Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Kisah Warga Nepal Bangun Museum Replika Karya Seni demi Repatriasi Patung dan Artefak yang Dicuri – 'Kembalikan Dewa-Dewa Kami'
28 September 2024 13:45 WIB
Kisah Warga Nepal Bangun Museum Replika Karya Seni demi Repatriasi Patung dan Artefak yang Dicuri – 'Kembalikan Dewa-Dewa Kami'
Ratusan patung dewa dan artefak bersejarah di Nepal hilang sejak 1960-an hingga 1980-an. Dalam beberapa tahun terakhir, artefak tersebut ditemukan di museum, balai lelang, dan koleksi pribadi di Barat. Demi mendorong repatriasi, seorang pelestari budaya Nepal membangun museum yang menawarkan replika sebagai ganti patung dewa yang dicuri.
Patung Saraswati adalah favorit Rabindra Puri.
Duduk di atas bunga teratai, dewi kebijaksanaan Hindu itu memegang sebuah buku, tasbih, dan alat musik klasik yang disebut veena di keempat tangannya. Dengan tatapan tajam, patung Saraswati tampak bernyawa.
Namun, di samping karya seni tersebut terdapat foto yang memperlihatkan patung tanpa kepala dengan keterangan yang mengatakan bahwa kepala patung tersebut dicuri pada tahun 1980-an. Keberadaannya saat ini masih belum diketahui.
“Seorang perempuan tua bercerita kepada saya kalau dia dulu memuja Dewi Saraswati setiap hari,” kata Puri.
“Ketika dia mengetahui patung itu dicuri, dia merasa lebih tertekan daripada ketika suaminya meninggal.”
Patung Saraswati merupakan salah satu dari 45 replika patung yang ada di Museum of Stolen Art (Museum Karya Seni Curian) miliknya di Nepal, yang akan dibuka pada 2026 mendatang.
Dalam lima tahun terakhir, ia telah mempekerjakan sejumlah perajin untuk membuat replika patung-patung tersebut, dengan masing-masing membutuhkan waktu antara tiga bulan hingga satu tahun untuk menyelesaikannya.
Tidak ada pendanaan dari pemerintah, jadi Puri mendedikasikan 50% dari kekayaan pribadinya untuk museum dan proyek konservasi lainnya.
“Saya ingin para pengunjung menangis dan darah mereka mendidih pada saat yang sama…sehingga mereka dapat mendukung kampanye repatriasi,” kata pria berusia 54 tahun itu.
Lebih dari 400 artefak di Nepal hilang dari kuil dan biara di seluruh negeri. Namun menurut Kepala Ddepartemen Arkeologi Nepal, angka itu hanya estimasi paling rendah, jumlah sebenarnya diperkirakan lebih tinggi.
Banyak patung dewa-dewa yang hilang ini dicuri sejak 1960-an hingga 1980-an, ketika Nepal membuka diri terhadap dunia luar setelah lebih dari satu abad mengisolasi diri di bawah pemerintahan dinasti Ranas. Kerajaan menggulingkan Ranas dan mengambil alih kekuasaan.
Orang-orang yang dekat dengan istana mendominasi setiap aspek kehidupan, dan "kolusi" antara para pejabat yang berkuasa dengan beberapa penduduk setempat memicu pencurian artefak, menurut sekretaris Nepal Heritage Recovery Campaign, Sanjay Adhikari.
"Pencuri setempat kemungkinan terpancing untuk mencuri, yang akhirnya dibawa pergi dari negara ini."
Patung-patung tersebut tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi "barang pameran" karena merupakan bagian dari "budaya hidup" Nepal, kata Adhikari.
Patung-patung ini—yang hampir ada di semua kuil di seluruh Nepal, jarang dijaga karena disembah oleh penduduk setempat setiap hari. Pencurian tersebut membuat masyarakat merasa seperti mereka telah "kehilangan kepercayaan dan pelindung".
Meskipun jumlah pencurian telah menurun, beberapa tempat kemudian melindungi patung-patung dewa dengan mengurung mereka dalam kandang besi.
Selama beberapa dekade, sebagian besar warga Nepal tidak tahu keberadaan artefak sejarah dan patung-patung dewa mereka yang hilang. Namun hal ini berubah setelah kampanye pemulihan warisan nasional dimulai pada 2021.
Para aktivis menemukan banyak patung-patung ini sekarang berada di museum, balai lelang, atau koleksi pribadi di negara-negara Barat seperti AS, Inggris, dan Prancis.
Mereka kemudian bekerja sama dengan pemerintah untuk menekan lembaga-lembaga luar negeri agar mengembalikan karya-karya tersebut.
Kalung Taleju
Namun ada banyak rintangan dalam proses repatriasi artefak yang hilang, dan Kalung Taleju—yang sejarahnya dapat ditelusuri kembali ke abad ke-17—adalah contoh kasusnya.
Pada 1970, kalung berlapis emas raksasa yang diukir dengan batu-batu berharga hilang dari Kuil Taleju—dewi yang diyakini para penyembahnya memberikan kekuasaan kepada raja-raja Dinasti Malla yang berkuasa dari tahun 1201 hingga 1779.
Hilangnya kalung tersebut semakin mengejutkan masyarakat karena kuil tersebut hanya dibuka untuk umum setahun sekali—pada hari kesembilan Festival Dashain.
Sebagian besar publik Nepal tidak mengetahui keberadaan Kalung Taleju hingga tiga tahun lalu, ketika Dr Sweta Gyanu Baniya—seorang akademisi Nepal yang tinggal di AS—mengunggah foto kalung tersebut saat berada di Institut Seni Chicago di X.
“Kami terkejut setelah mengetahui bahwa karya ini dipajang di museum Amerika selama bertahun-tahun,” kata Uddhay Karmacharya, kepala pendeta di Kuil Taleju.
Dia telah menyerahkan dokumen yang membuktikan asal usul patung tersebut kepada pihak berwenang Nepal.
“Hari saat barang itu dikembalikan akan menjadi hari terpenting dalam hidup saya.”
Kalung tersebut merupakan hadiah dari Alsdorf Foundation, menurut situs Institut Seni Chicago. Juru bicara Institut Seni Chicago mengatakan kepada BBC bahwa mereka masih menunggu tanggapan dari pemerintah Nepal setelah meminta informasi tambahan pada Mei 2022.
Pradhananga—yang mengepalai Departemen Arkeologi Nepal—mengatakan mereka telah memberikan cukup bukti, termasuk catatan arsip dan prasasti pada kalung tersebut yang menyebut kalung itu dibuat khusus oleh Raja Pratap Malla untuk Dewi Taleju.
Baca juga:
Lembaga-lembaga Barat sering menggunakan "taktik menunda" untuk "meniadakan semangat juang kampanye repatriasi", menurut aktivis Kanak Mani Dixit.
"Mereka suka menggunakan kata 'asal-usul' dengan meminta bukti dari kami. Tanggung jawab untuk membuktikan bahwa itu milik Nepal dibebankan kepada kami, bukan kepada mereka sendiri tentang bagaimana mereka mendapatkannya."
Pemerintah Nepal tidak memiliki sumber daya yang memadai, mengumpulkan bukti juga menjadi tantangan tersendiri, kata Pradhananga dari Departemen Arkeologi Nepal.
Menurut para aktivis, beberapa negara lebih terbuka terhadap repatriasi.
Seperti misalnya Kedutaan Besar AS yang telah bekerja sama dengan Nepal untuk memfasilitasi pengembalian 100 artefak yang dimiliki oleh museum Amerika atau koleksi pribadi dalam satu dekade terakhir.
Namun, Inggris dan Prancis tampak "enggan", kata para aktivis.
Seorang pejabat Inggris mengatakan kepada BBC bahwa mereka tidak bisa campur tangan dalam kasus-kasus semacam ini karena museum dan galeri "beroperasi secara independen dari pemerintah".
Kedutaan Besar Prancis mengatakan mereka enggan berkomentar mengenai masalah ini.
Beberapa balai lelang Prancis akan menghentikan penjualan saat mereka melakukan intervensi, tetapi "hanya untuk menjualnya lagi nanti", kata Adhikari.
Namun beberapa kemajuan telah dicapai dan sekitar 200 artefak telah dikembalikan ke Nepal sejak tahun 1986—tetapi sebagian besar repatriasi terjadi dalam satu dekade terakhir.
Saat ini, 80 artefak yang dipulangkan disimpan di galeri khusus Museum Nasional Nepal, menunggu proses konservasi sebelum dikembalikan ke tempat asalnya.
Enam patung telah dikembalikan ke masyarakat sejak 2022.
Dua tahun lalu, patung Laxmi Narayan dikembalikan ke sebuah kuil di Patan, sebuah kota dekat ibu kota Kathmandu, setelah AS mengembalikannya.
Patung itu menghilang sejak 1984, dan dipajang di Museum Seni Dallas, AS, selama lebih dari 30 tahun.
Saat itu, museum mengatakan mereka telah membuat "tindakan yang etis dan tepat” dan "memastikan pemindahan objek yang tak ternilai ini dengan aman ke rumahnya".
Penduduk setempat kembali memuja dewa tersebut, seperti yang dilakukan nenek moyang mereka saat patung tersebut dibuat pada abad ke-10.
Sebagai tanda niat baik, Puri menghadiahkan replika patung Laxmi Narayan kepada duta besar Amerika. Ia berjanji akan memberikan replikanya secara gratis sebagai ganti patung yang dikembalikan.
“Saya ingin memberi tahu museum dan siapa pun yang menyimpan artefak curian: Kembalikan dewa-dewa kami!” katanya.
“Anda boleh memiliki karya seni kami.”