Kisah Mantan Pengikut Nazi di AS yang Berubah Menjadi Aktivis Antidiskriminasi

Konten Media Partner
17 November 2021 16:51 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pada akhir masa remaja, Mike menjadi seorang pengikut Nazi.
Sekarang, enam tahun kemudian, dia menjadi pendukung gerakan Black Lives Matter - dan ini membuatnya khawatir secara mendalam untuk menengok ke belakang, di tahapan paling bergejolak dalam hidupnya; keluar dengan senjata api dan menembaki orang-orang.
Saat Mike menutup mata sejenak bersama seorang pria yang baru saja terjatuh, dia tahu bahwa dia akan mati.
Tiga hari setelah kematian George Floyd, unjuk rasa mendukung Black Lives Matter pecah di seluruh wilayah Amerika Serikat. Saat itu, Mike melakukan unjuk rasa di Oakland, Califronia, dengan kekasihnya.
Tapi saat malam tiba, polisi mulai memuntahkan peluru karet dan gas air mata. Mereka memutuskan untuk keluar dari barisan unjuk rasa.
Mereka kembali ke arah mobil mereka, sepanjang jalanan dipenuhi dengan asap hitam hasil pembakaran dari tempat sampah. Saat mereka melihat van putih berhenti, kemudian mereka mendengar letusan senjata.
Belakangan, Mike mendengar bahwa pria yang tewas adalah Dave Patrick Underwood, petugas keamanan di gedung pengadilan.
Secara tidak sengaja, Mike memiliki hubungan dengan Underwood; dia berada dalam barisan unjuk rasa dengan anggota keluarganya.
Tapi dia juga terhubung dengan pria yang kemudian ditahan atas pembunuhan Underwood. Ia adalah Steven Carillo, seorang sersan di Pangkalan Udara California, tempat yang sama saat Mike mendaftar ke sana beberapa tahun sebelumnya.
Tapi, itu belum semuanya. Mike punya rahasia. Di rumah, tepatnya di lemari pakaiannya terdapat sebuah seragam Nazi - ia sengaja tetap menggantung seragamnya itu untuk mengingatkan masa lalu dari dirinya sendiri.
Seperti Carillo, Mike pernah terjerembab ke dalam lubang hitam ekstremisme, dan menjadi seorang pengikut garis keras sayap kanan Amerika.
Dia menghabiskan masa kecilnya di pinggiran kota kecil, yang sebagian besar penduduknya berkulit putih. Hari-hari ia lalui dengan mendayung perahu kecil di danau atau bersepeda keliling kota dengan teman-temannya yang kompak.
Tapi ketika usia Mike menginjak 12 tahun, ibunya cerai dengan ayah tirinya, lalu pindah ke wilayah lain di kota itu.
Akhirnya, Mike tinggal di tempat yang gersang, hutan beton yang dipenuhi dengan multi-ras dan dia membencinya. "Ada orang-orang di sana yang sepertinya tidak pernah saya lihat sebelumnya, makanannya berbeda, rasa airnya berbeda, segalanya benar-benar berbeda."
Mereka juga kurang mampu sekarang, dan ayah tirinya tak pernah menepati janji untuk mengunjungi mereka.
Semua ini membuat Mike marah, dan dia menemukan pelampisan dari kemarahannya itu melalui gerakan kanan.
Dianjurkan oleh ayah seorang teman, Mike mulai mendengarkan acara perbincangan sayap-kanan dengan pembawa acara Sean Hannity, dan ketika dia mencari konten serupa melalui internet, dia menemukan video dan podcast ideologi kanan di Facebook dan YouTube.
Algoritma media sosial telah menciptakan apa yang dikenal sebagai efek lubang hitam - menuntunnya ke konten yang lebih ekstrim.
Hal yang pernah ia dengar, contohnya, perceraian merupakan konspirasi dari Yahudi yang artinya bisa menghancurkan keluarga ideal kulit putih. "Dengan alasan apa saja, bagi kami itu lebih mudah untuk dipercaya dari pada ayah tiri saya seorang pecandu alkohol yang memukuli saya dan saudara-saudara saya," katanya.
Pada akhirnya, Mike beranjak ke sudut tergelap di internet - ke wadah pesan grup nasionalis kulit putih di 4chan dan 8chan. Situs-situs ini seperti sebuah klub sosial bagi kalangan rasis, Nazi dan nasionalis kulit putih, di mana orang-orang bisa mengucapkan umpatan rasial sambil mengenal satu sama lain, kata Mike.
Pada satu kesempatan, dia diundang seorang teman yang ia temui secara online, untuk memproduksi "video propaganda". Temannya itu memiliki jumlah besar senjata api, dan sekelompok dari mereka mengangkutnya ke dalam beberapa truk, lalu membawanya ke bukit-bukit terdekat.
"Kami menembakkan senjata otomatis dan semi-otomatis, merekamnya dan berlari-lari dengan seragam Nazi," kata Mike.
Saat itu usianya masih 17 tahun, ia telah menjadi wadah bagi ekstrimisme beracun.
"Saat itu, saya hanya mencari tempat untuk menumpahkan semua amarah," kata Mike. "Dan menemukan rumah yang sempurna."
Setahun kemudian, Mike menyelesaikan sekolah, dan melakukan perjalanan ke London untuk melanjutkan pendidikannya.
Di London, dia berharap bisa melihat gaya pria Inggris menggunakan topi bundar yang khas, tapi kenyataannya sangat berbeda. Ia bersama rekannya berada di Whitechapel, sebuah kawasan dengan komunitas Muslim yang taat.
"Saat saya berusia 18 tahun, sebagai nasionalis kulit putih radikal, saya sangat takut, sangat Islamophobic," katanya. "Saya benar-benar tidak melihat keberagaman sebagai sesuatu yang positif."
Selama berada di London, Mike tenggelam lebih dalam dan dalam kepada nasionalisme kulit putih, penguntit digital, dan melecehkan selebriti dari sayap kiri Amerika.
Suatu sore bulan April 2017, dia berada di kereta bawah tanah untuk berjumpa dengan teman-temannya di sebuah pub di Parliament Square. Tapi saat itu, penumpang diberitahu bahwa stasiun Westminster telah ditutup karena ada operasi dari kepolisian.
Sebuah kendaraan telah menerobos jalan setapak di Jembatan Westminster dengan kecepatan 70km/jam, dan menabrak para pejalan kaki. Pengemudinya kemudian keluar, dan menikam seorang petugas polisi. Enam orang tewas, termasuk pelaku penyerangan, dan 50 orang terluka.
Mike muncul dari stasiun terdekat, dan menuju ke arah lokasi kejadian. Pemandangan dua anak yang sedang diselimuti, terekam dalam ingatannya. ISIS, yang saat itu masih berkuasa di Timur Tengah, mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.
Selama berminggu-minggu, Mike kembali ke California, bergabung dengan Angkatan Udara AS.
"Saya sangat bersemangat, benar-benar bersemangat. Artinya, tak ada keragu-raguan dalam benak saya, bawha saya ingin pergi ke negara-negara orang lain, apakah itu Irak atau Afghanistan, mengenakan seragam, mengangkat senjata dan membunuh mereka semua."
Selama berminggu-minggu sebelum memulai pelatihan, ia menghabiskan waktu berjam-jam di garasinya untuk minum, merokok, penuh dengan amarah.
"Saya hampir selalu ditemani dengan senjata," katanya. "Dan pada titik itu, di mana jika seseorang bilang pada saya untuk melakukan sesuatu, saya akan melakukannya."
Februari tahun ini, Pentagon memunculkan sikap "pelonggaran" melawan ekstremisme - sebuah perintah kepada para pemimpin militer untuk mengatasi ekstremisme di dalam pasukan mereka.
Pada saat yang sama, Menteri Pertahanan Lloyd Austin membentuk kelompok kerja untuk menentukan bagaimana menemukan "ancaman orang dalam" dan menjelaskan bahwa calon yang direkrut sekarang akan disaring terkait dengan afiliasi terhadap ekstremis.
Langkah ini datang setelah analisis awal dari mereka yang ditangkap dalam kerusuhan di Gedung Kongres AS (Capitol) 6 Januari lalu, yang melibatkan mantan prajurit dan perempuan.
Tapi mungkin secara mengejutkan, bagi Mike, militer akan menjadi permulaan bagi perjalanannya untuk keluar dari ekstremis sayap kanan.
Di akhir 2017, dia sedang menjalani pelatihan bulan kedua, ditempatkan jauh di dalam hutan di Missouri.
"Saya tersesat di tengah antah berantah dengan beragam orang dari seluruh AS - termasuk pria-pria kulit hitam, Yahudi, dan seorang pria dari Guam yang mengajari saya bagaimana menombak ikan," katanya.
"Saya berteman dengan orang-orang yang tak pernah saya pertimbangkan sebelumnya untuk menjadi teman."
Dia menjalani pelatihan yang berat. Melalui jam-jam yang melelahkan, dan hampir tak punya kuasa atas diri sendiri - ia mendapat kontrol dari pelatihnya dalam setiap gerakan - sulit untuk dijadikan kebiasaan.
"Menjadi anak kecil, perokok berat, dan membaca 4chan serta menjalani kegalauan di dalam garasi -- itu adalah satu hal," katanya. "Untuk kemudian menemukan diri Anda sendiri di tengah antah berantah, di sebuah pangkalan Angkatan Udara, di mana kamu tak bisa meninggalkannya, dan orang-orang meneriaki Anda."
Dia mencoba untuk keluar enam kali dalam delapan minggu.
Melihatnya duduk sendirian selama seharian, seorang prajurit kulit hitam yang baru direkrut menyarankannya untuk ikut doa bersama.
Selama beberapa minggu setelahnya, rekrutan ini dan seorang pemuda Yahudi yang mendukung Mike untuk melewati masa-masa tergelapnya, dengan tepukan ramah di punggungnya, saat ia sedang berjuang atau sedang menyendiri, "Hai kawan, kamu bisa melakukannya."
Di kamp pelatihan, dia tak punya waktu untuk berselancar di internet. Dia menjalani aktivitas hariannya tanpa dipenuhi dengan racun propaganda.
Mike diberikan cuti medis dari Angkatan Udara karena kesehatan mentalnya memburuk. Ia mulai bekerja di tempat musik dan mulai terpikat dengan musik punk. Ini merupakan pelampiasan yang dibutuhkan untuk menyalurkan amarahnya, yang dia telah ia bangun sejak kecil. Punk menjadi penyelamatnya.
"Komunitas punk saya menjadi salah satu hal terbesar yang membuat saya insaf. Menurut saya, betapa penting untuk memiliki sebuah wadah dan kelompok di mana kamu merasa menjadi diri sendiri. Tapi kelompok yang membangun," katanya.
Ketika masa cutinya sudah habis, Mike tidak kembali ke militer, dan telah diklasifikasikan sebagai Awol (mundur tanpa pemberitahuan). Kemudian Desember kemarin, yang mengejutkan, dia dipecat dengan hormat.
Tapi ketika dia berusaha untuk keluar dari lubang hitam ekstremis, dia melihat sejumlah warga Amerika justru jatuh semakin dalam. Pengunjuk rasa Black Lives Matters menderita luka-luka di sejumlah kota, dan Mike mengaku ngeri dengan serangan di Gedung Capitol.
AS adalah sebuah "persatuan klen yang saling bertikai" yang terikat secara longgar, katanya. "Dan ketika Anda memutuskan untuk memantik api di dalamnya, ini bisa menjadi sangat berbahaya. Saya telah melihat sejumlah besar kekerasan."
Mike ingin orang-orang untuk memahami bagaimana mudahnya Amerika hari ini bagi ideologi ekstremis untuk mengambil alih hidup seseorang.
"Saya dulu seorang remaja dengan dasar akses internet di pinggiran California, dan menjadi cukup radikal untuk menginginkan tindak kekerasan terhadap orang-orang hanya karena warna kulit mereka atau agama mereka," katanya.
"Hal yang saya ingin orang-orang tahu, adalah saya dulu seorang pengikut Nazi. Bukan di Bavaria Jerman tahun 1939, tapi di Amerika modern hari ini."
Mike adalah nama samaran