Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Kisah Suster dan Biarawan yang Saling Jatuh Cinta hingga Akhirnya Menikah
2 Januari 2023 16:00 WIB
·
waktu baca 10 menitMary Elizabeth telah menjalani kehidupan yang saleh, sederhana, dan sunyi sebagai suster Ordo Karmel dalam agama Katolik. Selama bertahun-tahun dia menghabiskan hari-harinya dalam sebuah sel ordo tersebut di Inggris Utara.
Tetapi, sebuah pertemuan singkat dengan seorang biarawan berujung pada sebuah pesan: "Apakah kamu rela meninggalkan ordomu dan menikah dengan saya?"
Kisah ini bermula ketika Suster Mary Elizabeth menyentuh lengan baju seorang biarawan di ruang tamu biara di Preston, Lancashire. Kejadian tersebut mengubah hidup Suster Mary yang telah menjadi biarawati selama 24 tahun.
Awalnya kepala biara Ordo Karmel di Preston meminta Elizabeth bertemu dengan bruder Robert, yang sedang berkunjung dari biara Karmel di Oxford, untuk menawarkan makanan kepadanya.
Namun, kepala biara pergi sebentar untuk menjawab panggilan telepon. Sehingga, dia meninggalkan mereka berdua saja.
"Itu pertama kali kami berada di satu ruangan. Kami duduk di meja dan dia makan. Ketika kepala biarawati tidak kembali, saya mempersilakannya keluar ruangan."
Saat Suster Mary Elizabeth membukakan pintu bagi Robert, secara tak sengaja dia menyentuh lengan baju sang bruder dan dia merasakan sebuah setruman.
"Saya merasakan koneksi emosional saat itu, sesuatu, dan saya malu akan perasaan tersebut. Dan saya pikir, aduh, apakah dia merasakan itu juga. Dan ketika saya mengiringinya keluar ruangan, saya agak canggung."
Sekitar seminggu kemudian ia menerima pesan Robert yang bertanya apakah dia mau meninggalkan ordo untuk menikah dengannya.
"Saya sedikit kaget. Saya mengenakan kerudung sehingga ia tidak pernah melihat warna rambut saya. Ia tidak mengetahui apapun tentang saya sebenarnya, ia tidak tahu mengenai masa lalu saya. Bahkan, ia tidak tahu nama asli saya," ungkap dia.
Sebelum memasuki Ordo Karmel pada usia 19 tahun, Suster Mary Elizabeth dikenal dengan nama Lisa Tinkler, yang berasal dari Middlesbrough.
Meski orangtuanya tidak beragama, ziarah tantenya ke Lourdes membangkitkan sesuatu di dalam Lisa yang berumur enam tahun. Bahkan, ia meminta kepada ayahnya untuk mendirikan altar di kamarnya.
"Saya memiliki patung kecil Bunda Maria di atasnya dan botol kecil berisi air dari Lourdes. Sebenarnya, saya pikir yang suci adalah botolnya, bukan airnya - sehingga saya terus mengisinya dari keran dan minum air itu," kata Lisa.
Lisa kemudian menemukan salah satu gereja Katolik Roma di kotanya dan ia duduk sendirian di barisan kedua.
Di situlah, ia menumbuhkan rasa cinta mendalam kepada Bunda Maria, ibunda Yesus, serta perasaan bahwa dia punya panggilan.
Sebuah retret yang digelar di biara saat ia masih remaja membuat dia semakin yakin akan panggilan itu. Biara itu diurus oleh para suster Karmel dari ordo yang didirikan sejak abad ke-12.
Kehidupan di situ cukup sederhana, terpencil, dan ketat - tetapi dia memutuskan bahwa itulah kehidupan yang ingin dia jalani.
Walaupun Lisa ingin langsung bergabung, ibunya - yang sebenarnya kurang setuju dengan keputusan anaknya - diam-diam menulis surat kepada kesusteran untuk meminta kepergian Lisa ditunda beberapa bulan. Supaya Lisa dapat menghabiskan satu Natal terakhir di rumah.
Ia bergabung pada tahun baru.
"Sejak saat itu, saya hidup bagaikan pertapa. Kami mendapatkan waktu rekreasi dua kali sehari selama setengah jam. Saat itu kami boleh berbicara, tapi di luar waktu tersebut kami berdiam diri di bilik masing-masing. Kami tidak bekerja dengan siapapun, selalu sendirian," kata Lisa Tinkler—nama Suster Mary Elizabeth sebelum menjadi biarawati.
Beberapa tahun berlalu, Suster Mary Elizabeth mulai merasa perbendaharaan katanya berkurang karena dia tidak punya banyak hal untuk dibicarakan bersama biarawati lain yang umurnya jauh di atas dia.
Ia hanya bisa membicarakan cuaca dan keindahan alam di kebun. Ia hanya bertemu dengan ibunya empat kali lewat jeruji.
"Saat saya berulang tahun yang ke-21, kue saya dan kartu-kartu ucapan dikirim lewat laci. Dan ketika keponakan saya lahir, ia dibawa lewat meja putar," katanya sambil tertawa, mengingat kembali momen itu.
Dia menjabarkan bagaimana ia merasa 'dunia internal' terbuka namun dunia luar mulai tertutup baginya. Ada perasaan tenang dan puas.
Akan tetapi pada hari itu, di ruang tamu biara, segalanya berubah dengan sentuhan lengan dan pesan yang memintanya untuk meninggalkan kehidupan biarawati untuk menikah.
Suster Mary Elizabeth tidak memberikan Robert jawaban dan tidak tahu harus berbuat apa. Meski Robert tidak tahu apa-apa tentang dirinya, Suster Mary Elizabeth tahu sedikit tentang dia.
Saat bruder Robert berkunjung dari Oxford ke pusat retret Karmel di Preston, Suster Mary Elizabeth kerap kali memimpin misa di biara terdekat. Suster Mary Elizabeth menyimak khotbahnya dari balik jeruji.
Dengan mendengar anekdot yang bruder Robert bawakan, Suster Mary Elizabeth mendapatkan sedikit pengetahuan tentang kehidupannya. Bruder Robert dibesarkan di Silesia, Polandia, dekat perbatasan Jerman dan begitu cinta pada pegunungan.
Meski begitu, Suster Mary Elizabeth mengakui khotbah sang biarawan tidak memiliki pengaruh besar padanya.
Kini, tiba-tiba semua berubah.
"Saya tidak tahu bagaimana perasaannya jatuh cinta dan saya pikir suster-suster lain bisa melihatnya di wajah saya. Saya menjadi gugup. Saya merasa ada yang berubah dalam diri saya dan itu menakutkan bagi saya," katanya.
Suster Mary Elizabeth akhirnya memberanikan diri untuk bercerita kepada kepala biaranya mengenai perasaan yang ia miliki untuk Bruder Robert, tetapi ia hanya mendapat tanggapan tidak percaya.
"Dia tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi sebab kami berada di bawah pengawasannya sepanjang waktu. Sang kepala biara bingung bagaimana kami bisa jatuh cinta dengan kontak yang sangat singkat itu," kata Lisa.
Suster Mary Elizabeth sudah membayangkan reaksi keluarganya, atau uskupnya, jika ia meninggalkan biara. Ia juga bergumul dengan perasaan apakah hubungannya dengan Tuhan akan berubah.
Tetapi percakapannya dengan kepala biara membuat dia melakukan sesuatu yang mengejutkan.
"Kepala biara cukup galak terhadap saya, jadi saya mengenakan celana dan memasukakn sikat gigi ke dalam tas dan keluar, dan saya tidak permah kembali sebagai Suster Mary Elizabeth," ujar Lisa Tinkler kepada saya.
Bruder Robert mengirim pesan kepada Lisa yang mengatakan ia berencana berkunjung ke Preston lagi di sore hari. Kali ini, untuk bertemu teman Karmel untuk meminta saran di bar terdekat.
Temannya merupakan orang pertama yang ia percayai untuk tahu tentang situasi dia dan Lisa.
Lisa menebak mereka akan bertemu di restoran Black Bull sekitar satu mil di jalan, jadi ia memutuskan untuk pergi ke sana.
Namun, bukannya menjadi momen yang menyenangkan, Lisa malah terlempar ke dalam kekacauan yang mendalam pada malam November 2015 itu.
"Hujan deras turun saat saya menelusuri jalan Garstang. Mobil-mobil datang ke arah saya dengan lampu depan yang terang dan saya hanya berpikir 'Saya bisa mengakhiri ini,'" katanya, merujuk pada keinginannya untuk bunuh diri sesaat.
"Saya benar-benar berjuang, saya pikir saya harus mencegah ini terjadi agar Robert dapat melanjutkan hidupnya. Tetapi saya juga bertanya-tanya apakah dia benar-benar yakin dengan apa yang dia katakan tentang [ingin] menikah."
Tapi Lisa terus berjalan sampai dia tengah malam dalam kondisi basah kuyup, tanpa mantel, dalam pakaian susternya di luar restoran Black Bull. Dia baru memberanikan diri untuk masuk ke dalam ketika dia melihat sang bruder duduk di dalam melalui pintu yang terbuka.
"Ketika saya melihatnya, jantung saya berhenti," kata Robert.
Tetapi sebenarnya saya lumpuh karena rasa takut, bukan kebahagiaan, karena saya tahu pada momen itu bahwa saya harus sepenuhya memberikan diri untuk Lisa, tetapi saya juga tahu kami belum siap untuk itu," kata dia.
Robert sudah menjadi biarawan Karmel selama 13 tahun sampai titik itu. Ia seorang pemikir, akademisi, dan teolog yang masuk ke dalam kehidupan biara untuk mencari makna dalam apa yang ia gambarkan sebagai krisis iman dan identitas.
Ketika sekarang dia menengok ke masa lalunya, ia merasa cara dia dibesarkan membuat kebingungan itu tidak bisa dihindari. Ia dibesarkan di wilayah yang baru beralih dari Jerman ke Polandia, dengan ayah yang beragama Kristen Lutheran dan ibu yang memeluk agama Katolik.
Tetapi periode itu cukup gelap baginya setelah hubungan yang gagal membuat Robert terus mencari rasa pemenuhan di Inggris - terlepas dari teologi Protestan Lutheran yang telah ia anut - di biara Katolik Roma Ordo Karmel di mana dia menemukan pelipur lara.
"Sebelumnya, saya tidak tahu banyak tentang Karmel dan tidak pernah memikirkan ingin menjadi biara. Padahal, saya selalu curiga akan bentuk ekspresi kepercayaan apapun," kata Robert.
Tetapi ia mengatakan ordonya mengajarkannya untuk menerima kegelapan, kesulitan, dan krisis itu hingga ia merasa tenang. Namun, pertemuannya dengan Lisa yang saat itu ia hanya kenal sebatas namanya, Suster Mary Elizabeth, yang memutarbalikkan hidupnya.
"Sentuhannya pada lengan baju saya memulai suatu perubahan. Meski saya merasa ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam hati, saya tidak pernah merasa jatuh cinta secara tak waras, karena dengan menjadi biara atau suster, kami diajarkan cara mengatasi emosi itu," kata Robert.
Ia menjelaskan pesannya kepada Lisa yang memintanya untuk menikah merupakan pergulatan intelektual dengan dirinya.
"Saat dia hadir di bar, setan kecil dalam diri saya ketakutan. Tetapi rasa takut bukanlah terkait iman atau kepercayaan saya, melainkan mengenai bagaimana saya akan memulai hidup baru pada usia 53 tahun," kata dia.
Perubahan itu sulit, terutama pada awal-awal. Lisa mengingat sebuah momen menjelang Natal, setelah mereka meninggalkan kehidupan biara.
"Saya melihat Robert dan dia terlihat tertekan dan menangis. Pada saat itu, kami berdua telah mencapai titik terpuruk dan merasa seperti kami seharusnya meminum sesuatu seperti Romeo dan Juliet untuk mengakhiri semua ini," kata Lisa.
"Sulit sekali karena kami berdua merasa sangat sendirian dan terisolasi dan kami tidak tahu harus melakukan apa untuk melangkah maju. Tetapi kami berpegangan tangan dan melewati semua itu," kata Lisa.
Mereka menceritakan momen di pusat penyaluran tenaga kerja saat mereka mencucurkan air mata ketika ditanya mengenai keahlian mereka - dan saat mereka mengendarai mobil dari Preston ke Yorkshire.
"Saya membeli buku dalam bahasa Polandia tentang para biarawati yang meninggalkan ordo mereka dengan berbagai alasan. Saya membaca dan menerjemahkannya bagi Lisa dalam mobil. Tetapi ia harus menepi di jalur M62."
"Kami berdua sampai menangis karena kisah-kisah itu sangat emosional dan kami bisa terhubung dengan mereka," kata Robert.
Hal yang membawa mereka damai menjadi hal yang mengarahkan mereka ke biara di awal - terhubung dengan keyakinan personal.
"Sepanjang hidup religius, mereka mengatakan hati kami seharusnya tak terbagi dan diberikan sepenuhnya kepada Tuhan. Tiba-tiba, saya merasa hati saya tumbuh lebih besar untuk merangkul Robert, tetapi saya sadar bahwa hatiku masih mampu menampung segala hal di dalamnya. Saya tidak memiliki perasaan berbeda tentang Tuhan dan itu meyakinkan saya," kata Lisa.
Lisa pertama bekerja di rumah duka dan kemudian sebagai pendeta rumah sakit.
Meski ia sempat sedih setelah menerima surat dari Roma yang mengatakan dirinya sudah tidak lagi menjadi anggota Ordo Karmel, Robert kemudian diterima oleh Gereja Inggris.
Mereka menikah, dan kini tinggal bersama di kampung Hutton Rudby di Yorkshire Utara. Di sana pula Robert ditahbiskan sebagai pendeta di gereja setempat. Mereka masih dalam proses beradaptasi dengan kehidupan di luar biara.
Terutama Lisa yang sudah terisolasi selama 24 tahun dan tidak memiliki kehidupan akademik seperti Robert, mengaku merasa seperti pengamat dunia luar. Baru sekarang dia mencoba-coba gaya rambut dan gaya berpakaian apa yang cocok untuknya setelah ia tidak lagi wajib mengenakan baju suster.
Mereka berdua masih merindukan beberapa aspek kehidupan ordo. Lisa bahkan mengatakan jika tidak ada Robert, ia akan kembali menjadi biarawati Karmel besok.
Kami sudah terbiasa dengan kesunyian dan kesendirian, dua hal yang sulit ditemukan dalam urusan duniawi. Anda ditarik ke segala arah, sehingga terus menjadi tantangan bagi saya dan Robert untuk terpusat dan tenang," kata Lisa.
Tetapi mereka menemukan solusi yang ampuh.
"Saya sering merasa seperti saya hidup di biara bersama Robert, seperti dua orang dari Ordo Karmel yang melakukan segala hal untuk Tuhan. Kami memusatkan diri kita pada doa tetapi cinta bisa membuat sakramen untuk semua yang kami lakukan dan saya menyadari tidak ada yang benar-benar berubah bagi saya," katanya.
Lisa mengatakan mereka berdua setuju bahwa ada tiga orang dalam pernikahan mereka.
"Tuhan ada di tengah pernikahan ini dan didahulukan di atas segalanya. Kalau kami menghilangkannya dari dari persamaan, saya pikir kami tidak akan bertahan lama."
Fotografi oleh Ian Forsyth