Konten Media Partner

Kisah Fotografer Mengabadikan 'Fosil Hidup' yang Selamat dari Kepunahan Era Dinosaurus

28 Juli 2024 14:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kisah Fotografer Mengabadikan 'Fosil Hidup' yang Selamat dari Kepunahan Era Dinosaurus

sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Para ilmuwan berlomba untuk melacak makhluk hidup di laut yang dalam sebelum mereka benar-benar hilang, dengan bantuan fotografer yang suka tantangan dan rasa bahaya.
Pada 2010, empat orang sahabat membawa peralatan kamera seberat 32kg, menyelam ke laut dalam di bawah ombak Teluk Sodwana, di lepas pantai timur Afrika Selatan.
Saat itulah fotografer Laurent Ballesta menatap langsung ke mata makhluk yang diduga punah bersama dinosaurus – menjadikannya penyelam pertama yang memotret coelacanth hidup.
“Ini bukan hanya ikan yang kami pikir telah punah,” kata Ballesta. “Ini adalah mahakarya dalam sejarah evolusi.”
Menjelajah kembali ke awal zaman dinosaurus, dan Anda akan menemukan coelacanth berlimpah, di setiap benua, hidup di rawa-rawa beruap pada Periode Trias.
Kembali ke 410 juta tahun yang lalu, coelacanth termasuk dalam kelompok ikan "bersirip lobus" yang meninggalkan lautan sekitar 390 dan 360 juta tahun yang lalu.
Siripnya yang kuat dan berdaging merupakan pendahulu dari sepasang anggota tubuh dari tetrapoda (vertebrata berkaki empat), yang mencakup semua vertebrata yang hidup di darat – seperti amfibi, reptil, burung dan mamalia, serta manusia juga.
Faktanya, coelacanth lebih dekat hubungannya dengan tetrapoda dibandingkan spesies ikan lain yang diketahui.
Fosil coelacanth termuda yang diketahui memiliki usia 66 juta tahun, menimbulkan asumsi bahwa hewan tersebut sudah lama punah.
Kemudian, pada 1938, seekor ikan dengan sisik berwarna biru kehijauan dan memiliki empat sirip mirip anggota badan, ditangkap dalam jaring pukat di lepas pantai Afrika Selatan.
Penyelidikan lebih lanjut dilakukan dan pada 1987. Ahli etologi Hans Fricke memimpin ekspedisi kapal selam di lepas pantai Grande Comore, di mana ia berhasil menangkap ikan coelacanth yang hidup dalam video untuk pertama kalinya.
Coelacanth ini dijuluki sebagai fosil hidup, meskipun para ahli mengatakan julukan ini tidak akurat, dan coelacanth sebenarnya telah berevolusi, meskipun sangat lambat. Salah satu alasannya adalah ikan yang sulit ditangkap ini tidak lagi hidup di pinggiran daratan, melainkan jauh di bawah lautan.
“Setiap kali mereka ditangkap, lokasinya sangat dalam, terlalu dalam untuk teknik scuba diving normal pada saat itu,” kata Ballesta. "Jadi, itu hanya khayalan di pikiran saya."
Namun, pada tahun 2000, Ballesta mendengar tentang seorang penyelam bernama Peter Timm. "Saat menyelam lebih dalam, Timm menemukan seekor coelacanth di dalam gua yang kedalamannya 120 meter."
Jadi, pada 2010, setelah pelatihan penyelaman dalam yang intensif, dan dengan bantuan teknologi penyelaman pernapasan baru yang tersedia – yang memungkinkannya bertahan di bawah air lebih lama dari sebelumnya – Ballesta meminta Timm untuk menjadi pemandunya.
Coelacanth hidup di zona bentik – di dasar laut – sedalam 300 meter, di sepanjang lereng dan dataran bawah air yang curam.
Pada siang hari, mereka berkumpul di gua-gua bawah laut, dan hanya muncul untuk mencari makan pada malam hari. Di gua-gua itulah Ballesta bertemu coelacanth pertamanya.
“[Ini adalah] pesisir yang sangat sukar: Banyak gelombang besar, ombak, arus – dan juga hiu,” kata Ballesta.
"Ada kemungkinan untuk mati."
Ada beberapa orang yang tewas saat mencoba mengabadikan ikan yang sulit ditangkap ini dalam video.
Namun, Ballesta memiliki keinginan untuk melampaui batas penjelajahan lautan. “Untuk masuk lebih dalam, lebih lama, untuk menjelajah,” katanya.
Dorongan inilah yang membawa Ballesta menjadi ahli biologi kelautan, penjelajah, perintis penyelam di laut dalam, dan fotografer bawah air yang meraih banyak penghargaan.
Jadi, mengapa mengambil risiko besar itu? Kendaraan yang dioperasikan jarak jauh (ROV), kata Ballesta, memiliki kemampuan yang lambat dan tidak stabil dibandingkan dengan penyelam manusia.
Ballesta dan tim penyelamnya dapat memeriksa semua gua bawah laut yang dalam selama sekitar 12 menit, sedangkan ROV membutuhkan waktu empat jam.
“Alat ini tidak bisa masuk ke dalam gua, melihat ke atas, melihat ke bawah, dan melihat ke sekeliling,” kata Ballesta.
"Tentu saja, jika jaraknya 1.000 meter [turun], atau 6.000 meter, saya tidak bisa menyelam. Tidak ada yang bisa. Tapi ketika Anda berada di twilight zone, dari ketinggian 200 meter, kami akan jauh lebih efisien."
Pada menit pertama di penyelaman pertama, “Saya berada di depan coelacanth," kata Ballesta. Kesulitannya, tambahnya, bukanlah menemukan coelacanth, namun “mencapai habitanya”.
“Dia [coelacanth] tidak penasaran, tapi tidak juga takut,” katanya.
Setelah mendekati coelacanth, yang membuat ikan itu bergerak di antara dua kamera - ditempatkan pada dudukan yang dibuat khusus - tim penyelam lalu menyalakan lampu.
“Pada kedalaman ini, beberapa orang mengira tidak ada cahaya,” kata Ballesta.
"Pencahayaannya [sangat] bagus. Kecil, lembut, tapi tetap ada cahayanya. Jadi, penting untuk tidak menggunakan terlalu banyak cahaya buatan. Seperti mengendarai mobil di malam hari."
"Jika Anda menyalakan lampu penuh, Anda hanya melihat di depan mobil, dan sisanya gelap. Jika Anda mematikan lampu – dan ada sedikit cahaya Bulan – tiba-tiba Anda melihat segalanya: Jalan, gunung, hutan. Itu sama ketika Anda berada di kedalaman."
Pada 2013, Ballesta dan timnya kembali dan bertemu dengan banyak coelacanth, menghabiskan waktu hingga setengah jam bersama mereka.
Impian Ballesta, katanya, adalah kembali bertemu coelacanth di tempat yang dia sebut dengan stasiun bawah laut, untuk "menghabiskan sepanjang siang dan malam bersama mereka di dasar laut".
Memahami dunia bawah laut merupakan sebuah langkah untuk melindunginya, kata Jessica Gordon, ilmuwan kelautan di Universitas Essex di Inggris. Laut menutupi lebih dari 70% permukaan Bumi, dan mengandung 97% dari seluruh air di planet ini.
Sekitar setengah dari seluruh oksigen yang dihasilkan di Bumi berasal dari laut, dan hal ini membantu mengatur iklim Bumi dengan menyerap lebih dari seperempat emisi karbon dioksida (CO2) yang disebabkan oleh aktivitas manusia dan sekitar 90% panas berlebih.
Laut juga mewakili 99% dari seluruh ruang yang dapat dihuni di planet ini, menjadikannya ekosistem terbesar di Bumi. Meskipun demikian, lebih dari tiga perempatnya masih belum terpetakan dan dieksplorasi. Diperkirakan sekitar 91% spesies laut belum diklasifikasikan.
“Kita hanya tahu sedikit tentang laut dalam,” kata Gordon, yang baru-baru ini ikut serta dalam ekspedisi yang dipimpin oleh program ilmiah global, Ocean Census.
Tim tersebut menjelajahi wilayah dasar laut di lepas pantai Selandia Baru yang belum dipetakan dan menemukan lebih dari 100 spesies organisme laut dalam yang baru termasuk ikan, cumi-cumi, moluska, dan karang.
Terumbu karang kini sedang kritis. Tanpanya, kata Gordon, seluruh rantai makanan akan hancur. Namun, tambahnya, ada beberapa spesies karang yang “lebih mudah beradaptasi terhadap pengasaman laut dan perubahan iklim” dibandingkan spesies lainnya.
“Kami dapat mengambil potongan batang utama spesimen karang – batang tersebut memiliki cincin yang mirip dengan pohon – dan menganalisis setiap cincin pertumbuhan untuk mendapatkan catatan suhu dan kandungan kimia air pada saat itu,” katanya.
“Jadi, Anda dapat menggunakan fosil karang yang berumur ribuan tahun, untuk menentukan seperti apa laut ribuan tahun yang lalu, dan [Anda dapat melihat] bagaimana mereka beradaptasi terhadap perubahan iklim saat ini. Menemukan spesies yang mampu beradaptasi dan tumbuh dalam kondisi sulit, akan menjadi hal yang penting bagi kelangsungan hidup mereka di masa depan."
Dan, seiring dengan berkurangnya jumlah spesies di lautan, memahami kehidupan dan habitat laut menjadi lebih penting dari sebelumnya, kata para ahli, jika manusia ingin “menghentikan krisis keanekaragaman hayati”.
“Sebagian kecil wilayah laut dilindungi,” kata Gordon.
“Dan tanpa mengetahui apa yang ada di sana, kita bisa menghancurkan kawasan yang kita tidak tahu apakah ada kehidupan yang penting bagi ekosistem dan fungsi laut. Kita tidak akan pernah tahu apa yang bisa kita selamatkan.”
Coelacanth adalah hewan yang "ikonik", kata Emma Bernard, kurator fosil ikan di Natural History Museum (NHM) London.
Setiap fosil merupakan bagian dari teka-teki yang menceritakan kisah evolusi. Namun melihat fosil tersebut yang masih hidup hingga kini, “sungguh menakjubkan”, katanya.
“Anda dapat membandingkan fosil tersebut dengan coelacanth modern. Anda hampir dapat mencocokkannya dari tulang ke tulang dan melihat bagaimana ia bergerak.”
Dan, meskipun fosil dan spesimen dapat mengajarkan kita banyak hal, namun itu tidak menceritakan keseluruhan cerita, kata James Maclaine, kurator ikan di NHM.
"Anda dapat membuat asumsi yang masuk akal – namun terkadang ada hal-hal yang tidak Anda duga." katanya.
Contohnya adalah belut pelikan, katanya.
“Ikan ini panjang dan kurus, dengan mulut besar seperti kantung, agak mirip mulut burung pelikan. Melihat spesimennya, Anda mungkin berpikir 'itu untuk mencari makan'. Namun ia melakukan hal lain yang tidak diduga oleh siapa pun."
"[Ilmuwan] menemukan ada yang masih hidup, berenang ribuan meter ke bawah, dan saat kapal selam mendekat, ia menggembungkan kepalanya seperti balon – agar terlihat lebih mengintimidasi."
Berkat penelitian Ballesta, kini kita tahu bahwa coelacanth adalah salah satu spesies ikan yang hidup paling lama, dengan rentang sekitar 100 tahun, dan memiliki salah satu riwayat hidup paling lambat dibandingkan semua ikan laut.
Seperti hiu laut dalam yang memiliki metabolisme yang lambat, coelacanth tumbuh lama, membutuhkan waktu hingga 69 tahun untuk mencapai kematangan seksual, dan dengan masa bertelur sekitar lima tahun.
Hidup di laut yang dalam, banyak hal terjadi secara perlahan, kata Maclaine. “Semakin Anda ke dalam, laut menjadi semakin stabil, terlindungi dari perubahan lingkungan di atas. Tidak ada fluktuasi yang besar – dan pertumbuhan makhluk di dalamnya cenderung sangat lambat, sehingga mereka berumur sangat panjang,” katanya.
Stabilitas lingkungan laut dalam mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa coelacanth selamat dari kepunahan massal yang melenyapkan dinosaurus. “Tetapi lingkungan ini juga sangat rapuh. Jika Anda tetap mengganggunya, dibutuhkan waktu ratusan tahun untuk pulih.”
Spesies berumur panjang, dengan riwayat hidup yang lambat, sangat rentan terhadap stresor alami dan antropogenik, sehingga menunjukkan bahwa coelacanth mungkin lebih terancam daripada yang diperkirakan sebelumnya.
Hanya dengan mengamati makhluk-makhluk ini di habitatnya, kita dapat benar-benar mulai memahami mereka.
Tapi apa yang diperlukan untuk menjadi seorang fotografer laut yang benar-benar hebat? "Bahaya," kata Ballesta.
“Saya menyadari bahwa setiap kali [menyelam] dengan kondisi yang mudah, hasil foto saya tidak bagus,” katanya. "Saya perlu merasa berada dalam situasi yang tidak nyaman untuk memberikan yang terbaik. Jika Anda menempatkan saya di Laut Merah dalam air hangat sedalam 20 meter – saya tidak mengambil foto yang lebih baik dari yang lain."
Di sisi lain, dalam situasi ekstrem, dengan waktu terbatas, dan ada hal yang mendesak – sebuah saklar akan menyala.
“Tiba-tiba menyaksikan hewan, ekosistem, segala sesuatu di sekitar Anda. Anda tidak berada di dunia Anda. Anda hanya diperbolehkan tinggal di sini selama beberapa menit, jadi [Anda harus] memanfaatkan situasi sebaik-baiknya."
"Saya melupakan segalanya. Saya menikmati momen ini. Saya tetap fokus dan memotret foto terbaik saya."
Begitulah yang terjadi saat mengabadikan coelacanth, katanya. Baru setelah itu, saat kembali ke permukaan laut dalam perjalanan yang panjang dan lambat, Ballesta membiarkan dirinya merasakan kegembiraan dan kebanggaan atas apa yang telah ia dan timnya capai.
Ekspedisi coelacanth merupakan batu loncatan bagi karier eksplorasi Ballesta.
Pada 2019, Ballesta, bersama tiga penyelam lainnya, tinggal di ruang saturasi di kapal tongkang terapung yang diberi tekanan setara dengan kedalaman 120 meter.
“Selama 28 hari, kami hidup terkurung dalam kotak kuning yang sangat kecil tanpa jendela. Anda harus benar-benar mengenal teman-teman Anda ketika melakukan hal seperti itu,” katanya.
Selama ekspedisi ini Ballesta memelopori teknik penyelaman baru, menggabungkan penyelaman saturasi yang digunakan oleh penyelam lepas pantai komersial pada saat itu, dengan penyelaman otonom. Lonceng selam dihubungkan ke ruang saturasi, yang memungkinkan penyelam komersial turun ke kedalaman tertentu untuk melakukan pekerjaan konstruksi bawah air. Penyelam akan tetap terhubung ke ruangan saat melakukan pekerjaan ini.
Ballesta, di sisi lain, menggunakan pernafasan yang diatur secara elektronik untuk meninggalkan lonceng selam dan melakukan eksplorasi laut dalam secara otonom – menjadikannya orang pertama yang melakukan apa yang bisa digambarkan sebagai perjalanan luar angkasa tanpa ikatan jauh di bawah laut. Setiap hari, tim Ballesta keluar untuk menjelajahi dan mempelajari twilight zone, dari Marseille hingga Monaco, yang menggambarkan ekosistem dalam Mediterania.
Ballesta adalah ras langka, baik sebagai seorang seniman maupun ilmuwan. Penggabungan inilah yang memungkinkan karyanya menangkap data ilmiah dan pada saat yang sama, bertindak sebagai jendela menuju hal-hal yang tidak diketahui – yang dapat kita lihat melaluinya. “Saya ingin menceritakan sebuah kisah,” katanya. “Kisah ini adalah sejarah alam, kisah keanekaragaman hayati. Namun ini juga kisah kita.”
Anda dapat membaca artikel ini dalam versi bahasa Inggris dengan judul "The deep ocean photographer that captured a 'living fossil'" pada BBC Future.