Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kisah Misionaris Gereja di Balik Meningkat Pesatnya Penganut Kristen di Nepal
15 Januari 2023 15:30 WIB
·
waktu baca 7 menitMengajak orang pindah agama adalah tindakan yang ilegal di Nepal, tetapi para misionaris bersedia mengambil risiko dituntut demi menyebarkan ajaran Kristen.
"Kemenangan bagi Yesus," seru pendeta asal Korea, Pang Chang-in saat dia memberkati sebuah gereja baru di Desa Jharlang di kaki Pegunungan Himalaya.
Jemaat-jemaat yang baru masuk Kristen mengangkat tangan mereka untuk berdoa. Sebagian besar berasal dari masyarakat adat Tamang yang dulunya menganut kepercayaan Lama, yang merupakan sebuah kepercayaan spiritual kuno di Nepal.
Di mata Pang, masyarakat Tamang "miskin secara finansial dan spiritual".
"Jadi, keajaiban terjadi dan seluruh desa dibaptis," kata dia.
Para misionaris ini, yang kebanyakan dari mereka berasal dari Korea Selatan seperti Pang, telah membantu membangun salah satu komunitas Kristen dengan pertumbuhan tercepat di dunia di Nepal, sebagai bekas kerajaan Hindu dan tempat kelahiran Sang Buddha.
Mayoritas orang yang masuk Kristen di Nepal berasal dari kelompok masyarakat dari kasta Dalit, yang berada di bawah hierarki kasta Hindu.
Mereka mungkin percaya pada keajaiban yang disarankan Pang, tetapi bagi mereka ini juga menawarkan kesempatan untuk melepaskan diri dari kemiskinan dan diskriminasi yang mengakar.
Pang telah mengawasi pembukaan hampir 70 gereja dalam dua dekade di Nepal, kebanyakan di wilayah Dhading, yang berjarak dua jam arah barat laut dari ibu kota Kathmandu.
Masyarakat, kata dia, mendonasikan lahan mereka dan gereja-gereja Korea membantu biaya konstruksinya.
"Di hampir setiap wilayah pegunungan, gereja-gereja sedang dibangun," klaim Pang.
Klaim itu mungkin berlebihan, tetapi tidak diragukan lagi bahwa ada peningkatan besar dalam jumlah gereja di seluruh Nepal dalam beberapa tahun terakhir.
Data terbaru dari survei komunitas Kristen nasional menyebutkan bahwa ada 7.758 gereja di negara mayoritas Hindu itu.
Korea Selatan berada di balik sebagian besar transformasi ini. Negara itu menjadi salah satu pengirim misionaris terbesar di dunia dalam beberapa dekade, dengan lebih dari 22.000 orang kini berada di luar negeri menurut Asosiasi Misi Dunia Korea.
Didorong oleh semangat orang-orang yang dilahirkan kembali, para misionaris Korea menjadi terkenal karena secara agresif mendatangi penjuru dunia yang paling sulit diinjili, bahkan terkadang diusir.
Nepal kini menjadi negara sekuler, dan konstitusi 2015 menjamin kebebasan beragama.
Namun, undang-undang anti-konversi yang mulai berlaku pada 2018 membuat siapa pun yang mendorong seseorang pindah agama dapat dihukum selama lima tahun penjara.
"Kami bekerja diliputi rasa cemas dan kekhawatiran akibat undang-undang anti-konversi," kata istri Pang, Lee Jeong-hee.
"Tetapi kami tidak bisa berhenti menyebarkan ajaran Injil karena ketakutan ini. Kami tidak akan berhenti menyelamatkan jiwa-jiwa."
Pasangan misionaris itu dulunya adalah bankir. Lee Jeong-hee mengatakan bahwa suaminya "yang pertama kali mendapat panggilan Tuhan, dan tidak lama setelahnya Tuhan memberi isyarat kepada kami untuk pindah ke Nepal".
Ketika mereka tiba pada tahun 2003, sebuah keluarga kerajaan Hindu masih bertata.
"Saya terkejut melihat begitu banyak berhala yang disembah," kata Pang.
"Saya merasa Nepal sangat membutuhkan Injil."
Lima tahun kemudian, monarki berusia 240 tahun itu dihapuskan setelah satu dekade perang saudara. Pemerintah federal berkuasa, dan mendeklarasikan Nepal sebagai republik sekuler pada 2008 .
"Itu memulai zaman keemasan bagi misionaris," kata Pang.
Dia dan istrinya adalah bagian dari komunitas 300 keluarga misionaris Korea yang kini berada di Nepal.
Di Kathmandu, komunitas ini sebagian besar menetap di sekitar gereja Korea di pinggiran Bhaisepati.
Tidak ada jemaat yang secara resmi menjadi misionaris. Mereka menggunakan visa bisnis atau studi. Beberapa di antaranya menjalankan restoran, sedangkan yang lain mendirikan badan amal.
Selama berminggu-minggu kami bersama komunitas misionaris Korea, hanya Pang dan istrinya yang mau berbicara secara terbuka.
"Saya terbuka untuk membagikan apa yang Tuhan lakukan di Nepal," kata Pang.
Dia tidak menganggap pekerjaan mereka melanggar hukum karena mereka tidak secara terbuka menyebarkan agama atau membaptis.
"Misi ini bukan cuma tentang kami. Tuhan yang melakukannya. Kami ingin menunjukkan bagaimana Tuhan bekerja melalui kami untuk menciptakan keajaiban di Nepal," kata dia.
Penganut Kristen berjumlah kurang dari 2% dari populasi Nepal, sedangkan penganut Hindu berjumlah sekitar 80% dan Buddha 9%. Meski demikian, data sensus memperlihatkan ada pertumbuhan penganut Kristen.
Pada 1951, tidak ada penganut Kristen di Nepal, dan pada 1962 hanya ada 458 orang. Tetapi pada 2011, ada sekitar 376.000 orang. Sensus terbaru juga memperkirakan bahwa jumlahnya saat ini berkisar 545.000 orang.
"[Agama] ini menyebar seperti api. Identitas budaya dipertaruhkan. Struktur persatuan nasional dipertaruhkan," kata mantan wakil perdana menteri, Kamal Thapa.
Dia memandang bahwa misi para misionaris Korea sebagai "serangan terorganisir terhadap identitas budaya negara".
"Para misionaris bekerja di belakang layar dan mengeksploitasi orang miskin dan bodoh lalu mendorong mereka untuk memeluk agama Kristen. Ini bukan soal kebebasan beragama. Ini kasus eksploitasi atas nama agama," kata dia.
Dia melobi agar Nepal kembali menjadi negara Hindu. Dia juga mendukung undang-undang anti-konversi dan ingin melihatnya ditegakkan.
Sejauh ini hanya orang-orang Kristen yang telah dituntut menggunakan undang-undang itu, tetapi tidak ada yang divonis. Kasus-kasus itu terhenti karena kurang bukti atau terdakwanya dibebaskan pada tingkat banding.
Menurut Komunitas Kristen Nepal, ada lima kasus yang saat ini masih aktif. Tuntutan terhadap empat warga negara Korea Selatan, termasuk dua biarawati, dibatalkan pada Desember.
Pendeta Dili Ram Paudel, yang mengepalai Komunitas Kristen Nepal, adalah salah satu orang pertama yang diinterogasi secara hukum.
Pada April 2018, dia dituduh menyuap orang-orang untuk pindah agama, yang dia bantah habis-habisan. Tuduhan terhadapnya juga kemudian dibatalkan.
"Kami dituduh mengubah [keyakinan] orang, padahal kekuatan itu tidak ada di tangan kami," katanya.
"Kalaupun iya, saya bisa saja mengubah [keyakinan] ibu saya. Dia berusia 92 tahun - saya bisa saja memberikan uang kepadanya, saya bisa berdoa untuknya, tetapi saya tidak dapat mengubahnya karena pertobatan harus datang dari Yesus."
Dia berasal dari keluarga Hindu yang taat dan ditahbiskan sebagai pendeta Hindu "seperti 21 generasi sebelum saya".
Pada usia 20-an dia kuliah di Korea dan di sanalah dia mengenali agama Kristen.
"Saya sendirian dan tidak punya teman," kenangnya, "dan kemudian beberapa orang memberi saya sebuah Alkitab Korea dalam bahasa Nepal. Entah bagaimana mereka menemukan Alkitab bahasa Nepal."
Dia membacanya dalam satu malam dan "menemukan pencipta saya."
"Apakah itu terdengar lucu dan sulit dipercaya? Ya, itu terjadi pada saya," katanya sambil tersenyum.
Begitu kembali ke Nepal. Dia dikucilkan oleh keluarganya.
"Mereka bilang Kristen adalah agama asing [dan] beberapa orang mengatakan saya gila, bahwa saya telah kehilangan ingatan saya," kata dia.
Butuh waktu baginya untuk diterima kembali oleh keluarga dan orang-orang sekitarnya.
Setiap tahun, ada lebih dari 2.000 pelajar Nepal yang studi ke Korea. Seorang misionaris Korea yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan bahwa mereka mencoba berhubungan dengan gereja-gereja lokal di Korea.
"Menjalankan misi penginjilan di Nepal merupakan sebuah tantangan. Jadi, kami memiliki cara alternatif," katanya.
"Misi kami adalah untuk mempertobatkan - karena Pendeta Dilli Ram Paudel adalah seorang pendeta Hindu ketika dia masih muda - setiap jiwa yang kami bisa, jadi kami harus tetap menyamar."
Pang dan istrinya membantu menjalankan sebuah sekolah seminari di Kathmandu. Ada sekitar 50 siswa yang belajar di sana. Donor gereja Korea sebagian besar menutupi biaya pendidikan dan pondokan mereka.
Salah satunya, Sapana, 22 tahun, berasal dari desa terpencil Tamang di Singang.
"Ayah saya membenci jemaat gereja karena dia yakin kita tidak boleh melupakan tradisi kita," katanya.
Dia diperkenalkan dengan agama Kristen oleh pamannya ketika sedang sakit parah. Dia lalu mengklaim bahwa dia sembuh setelah pindah agama.
"Saya ingin hidup untuk Yesus. Seseorang akhirnya mencintai saya," kata Sapana.
Desa-desa terpencil seperti tempat asalnya semacam menjadi batas bagi misionaris Korea seperti Pang Chang-in.
"Di kota-kota, undang-undang anti-konversi terasa jauh lebih nyata. Tapi di pedesaan, kurang ada pengawasan," kata Pang.
Sapana lulus dari seminari akhir tahun lalu. Dia sekarang berencana kembali ke desanya yang berada di pegunungan "untuk tumbuh perlahan dan mendorong kaum muda untuk menjadi bagian dari gereja".
"Saya akan pergi ke tempat-tempat baru dan menyebarkan pesan Yesus kepada mereka yang belum pernah mendengarnya sebelumnya."
Sementara itu, Pang Chang-in mengakui penyebaran Injil "dapat berbenturan dengan agama dan budaya yang ada". Namun dia menilai "gegar budaya tidak dapat dihindari".
Rajan Parajuli and Rama Parajuli berkontribusi dalam laporan ini