Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Para Penjaja Seks yang Mencoba Bertahan Hidup di Iran
20 Maret 2022 10:07 WIB
ยท
waktu baca 5 menit"Saya malu dengan apa yang saya perbuat, tapi pilihan apa lagi yang saya punya?" kata Neda, seorang janda di Teheran.
Di siang hari, Neda bekerja sebagai penata rambut, tapi di malam hari dia melakukan pekerjaan kedua sebagai prostitusi. Dia mengaku terpaksa harus menjajakan seks, hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
"Saya hidup di negara di mana perempuan tidak dihormati, ekonomi runtuh, dan harga-harga melambung tinggi nyaris setiap hari," dia melanjutkan.
"Saya ibu tunggal. Saya harus mengurus anak saya. Prostitusi memberikan banyak udang, dan sekarang saya berencana membeli sebuah rumah kecil di kota. Ini kenyataan menyedihkan dalam hidup saya. Saya secara harafiah harus menjual jiwa saya."
Pada 2012, Iran mengumumkan program nasional untuk mengatasi prostitusi. Bagaimanapun, menurut laporan tak resmi oleh lembaga pemasyarakatan (LSM) dan sejumlah peneliti, jumlah orang yang bekerja di industri seks negara ini semakin naik.
Pemerintah Iran yang konservatif sejak lama menampik keberadaan pekerja seks di negara mereka. Alih-alih, pihak berwenang menyebut laporan tentang prostitusi di sana sebagai plot Barat yang dirancang untuk merusak kaum muda, atau menyalahkan kaum perempuan karena melakukan pelanggaran dengan pria-pria tak bermoral.
Data tak resmi juga mengindikasikan para perempuan pekerja seks kini semakin muda. Statistik dari berbagai LSM menunjukkan bahwa di 2016, gadis-gadis berusia 12 tahun terlibat dalam prostitusi.
Aftab Society, LSM yang fokus pada perawatan para pecandu narkoba perempuan di Iran berkata, pada 2019 ada nyaris 10.000 pekerja seks perempuan di ibu kota, sekitar 35% di antaranya telah menikah.
Menurut Amir Mahmoud Harrichi, profesor bidang kesejahteraan sosial di Universitas Teheran, jumlah perempuan pekerja seks di Teheran kini bisa dua kali lipat angka tersebut.
Mengingat sangat sedikitnya kesempatan kerja untuk perempuan di Iran dan tidak ada kesetaraan gender, banyak perempuan hidup di bawah garis kemiskinan, dan mereka terpaksa menjajakan seks demi uang. Meski, risiko besar menanti mereka.
"Para pria tahu prostitusi ilegal di Iran dan memberikan hukuman sangat berat pada perempuan, maka mereka menggunakannya untuk keuntungan mereka," kata seorang pekerja seks paruh waktu, Mahnaz, mahasiswi di sebuah universitas di Teheran.
"Itu terjadi beberapa kali kepada saya, saya melakukan hubungan seks dengan seseorang tapi dia menolak membayar dan saya tidak bisa pergi ke pihak berwajib."
Mahnaz berkata biaya hidup di Teheran sangat tinggi dan melakukan beberapa pekerjaan lain tidak dapat membiayai hidupnya.
'Nikah mut'ah'
Setelah Revolusi Islam terjadi di Iran pada 1979, sejumlah pekerja seks perempuan dieksekusi oleh rezim baru dan rumah-rumah bordil ditutup. Kemudian, muncul upaya untuk melegitimasi penggunaan perempuan untuk seks saja, praktik yang dikenal dengan nama zawaj al-mutaa - secara harafiah berarti 'pernikahan untuk kenikmatan'.
Praktik ini, juga dikenal sebagai kawin kontrak, menentukan durasi pernikahan dan kompensasi yang diberikan kepada istri sementara, menjadi lebih umum terjadi.
Di bawah sistem Islam Syiah, kawin kontrak diperbolehkan, dan tidak dianggap sebagai tindakan prostitusi. Praktik ini juga sangat jamak terjadi di kota-kota suci seperti Mashhad dan Qom, yang menjadi tujuan ziarah kaum Syiah dari seluruh dunia.
Berbagai video di media sosial menunjukkan pria-pria mencari seks di Mashhad, sementara pejabat kota berkilah mereka melakukan nikah sementara.
Sekarang, ada banyak sekali unggahan online yang menawarkan nikah mut'ah di Iran, termasuk di Telegram dan WhatsApp, dan mereka mengaku telah mendapatkan izin dari pemerintah.
Salah satu alasan yang mendorong naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang mendasari tumbuhnya angka prostitusi adalah sanksi-sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh AS atas program nuklir Iran. Sejak tahun lalu, inflasi di Iran naik 48,6%. Angka pengangguran juga naik dan bagi mereka yang sudah punya pekerjaan, upah mereka sangat sedikit.
Dengan semua alasan ini, jumlah pria berusia 20-35 tahun yang menjajakan seks pada perempuan dengan imbalan uang juga naik. Fenomena pekerja seks pria tersebar di kota-kota besar di Iran.
Salah satu di antaranya adalah Kamyar, yang berusia 28 tahun dan bekerja sebagai kasir supermarket. Dia tinggal bersama orang tuanya hingga tahun lalu dan tidak dapat membiayai hidup tanpa bantuan ayahnya. Sekarang, dia mampu menyewa apartemen di pusat Kota Teheran, dan berharap suatu hari nanti bisa pindah ke luar negeri.
"Saya menemukan pelanggan dari akun-akun media sosial saya," dia mengaku. "Perampuan-perempuan ini biasanya berumur 30-an dan 40-an tahun. Mereka memperlakukan saya dengan baik, membayar mahal, dan saya selalu menginap di rumah mereka. Dari mulut ke mulut, saya mendapatkan banyak klien."
Kamyar adalah seorang insinyur teknik terlatih, namun dia tidak melihat masa depan di bidang yang disukainya ini.
"Saya selalu ingin menjadi insinyur. Tapi di luar sana, tidak ada pekerjaan untuk saya," katanya.
"Saya pernah jatuh cinta pada seorang gadis, tapi kami tidak direstui untuk menikah karena saya tidak punya pekerjaan tetap. Saya tidak bangga dengan pekerjaan yang saya lakoni sekarang. Tidur dengan orang asing demi uang bukanlah mimpi saya saat saya tumbuh.
"Tentu saja, saya merasa malu. Tapi dengan ini, saya bisa membiayai hidup. Saya berada di negara di mana satu-satunya masa depan yang terlihat bagi saya adalah kesengsaraan."
Nama-nama mereka yang bekerja sebagai penjaja seks dalam artikel ini telah diubah untuk melindungi identitas mereka.