Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten Media Partner
Kisah Para Remaja Perempuan Afganistan yang Jadi Penenun Karpet akibat Dilarang Bersekolah oleh Taliban
15 April 2025 10:40 WIB
Kisah Para Remaja Perempuan Afganistan yang Jadi Penenun Karpet akibat Dilarang Bersekolah oleh Taliban

Sejak Taliban merebut kekuasaan di Afganistan pada 2021, anak perempuan di atas usia 12 tahun di negara itu dilarang bersekolah. Taliban juga membatasi jenis pekerjaan yang boleh dilakukan perempuan.
Kondisi ini memaksa banyak perempuan Afganistan bekerja sebagai penenun karpet, profesi yang menuntut jam kerja panjang. Sektor ini merupakan satu dari sedikit bidang pekerjaan, menurut aturan Taliban, dapat dijalankan para perempuan.
Menurut Persatuan Bangsa-Bangsa, sekitar 1,2 sampai 1,5 juta warga Afghanistan menggantungkan pendapatan pada industri tenun karpet. Dari seluruh pekerja di industri tenun karpet, sekitar 90% merupakan perempuan.
Shakila, 22 tahun, adalah mantan pelajar yang pernah bercita-cita menjadi pengacara. Dia bercerita bagaimana terbatasnya kesempatan bagi para perempuan untuk bisa mengakses pekerjaan yang mereka dambakan.
"Kami tidak bisa melakukan hal lain selain menenun karpet," kata Shakila, yang kini memimpin usaha penenunan karpet milik keluarga.
"Tidak ada pekerjaan lain," ujarnya.
Shakila berkata, bisnis tenun karpet menghasilkan keuntungan yang kecil—kondisi yang menurutnya berkebalikan dengan situasi di negara lain.
Suatu kali, sebuah karpet yang dibuat oleh Shakila dan dua saudara perempuannya dipamerkan di sebuah ajang di Kazakhstan pada 2024. Karya karpet sutra seluas 13 meter persegi itu lalu terjual seharga $18.000 (Rp302 juta).
Di Afghanistan, kata Shakila, mereka harus menjual karpet dengan jenis yang sama dengan harga yang jauh lebih murah. Situasi itu disebutnya menjerat para pekerja dalam pekerjaan dengan upah rendah.
Sebuah karpet tenun yang dikerjakan secara manual dengan tangan rata-rata dijual antara $100-$150 (Rp1,6 juta-Rp2,5 juta) per meter persegi.
"Musuh pendidikan perempuan"
Shakila dan keluarganya berasal dari Dasht-e Barchi, sebuah daerah yang dikenal sebagai permukiman kaum miskin di pinggiran barat Kabul.
Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana dengan dua kamar tidur. Mereka berbagi rumah dengan orang tua mereka yang sudah lanjut usia dan tiga saudara laki-laki mereka.
Salah satu kamar di rumah itu telah diubah menjadi bengkel pembuatan karpet.
"Saya belajar menenun saat berusia 10 tahun," kata Shakila. "Ayah saya mengajari saya ketika dia sedang dalam masa pemulihan dari kecelakaan mobil."
Shakila bercerita soal bagaimana dia dan saudara perempuannya harus mengubur cita-cita akibat kebijakan Taliban.
Sebelum Taliban berkuasa, baik Shakila dan dua saudarinya adalah siswa di Sekolah Menengah Sayed al-Shuhada.
Kehidupan mereka berubah setelah pengeboman mematikan terjadi di sekolah itu pada tahun 2021. Peristiwa itu menewaskan 90 orang, sebagian besar adalah pelajar putri.
Pengeboman itu juga melukai setidaknya 300 orang.
Khawatir tragedi serupa bakal terjadi, ayah Shakila mengambil keputusan yang menyakitkan: meminta anak-anak perempuannya berhenti bersekolah.
Saudara perempuan Shakila, Samira (18 tahun), yang pernah memupuk cita-cita menjadi seorang jurnalis, terpaksa membuang angannya. Sementara Mariam (13) terpaksa berhenti bersekolah bahkan sebelum ia tahu apa cita-citanya.
Samira, yang berada di sekolah saat serangan bom itu terjadi, mengalami trauma. Ia berbicara dengan gagap dan kesulitan mengekspresikan diri.
Samira berkata akan melakukan apa saja untuk bisa kembali melanjutkan pendidikan formal.
"Saya sangat ingin menyelesaikan sekolah saya," ujarnya.
"Setelah Taliban berkuasa, situasi keamanan telah membaik dan bom bunuh diri telah berkurang.
"Tapi sekolah-sekolah masih ditutup. Itulah mengapa kami harus bekerja," kata Samira.
Pemerintahan sebelumnya menuduh Taliban terlibat dalam serangan tersebut. Namun Taliban membantahnya.
Shakila, Samira, dan Mariam percaya bahwa penguasa saat ini adalah "musuh pendidikan anak perempuan".
Taliban telah berulang kali menyatakan bahwa anak-anak perempuan akan diizinkan kembali ke sekolah. Namun hak itu akan kembali ke mereka setelah setelah Taliban "merampungkan sejumlah kebijakan", termasuk penyelarasan kurikulum dengan nilai-nilai Islam.
Akan tetapi sejauh ini, tidak ada langkah konkret yang diambil untuk mewujudkannya.
"Kami para gadis tidak lagi memiliki kesempatan untuk belajar"
Di bengkel Elmak Baft di Kabul, 300 perempuan dan anak perempuan bekerja di ruang yang sempit, dengan udara yang pekat dan menyesakkan.
Di cabang lain, 126 perempuan muda bekerja dengan 23 alat tenun.
Salehe Hassani (19) dulunya adalah seorang murid yang berdedikasi, bersekolah hingga usia 17. Ia menghabiskan dua tahun untuk mengajar dan sempat menekuni dunia jurnalistik selama tiga bulan.
"Kami para gadis tidak lagi memiliki kesempatan untuk belajar," katanya sambil tersenyum tipis.
"Keadaan telah merenggut hal itu dari kami, jadi kami beralih ke bengkel," kata Salehe.
Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Taliban mencatat bahwa pada Januari-Juni 2024, Afganistan mengespor lebih dari 2,4 juta kilogram karpet, senilai $8,7 juta (Rp146 miliar). Tujuan ekspor karpet itu adalah Pakistan, India, Austria, dan Amerika Serikat.
Namun, di balik ledakan ekspor ini terdapat ironi.
Para penenun karpet mengatakan bahwa mereka mendapatkan sekitar $27 (Rp453.000) untuk setiap meter persegi karpet. Biasanya, mereka membutuhkan waktu sekitar satu bulan untuk memproduksinya.
Itu berarti upah mereka kurang dari satu dolar per hari, meskipun bekerja dalam waktu yang panjang dan melelahkan, yang bisa mencapai 10 atau 12 jam.
Nisar Ahmad Hassieni, kepala perusahaan Elmak Baft, berkata bahwa dia membayar karyawannya antara $39 (Rp655.000) dan $42 (Rp706.000) per meter persegi.
Nisar juga membuat klaim bahwa mereka dibayar setiap dua minggu, dengan hitungan rata-rata jam kerja delapan jam per hari.
Nisar berkata, setelah Taliban berkuasa, institusinya membuat misi untuk membantu warga yang mengalami ketertinggalan akibat penutupan sekolah-sekolah.
"Kami mendirikan tiga lokakarya untuk menenun karpet dan memintal wol," katanya.
"Sekitar 50-60% dari karpet-karpet ini diekspor ke Pakistan, sementara sisanya dikirim ke China, Amerika Serikat, Turki, Prancis, dan Rusia untuk memenuhi permintaan pelanggan."
Di sisi lain perekonomian Afghanistan lesu. PBB mencatat Produk Domestik Bruto negara itu menyusut sebesar 29% sejak tahun 2020, seiring pembatasan terhadap perempuan yang menelan biaya hingga $1 miliar (Rp16 triliun).
Pada tahun 2020, perempuan hanya mencapai 19% dari total angkatan kerja. Ini empat kali lebih sedikit daripada laki-laki - dan jumlah tersebut semakin menurun di bawah pemerintahan Taliban.
Terlepas dari tantangan yang ada, semangat para perempuan muda ini tetap tidak pernah padam.
Saleha, dengan penuh tekad dan harapan, bercerita bahwa ia telah mendedikasikan waktu selama tiga tahun untuk belajar bahasa Inggris.
"Meskipun sekolah dan universitas ditutup, kami menolak untuk menghentikan pendidikan kami," katanya.
Suatu hari nanti, ia menambahkan, ia berencana untuk menjadi seorang dokter terkemuka - dan membangun rumah sakit terbaik di Afghanistan.