Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Kisah Para Perempuan Korsel yang Menjadi Seniman Tato
Narr, baru dua tahun menjalani karier sebagai seniman tato di Korea Selatan ketika dirinya mengalami hal yang menakutkan.
"Saat sesi tato akan berakhir, saya meminta klien untuk memeriksa tato di cermin," katanya.
"Dia malah membuka resleting celananya, memperlihatkan bahwa dia tidak mengenakan celana dalam."
Narr dengan sopan memintanya untuk "menarik resleting karena itu terbuka". Narr lalu meninggalkan ruangan. Namun, ketika Narr kembali, kliennya itu tetap memperlihatkan tubuhnya.
"Dia berkata sesuatu seperti, 'Apakah kamu ingin syuting film denganku? Ada ranjang di sini dan tidak ada orang'," paparnya.
"Saya sangat takut. Saya meminta dia agar tidak bercanda. Saya menanggapi dengan santai karena takut jika saya menunjukkan kemarahan atau ketakutan justru akan membuat keadaan menjadi lebih buruk. Jika itu terjadi, saya tetap tidak akan dapat melaporkannya ke polisi," tutur perempuan tersebut.
Narr dilematis. Ia merasa tidak bisa melapor ke polisi karena putusan Mahkamah Agung Korsel pada 1992 menyatakan kegiatan menato digolongkan sebagai prosedur medis. Artinya, Narr harus memiliki izin layaknya dokter untuk membuat tato.
Mereka yang menato tanpa izin medis bakal menghadapi hukuman berat, termasuk lima tahun penjara atau denda hingga 50 juta won (Rp560,8 juta).
Sejauh ini tidak ada data resmi yang mengungkap jumlah seniman tato yang telah dituntut.
Akan tetapi, Serikat Tato Korea sudah mengadvokasi setidaknya 50 orang setiap tahun dan mereka percaya kasus hukum soal tato lebih banyak dari yang mereka tangani. Diperkirakan ratusan kasus terjadi setiap tahun dan mayoritas berujung pada denda terhadap seniman tato.
Sebagian besar seniman tato di Korea Selatan, seperti Narr, bukanlah praktisi medis berlisensi.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel pada 2021 memperkirakan ada sekitar 350.000 seniman tato di negara tersebut. Sebagian besar dari mereka fokus pada riasan semi-permanen untuk area seperti alis, bibir, dan garis rambut.
Serikat Tato memperkirakan jumlah seniman rajah bisa berkurang sampai 20.000 bahkan 30.000 orang jika seniman tato semi permanen dikeluarkan dari kategori seniman tato secara umum.
Rancangan undang-undang perlindungan
Dalam beberapa tahun terakhir, pengadilan Korea Selatan telah membebaskan beberapa profesional non-medis atas tuduhan membuat tato. Hal ini menandai perubahan sikap negara terhadap para seniman tato.
Tahun lalu, baik Partai Kekuatan Rakyat (PPP) yang berkuasa maupun partai oposisi Partai Demokratik Korea (DPK), mengajukan Undang-Undang Seniman Tato, yang bertujuan melegalkan seniman tato non-medis.
"Saya sering berpikir Kongres adalah tempat terakhir yang benar-benar mencerminkan opini publik," kata perwakilan DPK, Kang Sun-woo, yang memperkenalkan RUU serupa pada bulan Januari.
Ia menambahkan bahwa hanya 1,4% orang di Korea Selatan yang ditato seorang profesional medis. Kondisi ini turut mendorong perlunya reformasi hukum.
Namun, Asosiasi Medis Korea (KMA) baru-baru ini merilis pernyataan berisi penolakan keras dan kekhawatiran atas usulan tersebut.
"Tato tidak hanya merusak kulit tetapi juga dapat menimbulkan risiko kesehatan lainnya, termasuk gangguan pada diagnosis kanker," bunyi pernyataan itu.
"Tato pada dasarnya adalah prosedur medis, dan popularitasnya yang semakin meningkat tidak mengurangi risiko terkait," kata asosiasi tersebut.
Seorang dokter kulit dan anggota KMA, Dr. Lee Kwang-jun, mengatakan jika undang-undang disahkan, undang-undang tersebut harus disertai dengan aturan yang jelas tentang perizinan.
"Peraturan ketat untuk memastikan tato dilakukan dengan cara yang higienis dan aman" untuk melindungi pelanggan, kata Kwang-jun.
Riset Gallup Korea pada Juni 2021 menunjukkan jika layanan tato semi permanen dikategorikan layaknya tato permanen, maka seperempat orang di Korea Selatan memiliki tato. Sementara, jika layanan tato semi permanen dianggap berbeda dengan kategori permanen maka jumlahnya turun menjadi 5%.
Selain melindungi pelanggan, undang-undang baru juga akan melindungi seniman tato seperti Narr.
Berkaca dari pengalamannya dulu, Narr berhasil membujuk pelanggan yang membuka celana untuk pergi dari studionya.
Tetapi pengalaman itu membuatnya memutuskan menutup studio tatonya beberapa bulan kemudian. Kini, Narr bekerja di studio bersama dengan beberapa seniman tato lainnya.
"Saya merasa jauh lebih nyaman di sana," katanya.
Salah satu teman dekatnya, Banul, yang telah menjadi seniman tato selama 12 tahun, juga pernah menghadapi masalah saat melayani klien.
Pada tahun ketiganya menato, salah satu kliennya melaporkannya ke polisi sekitar dua bulan setelah ditato. Kliennya mengeklaim tatonya telah "tercoreng" dan ia ingin tato itu dihapus. Klien tersebut menuntut Banul lima juta won Korea (Rp56,8 juta).
Banul meminta kliennya untuk memberikan bukti. Tetapi, menurut Banul, kliennya itu tidak pernah melakukannya. Jadi Banul menolak menyerahkan uang.
Beberapa hari kemudian, kliennya mendatangi studionya bersama seorang polisi.
"Saya tidak tertangkap basah saat membuat tato, jadi saya akhirnya membayar denda satu juta won (Rp11,2 juta)," kata Banul, sambil mengakui bahwa keadaannya saat itu bisa saja jauh lebih buruk.
Selama enam bulan setelah kasus itu, sang klien tersebut terus mengirim pesan yang mengganggu Banul. Hal ini sampai membuat Banul merasa "tidak terlindungi hukum".
Citra buruk orang dengan tato
Hingga kini mayoritas warga Korea Selatan masih memandang buruk orang dengan tato.
Hal ini tercermin dari riset baru Hankook yang menemukan sekitar 60% warga negeri itu memiliki pandangan negatif mengenai tato serta orang bertato.
Pandangan sinis warga mengenai orang bertato pernah dirasakan Ahn Lina, seorang mantan seniman tato. Dia menyebut dirinya sebagai salah satu generasi pertama influencer tato di negara itu.
Lina memiliki 300 tato yang menutupi tubuhnya dari leher hingga kaki.
Di media sosial Lina telah mengumpulkan lebih dari 260.000 pengikut di Instagram dan hampir 100.000 di YouTube.
"Saya menerima begitu banyak kebencian," katanya. "Dalam beberapa kasus terburuk, saya bangun tidur dan mendapat 1.500 komentar kebencian setelah memposting."
Ketika dia membagikan berita kelahiran putrinya, dia menerima berbagai komentar, antara lain: "Seorang ibu sepertimu seharusnya melakukan aborsi." Kemudian, "ASI-mu akan terasa seperti tinta."
Akun media sosial Lina juga dibanjiri ratusan pesan seksual, banyak yang disertai foto alat kelamin.
Pelecehan di media sosial jadi salah satu faktor Lina memutuskan untuk meninggalkan bisnis tato pada 2023. Sejak saat itu, ia bekerja paruh waktu sebagai pelayan, pengantar barang, dan model.
Namun, hingga kini tatonya masih menuai kritik. "Saat saya pergi ke pemandian umum, para lansia menepuk punggung saya dan mencoba menghapus tato saya dengan air liur mereka," katanya.
Menurut Lee Yu-jin, jurnalis di surat kabar The Hankyoreh di Korea Selatan, kritik dan stigma terhadap perempuan bertato merupakan hal yang umum.
"Perempuan bertato sering kali dianggap lebih impulsif, antisosial, dan suka berganti-ganti pasangan, sehingga dianggap tidak layak menikah," ungkapnya.
Yu-jin membahas isu tubuh dan gender melalui artikel Bodyology miliknya, yang membahas persepsi publik tentang tato.
Ia menjelaskan tato menjadi semakin populer di kalangan anak muda, terutama perempuan, pada tahun 2010-an. Menurutnya rajahan di tubuh adalah bentuk ekspresi diri.
Namun, hal ini membuat para perempuan berseberangan dengan pandangan konservatif yang menganggap bahwa perempuan "normal" adalah mereka yang bisa menyesuaikan diri dengan apa yang dinilai sebagai peran tradisional.
Karier di luar negeri
Kondisi ini membuat beberapa seniman tato telah meninggalkan Korsel untuk mencari kebebasan dan pengakuan yang lebih besar.
Salah satunya adalah Gong Greem, yang telah menjadi seniman tato selama lebih dari tujuh tahun. Ia telah bekerja di Eropa dan AS. Tahun ini, ia berencana pindah ke London, tempat dulu dia pernah bekerja dan merasa "dihormati sebagai seniman".
"Lingkungan kerja di Seoul bisa sangat membatasi bagi seniman tato," jelas Greem. "Saya pikir lebih banyak seniman tato yang ingin mengekspresikan kepribadian dan visi artistik mereka dengan lebih baik memilih untuk bekerja di luar negeri."
Meski begitu sebagian seniman tato berharap bahwa aturan baru akan segera berlaku di Korea Selatan.
Namun bagi Narr, segala sesuatunya berjalan terlalu lambat.
Narr baru-baru ini hamil dan sekarang sedang merenungkan masa depannya.
"Begitu saya menyadari bahwa saya hamil, saya benar-benar berencana untuk pindah ke negara lain untuk bekerja karena saya tidak ingin orang-orang menilai pekerjaan saya—dan mereka juga akan menilai bayi saya," katanya.
"Saya tidak dilindungi secara hukum sebagai seniman tato, yang membuat pekerjaan ini tidak stabil. Saya semakin tua dan jika saya punya anak, saya khawatir tentang bagaimana saya akan menjelaskannya kepadanya."
"Saya pikir Korea Selatan perlu mengubah hukumnya dan beberapa orang perlu mengubah pikiran mereka."
Narr, Banul dan Gong Greem adalah nama yang dipakai saat bekerja sebagai seniman tato.