Konten Media Partner

Kisah Tiga Paus dari Afrika Mengubah Kekristenan dan Memberi Hari Valentine

4 Mei 2025 7:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kisah Tiga Paus dari Afrika Mengubah Kekristenan dan Memberi Hari Valentine

Paus Victor I (kiri), Paus Gelasius I, dan Paus Militades (kanan) diyakini berasal dari Afrika.
zoom-in-whitePerbesar
Paus Victor I (kiri), Paus Gelasius I, dan Paus Militades (kanan) diyakini berasal dari Afrika.
Afrika Utara saat ini didominasi umat Islam. Tapi kawasan ini dulunya adalah 'jantung' agama Kristen yang telah melahirkan sejumlah Paus. Warisan mereka dapat dirasakan oleh jemaat Gereja hingga hari ini.
Wilayah kepausan mereka, yang berlangsung pada masa Kekaisaran Romawi, mencakup Tunisia modern, timur laut Aljazair, hingga pantai Libia barat.
"Afrika Utara adalah Sabuk Alkitab Kekristenan kuno," kata Prof Christopher Bellitto, seorang sejarawan Kean University di AS.
Setelah Paus Fransiskus wafat, banyak umat Katolik di Afrika berharap Paus selanjutnya akan kembali berasal dari benua itu untuk pertama kalinya semenjak lebih dari 1.500 tahun yang lalu.
Melalui artikel ini, kita akan berjumpa dengan tiga Paus dari Afrika - dan bagaimana mereka membuat umat Kristen merayakan Minggu Paskah dan Hari Valentine.
Ketiganya telah diakui Gereja sebagai santo alias orang kudus.

Victor I (189-199)

Dianggap berasal dari Berber (penduduk asli Afrika Utara), Paus Victor I memimpin Gereja Katolik pada saat pengikut Yesus Kristus dipersekusi oleh para pejabat Romawi karena menolak menyembah dewa-dewa Romawi.
Dia mungkin paling dikenal atas perannya dalam memastikan orang Kristen merayakan Paskah pada hari Minggu.
Pada abad ke-2, beberapa kelompok Kristen dari Provinsi Romawi Asia (di Turki modern) merayakan Paskah pada hari yang sama saat orang Yahudi merayakan Paskah Yahudi [Passover, untuk merayakan pembebasan orang Yahudi dari perbudakan di Mesir].
Namun, umat Kristen di bagian barat Kekaisaran Romawi percaya bahwa Yesus Kristus dibangkitkan pada hari Minggu sehingga Paskah harus selalu dirayakan pada hari itu.
Perdebatan tentang kapan kebangkitan Yesus Kristus terjadi membuat masalah ini sangat kontroversial.
"Kontroversi Paskah" adalah simbol dari konflik yang lebih besar antara umat Kristen Timur dan Barat, dan apakah orang Kristen harus mengikuti praktik orang Yahudi atau tidak.
Victor I mengadakan Sinode Romawi pertama atau pertemuan para pemimpin Gereja—untuk menyelesaikan kebuntuan tersebut.
Dia mengancam para uskup akan diasingkan dari Gereja jika menolak mematuhi keinginannya.
"Dia bersuara tegas untuk membuat semua orang benar-benar punya pemahaman yang sama dengannya," kata Prof Bellitto kepada BBC.
Ini adalah karakter yang mengesankan, kata sejarawan itu, karena "dia adalah Uskup Roma ketika Kekristenan masih dianggap bertentangan dengan hukum di kekaisaran Romawi."
Warisan penting lainnya dari Victor I adalah dia memperkenalkan bahasa Latin sebagai bahasa umum Gereja Katolik. Sebelumnya, bahasa Yunani Kuno adalah bahasa utama untuk Liturgi Katolik dan komunikasi resmi Gereja.
Victor I sendiri menulis dan berbicara dalam bahasa Latin yang saat itu digunakan secara luas di Afrika Utara.

Miltiades (311-314)

Paus Miltiades diyakini lahir di Afrika.
Selama masa kepausannya, kekristenan semakin diterima oleh para kaisar Romawi dan akhirnya menjadi agama resmi Kekaisaran.
Sebelumnya, persekusi terhadap umat Kristen berlangsung pada berbagai momen dalam sejarah Kekaisaran.
Meski begitu, Prof Bellitto menunjukkan bahwa Miltiades tidak berperan atas perubahan ini. Dia mengatakan Paus adalah "penerima kebaikan hati Romawi" ketimbang negosiator yang hebat.
Miltiades diberi sebuah istana oleh Kaisar Romawi Konstantinus, dan menjadi paus pertama yang punya kediaman resmi.
Dia juga diberi izin oleh Konstantinus untuk membangun Basilika Lateran yang sekarang tercatat sebagai gereja publik tertua di Roma.
Walau Paus modern tinggal dan bekerja di Vatikan, Gereja Lateran kadang-kadang disebut dalam Katolik sebagai "induk dari semua gereja".

Gelasius I (492-496)

Gelasius I adalah satu-satunya di antara tiga paus Afrika yang menurut para sejarawan tidak lahir di Afrika.
"Ada sumber mengenai dia... lahir di Roma. Jadi kami tidak tahu apakah dia [pernah] tinggal di Afrika Utara, tetapi tampaknya jelas bahwa dia adalah keturunan Afrika Utara," jelas Prof Bellitto.
Dia adalah sosok yang paling penting di antara tiga pemimpin umat Kristen asal Afrika, menurut Prof Bellitto.
Gelasius I secara luas diakui sebagai Paus pertama yang secara resmi disebut "Vikaris Kristus", sebuah istilah yang menandakan peran Paus sebagai wakil Kristus di Bumi.
Dia juga mengembangkan Doktrin Dua Pedang, yang menekankan kekuasaan Gereja dan negara yang terpisah tetapi setara.
Gelasius I juga membuat perbedaan tegas bahwa kedua kekuasaan diberikan kepada Gereja oleh Tuhan. Gereja kemudian mendelegasikan kekuasaan duniawi kepada negara. Inilah yang membuat Gereja pada akhirnya lebih unggul.
"Setelahnya, pada Abad Pertengahan, Paus kadang-kadang mencoba memveto pemilihan kaisar atau raja, karena mereka mengatakan Tuhan memberi kekuasaan itu kepada mereka," kata Prof Bellitto.
Gelasius I juga dikenang karena tanggapannya terhadap Skisma Akasia—perpecahan antara Gereja Kristen Timur dan Barat yang berlangsung dari tahun 484 hingga 519.
Selama periode ini, Gelasius I menegaskan supremasi Roma dan kepausan atas seluruh Gereja, baik Timur maupun Barat, yang diyakini para ahli melangkah terlalu jauh daripada pendahulunya.
Gelasius juga bertanggung jawab atas perayaan populer yang masih dirayakan banyak orang sampai sekarang, yaitu perayaan Hari Valentine pada tanggal 14 Februari tahun 496 untuk memperingati Santo Valentine.
Beberapa catatan mengatakan Valentine adalah seorang pendeta yang terus melakukan pernikahan secara rahasia meski dilarang oleh Kaisar Claudius II.
Sejarawan percaya bahwa Hari Valentine berakar pada festival cinta dan kesuburan Romawi, Lupercalia, dan merupakan langkah Gelasius I untuk mengkristenkan tradisi pagan.

Seperti apa wajah paus asal Afrika?

Setelah Gelasius I, tidak ada paus lain yang diyakini berasal dari provinsi Romawi di Afrika.
Prof Bellitto mengatakan tidak ada cara untuk mengetahui, dengan tingkat akurasi apa pun, seperti apa wajah ketiga paus itu.
"Kita harus ingat bahwa Kekaisaran Romawi, dan memang Abad Pertengahan, tidak memikirkan ras seperti yang kita pikirkan saat ini. Itu tidak ada hubungannya dengan warna kulit," katanya kepada BBC.
"Orang-orang di Kekaisaran Romawi tidak ada bermasalah dengan ras, tapi mereka peduli dengan etnisitas."
Prof Philomena Mwaura, seorang akademisi di Universitas Kenyatta Kenya, mengatakan kepada BBC bahwa Afrika di bawah kekuasaan Romawi sangat multikultural. Kelompok Berber dan Punic, budak-budak yang telah merdeka, hingga orang-orang dari Roma berdatangan ke Afrika.
"Komunitas Afrika Utara cukup beragam, dan itu juga merupakan rute perdagangan bagi banyak orang yang terlibat dalam perdagangan di zaman kuno sebelumnya," jelasnya.
Alih-alih mengidentifikasi diri dengan kelompok etnis tertentu, "kebanyakan orang yang berasal dari daerah dalam Kekaisaran Romawi menganggap diri mereka sebagai Romawi," tambah Prof Mwaura.

Mengapa tidak ada lagi Paus dari Afrika?

Tak satu pun dari 217 Paus sejak Gelasius I yang diyakini berasal dari Afrika.
"Gereja di Afrika Utara dilemahkan oleh banyak kekuatan, termasuk jatuhnya Kekaisaran Romawi dan juga serbuan Muslim [ke Afrika Utara] pada abad ke-7," kata Prof Mwaura.
Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa hadirnya Islam di Afrika Utara tidak bisa menjelaskan kenapa tidak ada Paus dari kawasan tersebut selama lebih dari 1.500 tahun.
Prof Bellitto mengatakan proses pemilihan Paus baru menjadi "monopoli Italia" selama bertahun-tahun.
Namun, dia mengatakan ada kemungkinan besar seorang Paus dari Asia atau Afrika akan terpilih dalam waktu dekat karena jumlah umat Katolik di belahan bumi selatan jauh lebih besar daripada mereka yang tinggal di belahan utara.
Faktanya, agama Katolik berkembang lebih cepat di Afrika sub-Sahara saat ini daripada di tempat lain.
Angka terbaru menunjukkan ada 281 juta umat Katolik di Afrika pada tahun 2023. Ini menyumbang 20% dari jemaat di seluruh dunia.
Tiga orang Afrika menjadi kandidat untuk menggantikan Paus Fransiskus—Fridolin Ambongo Begungu dari Republik Demokratik Kongo, Peter Kodwo Appiah Turkson dari Ghana, dan Robert Sarah dari Guinea.
Tetapi Prof Mwaura berpendapat bahwa "meskipun Kekristenan sangat kuat di Afrika, kekuatan Gereja masih di utara, karena mereka memiliki sumber daya."
"Mungkin, karena terus menguat di benua Afrika dan semakin mandiri, akan tiba masanya ada paus dari Afrika," katanya.