Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten Media Partner
Kisah Seorang Anak Kabur dari Korea Utara demi Mencari Ibunya
9 April 2023 16:15 WIB
·
waktu baca 12 menitSongmi Park membenamkan kakinya ke tepian sungai dan bersiap untuk menyeberang.
Dia sadar bahwa dia seharusnya takut. Sungai itu dalam dan arusnya tampak kuat. Jika tertangkap, dia pasti akan dihukum, bahkan mungkin ditembak. Tetapi dia merasakan dorongan yang jauh lebih kuat dibanding rasa takutnya.
Dia meninggalkan Korea Utara demi mencari ibunya yang telah meninggalkannya saat masih anak-anak.
Ketika Songmi mengarungi air sedingin es itu saat senja, dia merasa seolah sedang terbang.
Saat itu tanggal 31 Mei 2019.
"Bagaimana saya bisa melupakan hari terbaik sekaligus terburuk dalam hidup saya?" katanya.
Melarikan diri dari Korea Utara adalah hal yang berbahaya dan sulit dilakukan. Dalam beberapa tahun terakhir, Kim Jong-un telah menindak lebih keras orang-orang yang mencoba melarikan diri.
Kemudian pada awal pandemi, dia menutup perbatasan negara, membuat Songmi, yang saat itu berusia 17 tahun, menjadi salah satu orang terakhir yang berhasil kabur.
Ini adalah kali kedua Songmi menyeberangi Sungai Yalu, yang memisahkan Korea Utara dari China, dan merupakan rute termudah untuk kabur.
Pertama kali dia mencoba pergi, dia digendong di punggung ibunya ketika masih kecil. Kenangan itu masih lekat seolah-olah baru terjadi kemarin.
Dia masih ingat bagaimana mereka bersembunyi di peternakan babi milik kerabat mereka di China, ketika polisi dari negara itu mencari mereka.
Dia juga ingat bahwa ibu dan ayahnya memohon untuk tidak dikirim kembali ke Korea Utara.
“Kirim saya sebagai gantinya,” teriak kerabat mereka. Polisi kemudian memukulinya hingga wajahnya berdarah.
Ketika kembali ke Korea Utara, dia ingat tangan ayahnya diborgol ke belakang. Dia juga ingat saat berdiri di peron stasiun kereta, menyaksikan kedua orang tuanya dipindahkan ke salah satu kamp penjara terkenal di Korea Utara. Saat itu, dia berumur empat tahun.
Songmi dititipkan untuk tinggal bersama orang tua ayahnya di tanah pertanian mereka di Musan, sebuah kota di Korea Utara yang berjarak setengah jam dari perbatasan China.
Dia tidak punya pilihan untuk bisa bersekolah. Pendidikan di Korea Utara yang menganut sistem komunis sebetulnya gratis, tetapi orang-orang diharapkan untuk menyuap guru, dan kakek Songmi tidak mampu untuk itu.
Dia akhirnya menghabiskan masa kecilnya berkeliaran di pedesaan, berburu cengkeh untuk memberi makan kelinci di peternakan. Dia sering sakit, bahkan saat musim panas.
“Saya hanya makan sedikit, sehingga kekebalan tubuh saya rendah,” kata Songmi.
“Tetapi ketika saya bangun, nenek saya selalu meninggalkan makanan ringan di ambang jendela.”
Suatu malam, lima tahun setelah kereta yang membawa orang tuanya menuju kamp penjara berangkat, ayahnya menyelinap ke tempat tidur dan memeluknya. Dia diliputi kegembiraan. Hidupnya bisa dimulai lagi. Tapi tiga hari kemudian, ayahnya meninggal. Kesehatannya telah menurun selama di penjara.
Ketika ibu Songmi, Myung-hui, tiba di rumah pekan berikutnya dan mengetahui suaminya telah meninggal, dia menjadi putus asa. Myung-hui membuat keputusan sendiri yang tidak terpikirkan. Dia hendak mencoba melarikan diri lagi dari Korea Utara. Seorang diri.
Pagi harinya, ibunya telah pergi. Songmi mengatakan bahwa dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Ibunya berpakaian tidak seperti biasanya, dia menggunakan pakaian neneknya.
“Saya tidak tahu apa yang dia rencanakan, tapi saya tahu kalau dia pergi, saya tidak akan bertemu dengan ibu dalam waktu yang lama,” kata Songmi.
Saat ibunya pergi meninggalkan rumah, Songmi meringkuk di kasurnya dan menangis.
10 tahun berikutnya menjadi masa-masa terberat bagi Songmi.
Dalam kurun dua tahun, kakeknya meninggal. Dia pun seorang diri di usia 10 tahun, merawat neneknya yang terbaring di tempat tidur, tanpa sumber penghasilan.
“Satu per satu keluarga saya menghilang. Sangat menakutkan.”
Di tengah rasa putus asa, pegunungan yang lebat di Korea Utara menjadi sumber makanan. Setiap pagi, Songmi memulai perjalanan selama dua jam ke pegunungan, mencari tanaman untuk dimakan dan dijual.
Tanaman herbal tertentu bisa dijual sebagai obat di pasar lokalnya, tapi harus dicuci, dipotong dan dikeringkan dengan tangan lebih dulu. Itu artinya dia harus bekerja hingga larut malam.
“Saya tidak bisa bekerja atau merencanakan hari esok. Setiap hari saya berusaha supaya tidak kelaparan, untuk bertahan hidup.”
Sementara itu, hanya 480 kilometer jauhnya, Myung-hui telah tiba di Korea Selatan.
Setelah menempuh perjalanan selama satu tahun melalui China dan kemudian ke Laos, lalu Thailand, dia tiba di Kedutaan Korea Selatan.
Pemerintah Korea Selatan, yang memiliki kesepakatan untuk menempatkan para pembelot Korea Utara, menerbangkannya ke Seoul.
Dia menetap di kota industri Ulsan di wilayah selatan. Karena putus asa untuk mendapatkan uang yang bisa membiayai putrinya, dia membersihkan bagian dalam kapal di pabrik pembuatan kapal setiap hari tanpa istirahat.
Melarikan diri dari Korea Utara berbiaya mahal. Mereka membutuhkan perantara yang dapat membantu mereka mengatasi rintangan, juga uang untuk menyuap siapa pun yang menghalangi upaya itu.
Pada malam hari, Myung-hui duduk sendirian di tengah kegelapan, memikirkan putrinya - soal apa yang dia lakukan, dan seperti apa penampilannya.
Hari ulang tahu Songmi menjadi masa yang paling sulit. Dia mengambil boneka dari lemari dan berbicara dengan boneka itu, seolah-olah adalah putrinya. Dia berupaya mencari cara demi menjaga hubungan mereka tetap hidup.
Saat ibu Songmi menceritakan waktu mereka berpisah, dia mulai menangis. Putrinya membelai lengannya.
“Berhentilah menangis, riasanmu yang cantik jadi rusak,” kata Songmi.
Setelah membayar makelar sebesar £17.000 (Rp316 juta), Myung-hui akhirnya bisa mengatur pelarian putrinya. Tiba-tiba, penantian Songmi selama satu dekade, di tengah harapannya yang kian menipis, berakhir.
Usai menyeberangi Sungai Yalu ke China, dia bersembunyi, diam-diam berpindah lokasi pada malam hari, karena takut tertangkap lagi.
Dia naik bus melewati pegunungan menuju Laos. Di sana dia berlindung di sebuah gereja, sebelum akhirnya tiba di Kedutaan Korea Selatan.
Dia sempat tinggal di kedutaan selama tiga bulan, sebelum diterbangkan ke Korea Selatan.
Ketika tiba, dia menghabiskan waktu berbulan-bulan di tempat penampungan, yang biasanya juga dilalui para pembelot Korea Utara. Seluruh perjalanan ini memakan waktu satu tahun, tetapi bagi Songmi terasa seperti 10 tahun.
Setelah akhirnya bersatu kembali, Songmi duduk sambil makan semangkuk mi buatan ibunya dengan kuah kaldu yang dingin dan pedas.
Hidangan klasik Korea Utara ini adalah makanan favorit Songmi. Berbeda dengan rasa bersalah ibunya, Songmi memancarkan energi yang menular.
Dia tertawa dan bercanda saat menghibur ibunya, menyembunyikan trauma-trauma masa kecilnya.
“Sehari sebelum saya dibebaskan dari tempat penampungan, saya sangat gugup. Saya tidak yakin apa yang akan saya sampaikan kepada ibu,” kata dia.
“Saya ingin terlihat cantik di depannya, tapi berat badanku bertambah banyak selama pelarian dan rambutku berantakan.”
“Saya juga sangat gugup,” aku Myung-hui.
Myung-hui tidak lagi mengenali putrinya, yang terakhir kali dia lihat saat berusia delapan tahun. Sementara yang dia temui adalah anaknya yang telah berusia 18 tahun.
“Dia ada di depan saya, jadi saya menerima saja bahwa ini pasti dia,” kata Myung-hui.
“Ada begitu banyak yang ingin saya sampaikan, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Saya hanya memeluknya dan bilang, ‘Hebat, kamu telah melalui banyak hal untuk sampai ke sini’”.
Songmi mengatakan pikirannya kosong saat itu.
“Kami hanya menangis dan berpelukan selama 15 menit. Semuanya terasa seperti mimpi”.
Pada saat Songmi dan ibunya berupaya membangun kembali hubungan mereka dari nol, ada satu hal yang tidak pernah berani ditanyakan oleh Songmi.
Pertanyaan itulah yang selalu dia tanyakan pada dirinya sendiri setiap hari sejak dia berusia delapan tahun.
Sekarang, ketika mereka menyeruput sisa makan siang mereka, dengan hati-hati dia membiarkan pertanyaan itu terucap.
"Kenapa ibu meninggalkanku?"
Dengan gugup, Myung-hui mulai menjelaskan. Pelarian pertama mereka adalah idenya. Bagaimana mungkin dia bisa pulang dari penjara untuk tinggal bersama kedua mertuanya, dan menjadi pengingat bagi mereka bahwa dia bisa selamat, sedangkan putra mereka meninggal?
Dia tidak punya uang, dan tidak bisa mencari jalan keluar baginya dan Songmi untuk bisa bertahan hidup sendirian.
“Ibu ingin membawamu, tapi perantara mengatakan tidak boleh ada anak-anak,” kata dia.
“Dan, kalau kita tertangkap lagi, kita berdua akan menderita. Jadi ibu meminta nenekmu untuk menjagamu selama setahun.”
“Oh begitu,” kata Songmi, matanya menunduk. “Hanya satu tahun, ternyata menjadi 10.”
“Iya,” ibunya mengangguk.
“Pagi itu ketika ibu pergi, kaki ibu enggan bergerak, tetapi kakekmu menyuruh ibu pergi. Dia menyuruh ibu keluar. Ibu ingin kamu tahu, kalau ibu tidak meninggalkamu. Ibu ingin memberimu kehidupan yang lebih baik. Ini sepertinya pilihan yang tepat.”
Pilihan itu mungkin tidak akan pernah terpikirkan oleh siapa pun yang tinggal di luar Korea Utara. Tetapi keputusan yang memilukan dan berisiko ini harus mereka ambil demi melarikan diri, dan upaya semacam ini semakin sulit dilakukan.
Pemerintah Korea Utara, di bawah kepemimpinan Kim Jong Un, telah meningkatkan pengawasan di sepanjang perbatasan dan memberlakukan hukuman yang lebih keras bagi mereka yang tertangkap ketika mencoba melarikan diri.
Sebelum tahun 2020, lebih dari 1.000 warga Korea Utara tiba di Korea Selatan setiap tahun. Namun pada 2020, pada tahun kedatangan Songmi, jumlahnya menurun menjadi 229 orang.
Ketika pandemi dimulai pada awal tahun itu, Korea Utara menutup perbatasannya dan melarang warganya bepergian di seantero negeri.
Tentara di sepanjang perbatasan diperintahkan untuk menembak dan membunuh siapa saja yang mereka tangkap mencoba melarikan diri.
Tahun lalu, hanya 67 warga Korea Utara yang tiba di Korea Selatan, dan kebanyakan dari mereka telah meninggalkan negara itu sejak sebelum pandemi.
Songmi merupakan salah satu orang terakhir yang berhasil kabur sebelum perbatasan ditutup.
Oleh karena itu, ingatannya sangat berharga, karena memberi wawasan baru yang kian langka soal bagaimana kehidupan di negara yang paling tertutup di dunia.
Da masih ingat bagaimana musim panas terasa semakin panas. Pada 2017, tanaman mulai mengering dan mati, tidak menyisakan apa pun untuk dimakan pada musim gugur dan musim semi.
Tetapi para petani masih diminta menyerahkan hasil panen dengan jumlah yang sama kepada pemerintah setiap tahun, yang berarti hanya menyisakan sedikit, bahkan tidak sama sekali, bagi mereka untuk dimakan.
Mereka mulai mencari makanan di pegunungan. Beberapa orang akhirnya memilih berhenti bertani.
Mereka yang bekerja di tambang, sumber pekerjaan utama lainnya di kampung halamannya di Musan, bernasib lebih buruk.
Sanksi internasional yang dikenakan pada Korea Utara pada tahun 2017, setelah menguji senjata nuklir, mengakibatkan tidak ada yang bisa membeli bijih nikel dari tambang tersebut.
Tambang hampir berhenti beroperasi, dan para pekerja tidak lagi menerima upah. Mereka akan menyelinap ke tambang pada malam hari demi mencuri suku cadang, meski terancam hukuman bila tertangkap.
Mereka tidak tahu bagaimana menemukan makanan di alam liar, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang biasanya bertani.
Namun pada 2019, ketakutan terbesar selain mendapatkan makanan untuk bertahan hidup, adalah ketahuan menonton film dan program dari televisi asing.
Film-film asing telah lama diselundupkan ke Korea Utara, sehingga memberi warganya gambaran sekilas mengenai dunia yang memikat di luar kehidupan mereka.
Gambaran Korea Selatan yang modern dan glamor dalam K-drama, telah menimbulkan ancaman terbesar bagi pemerintah Korea Utara.
“Anda bisa didenda atau dipenjara selama dua atau tiga tahun karena menonton film Korea Selatan, tapi pada 2019, menonton film yang sama bisa membuat Anda dikirim ke kamp penjara politik,” kata Songmi.
Dia pernah tertangkap menyimpan film India di dalam flashdisk-nya, namun dia berhasil meyakinkan petugas keamanan bahwa dia tidak tahu bahwa film itu ada di dalamnya. Dia berhasil lolos dan hanya didenda. Temannya tidak seberuntung itu.
Suatu hari, pada bulan Juni 2022, setelah tiba di Korea Selatan, Songmi menerima telepon dari ibu temannya.
“Dia memberi tahu saya bahwa teman saya tertangkap karena memiliki salinan Squid Game, lalu karena dia yang mendistribusikannya, dia dieksekusi,” kata Songmi.
Pengakuan Songmi selaras dengan laporan baru-baru ini dari Korea Utara mengenai orang-orang yang dieksekusi karena mendistribusikan film-film asing.
“Tampaknya situasinya bahkan lebih menakutkan dibanding ketika saya masih di sana. Orang-orang ditembak atau dikirim ke kamp karena menyimpan media Korea Selatan, tanpa memandang usia mereka,” ujarnya.
Beradaptasi dengan kehidupan di Korea Selatan yang kapitalis dan bebas sering kali sulit bagi warga Korea Utara. Ini sangat berbeda dengan apa yang pernah mereka lalui. Tapi, Songmi menjalaninya dengan sangat baik.
Dia merindukan teman-temannya, yang tidak bisa dia beri tahu bahwa dia akan kabur. Dia rindu berjoget bersama mereka, serta memainkan permainan dengan batu di tanah.
“Ketika bertemu teman di Korea Selatan, biasanya Anda hanya pergi berbelanja atau minum kopi,” kata dia.
Apa yang membantu Songmi dalam beradaptasi adalah keyakinannya yang teguh bahwa dia tidak berbeda dengan rekan-rekannya di Korea Selatan.
"Setelah melalui perjalanan selama berbulan-bulan melintasi China dan Laos, saya merasa seolah-olah saya yatim piatu, dikirim untuk tinggal di negara asing," katanya
Tapi ketika dia mendarat di bandara di Seoul, petugas bandara menyambutnya dengan sapaan "annyeonghaseyo".
Kata yang berarti halo, yang digunakan di Korea Utara dan Selatan, mengejutkannya.
"Saya menyadari bahwa kami adalah orang yang sama di tanah yang sama. Saya tidak datang ke negara yang berbeda. Saya hanya bepergian ke selatan."
Dia duduk di bandara dan menangis selama 10 menit.
Songmi mengatakan dia sekarang telah menemukan tujuannya, yaitu mengadvokasi kedua Korea untuk dipersatukan kembali.
Ini adalah masa depan yang banyak diimpikan orang Korea Selatan, tetapi banyak yang tidak percaya pada mimpi itu.
Semakin lama waktu berlalu sejak kedua negara ini terpecah, semakin sedikit orang, terutama kaum muda, yang melihat perlunya keduanya bersatu kembali.
Songmi mengajar di sekolah-sekolah mengenai Korea Utara. Dia bertanya siapa di antara murid-murid itu yang memikirkan reunifikasi, dan biasanya hanya beberapa orang yang mengangkat tangan.
Tetapi ketika dia meminta mereka untuk menggambar peta Korea, sebagian besar membuat sketsa garis besar dari seluruh semenanjung, termasuk Korea Utara dan Selatan. Ini memberinya harapan.
Selama Songmi membangun kembali hubungannya dengan ibunya, hanya ada sedikit ketegangan.
Mereka sering tertawa dan berpelukan, dan Songmi kerap mengusap air mata ibunya ketika mereka mengenang momen menyakitkan dari masa lalu masing-masing.
Pilihan ibunya tepat, kata Songmi, karena mereka berdua kini hidup bahagia di Korea Selatan.
Myung-hui mungkin awalnya tidak bisa mengenali putrinya, tetapi ibu dan anak itu terlihat sangat mirip. Sekarang dia bisa melihat dirinya ketika berusia 19 tahun pada putrinya.
Hubungan mereka lebih seperti persahabatan atau saudara perempuan. Songmi senang bercerita kepada Myung-hui mengenai kencan-kencannya.
Hanya ketika mereka berdebat, dia baru merasakan, “Wow, saya benar-benar tinggal bersama ibu saya,” katanya sambil tertawa.
Laporan tambahan oleh Hosu Lee.