Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten Media Partner
Kisah Satu Keluarga Lintas Generasi Merawat Candi Buddha Terbesar di Dunia – 'Saya Dilahirkan untuk Melestarikan Borobudur'
12 Mei 2025 7:10 WIB
Kisah Satu Keluarga Lintas Generasi Merawat Candi Buddha Terbesar di Dunia – 'Saya Dilahirkan untuk Melestarikan Borobudur'
Ribuan jejak permen karet, corat-coret, dan cungkilan di batu relief merupakan beberapa faktor yang mengancam kelestarian Candi Borobudur, warisan budaya dunia yang telah diakui UNESCO sejak 1991.
Rangkaian aksi vandalisme itu membuat Werdi yang telah setengah abad mengabdikan hidupnya untuk mengurus batu-batu andesit monumen Buddha terbesar di dunia itu, merasa sedih.
"Tega-teganya orang melakukan [vandalisme] itu. Saya kok sakit banget begitu loh. Kami berjuang menjaga dan melestarikan, mereka malah tidak bertanggung jawab," kata Werdi di kediamannya di Desa Candirejo, yang tak jauh dari Kompleks Candi Borobudur, Jawa Tengah, Sabtu (10/05).
Werdi adalah satu dari ratusan orang yang melakukan pemugaran Borobudur pada 1973-1983, yang saat itu kerusakannya sudah 'gawat'.
Dia mengaku sering tak bisa tidur demi "menghidupkan kembali" peninggalan budaya Nusantara kuno yang mencerminkan keluhuran nilai, teknologi dan pengetahuan, serta sistem sosial.
Walaupun kini telah pensiun, hubungan antara Werdi dengan Borobudur tak berhenti. Ilmu-ilmunya diwariskan kepada anak laki-lakinya, Eka Sumitra, yang kini menjadi pemelihara Candi Borobudur.
"Saya ingin menjadi penerus Bapak. Siapa lagi kalau bukan kita sebagai anak muda yang melanjutkan pelestarian dan perawatan Borobudur," kata Eka.
Selain kerusakan oleh ulah manusia, batu-batu Candi Borobudur juga menghadapi ancaman dari perubahan suhu, paparan zat kimia hingga pengaruh mikroorganisme, menurut arkeolog Hari Setyawan.
Pemerintah terus melakukan beragam upaya untuk mencegah kerusakan Borobudur, mulai dari menerapkan sistem kuota dan reservasi, kebijakan sistem satu pintu, hingga penggunaan alas kaki khusus.
"Kami memandang upaya pencegahan kerusakan bangunan Candi Borobudur sebagai prioritas strategis," kata Direktur Utama PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko atau InJourney Destination, Febrina Intan.
Ini adalah perjalanan Werdi dan keluarganya merawat kelestarian batu-batu Borobudur, yang menggambarkan lintasan kehidupan manusia menuju kebijaksanaan tertinggi.
'Lebih setengah abad hidup saya untuk Borobudur'
Seorang pria paruh baya dengan sigap menyambut kedatangan saya di rumahnya, di Desa Candirejo, yang tak jauh dari Kompleks Candi Borobudur, Jawa Tengah, Sabtu (10/05).
"Silakan masuk. Mau minum apa?" kata Werdi yang akan menginjak usia 72 tahun.
Suaranya terdengar bersemangat saat membicarakan "belahan jiwanya": Candi Borobudur.
"Lebih setengah abad hidup saya untuk Borobudur. Saya merasa dilahirkan untuk merawat Borobudur," kata pria lulusan SMP ini.
Mungkin Anda tertarik:
Kecintaan Werdi terhadap Borobudur terjalin dengan mesra sejak 1972, ketika usianya akan menginjak 20 tahun.
Saat itu, pemerintah tengah mencari ratusan pekerja untuk memugar Borobudur.
"Awalnya mau bekerja saja pokoknya, tidak paham soal batu, pemugaran, dan lainnya. Lama kelamaan, saya menyayangi Borobudur," ujar Werdi.
Dia mengatakan, kondisi Borobudur saat itu sangat menyedihkan.
"Dinding candi sebelah utara melesat ke bawah batunya, kurang lebih sampai 60 cm. Akhirnya menganga-menganga semuanya, itu kayak mau roboh," ujarnya.
Di sela-sela perbincangan kami, Werdi memperlihatkan setumpuk kertas berisi sketsanya tentang batu-batu Borobudur.
Dia lalu mengenang, beragam tantangan dihadapi dirinya dan rekan kerja lain saat membongkar dan membersihkan batu-batu candi.
Dia bercerita, ada sebuah batu besar yang tidak sanggup diangkat walaupun dipikul lebih dari 12 orang. Akhirnya, mereka menggunakan gerobak untuk memindahkannya.
"Lalu saat musim hujan, kami bekerja kayak di sawah, karena becek. Berat sekali namun menyenangkan," kenangnya.
Tantangan yang lebih besar muncul saat proses penyusunan kembali batu-batu Borobudur.
Rangkaian proses ini dikenal dengan anastilosis, yaitu teknik rekonstruksi atau pemugaran reruntuhan bangunan agar menyerupai kondisi aslinya.
Bahkan, Werdi mengaku sering tak bisa tidur karenanya.
"Pasang batu itu harus tepat vertikal dan horizontal dinding batunya. Jangan sampai ada satu sentimeter pun yang berongga, atau ada selanya. Saya sering tak bisa tidur memikirkan itu," katanya.
Werdi bercerita, batu-batu Borobudur disusun dengan teknik sambung batu (interlock).
Artinya, setiap batu memiliki ciri khas masing-masing yang berkaitan satu dengan lainnya. Tidak ada pengunaan alat-alat perekat, seperti semen, maupun putih telur.
Sepuluh tahun terlewati, akhirnya Candi Borobudur kembali berdiri tegak.
"Saya sangat bangga karena satu dari ratusan orang-orang hebat yang bekerja, dari kayak mau roboh hingga bisa teratasi," katanya.
Saat pemugaran selesai, banyak pekerja alih profesi menjadi satpam di Borobudur, atau dikirim ke candi-candi lainnya.
Namun, tidak bagi Werdi. Dia diberi tanggung jawab untuk tetap merawat batu-batu Borobudur hingga pensiun pada 2010 lalu.
Menjadi pemugar Borobudur, kata Werdi, membuka jalan hidupnya untuk menikah, memiliki anak dan membesarkan keluarga.
Kini Werdi menghabiskan waktu sebagai petani, sambil sekali-kali diminta untuk membantu proses-proses pemeliharaan candi.
Perjalanan mengembalikan keindahan Borobudur
Candi Borobudur diperkirakan dibangun sekitar abad ke-8 Masehi, saat raja-raja dari Dinasti Syailendra berkuasa.
Candi ini diperkirakan jadi tempat ziarah penganut agama Buddha Mahayana selama 150 tahun.
Setelah itu, Borobudur kemungkinan sudah tidak terpelihara lagi sejak abad ke-10 Masehi.
Letusan Gunung Merapi yang sangat kuat mengakhiri kekuasaan Kerajaan Mataram dan memindahkan pusat kegiatan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.
Letusan itu juga mengakibatkan candi-candi di sekitarnya tertimbun oleh lahar dingin.
Selama berabad-abad, Borobudur bersembunyi dari manusia, hingga pada 1814, muncul kembali mengisi lembaran sejarah Indonesia.
Saat itu, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas S. Raffles menerima laporan adanya temuan reruntuhan batu-batu bangunan kuno.
Raffles lalu memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penelitian dan pembersihan di lokasi itu.
Upaya ini terus dilakukan oleh para penerus Raffles hingga pada 1873, monografi pertama Borobudur diterbitkan.
Pemugaran pertama skala besar pun dilakukan pada 1907 hingga 1911, yang dipimpin oleh Theodore van Erp.
Mereka berfokus menyusun stupa induk dan stupa teras yang berserakan, serta membenahi dinding lorong hingga selasar.
Beberapa hasil pemugaran van Erp ini pun masih dipertahankan hingga sekarang.
Namun karena van Erp tak melakukan pembongkaran, masih ada kemiringan dinding Borobudur yang sangat membahayakan.
Borobudur pun terancam runtuh karena tidak ada fondasi yang mampu menahan beban bangunan yang besar.
Di tengah ancaman itu, gejolak revolusi di dalam dan luar negeri pada awal kemerdekaan Indonesia membuat Borobudur untuk sementara terbengkalai.
Pada 1960, kerusakan Candi Borobudur dinyatakan dalam keadaan gawat.
Beragam upaya nasional dan internasional dilakukan hingga akhirnya pemerintah Indonesia dan UNESCO sepakat melakukan "Pemugaran ke-2 Candi Borobudur" pada 1973 hingga 1983.
Sekitar 600 orang yang menjadi tenaga kerja proyek ini digerakkan dengan tenaga penuh.
Dua tahun pertama, belum ada batu candi yang diturunkan. Para pekerja fokus membangun fasilitas penunjang pemugaran dan membongkar batu-batu pagar balkon di halaman candi.
Baru pada Mei 1975, pekerjaan sesungguhnya dimulai. Satu demi satu batu tubuh candi dibongkar.
Setelah itu, para pekerja memperkuat bagian bawah lantai candi dan memasang saluran drainase sehingga air tidak mengendap di struktur candi.
Lintas generasi
Hubungan antara Werdi dengan Borobudur ternyata tidak putus. Ilmu-ilmu yang didapat diwariskan kepada anak laki-lakinya, Eka Sumitra, 41 tahun, yang kini menjadi penerus sebagai pemelihara Candi Borobudur.
Kesempatan Eka untuk bekerja di Borobudur datang pada 2010, saat usianya 29 tahun. Sebelumnya, dia telah melanglang buana mencari pekerjaan di beberapa tempat, salah satunya di sebuah pabrik di Jakarta.
"Saya ingin menjadi penerus Bapak. Siapa lagi kalau bukan kita sebagai anak muda yang melanjutkan pelestarian dan perawatan candi. Nanti anak cucu kita biar bisa lihat, oh candi itu masih bagus, masih megah," ujar Eka
Eka melihat bapaknya sebagai sosok "panutan dan insipirasi. Dari bapak saya belajar sejarah candi, membersihkan, merawat candi, dan ilmu-ilmu tentang batu-batuan."
Tak terasa 15 tahun Eka telah bekerja untuk Borobudur. Dia ingin seperti bapaknya, menghabiskan kariernya di Borobudur.
Bahkan, Eka berharap anaknya dapat mengikuti jejak dirinya dan ayahnya.
"Saya berharap anak saya jadi arkeolog, mau kerja di candi seperti bapaknya dan kakeknya. Biar generasi kami terus melestarikan Borobudur."
Direktur Utama PT Taman Wisata Candi (TWC) Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko atau InJourney Destination, Febrina Intan, memandang profesi juru pugar dan juru pelihara Borobudur sebagai bagian utama menjaga keberlanjutan dan keaslian Candi Borobudur.
Untuk itu, katanya, TWC akan mendorong penyelenggaraan program pertukaran mereka ke situs-situs warisan dunia lain, seperti Angkor Wat, Machu Picchu, dan lainnya.
"Agar para pemugar mendapatkan wawasan global dan memperluas jaringan profesional. Selain itu, program edukasi dari pakar konservasi dari luar negeri untuk memberikan workshop dan mentoring di Indonesia bisa dilakukan," katanya.
Permen karet, corat-coret, hingga cungkilan relief
Museum dan Cagar Budaya (MCB) Unit Warisan Dunia Borobudur mencatat setidaknya terdapat lebih dari 3.000 titik noda permen karet di permukaan lantai hingga ornamen arsitektur candi.
Titik-titik noda permen karet ini pun masih dengan mudah dapat disaksikan.
"Noda permen karet ini mempercepat kerusakan dan pelapukan batu Candi Borobudur," kata Hari Setyawan, seorang arkeolog dan juga Koordinator Kelompok Kerja Perawatan Candi Borobudur.
Hari mengatakan perilaku membuang permen karet sembarangan di batu-batu candi telah terjadi sejak Borobudur dibuka untuk kunjungan umum.
"Sehingga banyak noda-noda yang sudah sulit untuk dihilangkan," katanya yang bekerja untuk Candi Borobudur sejak 2010 lalu.
Selain permen karet, kata Hari, aksi vandalisme yang dilakukan berupa corat-coret dan mencuil relief candi juga kerap ditemui.
Ancaman lain adalah keausan pada batu candi.
Hari lalu mengajak saya melihat salah satu stupa, yang mitosnya jika menyentuh bagian dalam akan mendapatkan keberuntungan.
Saya melihat pahatan bunga teratai yang melingkari stupa telah menipis dan rusak.
"Kalau satu orang, dua orang, sepuluh orang tidak apa-apa. Ini ribuan, jutaan orang naik ke situ. Akibatnya, batunya akan aus, dua strukturnya mudah rusak karena badan mendorong struktur ke arah dalam saat ingin menyentuhnya," kata Hari.
Data MCB pada 2019 menunjukan nilai akumulatif keausan batu Candi Borobudur mencapai 3,95 sentimeter, meningkat dari 3,78 sentimeter pada tahun sebelumnya.
Bahkan, ada beberapa batu yang tingkat keausannya mencapai lima sentimeter.
"Maka perlu diambil tindakan meminimalisir dampak itu dengan pembantasan kunjungan," kata Hari.
Pada 2018, Candi Borobudur dikunjungi oleh 3,66 juta wisatawan, kemudian meningkat menjadi pada 3,94 juta pengunjung pada 2019.
Penurunan drastis jumlah wisatawan menjadi 996.000 orang baru terjadi pada 2020 akibat pandemi.
Sejak 2023, diberlakukan pembatasan kunjungan ke bangunan candi sebanyak 150 orang per jam atau 1.200 orang per hari.
Selama tahun itu, total pengunjung 1,47 juta orang, dan menurun jadi 1,3 juta orang tahun berikutnya.
Hari mengatakan faktor lain yang mengancam adalah pembangunan pemukiman di sekitar komplek candi yang tak terkendali.
Padahal, menurut Hari, UNESCO tidak hanya menetapkan Candi Borobudur sebagai warisan dunia, namun juga memasukkan kawasan di sekitarnya, yang mencakup Candi Mendut dan Candi Pawon.
"Candi-candi ini berada dalam satu garis imaginer lurus ke arah timur beserta dengan lingkungan sekitarnya dalam radius 5 km, seperti danau purba beserta sawah, sungai yang ada di sekitarnya."
Namun sayangnya, katanya, pemukiman telah mengubah lanskap kesatuan kompleks Candi Borobudur yang "mempresentasikan sebuah alam semesta di dunia ini, khususnya di masa Jawa kuno."
"Jadi, kalau melihat Borobudur beserta lingkungannya maka sebenarnya lingkungan ini adalah buffer atau penyangga candi, dan itu juga harus dilindungi dan dijaga," katanya.
Terkait ancaman ini, Dirut PT TWC Febrina memandang upaya pencegahan kerusakan bangunan Candi Borobudur sebagai prioritas strategis.
Oleh karena itu, pihaknya mendukung penuh langkah-langkah konservasi yang dilakukan oleh Balai Konservasi Borobudur dan para pemangku kepentingan lainnya, sekaligus mengambil peran aktif dalam memastikan aspek pemanfaatan tidak mengorbankan pelestarian.
"Komitmen kami adalah dengan menerapkan sistem kuota dan reservasi bagi wisatawan yang ingin naik ke struktur candi. Kami juga menerapkan kebijakan one gate system, jalur khusus, dan alas kaki khusus [alas kaki dari kain/upanat] guna mengurangi abrasi batu akibat gesekan langsung dari sepatu atau sandal," kata Febrina.
Apa ancaman lain yang dihadapi Borobudur?
Selain faktor manusia, Hari mengatakan, ancaman terhadap fisik dan struktur candi juga datang akibat perubahan suhu, paparan zat kimia, dan pengaruh biotik, karena Borobudur berada di lingkungan terbuka yang terekspos langsung dengan lingkungan sekitarnya.
"Di mana pada siang hari cuaca sangat panas, kemudian pada malam hari menjadi dingin. Ini yang kita sebut sebagai fluktuasi suhu dan kelembaban udara yang secara langsung menyebabkan pelapukan material utama Candi Borobudur, batu andesit," kata Hari.
Batu andesit memiliki tingkat porositas yang tinggi sehingga lebih mudah dipahat. Tapi di sisi lainm hal ini membuat batu lebih mudah mengalami kerusakan.
Kemudian, kata Hari, faktor kimiawi yang dapat menyebabkan pelapukan batu datang dari kontak antara air hujan—terkadang asam oleh polusi udara—dengan kandungan mineral yang berada di batu candi.
"Jadi kontak ini bisa mempercepat pelapukan karena terjadinya endapan garam, sementasi, pustule [bisul-bisul batu], alveoli [bisul batu yang telah pecah]," kata Hari.
Faktor lain yang mempercepat pelapukan datang dari unsur biotik, yaitu munculnya mikroorganisme seperti lumut, algae (ganggang), jamur kerak (lichen).
Untuk itu terdapat dua langkah konservasi yang dilakukan untuk meminimalisir kerusakan batu candi, kata Hari.
Pertama adalah upaya preventif dengan cara pembersihan basah menggunakan alat semprot air tekanan rendah dan pembersihan kering dengan sapu lidi yang tak merusak batu.
Kedua adalah konservasi kuratif dengan perekat, injeksi retakan, dan bahan kimia yang aman bagi batu.
Lintasan kehidupan manusia menuju nirwana
Candi Borobudur yang memiliki panjang 121,66 meter berbentuk seperti punden berundak yang semakin ke atas semakin mengecil, dengan empat buah tangga yang terdapat di setiap sisinya.
Struktur Borobudur terdiri dari sembilan teras berundak—enam teras berdenah persegi dan tiga teras berdenah lingkaran. Di antara bentuk teras itu terdapat lantai yang disebut plateau.
Struktur bangunan dan ragam hias di dinding Candi Borobudur menggambarkan lintasan kehidupan manusia menuju kebijaksanaan tertinggi.
Pada bagian pertama ada 160 relief yang mengisi bidang hias kaki candi.
Relief ini menggambarkan tataran hidup yang masih dikuasai oleh nafsu dan kenikmatan (kamadhatu), seperti seperti merampok, membunuh, memperkosa, penyiksaan, dan fitnah.
Tataran berikutnya menggambarkan kehidupan ideal yang harus ditempuh oleh setiap individu dalam usahanya melepaskan diri dari segala kesengsaraan dan siklus reinkarnasi (rupadhatu).
Pada tingkat tertinggi candi melambangkan tataran kehidupan yang sudah lepas dari segala kesengsaraan (arupadhatu) atau "tanpa perwujudan". Hal ini tercermin dengan barisan stupa yang didalamnya terdapat patung Buddha.
Kemudian, puncak Borobudur melambangkan nirwana yaitu tujuan akhir dari setiap umat manusia.