dinas nasional dibangun begitu kuat ke dalam struktur narasi nasional negara seputar keamanan, sehingga sulit bagi pemerintah untuk berkompromi di sekitar norma sekuler dan batasan-batasannya sendiri," kata Hedges.
"Tanpa perubahan besar dalam arah oleh kedua belah pihak, kompromi akan sulit dicapai," tambahnya.
"Kebebasan itu luar biasa"
Yeo dibebaskan April lalu, sehari sebelum Singapura memasuki lockdown pertama terkait Covid.
"Hal pertama yang saya lakukan ketika keluar adalah pergi ke restoran favorit saya bersama keluarga, karena saya tahu saya tidak akan bisa melakukannya untuk sementara waktu," kata Yeo.
Di bawah pembatasan yang berlangsung hingga Juni, masyarakat hanya diizinkan meninggalkan rumahnya untuk kegiatan penting seperti berbelanja bahan makanan dan berolahraga.
"Saya sangat menantikan pertemuan dengan teman-teman saya," kata Yeo, "Rumah saya terasa sangat kecil dibandingkan dengan penjara."
Namun meski begitu, dia mengatakan kebebasan setengah hari yang dia alami sebelum lockdown sangat luar biasa.
"Hidup itu sederhana di penjara. Ketika saya keluar, rasanya seperti berlebih. Mobil, bus, berjalan bebas tanpa borgol dan tanpa jam malam."