Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kisah Pasutri yang Menuntut Google dan Mendapat Ganti Rugi Rp40 Triliun
10 November 2024 12:40 WIB
Kisah Pasutri yang Menuntut Google dan Mendapat Ganti Rugi Rp40 Triliun
“Google telah menghilangkan kami dari internet.”
Pada Juni 2006, situs perbandingan harga bernama Foundem yang dikembangkan oleh Shivaun Raff dan suaminya, Adam, akhirnya diluncurkan.
Sama seperti pebisnis baru lainnya, peluncuran produk ini terasa mendebarkan dan menakutkan bagi mereka.
Shivaun dan Adam mengorbankan pekerjaan bergaji tinggi mereka demi merintis Foundem.
Pasutri tersebut tak menduga bahwa mereka akan menghadapi situasi buruk yang berujung pada gugatan hukum selama belasan tahun.
Alih-alih lepas landas dan bisa dikenal khalayak luas di dunia maya, Foundem justru terkena penalti yang dipicu oleh salah satu filter spam otomatis mesin pencari Google.
Konsekuensinya, situs Foundem berada di urutan terbawah dalam daftar hasil pencarian untuk sejumlah kata kunci seperti “perbandingan harga” dan “perbandingan belanja”.
Foundem baru akan mendapat keuntungan ketika pelanggan mengeklik produk di situs mereka yang kemudian membawa pembeli mengunjungi situs penyedia produknya.
Penalti dari Google itu membuat Foundem kesulitan menghasilkan uang.
“Kami memantau situs kami dan berapa peringkatnya, kami melihat semua anjlok seketika,” kata Adam.
Itulah awal dari gugatan hukum selama 15 tahun melawan Google.
Pada Juni 2017, Komisi Eropa menyatakan Google telah menyalahgunakan dominasinya di pasar dan harus membayar denda sebesar €2,4 miliar (Rp40 triliun).
Kasus ini dianggap menandai momen penting terkait regulasi terhadap perusahaan teknologi raksasa.
Google menghabiskan waktu tujuh tahun untuk melawan putusan Komisi Eropa itu. Namun pada September tahun ini, Pengadilan Eropa menolak permohonan banding Google.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Dalam wawancara pertama mereka sejak putusan pengadilan, Shivaun dan Adam menuturkan bahwa awalnya mereka mengira situs mereka anjlok karena ada kesalahan.
“Awalnya kami mengira ada kesalahan yang tidak disengaja, jadi kami terdeteksi sebagai spam,” kata Shivaun kepada program The Bottom Line Radio 4 ,
“Kami berasumsi bahwa kami harus membahas masalah ini ke saluran yang tepat, jadi masalah ini bisa teratasi," imbuh perempuan berusia 55 tahun itu.
“Kalau lalu lintas internet ditolak, berarti tidak bisa berbisnis,” sambung Adam, 58.
Mereka berulang kali mengajukan permintaan kepada Google agar pembatasan itu dicabut. Namun setelah lebih dari dua tahun, tidak ada yang berubah. Mereka bahkan mengaku tidak mendapat tanggapan apa pun.
Situs mereka “masuk peringkat yang sangat normal” di mesin pencarian lain, tapi itu tidak terlalu membantu.
“Semua orang menggunakan Google,” kata Shivaun.
Mereka kemudian mengetahui bahwa situs mereka bukanlah satu-satunya yang dirugikan oleh Google. Ada sekitar 20 penggugat termasuk Kelkoo, Trivago, dan Yelp ketika Google dinyatakan bersalah dan didenda pada tahun 2017.
Adam, yang berkarier di bidang superkomputer, mengatakan bahwa dia mendapat “pencerahan” untuk membangun Foundem saat merokok di depan kantor tempat dia bekerja sebelumnya.
Saat itu, situs pembanding harga masih dalam tahap awal dan masing-masing situs fokus pada satu produk tertentu.
Foundem berbeda karena memungkinkan pelanggan membeli berbagai macam produk, mulai dari pakaian sampai tiket pesawat.
“Tidak ada yang bisa menyamai Foundem,” kata Shivaun yang juga pernah menjadi konsultan perangkat lunak untuk sejumlah merek besar dunia.
Komisi Eropa, dalam keputusannya pada tahun 2017, menemukan bahwa Google secara ilegal mempromosikan fitur perbandingan harganya sendiri dalam hasil pencarian, dan menurunkan fitur serupa dari para pesaingnya .
10 tahun sebelumnya, ketika Foundem diluncurkan, Adam merasa tak punya alasan untuk berasumsi bahwa Google secara sengaja bersikap anti-persaingan dalam belanja daring.
“Saat itu, mereka bukan pemain yang serius,” katanya.
Baru pada akhir tahun 2008 pasangan ini mencurigai ada kecurangan.
Tiga minggu sebelum Natal, mereka mendapat pesan yang memperingatkan bahwa situs mereka tiba-tiba menjadi lambat untuk diakses.
Mereka mengira telah terjadi serangan siber.
“Tapi ternyata itu cuma gara-gara banyak orang mulai mengunjungi situs kami,” kata Adam tertawa.
Program The Gadget Show di Channel 5 bahkan baru saja menobatkan Foundem sebagai situs pembanding harga terbaik di Inggris.
“Itu sangat berarti, karena kami kemudian menghubungi Google dan mengatakan, coba lihat, tidak ada untungnya bagi pengguna Anda kalau Anda membuat mereka tidak bisa menemukan situs kami.”
“Tapi tetap saja itu tidak dihiraukan oleh Google.”
“Saat itulah kami sadar, oke, kami harus berjuang,” kata Adam.
Mereka mencoba mengangkat kasus ini lewat media, namun tidak begitu berhasil.
Mereka lalu membawa kasus ini ke regulator di Inggris, Amerika Serikat, dan Belgia.
Di Belgia, kasus ini akhirnya ditangani oleh Komisi Eropa yang membuka investigasi antimonopoli pada November 2010.
Pasangan ini untuk pertama kalinya bertemu dengan para regulator di sebuah kabin portabel di Brussel.
“Salah satu hal yang mereka tanyakan adalah, kalau memang benar ini masalah sistemik, kenapa baru Anda orang pertama yang kami temui?” kenang Shivaun.
“Kami menjawab bahwa kami tidak 100% yakin, tapi kami menduga orang-orang takut karena semua bisnis di internet bergantung pada trafik Google sebagai sumber kehidupan.”
'Kami tidak suka dirundung'
Pasangan ini sedang berada di sebuah kamar hotel di Brussel, yang berjarak hanya ratusan meter dari gedung Komisi Eropa, ketika komisioner persaingan usaha Margarethe Vestager akhirnya membacakan putusan yang telah ditunggu-tunggu oleh mereka dan situs-situs belanja lainnya.
Namun putusan itu tidak serta merta mereka rayakan. Fokus mereka selanjutnya adalah memastikan Komisi Eropa melaksanakan keputusannya.
“Saya rasa sangat disayangkan bagi Google bahwa mereka melakukan hal tersebut kepada kami,” kata Shivaun.
“Kami berdua dibesarkan dengan khayalan bahwa kami dapat membuat perbedaan, dan kami benar-benar tidak suka dirundung.”
Bahkan kekalahan terakhir Google dalam kasus ini bulan lalu tidak menjadi akhir bagi pasangan ini.
Mereka percaya bahwa Google tetap anti-persaingan dan Komisi Eropa sedang menyelidikinya.
Pada bulan Maret tahun ini, di bawah Undang-Undang Pasar Digital yang baru, komisi tersebut membuka penyelidikan terhadap perusahaan induk Google, Alphabet, mengenai dugaan perusahaan tersebut terus mengutamakan produk dan jasanya dalam hasil pencarian.
“Keputusan CJEU [Pengadilan Eropa] [pada tahun 2024] hanya berkaitan dengan bagaimana kami menampilkan hasil produk dari tahun 2008-2017,” kata juru bicara Google.
“Perubahan yang kami lakukan pada 2017 untuk mematuhi keputusan Komisi Eropa telah berhasil selama lebih dari tujuh tahun, itu menghasilkan miliaran klik untuk lebih dari 800 situs perbandingan harga.”
“Oleh sebab itu, kami terus menentang keras klaim yang dibuat oleh Foundem dan akan melawannya saat kasus ini dibahas oleh pengadilan.”
Keluarga Raff juga mengajukan gugatan ganti rugi perdata terhadap Google, yang prosesnya akan dimulai pada semester pertama 2026.
Kalau pun kemenangan itu akhirnya mereka dapatkan, itu akan terasa pahit mengingat mereka terpaksa menutup Foundem pada tahun 2016.
Pertarungan panjang melawan Google juga sangat melelahkan bagi mereka.
“Andai kami tahu ini akan memakan waktu bertahun-tahun seperti ini, kami mungkin tidak akan melakukannya,” tutur Adam.