Konten Media Partner

Kisah Para Jurnalis Internasional Meliput di Indonesia – 'Sebelumnya Sudah Represif, Sekarang Lebih Represif Lagi'

8 April 2025 8:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kisah Para Jurnalis Internasional Meliput di Indonesia – 'Sebelumnya Sudah Represif, Sekarang Lebih Represif Lagi'

Kisah Para Jurnalis Internasional Meliput di Indonesia – 'Sebelumnya Sudah Represif, Sekarang Lebih Represif Lagi'
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis demokrasi dan LSM kebebasan pers mengecam Perpol 3/2025 yang dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers. Aturan ini disebut memberi kewenangan lebih luas kepada polisi untuk memantau jurnalis dan peneliti asing.
Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing ini berlaku sejak 10 Maret silam, namun baru dipublikasikan secara daring belakangan.
Menurut laporan sejumlah media, salah satu pasal di dalam Perpol 3/2025 mewajibkan adanya surat izin polisi untuk bekerja di "lokasi tertentu".
Pejabat Polri menyatakan bahwa aturan itu diperlukan demi menjaga kedaulatan negara dan perlindungan warga negara asing. Kemudian mereka menyatakan tidak ada kewajiban bagi jurnalis asing untuk membuat surat keterangan dari kepolisian (SKK).
"Jika tidak ada permintaan dari penjamin, SKK tidak bisa diterbitkan. SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing," ujar Kapolri Sigit Listyo Widodo pekan lalu.
Dia menjelaskan peraturan tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan.
"Memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap WNA seperti para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalkan di wilayah rawan konflik," ujarnya.
BBC News Indonesia sudah berupaya menghubungi pihak kepolisian untuk meminta tanggapan lebih lanjut, namun hingga berita ini diterbitkan belum mendapat respons.
Kebebasan pers di Indonesia telah menjadi sorotan dalam beberapa pekan terakhir.
Bulan lalu, majalah Tempo—media lokal yang dikenal karena liputan kritisnya terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto—menerima kiriman kepala babi dan bangkai tikus yang dipenggal.
Indonesia juga memiliki catatan sejarah mendeportasi jurnalis asing yang dianggap melampaui batas pelaporan tertentu.

Cerita pengalaman jurnalis internasional

BBC News Indonesia telah menghubungi sejumlah jurnalis asing baik yang saat ini masih bekerja di Indonesia ataus sudah pindah ke negara lain.
Tidak ada dari mereka yang bersedia berbicara secara terbuka. Mereka mengaku khawatir akan keamanan dan keselamatan mereka, mengingat status mereka sebagai warga negara asing, serta sensitivitas masalah ini.
Seorang jurnalis yang pernah bertugas di Indonesia selama bertahun-tahun—yang meminta identitasnya tidak diungkap—mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat sulit bagi warga negara asing untuk mendapatkan visa kerja jurnalistik.
"Kalau Anda tidak bekerja untuk salah satu media berita global raksasa, pada dasarnya Anda tidak memiliki peluang, dan bahkan jika Anda bekerja di media besar, Anda masih bisa mengalami kesulitan. Ini adalah situasi yang sangat berbeda dari negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan bahkan Kamboja," ujar jurnalis tersebut, yang memilih anonim dengan alasan keamanan.
"Indonesia seharusnya mempermudah jurnalis untuk melakukan pekerjaan mereka, bukan mempersulitnya."
Pada 25 Juli 2024, unjuk rasa di Medan, Sumatra Utara mendesak pihak berwenang Indonesia untuk menyelidiki tewasnya seorang jurnalis, Rico Sempurna Pasaribu, dan keluarganya.
Wartawan tersebut juga mempertanyakan aturan yang menyatakan bahwa jurnalis asing yang melakukan kunjungan liputan harus didampingi oleh perantara lokal atau disebut fixer.
Dia mengeklaim fixer ini harus berasal dari perusahaan yang telah disetujui pemerintah.
Menurut dia, aturan ini secara signifikan meningkatkan biaya kerja jurnalistik di Indonesia sehingga mempersulit proses peliputan.
"Bayangkan misalnya jika Anda harus membayar salah satu dari orang-orang ini US$150 [Rp2,5 juta] per hari," katanya.
Salah satu wartawan asing lainnya—yang juga menolak diungkap identitasnya—menyebut Indonesia setelah era Reformasi sempat menjadi salah satu negara dengan kebebasan pers tertinggi.
"Tapi sekarang sudah semakin sulit. Belum separah di Myanmar, memang, tapi saya khawatir arahnya akan ke sana," ujarnya.

Baca juga:

Wartawan yang bergiat di isu lingkungan, Sapariah Saturi, mengatakan banyak koleganya yang mengeluhkan sulitnya proses perizinan dan visa wartawan asing di Indonesia.
"Mereka cerita: 'Kok, semakin susah, ya, masuk ke Indonesia?' Ada yang sudah berulang kali mengajukan tapi tetap ditolak," ujar Sapariah yang sempat mendampingi wartawan Mongabay, Philip Jacobson, yang dideportasi pada 2020.
Menurut Sapariah, sebagian wartawan asing memilih untuk berbasis di negara tetangga seperti Singapura atau Thailand dan meliput Indonesia dari sana.
Dia khawatir, peraturan baru kepolisian akan semakin mempersulit kerja jurnalis asing dan membatasi kebebasan pers di Indonesia.

Bagaimana aturan mainnya selama ini?

Sebelum adanya Perpol 3/2025, wartawan asing harus mendapatkan persetujuan dari 18 kementerian dan lembaga atau yang dikenal sebagai clearing house untuk melakukan peliputan di Indonesia.
Hal ini diutarakan peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, yang menulis laporan bertajuk Something To Hide.
Aturan clearing house disebut dalam Peraturan Menkominfo 42/2009 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
"Clearing house ini terletak di Kementerian Luar Negeri. Anggotanya termasuk BIN [Badan Intelijen Negara], BAIS [Badan Intelijen Strategis], Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian [RI], dan lain-lain," ujar Andreas, Jumat (04/04).
Menurut Andreas, wartawan asing yang memperoleh persetujuan dari clearing house dapat bekerja di seluruh Indonesia "kecuali Papua".
Adapun peneliti-peneliti asing harus memperoleh persetujuan dari clearing house yang juga beranggotakan 18 kementerian dan lembaga.
Bedanya, clearing house untuk peneliti asing berpusat di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) alih-alih Kemenlu.

Baca juga:

"Sebetulnya ada satu lagi: para pembuat film asing. Untuk yang ini, pusat clearing house-nya di Kementerian Kebudayaan," jelas Andreas.
Andreas menjelaskan bahwa pada pemerintahan Jokowi, para pembuat film asing—termasuk dokumenter—juga diharuskan menggunakan fixer atau perantara milik orang Indonesia.
Lalu apa perbedaannya sekarang dengan kehadiran Perpol 3/2025 ini?
Andreas menjelaskan aturan yang ditandatangani Kapolri itu membuat kebijakan terkait jurnalis dan peneliti asing tadi menjadi "didesentralisasi' ke daerah-daerah.
"Peraturan ini membuat setiap polisi bisa menangkap atau memeriksa wartawan asing di wilayah dia. Sebelumnya, yang bisa menangkap adalah petugas imigrasi," ujarnya.
"Jadi, sekarang lebih represif lagi."
"Sekarang, tanpa peraturan Kapolri pun, Indonesia itu sudah sangat sulit [bagi wartawan asing]. Lebih sulit dari zaman Orde Baru," ujar Andreas.

Apa kata pemerintah?

BBC News Indonesia menghubungi juru bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, untuk mengonfirmasi hal ini.
Menurut Rolliansyah, "visa kunjungan jurnalistik dilakukan secara online melalui Imigrasi, tidak ada pembahasan antar kementerian dan lembaga untuk persetujuannya".
"Yang diperlukan dalam pengajuan visa adalah surat undangan dari instansi di Indonesia atau surat keterangan dari perwakilan RI terdekat," ujarnya ketika dihubungi, Senin (07/04).

Baca juga:

Ketika BBC News Indonesia meminta penjelasan lebih lanjut mengenai clearing house, Rolliansyah mengatakan itu hanya istilah untuk mempermudah dan "yang penting itu fungsinya".
"Karena lewat mekanisme ini juga utamanya terkait dengan isu pemberian visa secara umum bagi orang-orang yang berasal dari sejumlah negara tertentu yang berdasarkan ketentuan keimigrasian masih membutuhkan ijin visa khusus (tidak bisa pengajuan visa biasa atau tidak bisa lewat visa on arrival)," ujarnya.
"Jadi pengaturannya terkait dengan isu yang ditangani oleh kementerian dan lembaga di luar Kementerian Luar Negeri."

Izin liputan wartawan internasional 'bisa berbulan-bulan'

Untuk melakukan pekerjaannya di Indonesia, jurnalis asing mesti mengajukan visa kunjungan jurnalistik ke kedutaan besar atau konsulat jenderal terdekat di lokasinya.
Hal ini dipaparkan dua orang fixer atau pendamping lokal di Indonesia dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.
Menurut mereka, para jurnalis asing juga harus melengkapi berkas permohonan itu dengan semacam "sinopsis liputan", daftar narasumber yang akan diwawancara, lokasi liputan, jadwal perjalanan, dan penjamin atau fixer tadi.
Berkas permohonan akan ditinjau oleh Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing (TK KORA).
"Jadi sebetulnya TK KORA dan clearing house itu orang yang sama," ujar Bambang—bukan nama sebenarnya.
BBC News Indonesia tidak mengungkap identitas asli fixer tersebut dengan alasan keamanan.
TK KORA terdiri dari berbagai institusi negara termasuk intelijen, tentara, polisi, dan lain-lain.
"Dan itu biasanya kalau topiknya (liputan) mereka enggak suka, enggak akan lolos [visanya]. Kacau banget, ya?" ujarnya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Fixer lain, Iskandar—bukan nama sebenarnya—menyebut ada semacam kelonggaran dalam perizinan untuk peristiwa tertentu.
"Kalau jurnalisnya datang ke sini untuk breaking news, seperti gempa bumi atau bencana alam atau apa hal yang urgent, itu bisa ada pengecualian. Tidak perlu fixer. Dan tidak perlu proses perizinan yang sebulan lebih tadi itu. Sesuai dengan diskresinya Kemlu."
Diskresi itu juga termasuk saat jurnalis asing meliput peristiwa khusus semacam konferensi G-20 beberapa waktu yang lalu.
"Kalau itu memang boleh langsung," ujarnya.
Namun, Iskandar mengatakan prosedur perizinan selain peristiwa-peristiwa khusus itu, bisa memakan waktu berbulan- bulan.
"Tergantung orangnya, tergantung topiknya. Nah, itu bisa lebih lama. Kita pernah [mengurus izin] yang bisa bulan-bulanan. Jadi yang sebulan itu yang standar," terangnya.
Halangan lainnya adalah kerap kali permintaan kelengkapan berkas itu berubah-ubah.
Personel militer melakukan patroli di dekat Istana Garuda di Ibu Kota Nusantara di Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada 12 Agustus 2024
Fixer tersebut mencontohkan rencana liputan ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Tim jurnalis sudah datang dan visa sudah dikantongi.
"Tapi begitu sampai sini, ada request seperti itu: 'Oh, karena IKN di bawah badan otorita ini, kita mau kalian dapat persetujuan dong dari mereka'. Nah itu tentunya otorita IKN, itu susah kan? Jadi ketika mereka enggak mengeluarkan, akhirnya enggak bisa bergerak, enggak bisa jalan."
"Jadi sebenarnya dari sisi ditolak langsung itu sebenarnya sekarang mungkin nggak banyak ya. Tapi lebih paperwork-nya. akhirnya," kata fixer tersebut.
Dia menjelaskan bahwa ketidakjelasan dan ketidakpastian administrasi dan pemberkasan menjadi hambatan terbesar yang dihadapi jurnalis asing yang memakai jasanya.
"Jadi sebenarnya akhirnya memang di administrasi itu mentoknya. Jadi kegagalannya adalah itu."

Bernada pengawasan dan berpotensi mengulang-ulang

"Sepertinya ada kecurigaan-kecurigaan kepada pihak asing yang mungkin nggak berbasis yang sebenarnya. Karena kan proses [visa dan perizinan] yang dilalui sudah panjang. Dan itu sudah dicek juga," kata Iskandar—yang menolak diungkap nama sebenarnya—menyusul keluarnya Perpol No 3/2025.
"Saya melihatnya redundant (mengulang-ulang) dan akan memakan waktu yang lama. Sementara Indonesia kan mau, dari masa pemerintahan yang sebelumnya, lebih mudah berbisnis. Nah, jurnalis asing itu kan dalam tanda kutip berbisnis juga."
"Sebetulnya secara regulasi juga ini banyak yang bertabrakan dan rancu," kata Bambang—bukan nama sebenarnya—yang telah menjadi fixer sejak Bom Bali 2002 hingga saat ini.
"Kenapa mereka diberikan undang-undang untuk mengawasi orang asing? Yang harus diawasi [polisi] kan orang yang berpotensi berbuat kejahatan."
Setelah kelar urusan visa, kata Bambang, jurnalis asing juga masih harus menghadapi 'pengawasan' bahkan hingga ke tingkat daerah.
"Di daerah-daerah itu ada yang namanya Tim Pora (Tim Pengawasan Orang Asing)," ujarnya.

Baca juga:

Tim ini, kata Bambang, antara lain terdiri dari polisi, militer, dan bea cukai.
Bambang kerap kali bersitegang dengan pihak hotel yang mewajibkan jurnalis-jurnalis asing yang dia dampingi untuk menyerahkan paspor.
"Hotel itu meminta [paspor] karena ditegur aparat… 'Kalau ada orang asing paspornya harus dikasih, ya.' Terus, ya, hotel itu mungkin enggak punya keberanian untuk nanya dasar hukumnya apa," ujarnya.
Bentuk "pengekangan" lainnya menurut Bambang adalah "surat jalan" yang masih kerap ditanya oleh berbagai pihak di daerah.
Namun, untuk urusan satu ini, dia tidak takut untuk bersitegang.
"Surat jalan ini ini dari siapa? Dari polisi mana? Dari Polsek asal atau gimana?" ujar Bambang menirukan argumennya.
"Misalnya dulu di sebuah taman nasional. Saya mau syuting, Kepala Taman Nasional bilang ini perlu surat jalan."
Menurut Bambang aturan itu tak pernah jelas, "Ketika saya tanya gimana cara bikinnya [surat jalan] mereka juga enggak bisa menjelaskan."

Papua masih sulit ditembus

Pada awal 2000-an, kata Iskandar, beberapa wilayah bergejolak agak sulit untuk ditembus jurnalis asing, misalkan wilayah Poso atau Aceh Poso.
"Mungkin hanya Papua barangkali sekarang yang tersisa [sulit ditembus]."
Tapi berdasarkan data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada 2017, delapan jurnalis asing diusir dari sana.
Setahun sebelum presiden menyampaikan janjinya, pada 2014, pemerintah Indonesia mengundang wartawan investigasi asal Australia Mark Davis untuk meliput di Kota Jayapura.
Pada 2019, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto menyatakan bahwa pemerintah membatasi akses wartawan asing ke Papua dan Papua Barat
Sebelum datang ke Papua, Davis diminta berjanji dan setuju untuk tidak membuat film atau mengontak pihak pemberontak dan akan menampilkan liputan yang berimbang mengenai posisi pemerintah Indonesia.
"Tapi hal yang tidak saya setujui, saya selalu direkam kamera dan diikuti pasukan keamanan baik yang terlihat maupun yang tidak," ujar Davis dalam video hasil liputannya bertajuk "West Papua's Hidden Fight For Independence".
Davis mengatakan hal itu untuk merujuk pada aksi beberapa orang dengan memakai kamera video atau kamera ponsel yang mengambil gambar dirinya saat meliput di beberapa lokasi.
Saat meliput ke wilayah perbatasan Papua dengan Papua Nugini, Davis dan rombongan 'pendampingnya' melewati beberapa titik pemeriksaan keamanan yang dijaga ketat pasukan keamanan.
Davis juga dibuntuti oleh orang tak dikenal ketika tak lagi bersama rombongan pengundangnya.
Di tengah 'penjagaan' ketat itu, secara sembunyi-sembunyi, Davis berhasil mewawancarai korban dan keluarga korban kekerasan yang terjadi di Papua selama beberapa tahun terakhir.

Kenapa Peraturan Polisi Nomor 3/2025 bermasalah?

Kepolisian mengeluarkan Perpol Nomor 3/2025 pada 10 Maret lalu.
Peraturan ini mengatur tentang pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing.
Salah satu pasal dalam Peraturan ini dinilai mengancam kebebasan pers.
Pasal yang dimaksud adalah Pasal 5 Ayat 1 Huruf B, yang berbunyi:
"Penerbitan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian pada lokasi tertentu."
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Pers, Mustafa Layong, menyebut aturan ini akan membatasi ruang dan gerak jurnalistik.
"Ini merupakan bentuk abuse dari tugas dan fungsi kepolisian," kata Mustafa.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga menyebut aturan tersebut mengancam kebebasan pers dan peneliti asing.
"Dalam meliput, jurnalis tidak ada batasan," ujar Ketua AJI Indonesia Nani Afrida.
Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo
Dewan Pers juga mengkritik peraturan ini, dengan mengatakan bahwa peraturan ini "dapat dimaknai sebagai kontrol dan pengawasan terhadap kerja-kerja jurnalis, menurut Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu.
"Berdasarkan hal tersebut, Dewan Pers berpandangan bahwa Perpol 3/2025 secara substantif potensial melanggar prinsip-prinsip pers yang demokratis; profesional; independen; menjunjung tinggi moralitas dan mengedepankan asas praduga tidak bersalah."
Dewan Pers juga menilai peraturan ini bermasalah karena kurangnya partisipasi publik dalam penyusunannya.
Selain itu, peraturan ini dinilai bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran.
Perpol 3/2025 juga diklaim tumpang tindih dalam cakupan kewenangannya, dan berpotensi melanggar prinsip pers yang demokratis.

Apakah kebebasan pers di Indonesia semakin buruk?

Beberapa ukuran kebebasan pers yang dirilis dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan kebebasan pers di Indonesia memburuk.
Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) yang dirilis Dewan Pers pada awal tahun ini mencatat penurunan angka indeks, dari 71,57 pada 2023 menjadi 69,36 pada 2024.
Penurunan angka ini juga cukup tajam bila dibandingkan dengan angka indeks pada 2022 yang mencapai 77,88.
Sementara itu, Indeks Keselamatan jurnalis dan dirilis Yayasan Tifa pada Februari lalu menyebut situasi di Indonesia berada di level "Agak Terlindungi" dengan skor 60,5, naik tipis dari angka indeks tahun lalu yang mencapai 59,8.
Meski begitu, 66 persen dari 760 responden yang disurvei dalam kajian ini mengaku cemas dan lebih berhati-hati dalam memproduksi berita karena adanya ancaman kriminalisasi, sensor, serta tekanan dari berbagai pihak.
Ilustrasi pembaca media daring
Sementara itu organisasi dunia Reporters Without Borders menempatkan Indonesia di posisi ke-111 dari 180 negara yang disurvei pada 2024. Posisi ini lebih buruk dari tahun sebelumnya, yang menempatkan Indonesia di posisi ke-108.
Laporan mereka juga menyebut, TNI yang diberi 'angin' oleh Presiden Joko Widodo, secara hati-hati mencegah liputan mengenai protes golongan separatis di Papua.
Para jurnalis juga menghadapi teror dan kekerasan, terutama mereka yang meliput kasus korupsi dan kerusakan lingkungan.
Data Aliansi Jurnalis Independen menyebut sepanjang 2024 terdapat 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Dalam rentang tiga bulan, mulai Januari hingga Maret tahun ini, data yang dihimpun AJI juga menyatakan terdapat 23 kasus kekerasan.
Para pelaku terdiri dari delapan orang tak dikenal, tiga polisi, dua petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dua aparat pemerintah, satu warga, satu TNI, satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, satu pebisnis perusahaan, satu pekerja profesional, dan satu pejabat pengadilan.
Reportase oleh Amahl Azwar dan Hilman Handoni.