Konten Media Partner

Kisah Keluarga Bertahan Hidup 38 Hari dengan Perahu Kecil di Samudra Pasifik – Menghadapi Paus Pembunuh sampai Minum Darah Penyu

13 September 2024 9:15 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kisah Keluarga Bertahan Hidup 38 Hari dengan Perahu Kecil di Samudra Pasifik – Menghadapi Paus Pembunuh sampai Minum Darah Penyu

Douglas Robertson sangat ketakutan: selain takut air laut naik dengan cepat hingga ke pinggul—yang mungkin membuat perahu layar yang ditempati keluarganya tenggelam—ia begitu cemas melihat gerombolan paus pembunuh yang berenang di bawah kakinya.
Paus-paus tersebut sebelumnya menabrak kapal mereka. Mamalia raksasa itu hingga kini masih menjadi mimpi buruk bagi Douglas dan keluarganya.
“Saya masih ingat kengeriannya, kami melihat paus pembunuh muncul ke permukaan. Salah satunya kepalanya terluka, dan darah mengucur ke laut,” kata Douglas, mengenang kejadian tersebut dalam sebuah wawancara dengan program Outlook BBC lebih dari 50 tahun kemudian.
Peristiwa itu terjadi pada 1972 lampau. Kala itu, Douglas dan keluarganya terombang-ambing di atas perahu kayu di Samudra Pasifik selama 38 hari. Mereka hanya makan daging penyu dan ikan, serta minum dari air hujan yang mereka tampung.
Awalnya, Douglas bersama keluarganya ingin berlayar keliling dunia. Petualangan ini berasal dari impian ayah Douglas yaitu Dougal Robertson dan istrinya, Lyn.
Setelah merencanakan selama hampir tiga tahun, mereka menjual lahan pertanian yang mereka miliki di Inggris dan membeli Lucette—perahu kayu dengan dua tiang dan memiliki penutup, sepanjang 13 meter.
“Kapal itu sudah tua, tapi kondisinya masih sangat bagus,” kata Douglas.

'Pelayaran terakhir Lucette'

Pada 1970, mantan kapten Angkatan Laut Inggris, Dougal Robertson, tinggal bersama istrinya, Lyn, seorang mantan perawat, beserta anak-anak mereka di sebuah peternakan sapi perah di Kota Leek, Inggris.
Douglas ingat bahwa kehidupan di peternakan itu tidak pernah mudah, dan hal inilah yang mendorongnya untuk memulai perjalanan keliling dunia bersama keluarganya.
“Kami tinggal di antah berantah, sangat terisolasi, dan ayah saya percaya bahwa perjalanan ini akan menjadi cara untuk mendidik anak-anaknya di universitas kehidupan,” katanya.

Baca juga:

Mereka harus menjual lahan pertanian dan mendapatkan perahu yang sesuai untuk melakukan penjelajahan, semua ini dilakukan di tengah kecaman dari para kerabat.
“Namun ayah saya berkeras. Dia berkata bahwa kami harus berlayar mengelilingi dunia, karena ini sesuatu yang sangat berbeda dari kehidupan yang kami jalani,” kenang Douglas.
Jadi Dougal, Lyn, dan anak-anak mereka: Anna, 19 tahun; Douglas, 18 tahun; serta si kembar Sandy dan Neil, 10 tahun, berlayar dengan kapal Lucette pada 27 Januari 1971. Mereka bertolak dari Falmouth, Cornwall.
Fase pertama perjalanan membawa mereka ke Lisbon, Portugal. Kemudian ke Tenerife, di Kepulauan Canary.
Douglas tak pernah lupa dengan sinar matahari di Kepulauan Canary.
Bagi Douglas yang saat itu baru saja berusia 18 tahun, sinar matahari di Kepulauan Canary membuatnya sadar bahwa mereka benar-benar sedang melakukan perjalanan “keliling dunia.”
Di Kepulauan Canary, mereka membeli sebuah perahu fiberglass kecil, yang mereka beri nama Ednamair, sesuai dengan nama kedua bibi Douglas yang mensponsorinya: Edna dan Mary.
Mereka mengikatnya di buritan kapal dan berangkat. Mereka menghabiskan waktu 18 bulan berlayar ke berbagai pelabuhan di Karibia.
Di Bahama, Anna—saat itu berusia 20 tahun—bertemu dengan seorang pria dan memutuskan untuk tinggal di sana bersamanya.
Keluarga ini melanjutkan perjalanan, kini tanpa Anna. Namun mereka mendapat kru baru, seorang mahasiswa berusia 22 tahun asal Wales bernama Robin Williams.
Mereka melewati Jamaika dan menyeberangi Terusan Panama.
Perhentian berikutnya adalah Galapagos. Dari sana mereka memulai pelayaran selama 45 hari melintasi Samudra Pasifik menuju Kepulauan Marquesas di Polinesia, wilayah kekuasaan Prancis.

Serangan

“Saat itu pukul 10 pagi pada 15 Juni 1972, ketika perahu layar diguncang dengan keras oleh tiga kali hantaman: Brak! Brak! Brak! Kami tidak tahu apa yang menimpa kami,” kenang Douglas.
Mereka berada sekitar 200 mil sebelah barat Kepulauan Galapagos. Douglas dan Neil sedang berada di dek saat mereka melihat sekawanan paus pembunuh muncul dari dalam air, salah satunya dengan darah mengucur dari luka yang menganga di kepalanya.
Douglas berlari mencari ayahnya yang berada di dek. Air laut mulai menyusup ke dalam kapal, setinggi pergelangan kaki. Dia ingat sebelum ayahnya menjelaskan bahwa kapal sedang tenggelam, air sudah naik hingga sepinggang.
“Saat itulah dia berkata, 'Tinggalkan kapal,' tapi pertanyaan saya adalah, 'Tinggalkan kapal ke mana?” kata Douglas.
Pelan-pelan, ketakutan mulai menguasai pemuda itu: “Saya mulai berpikir bahwa itu semua adalah mimpi buruk, bahwa saya akan bangun dan semuanya akan baik-baik saja.”
Ilustrasi. Serangan paus pembunuh menjadi awal mimpi buruk keluarga Robertson.
Douglas bergegas mengembangkan sekoci karet perahu layar.
“Kami mengenakan jaket pelampung dan naik ke perahu. Saya adalah orang terakhir yang masuk... Ibu saya mulai berdoa."
"Dia adalah seorang Kristen yang taat. Ayah saya adalah seorang ateis. Saya juga seorang ateis. Tapi kali ini aku berpikir: Saya akan berdoa Doa Bapa Kami karena saya mungkin membutuhkan Tuhan setiap saat,” kata Douglas.
Kapal Lucette tenggelam dalam beberapa menit. Keluarga itu telah mengemas apa pun yang bisa mereka dapatkan ke dalam perahu karet dan Ednamair: sekantong bawang, pisau, sekaleng biskuit, 10 jeruk, enam lemon, senter, beberapa kail pancing dan buku catatan.
Mereka juga membawa air untuk 10 hari dan ransum darurat untuk tiga hari. Lyn juga membawa peralatan menjahit, termasuk sebuah pena.
Hanya itu yang mereka miliki. Mereka berenam berkumpul bersama dalam sebuah perahu karet berukuran 2,5 meter kali 2 meter, beratapkan tenda kanvas yang dihubungkan dengan tali kawat ke perahu fiberglass.
Tanpa peta, kompas atau alat navigasi apapun.
Dan yang terburuk, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada mereka.

Kenyataan yang berat

Mereka membuat sebuah rencana. Mereka memutuskan pergi ke utara, daerah yang disebut Zona Tenang Khatulistiwa, yaitu daerah di sekitar khatulistiwa.
Ini adalah area dengan tekanan rendah, angin yang tenang, dan banyak hujan—yang mereka butuhkan untuk mendapatkan air minum.
Di sana juga terdapat rute pelayaran, yang akan meningkatkan peluang untuk berpapasan dengan kapal lain.
Mereka memasang layar pada tiang darurat yang terbuat dari dayung di Ednamair, dan mengubah perahu kecil itu menjadi semacam kapal tunda dengan menggunakan dayung untuk sekoci karet.
“Enam hari kemudian kami melihat sebuah kapal melintas di kejauhan. Kami menyalakan lima suar, tapi kapal itu tidak melihat kami. Itu sangat mengecewakan,” kata Douglas.
Doug mengenang ayahnya, Dougal sebagai pria yang tangguh tapi efisien.
“Setelah sepuluh hari, mereka sampai di Zona Tenang, cuacanya panas dan kering, berlawanan dengan apa yang kami harapkan."
"Apa yang bisa kami lakukan? Kami harus menunggu. Dan sekitar dua atau tiga hari kemudian, tiba-tiba, hujan deras turun.”
“Kami sangat senang ketika kami mulai bernyanyi di tengah hujan... dan bernyanyi di tengah hujan membuat paru-paru kami bergetar."
"Itu adalah cara agar kami tetap hangat. Karena pada saat itu kami hampir tidak memiliki pakaian yang tersisa, pakaian kami sudah hancur.”

Bertahan

Masalah besar lainnya adalah rasa lapar, yang mereka atasi, pada awalnya, dengan memakan ikan terbang yang jatuh ke perahu atau perahu kecil.
Belakangan, seekor reptil mulai mendominasi menu makanan keluarga Robertson: penyu.
“Penyu-penyu itu terus berenang ke arah kami,” kata Douglas.
“Pertama kali seekor muncul di depan, saat saya sedang mendayung perahu. Saya memukul kepalanya dengan gagang dayung, tetapi penyu itu terus berenang".
"Penyu kedua yang muncul berhasil saya tarik keluar dari air, tapi siripnya sangat tajam, jadi tangan saya terluka, dan melemparkannya ke ayah saya yang ada di perahu."
"Namun, dia juga tidak bisa memegang penyu itu, dan penyu itu jatuh ke laut. Kami hanya berhasil menangkap penyu yang ketiga.”
“Kami memakan daging merahnya mentah-mentah. Kemudian kami mulai menjemur potongan daging di bawah sinar matahari, di kedua perahu, di mana pun ada ruang."
"Daging kering itu bisa disimpan selama beberapa hari. Kami menyimpan persediaan. Dan kami menyadari bahwa kami bisa meminum darah penyu. Rasanya tidak asin. Itu bisa menjadi cara untuk menggantikan air.”
Namun, ada saatnya mereka kehabisan air. Saat itulah Lyn memiliki ide yang tidak biasa.
Ia ingin memanfaatkan air hujan kotor yang bercampur darah dan lemak yang menumpuk di dasar perahu fiberglass. Caranya, air yang sudah bercampur itu di masukkan melalu anus ke dalam usus dengan menggunakan enema—terbuat dari tabung karet.
Enema adalah alat karet yang digunakan untuk memasukkan air melalui anus untuk membersihkan usus. Ini adalah satu-satunya cara menelan air kotor, karena dinding usus, ketika menyerap air, bertindak sebagai semacam filter.
Selain rasa haus dan lapar, masalah lainnya adalah perahu mulai bocor. Dougal, Robin, dan Douglas bergantian meniupkan udara ke dalam perahu karet ini, sebuah pekerjaan yang sangat melelahkan yang tidak bisa mencegah air keluar.
Keluarga Robertson diselamatkan oleh perahu nelayan Jepang saat terombang-ambing di Pasifik.
Mereka semua harus duduk di air garam yang dingin selama berhari-hari, dan ini membuat mereka mengalami luka-luka di sekujur tubuh.
Pada hari ketujuh belas, lantai rakit hancur dan keenam orang itu harus pindah ke Ednamair, perahu fiberglass yang mereka gunakan sebagai perahu penarik dan untuk menyimpan air dan makanan.
Mereka mengambil apapun yang mereka dapatkan; menempelkan bagian perahu yang mengambang ke haluan Ednamair, dan memasang kanopi, yang juga berfungsi sebagai layar.
Di tengah luasnya samudra yang tak terbatas, ada enam orang yang berdesakan di dalam perahu kecil sepanjang delapan kaki. Bahkan untuk berpindah tempat saja mereka memerlukan perencanaan yang matang.

Sup tomat dan salad buah

Mereka menghabiskan waktu dengan berbicara mengenai makanan.
“Seseorang akan bercerita tentang bagaimana mereka membuat sup tomat, misalnya, dan mereka akan bercerita selama 15 menit."
"Kami akan menyimak setiap kata. 'Berapa banyak lada yang kamu masukkan?', 'Apakah kamu juga memasukkan mentega ke dalamnya?, 'Apakah itu roti tawar atau jenis roti lainnya?”
“Suatu malam saya sangat haus, mengunyah potongan-potongan kecil karet gelang karena hal itu membuat mulut kami lembab, dan saya mulai melamun, memikirkan makanan."
"Saya berpikir tentang salad buah segar yang akan saya santap sebagai hidangan penutup, setelah saya makan steak, telur, dan kentang goreng.
"Dan hal itu muncul dalam benak saya dengan begitu detailnya, sehingga saya membangunkan ayah saya dan berkata, 'Ayah, saya baru saja bermimpi tentang salad buah segar'."
"Alih-alih marah karena dibangunkan, ia malah berkata, 'Ceritakan lebih lanjut, Douglas'. Dan saya pun menceritakan penglihatan itu kepadanya. Dan setelah saya selesai, dia berkata, 'Terima kasih banyak,' dan kembali tidur.”
Kabar baiknya adalah bahwa selama beberapa hari, mereka memiliki cukup makanan dan air untuk meningkatkan kesehatan fisik dan mental.
Mereka terus makan ikan dan kura-kura. Dan sejak hari ke-29 dan seterusnya, mereka memiliki sesuatu yang baru dalam menu.
“Kami memiliki beberapa kail, dan biasanya kami menangkap ikan air tawar,” kata Douglas.
“Selain dagingnya, kami menggunakan air tawar yang ada di mata ikan dan kantung yang ada di antara tulang belakang mereka".
"Suatu kali, kami sedang memancing, dan seekor hiu mako, yang panjangnya sekitar lima atau enam kaki, sekitar dua pertiga dari panjang perahu, kailnya tersangkut tepat di bawah matanya.
Jadi, hiu itu berada di bawah belas kasihan kami. Tapi kami tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana cara mengembalikannya ke perahu dan membunuh hiu?”
“Kami membuat sebuah rencana. Tarik tali hingga hiu berada tepat di samping perahu, pegang ekornya, tarik ke dalam perahu, biarkan kepalanya menggantung.
Ayah saya akan mencoba membunuhnya, dan ibu saya akan mencoba memasukkan dayung ke dalam mulutnya agar hiu itu menggigit dayung dan tidak menggigit orang lain.”
“Rencana itu berhasil dengan sempurna. Sebenarnya lebih mudah dari yang kami duga karena hiu itu tidak bisa bergerak saat berada di luar air."
"Kami pikir hiu itu akan meronta-ronta dan sulit dipegang, tetapi hiu itu tak berdaya di sana, tidak bergerak.”
Daging hiu ini memberi mereka makan selama sembilan hari. Hingga tiba hari ke-38.

Selamat

Hujan turun deras hari itu. Di sore hari, mereka membicarakan makanan dan sebuah kafe yang mereka kenal.
“Jadi ayah saya berbicara tentang kafe ini, sambil memandang ke seberang laut dan tiba-tiba dia berkata, 'Ada sebuah kapal di sana'. Dan dia terus berbicara tentang kafe itu. Dan dari tempat saya duduk, saya tidak bisa melihat kapal itu.
Saya berkata, 'Apakah Ayah baru saja mengatakan kalau Ayah melihat sebuah kapal? Dan ayah saya: Ya, ada kapal di sana. 'Sebuah kapal. Sebuah kapal!'"
“Kemudian dia sadar dan berkata: 'Ambil suar!' Dia menyalakan suar pertamanya... tidak ada yang terjadi, kapal masih melaju di jalurnya.
Saya kemudian memberikan suar terakhir kepada ayah saya. Dia menyalakan suar, memegang suar dengan kuat, memegangnya... suar itu membakar tangannya, sampai dia melemparkannya ke laut.”
Tiba-tiba kapal tersebut mengubah arah dan membunyikan klakson. Mereka selamat.
Keluarga Robertson setelah diselamatkan.
Pada 23 Juli 1972, setelah 38 hari terombang-ambing di lautan, mereka akhirnya diselamatkan kapal nelayan Jepang, Toka Maru II, yang sedang dalam perjalanan menuju Terusan Panama karena melihat suar darurat.
“Mereka menarik kami ke atas kapal, sebuah kapal Jepang. Dan kami semua kotor dan berlumuran darah dan minyak, kami bau!"
"Kapten kapal melihat kami dan hal pertama yang ia katakan, dalam bahasa Inggris yang terbata-bata, adalah: 'semua orang mandi!'"
Pada saat itu, Robertson dan Robin Williams telah menempuh perjalanan sejauh 750 mil dengan rakit dan perahu, dan hanya berjarak kurang dari 300 mil dari daratan.
Ketika mereka tiba di Panama beberapa hari kemudian, pers dan media dari seluruh dunia telah menunggu. Pada malam hari di hotel, Douglas akhirnya mengunjungi restoran pertamanya.
“Saya melihat menu dan memesan makan siang, dengan steak dan telur. Saya makan tiga di antaranya. Lima belas menit kemudian saya muntah. Mata saya lebih besar dari perut saya!”
Keluarga tersebut, termasuk Robin, mengalami anemia dan dehidrasi. Mereka kehilangan banyak berat badan, tetapi yang mengejutkan, tidak ada yang membutuhkan perawatan serius.
Ketika mereka dinyatakan sehat oleh dokter, mereka terbang pulang. Robin terbang untuk menemui ibunya di Inggris.
Tetapi Douglas dan anggota keluarga lainnya mengambil rute yang lebih lambat. Mereka menggunakan kapal untuk pulang.
Di sana, mereka bertemu kembali dengan Anna, putri sulung mereka, yang tertinggal di Bahama.
Douglas bergabung dengan Angkatan Laut dan kemudian bisnis jual-beli kapal pesiar.
Bertahun-tahun kemudian, dia merilis sebuah buku, Lucette's Last Voyage, yang menceritakan kisah 38 hari tersesat di laut.
Untuk mendengarkan wawancara dengan Douglas Robertson di program Outlook (dalam bahasa Inggris), klik di sini.