Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah di Balik Kode Pos Indonesia yang Terinspirasi Lagu Dari Sabang Sampai Merauke
2 November 2024 10:25 WIB
Kisah di Balik Kode Pos Indonesia yang Terinspirasi Lagu Dari Sabang Sampai Merauke
Jika Anda kerap berkirim kartu pos, surat atau paket, pasti familier dengan lima digit terakhir yang dicantumkan di tiap alamat tujuan. Itu adalah kode pos, sistem yang lazim digunakan dalam proses pengiriman surat atau barang.
Kode pos dibuat dengan deretan angka, huruf atau karakter yang mengartikan wilayah tertentu. Tujuannya adalah untuk memudahkan pekerjaan di kantor pos saat menyortir surat atau pengiriman paket.
Indonesia baru menggunakan sistem kode pos sejak1985, lama setelah negara-negara Barat menerapkannya sejak 1930-an. Namun, tak banyak yang tahu tokoh di balik terciptanya kode pos di Indonesia.
Dia adalah Marsoedi Mohamad Paham.
Pria yang menjabat sebagai Direktur Utama Perum Pos dan Giro pada 1987 hingga 1995 ini dikenal sebagai orang yang telaten, sertagemar menyusun huruf dan angka. Bahkan, lima anaknya dia namai sesuai urutan abjad.
Di waktu senggangnya, dia masih melakukan kegemarannya mengoleksi prangko dan uang dari berbagai negara yang dia lakukan sejak 1961.
Kala ditemui di rumahnya di Bandung, Jawa Barat, pria berusia 86 tahun ini tampak masih segar di usia senjanya.
Meski ingatan dan pendengarannya tak sekuat dulu, pria dengan perawakan kurus ini masih ingat bagaimana lima digit kode pos itu tercipta.
“Dari Barat sampai ke Timur, berjajar pulau-pulau. Sambung menyambung menjadi satu. Itulah Indonesia,” tutur Marsoedi mengutip syair lagu Dari Sabang Sampai Merauke, ketika ditanya awal mula pembuatan kode pos di Indonesia 40 tahun lalu.
Sebelum dikenal luas dengan judul dan lirik "Dari Sabang Sampai Merauke", lagu ini memuat lirik “Dari Barat sampai ke Timur" sebelum akhirnya diganti atas permintaan Soekarno, presiden Indonesia saat itu.
Lagu Dari Sabang Sampai Merauke menginspirasi Marsoedi dalam menyusun digit demi digit sebagai penanda setiap wilayah, hingga akhirnya tercipta lima digit kode pos Indonesia.
“Ceritanya orang harus menyortir surat itu [tujuannya] ke mana. Nah untuk itu dibikin pencatatan nomor-nomor supaya tahu. Jadi pada waktu itu, saya bikin kode pos itu lima digit,” tutur Marsoedi, pada Selasa (29/10).
Digit pertama sebagai kode untuk wilayah kerja pos yang mencakup beberapa provinsi.
Digit kedua dan ketiga menunjukkan wilayah kabupaten atau kota. Sementara digit keempat untuk kode kecamatan, dan digit kelima kode kelurahan.
Untuk menandai kode wilayah di digit pertama, Marsoedi menyusunnya dengan mengacu pada lagu Dari Sabang Sampai Merauke atau dari Barat ke Timur.
“Angka 1 itu [untuk] ibu kota negara, Jakarta. Baru kemudian kita bikin angka 2 sampai 9. Jadi dihitung dari barat, angka 2 itu mulai dari Banda Aceh terus sampai 3 itu bagian selatan dari Sumatra,” jelas Marsoedi.
Baca juga:
Selain sebagai kode ibukota Jakarta, angka 1 juga menjadi penanda wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Selanjutnya, kode 2 untuk wilayah Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau.
Kode 3 menunjukkan wilayah Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Kode 4 untuk wilayah Jawa Barat dan Banten.
Kode 5 untuk wilayah Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kode 6 untuk Jawa Timur.
Kode 7 untuk wilayah Kalimantan, sementara kode 8 untuk Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Nusa Tenggara Barat.
Adapun kode 9 untuk wilayah Sulawesi dan Papua.
‘Tanpa nomor orang tak akan tahu ke mana surat akan dikirim’
Layanan pos modern di Indonesia dimulai pada 1602 kala VOC masih berkuasa di Indonesia—kala itu masih bernama Hindia Belanda.
Saat itu, surat-surat atau paket pos hanya diletakkan di Stadsherbrg (Gedung Penginapan Kota), sehingga orang-orang harus selalu mengecek apakah ada surat atau paket untuk mereka.
Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Willem Baron van Imhoff kemudian mendirikan kantor pos pertama di Indonesia, tepatnya di Batavia pada Agustus 1746, demi meningkatkan keamanan surat dan paket yang dikirim via pos.
Sesudahnya, cabang-cabang kantor pos dibangun di sejumlah wilayah Hindia Belanda.
Pada 1880-an, lembaga Post, Telegraaf, en Telefoondienst (PTT)—yang menyatukan layanan pos, telegraf dan telepon—dibuat pemerintah Hindia Belanda.
Namun, pada era kemerdekaan, pemerintah Indonesia mengambil alih dan mengubahnya menjadi Djawatan Pos, Telegraf dan Telepon.
Pada 1960-an, pemerintah memisahkan bisnis telekomunikasi sehingga nama perusahaan ini berubah menjadi Perusahaan Negara (PN) Pos dan Giro.
Kala itu, Marsoedi memilih tetap bekerja bidang pos dan giro, menjabat sebagai Kepala Bangunan dan Kendaraan Pos seluruh Indonesia.
Dia mendesain seluruh gedung Pos di Indonesia dan mengusulkan ide pos keliling ke daerah pelosok yang tidak terjangkau kantor pos dengan mendesain mobil Volkswagen Combi.
Sulitnya penyortiran surat yang dihadapi petugas pos menjadi alasan di balik penyusunan kode pos yang dilakukan Marsoedi.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda .
“Berdasarkan kenyataan bahwa untuk sortir surat itu, kalau tanpa angka itu lebih sulit, karena itu dibantu dengan penomoran-penomoran. Nah penomoran itu namanya kode pos,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, Marsoedi mengusulkan penerapan sistem kode pos di Indonesia ke direksi Perum Pos dan Giro serta presiden Indonesia saat itu, Suharto, pada 1980.
Kala itu, dia menjabat sebagai Kepala Pusat Perencanaan Pos Perum Pos dan Giro.
Usulan itu akhirnya disetujui dan Marsoedi mulai merancangnya pada Mei 1981, dengan mempelajari sistem kode pos yang telah diterapkan di dunia, seperti di Belanda, Italia, Jepang, dan Perancis.
Pada 1981 hingga 1982, Marsoedi belajar tentang pos selama setahun di Lyon, Perancis.
Setahun kemudian, pada 7 September 1982, kode pos rancangan Marsoedi mulai diterapkan di internal Perum Pos dan Giro.
Tepat setahun sesudahnya, penerapannya diperluas untuk wilayah DKI Jakarta.
Baru pada 1 Agustus 1985, sistem kode pos yang diciptakan Marsoedi mulai digunakan di seluruh Indonesia.
Tujuan Marsoedi menciptakan sistem kode pos di Indonesia adalah untuk mempermudah kerja petugas pos.
Baca juga:
“Kalau tanpa nomor, orang tidak akan tahu untuk ke mana surat itu akan dikirim. Saya tetapkan dengan lima angka, maka petugas akan bisa menyortir surat itu tujuannya ke mana,” ujar Marsoedi.
Lantas, mengapa kode pos di Indonesia terdiri dari lima angka?
Marsoedi menjawab: “Karena Indonesia itu luas sekali. Kalau kurang dari lima, sortir suratnya akan lebih sulit."
"Karena itu, dengan menyortir angka, orang akan lebih mudah menyortir suratnya. Petugas diberi tahu caranya menyortir surat itu. Dia harus hafal dulu angka-angka itu ditujukan ke mana.”
Bagaimana sejarah kode pos di dunia?
Indonesia bisa dibilang terlambat menerapkan sistem kode pos dibanding negara lain.
Jika Indonesia baru menerapkan secara nasional pada 1985, Ukraina telah menerapkan pada 1932 dan tercatat sebagai negara pertama yang menerapkan sistem kode pos modern, dengan menggunakan sistem pengindeksan, menurut Ensiklopedia Britanicca.
Semua kota, desa, kota kecil, dan jalur kereta api di negara yang terletak di Eropa timur ini diberi seri nomor-huruf-nomor, yang dikumpulkan dalam buku referensi.
Pelanggan dapat menemukan kode pos untuk wilayah penerima dan menambahkannya ke surat mereka, sehingga mempercepat penyortiran dan pengiriman.
Namun sayangnya, sistem ini berumur pendek dan berakhir pada 1939—tepat sebelum Perang Dunia Kedua berkecamuk.
Akan tetapi sejarah pos juga mencatat, cikal bakal kode pos diperkenalkan di London pada 1857.
Sistem yang diterapkan menggunakan titik kompas atau arah mata angin. Ibukota Inggris ini dibagi menjadi 10 distrik, yang masing-masing diberi titik kompas, seperti NW (Northwest), N (North), NE (Northeast), dan E (East), serta kantor pos terkait.
Dalam proses pengiriman surat, pengirim diminta menambahkan titik kompas distrik penerima di akhir alamat. Sistem yang terlokalisasi ini menyelamatkan surat dari keharusan dibawa ke pusat kota London untuk disortir dan—dalam beberapa kasus—segera dikembalikan ke tempat asalnya.
Pada 1917 distrik-distrik tersebut disempurnakan lagi menjadi kecamatan-kecamatan, yang masing-masing diberi nomor urut setelah inisial distrik.
Misalnya, mengirim surat ke Fulham, pada alamatnya ditambahkan angka 6 ke titik kompas SW (Southwest), sehingga menjadi SW6.
Sistem kode pos diperkenalkan pada pertengahan abad, tapi sistem kecamatan tetap digunakan hingga abad 21.
Sementara itu, Jerman mengembangkan sistem kode pos selama Perang Dunia Kedua, pada tahun 1941.
Sedangkan di Amerika Serikat, mulai memerlukan sistem penyortiran yang mekanis seiring dengan meningkatnya jumlah surat yang diproses pasca perang.
Amerika mulai menerapkan kode Zoning Improvement Plan (ZIP) pada 1963.
Sistem lima digit tersebut menggunakan angka pertama untuk menunjuk ke wilayah nasional, dua angka berikutnya untuk menentukan pusat populasi atau kota besar, dan dua angka terakhir untuk menunjuk wilayah pengiriman tertentu.
Kode pos tidak mengikuti batas negara bagian atau kota, tetapi dikaitkan dengan rute pengiriman, fasilitas penyortiran surat, dan pusat kantor pos.
Pada 1983, sistem kode pos diperluas untuk menyertakan empat digit tambahan yang menunjukkan lokasi yang lebih tepat.
Keempat digit ini paling sering digunakan untuk bisnis besar, kompleks perkantoran, atau area yang sangat padat dengan volume surat yang tinggi.
Kendati penggunaan kode pos telah diterapkan di sebagian besar negara di dunia, akan tetapi saat ini masih ada sejumlah negara yang tidak memiliki kode pos.
Negara-negara tersebut antara lain, Irlandia, Hong Kong, Korea Utara, Angola, Bolivia, dan beberapa negara kecil lainnya.
Apakah kode pos masih relevan di era digital?
Kini, saat teknologi pemetaan sudah canggih, seperti Google Maps yang bisa mengarahkan penggunanya ke alamat tujuan, apakah kode pos masih diperlukan?
Salah satu warga Bandung, Asep Kurnia, baru saja mengirimkan surat dengan tujuan Jakarta di Kantor Pos cabang Asia Afrika, Kota Bandung.
Tak lupa, Asep menyertakan kode pos tujuan di akhir alamat surat.
“Soalnya barusan juga ditanya sama petugas posnya, apakah ini sudah betul nomor kode posnya. Setiap pengiriman pasti ditanya,” ucap Asep yang mengaku rutin mengirim surat tiap pekan.
Warga Bandung lainnya, Arif Laksono, mengaku selalu mencantumkan kode pos di setiap surat yang akan dikirim.
Jika pos tujuan belum jelas, Arif akan memintanya ke si penerima surat.
Pria 60 tahun ini merasa lebih yakin suratnya akan sampai tujuan, bila dicantumkan kode pos.
“Supaya suratnya enggak nyasar ke mana–mana, supaya jelas alamatnya karena setiap kelurahan punya kode posnya masing-masing,” kata Arif.
Human Capital Business Partner PT Pos Indonesia, Iwan Budi Santosa, mengatakan penggunaan kode pos masih relevan di era digital.
Sebab, fungsi kode pos adalah untuk menandai wilayah—terutama untuk wilayah yang memiliki kemiripan nama jalan.
Dia mencontohkan bahwa di Bandung dan Cirebon ada nama jalan dengan nama yang sama, yakni Jalan Pajajaran. Fungsi kode pos adalah untuk membedakan tujuan pengiriman surat agar tidak rancu.
“Pada saat nanti ada pengiriman paket tentunya yang dilihat ini kode posnya, ‘Oh, ini Jalan Pajajaran di Cirebon’ sehingga dikirimnya atau diproses pengirimannya itu akan ke Cirebon,” papar Iwan.
Penggunaan kode pos juga berguna untuk layanan lain, seperti pembagian bantuan sosial (bansos). Kode pos digunakan untuk memetakan penyaluran bansos, kata Iwan.
Selain itu, sistem kode pos dimanfaatkan pula oleh jasa titipan atau pengiriman yang marak saat ini.
Saat ini, lanjut Iwan, PT Pos Indonesia memanfaatkan sistem kode pos ciptaan Marsoedi dalam proses penyortiran dan pilihan waktu tempuh surat atau paket.
“Dengan kode pos kami bisa memberikan keyakinan ke publik bahwasanya surat atau paket ini akan diterima untuk next day, h+1, untuk yang reguler, h+2, bahkan untuk yang same day pun kalau layanan itu muncul dan pola kami yang sudah diatur, itu masuk di situ,” jelas Iwan.
“Konsumen akan pilih mungkin yang paling cepat dan kami jamin itu tidak akan melewati waktu tempuhnya itu tadi,” ujarnya kemudian.
Bagaimanapun, kata Iwan, sistem kode pos ciptaan Marsoedi masih tetap dipakai di era teknologi digital ini.
Misalnya, seperti yang diterapkan di Sentra Pengolahan Pos (SPP) Jakarta Timur, penyortiran sudah dilakukan secara robotic dan kode pos diterapkan secara digital.
“Pengirim ini kadang kala tidak tahu kode pos tujuan, aplikasi kami sudah mendukung itu supaya memudahkan tidak salah sortir atau salur lagi. Jadi waktu tempuh yang kami janjikan itu terproses sesuai dengan waktu tempuh permintaan pengirim,” ungkap Iwan.
Memang, tidak semua konsumen hafal kode pos tujuan, bahkan kode pos tempat tinggalnya sendiri. Seperti Arif Laksono dan Asep Kurnia.
“Saya lupa kode pos rumah saya,” aku Arif sambil terkekeh.
“Enggak tahu. Saya lupa lagi,” jawab Asep ketika ditanya kode pos rumahnya.
Reportase oleh wartawan di Bandung, Yuli Saputra