Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten Media Partner
Kisah Pemberontakan Masyarakat Adat yang Memicu Terbentuknya Republik Dule yang Berumur Pendek di Panama
13 April 2025 10:50 WIB
Kisah Pemberontakan Masyarakat Adat yang Memicu Terbentuknya Republik Dule yang Berumur Pendek di Panama

Pemberontakan yang dilakukan masyarakat adat di Panama seratus tahun lalu menciptakan sebuah republik masyarakat adat. Meski berumur pendek, pengaruh revolusi ini masih terasa hingga kini.
Seratus tahun yang lalu, tepatnya pada 1925, masyarakat adat Guna mendiami wilayah luas di kepulauan Guna Yala—juga dikenal sebagai San Blas—di utara Panama.
Tak terima dengan kontrol dari pemerintah Panama yang baru terbentuk, penduduk Guna melancarkan sebuah revolusi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Pemberontakan ini mengubah persepsi terhadap masyarakat adat pada permulaan abad ke-20.
Pada 1903, Panama memulai era kemerdekaan dan pembangunan setelah memisahkan diri dari Kolombia,.
Tujuan utama Panama terfokus pada penguasaan wilayah melalui penerapan otoritas.
Kewenangan ini dilaksanakan melalui pendirian pusat-pusat administrasi di berbagai wilayah Panama.
Kala pemerintah baru ini mulai berkuasa di kepulauan San Blas, tempat tinggal masyarakat Guna—yang juga dikenal sebagai Kuna atau Dule—selama puluhan tahun, mereka mendapat perlawanan yang kuat dan tidak disangka-sangka.
Perlawanan ini akhirnya menjadi salah satu revolusi masyarakat adat yang paling diingat dalam sejarah Amerika Latin.
"Aparat kepolisian yang dikirim Presiden Belisario Porras tidak hanya ingin menguasai wilayah tempat tinggal masyarakat Guna, tetapi juga menghapus kebiasaan mereka dan tidak menghormati pemimpin-pemimpin adat," kata James Howe kepada BBC Mundo.
Howe adalah antropolog dari Universitas MIT dan penulis penelitian yang mengupas Revolusi Dule, revolusi yang dilakukan masyarakat adat Guna pada abad ke-20.
Dule adalah kata yang digunakan masyarakat Guna untuk menyebut diri mereka dalam bahasa lokal.
Howe mencatat bahwa selain kontrol pemerintah, ada faktor-faktor lain yang menjadi bagian dari konflik dan penyelesaiannya.
"Masyarakat adat Guna saat itu memiliki kasus albino yang tinggi di antara populasi mereka. Hal ini menarik perhatian beberapa akademisi Amerika yang berada di Panama dan memainkan peran penting dalam pemberontakan tersebut," jelas Howe.
Berkat tokoh-tokoh seperti Nele Kantule dan Simral Colman, masyarakat adat tidak hanya bersatu untuk menolak kontrol pemerintah Panama.
Mereka juga membentuk Republik Dule yang singkat tetapi dikenang sebagai salah satu upaya pertama masyarakat adat untuk memperjuangkan otonomi dan penentuan nasib sendiri atas wilayah mereka.
Mengubah adat istiadat
Pada 3 November 1903, Panama akhirnya meraih kemerdekaan definitif dari Kolombia setelah beberapa kali gagal pada abad ke-19.
Proses pencapaian kemerdekaan Panama ini antara lain melibatkan pembukaan jalan untuk pembangunan Terusan Panama oleh investor Amerika.
Selama bertahun-tahun setelah terusan itu dibangun, perhatian pemerintah Panama lebih tertuju ke proyek itu alih-alih penduduk di daerah terpencil, khususnya masyarakat adat.
"Masyarakat adat dibantu misionaris Katolik dan Protestan. Tapi mereka sendirian melawan orang-orang bukan adat yang mau mengambil sumber daya alam di tanah mereka, seperti karet," kata Howe.
Pada 1918, setahun setelah Terusan Panama dibuka, Presiden Porras yang baru terpilih mulai memperhatikan masyarakat adat.
Namun karena terus diganggu pendatang, masyarakat adat setuju untuk mengakui pemerintah pusat dan kehadiran polisi di wilayah mereka.
Akan tetapi hal ini justru mendatangkan membawa masalah. Polisi bertindak kasar dan mau mengubah adat istiadat masyarakat Guna.
Aparat juga tidak menghormati pemimpin adat masyarakat Guna.
"Contohnya jelas sekali sewaktu ada perintah melarang masyarakat Guna memakai perhiasan tradisional mereka."
"Lebih parah lagi, perempuan dipaksa memakai baju seperti orang Barat. Ini membuat masyarakat sangat marah," tutur Howe.
Antara tahun 1921 dan 1925, tindak kekerasan terus terjadi.
Lalu muncul pemimpin-pemimpin masyarakat adat seperti Nele Kantule dan Sidral Colman yang berjuang melawan kekerasan pemerintah Porras.
Kantule menjadi terkenal di komunitasnya karena dianggap bisa melihat masa depan. Selain itu, dia juga seorang pemimpin yang dihormati.
Kantule menerima banyak keluhan warga tentang polisi, terutama perlakuan aparat terhadap kaum perempuan yang tidak diizinkan mengenakan mola, kain tradisional berwarna buatan tangan yang menjadi ciri khas Guna.
Sementara Colman, yang berusia lebih dari 60 tahun ketika revolusi dimulai, sangat dihormati di masyarakat karena mengetahui adat istiadat leluhur dan resep tradisional untuk menyembuhkan penyakit.
Kantule dan Coleman memutuskan untuk membentuk perlawanan terhadap pemerintah Porras. Mereka juga yang merencanakan pembentukan negara baru: Republik Dule.
"Sebelum 1924, pemerintah Porras mengira perlawanan masyarakat Guna dapat mudah dipadamkan polisi Panama. Mereka tidak menyangka bahwa masyarakat Guna memiliki sekutu yang kuat," kata Howe.
Anak-anak Bulan
Selama pembangunan Terusan Panama, banyak orang asing datang ke negara Amerika Tengah.
Tujuan mereka bukan hanya sekadar ambil bagian dalam proyek besar tersebut, melainkan untuk mendapatkan sumber daya alam.
Salah satunya adalah insinyur Richard Oglesby Marsh.
"Marsh adalah tokoh penting dalam revolusi ini karena, sebagai orang Amerika, dia tertarik kepada masyarakat Guna karena tingginya kasus albino di antara mereka," ujar Howe.
Marsh dikirim ke Panama oleh perusahaan raksasa otomotif seperti Ford.
Mereka bertujuan mencari tempat untuk eksploitasi karet di hutan Darien dan wilayah lain di Panama untuk memasok bahan baku produksi ban.
Marsh memperhatikan tingginya prevalensi albinisme di antara masyarakat adat Guna. Bahkan, dia mulai menyebut mereka "anak-anak Bulan."
"Marsh menjadi sangat tertarik pada topik ini sampai-sampai meninggalkan misi komersialnya."
"Dia mengoordinasi serangkaian ekspedisi ilmiah. Beberapa orang Guna kemudian ikut ke AS dalam penelitian itu," catat Howe.
Penelitian Marsh mendapat dukungan dari Universitas Rochester dan Institut Smithsonian di Washington.
Pada saat yang bersamaan, Marsh menyadari situasi penindasan yang dialami masyarakat adat di Panama.
"Anehnya, justru pemerintah Panama sendiri yang awalnya mendukung Marsh untuk mengunjungi wilayah-wilayah negara tersebut bersama kelompok ilmuwan."
"Segera saja Marsh menjadi sekutu pemberontakan," tutur akademisi itu.
Marsh kemudian mendorong Kantule dan Colman untuk mendeklarasikan kemerdekaan negara Dule.
Kemajuan masyarakat Guna
Ketegangan antara masyarakat Guna dan pemerintah pusat Panama meningkat dengan penunjukan Andrés Mojica sebagai Gubernur San Blas.
"Mojica bisa dibilang merupakan sosok yang paling keras dalam menekan masyarakat Guna. Dia tidak hanya menentang pakaian perempuan, tetapi juga tradisi lain seperti chicha," tutur ahli tersebut.
Chicha adalah minuman tradisional yang dibuat dari fermentasi jagung yang memiliki nilai budaya ritual.
Menjelang akhir 1924, para pemimpin masyarakat adat menilai situasi itu tidak lagi dapat dipertahankan.
Kantule dan Colman telah berupaya untuk menginformasikan penyalahgunaan wewenang aparat—termasuk hukuman fisik terhadap masyarakat adat.
Baca juga:
Mereka juga memperjuangkan pengakuan hak atas tanah bagi masyarakat adat.
Akan tetapi, kondisinya tetap tidak berubah.
Berkat dorongan Marsh, masyarakat memutuskan untuk berorganisasi dan memulai pemberontakan guna mendeklarasikan seluruh kepulauan dan sebagian pesisir utara negara sebagai wilayah yang merdeka.
"Sebuah deklarasi kemerdekaan kemudian dibuat dan dipublikasikan di surat kabar La Estrella de Panamá pada Februari 1925. Hal ini membuat pemerintah siaga," jelas Howe.
Salah satu hal menarik dari proklamasi tersebut adalah desain bendera negara baru: sebuah bendera dengan tiga garis berwarna merah dan kuning dengan swastika di bagian tengahnya.
Setelah Nazi di Jerman menggunakan swastika, simbol ini menjadi identik dengan kejahatan.
Pada 1925, ketika anggota masyarakat Guna merancang bendera mereka, swastika memiliki makna yang berbeda.
"Swastika terbalik merupakan simbol leluhur yang telah digunakan oleh masyarakat jauh sebelum diasosiasikan dengan Nazisme," tulis penulis Panama, Albert Arias, dalam penelitiannya.
"Bagi masyarakat Guna, simbol ini melambangkan aspek pandangan dunia mereka, termasuk hubungan dengan matahari dan pergerakan kosmos."
Arias juga menambahkan bahwa setelah Perang Dunia II, bendera Guna tak lagi digunakan dan hanya dikibarkan untuk memperingati hari revolusi.
Sepuluh hari setelah pengumuman proklamasi, masyarakat Guna menyerang sejumlah pos polisi di berbagai lokasi kepulauan.
Serangan ini mengakibatkan 27 korban jiwa.
"Serangan tersebut bersifat terbatas. Hanya berlangsung sekitar 24 jam. Meskipun beberapa polisi meninggal, mereka juga memilih untuk tidak menghilangkan nyawa semua orang," ungkap Howe.
"Tujuannya adalah untuk menegaskan bahwa mereka tidak menginginkan kehadiran pemerintah Panama di wilayah mereka."
Baca juga:
Akibat keberadaan seorang warga negara Amerika di tengah pemberontakan, intervensi Amerika Serikat dalam konflik ini menjadi suatu keharusan.
Menteri Delegasi di Panama saat itu, John G. South, dikirim ke wilayah tersebut dengan menggunakan kapal militer.
Ketika pemerintah Porras bersiap untuk memulihkan kendali dengan mengirimkan sejumlah besar petugas berseragam, tindakan South justru menguntungkan masyarakat adat.
Tuntutan serta alasan pemberontakan mereka menjadi didengarkan, sebagaimana dijelaskan Howe.
Dengan mediasi dari South, masyarakat Guna mengakhiri revolusi mereka dengan syarat: pemerintah Panama menghentikan kampanye pemberantasan budaya mereka.
Konsekuensi
"Deklarasi Republik Dule adalah revolusi masyarakat adat abad ke-20 dan menjadi titik awal pembentukan otonomi wilayah masyarakat adat Guna di Panama," jelas Howe.
Pada 4 Maret 1925, Panama dan masyarakat adat Guna, dengan mediasi dari South, menandatangani perjanjian damai.
Dalam perjanjian itu, pemerintah pusat berjanji untuk menghormati tradisi masyarakat adat, memulai proses otonomi wilayah mereka, khususnya berhenti memaksa mereka jadi seperti orang Barat.
Di sisi lain, masyarakat Guna sepakat untuk meletakkan senjata, membubarkan deklarasi Republik Tule, dan mematuhi hukum Panama.
"Para pemberontak sangat beruntung. Tanpa kehadiran South, mungkin respons Panama akan lebih keras. Kenyataannya adalah, meskipun mereka tidak mempertahankan republik, pemberontakan itu membantu mereka memperkuat wilayah mereka dan memastikan bahwa adat istiadat mereka tidak hilang," catat Howe.
Setelah penandatanganan perjanjian, Kantule dan Colman kembali ke wilayah mereka.
Colman meninggal empat tahun kemudian, ketika hampir berusia 89 tahun. Sementara Kantule hidup hingga 1944.
Nama mereka dikenang sebagai simbol perjuangan hak-hak masyarakat adat di seluruh benua.
Dan sejak saat itu, bulan Maret diperingati sebagai hari sipil untuk mengenang revolusi ini.
Meskipun singkat, Revolusi Dule membentuk perjuangan masyarakat adat di wilayah tersebut selama abad ke-20.