Konten Media Partner

Kisruh Revisi UU Pilkada Disebut Beri Momentum bagi Prabowo untuk Melepaskan Diri dari Bayang-Bayang Jokowi — ‘Tidak Boleh Ada Matahari Kembar’

27 Agustus 2024 12:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kisruh Revisi UU Pilkada Disebut Beri Momentum bagi Prabowo untuk Melepaskan Diri dari Bayang-Bayang Jokowi — ‘Tidak Boleh Ada Matahari Kembar’

Presiden terpilih Prabowo Subianto mencoba mengambil untung dari kekisruhan revisi UU Pilkada, kata pengamat. Saat sebagian masyarakat menyudutkan Presiden Jokowi dan keluarganya, Prabowo dan partai pendukungnya disebut mencaplok peluang untuk tampil bak pahlawan. Dia juga dianggap pengamat memanfaatkan momentum untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi. Benarkah hubungan Prabowo-Jokowi telah retak?
Di hari-hari setelah aksi unjuk rasa di berbagai kota untuk menolak revisi kilat UU Pilkada, petinggi Partai Gerindra seperti Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman muncul di publik dengan pernyataan dan aksi yang seakan berusaha merebut simpati masyarakat, kata pengamat.
Prabowo sebagai ketua umum Gerindra dan presiden terpilih pun sempat menyentil mereka yang “haus dengan kekuasaan”, dan bagaimana kekuasaan “hendak dibeli”.
Itu semua terjadi di tengah derasnya hujatan kepada Presiden Jokowi dan keluarganya setelah batalnya revisi UU Pilkada.
Pengamat menilai Gerindra seakan “lupa ingatan” bahwa mereka juga ikut bertanggung jawab terhadap kekisruhan yang terjadi dan membiarkan narasi berkembang bahwa semua salah Jokowi.
Prabowo pun disebut memanfaatkan momentum untuk mulai mengambil jarak dari Jokowi, yang selama ini tampak mendukungnya hingga memenangkan pemilu presiden.
“Satu-satunya orang yang benar-benar diuntungkan oleh situasi ini sebenarnya adalah Prabowo,” ujar Made Supriatma, peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute.
Kubu Prabowo dan pihak istana sepakat melempar narasi bahwa isu keretakan hubungan Prabowo-Jokowi adalah upaya pihak tertentu untuk mengadu domba mereka untuk menghambat agenda keberlanjutan pemerintahan.

Balik arah dalam sehari

Selasa (20/08), Mahkamah Konstitusi menerbitkan dua putusan terkait uji materi UU Pilkada yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora.
Putusan pertama intinya membolehkan partai politik dengan perolehan suara antara 6,5% dan 10% dari daftar pemilih tetap di satu daerah untuk mencalonkan kepala daerah.
Sebelumnya, ambang batas pencalonan kepala daerah adalah 20% kursi DPRD atau 25% suara sah di daerah tersebut.
Putusan kedua menegaskan syarat usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur harus dipenuhi saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan saat pelantikan pasangan terpilih.
Ini bertentangan dengan putusan Mahkamah Agung pada 4 Juni 2024 yang menyatakan sebaliknya.
Imbas putusan pertama MK adalah sejumlah partai politik dapat mencalonkan sendiri kepala daerah tanpa harus berkoalisi. PDI-P, misalnya, jadi bisa mengusung sendiri calon gubernur Jakarta karena berhasil meraih suara 14,01% pada pemilu legislatif Jakarta lalu, jauh di atas syarat 7,5% untuk provinsi tersebut.
Sementara itu, putusan kedua MK menutup peluang Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo, untuk maju dalam pemilu gubernur.
KPU dijadwalkan menetapkan pasangan calon kepala daerah pada 22 September. Saat ini Kaesang masih berusia 29 tahun. Ia baru akan berulang tahun ke-30 pada 25 Desember.
Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo menjabat sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Rabu (21/08), Badan Legislasi (Baleg) DPR bersama perwakilan DPD dan pemerintah membahas secara kilat revisi UU Pilkada.
Dalam waktu kurang lebih tujuh jam, dari rapat pertama dimulai pada pukul 10.10 WIB hingga ketuk palu pada 16.55 WIB, mereka membentuk panitia kerja, membahas daftar inventaris masalah, dan menyepakati sejumlah revisi.
Terkait ambang batas pencalonan, mereka memutuskan hanya mengadopsi sebagian putusan MK. Syarat perolehan suara 6,5% hingga 10% hanya berlaku bagi partai tanpa kursi di DPRD. Partai pemilik kursi mesti mengikuti syarat lama 20% kursi DPRD atau 25% akumulasi suara sah.
Soal syarat usia calon gubernur dan wakil gubernur, Baleg menggunakan putusan MA sebagai landasan alih-alih putusan MK. Alhasil, Kaesang kembali bisa maju pemilu gubernur.
Dari sembilan fraksi di Baleg, hanya PDI-P yang menolak hasil pembahasan revisi UU Pilkada itu. Sisanya setuju membawa hasil revisi ke sidang paripurna untuk disahkan esok pagi.
Mereka yang setuju adalah Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, Partai Demokrat, Partai NasDem, PKB, PKS, dan PPP.
Pembahasan kilat ini memancing reaksi keras dari publik. Tak lama setelah ketuk palu di Baleg, warganet ramai mengunggah ilustrasi Garuda Pancasila berlatar biru dengan tulisan “Peringatan Darurat”.
Aktivis, buruh, dan mahasiswa pun berkonsolidasi untuk turun ke lapangan di berbagai kota esok harinya, termasuk di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Makassar, dan Sumatra Barat.
Kamis (22/08), rapat paripurna DPR yang dijadwalkan pada 09.30 WIB untuk mengesahkan revisi UU Pilkada ditunda karena jumlah anggota legislatif yang hadir tidak memenuhi batas minimum atau kuorum.
Namun, masyarakat tetap turun ke jalan. Di Jakarta, misalnya, massa mendatangi gedung DPR, MK, dan Istana Negara. Massa berhasil menjebol pagar DPR pada sore harinya.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima setidaknya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan polisi dalam menangani aksi di depan gedung DPR tersebut. Polda Metro Jaya mengeklaim menangkap 301 peserta aksi pada hari itu.
Pukul 17.18 WIB, Sufmi Dasco Ahmad, wakil ketua DPR sekaligus ketua DPP Partai Gerindra, mengunggah cuitan di X yang menegaskan bahwa revisi UU Pilkada “batal dilaksanakan”.
“Oleh karenanya, pada saat pendaftaran pilkada pada tanggal 27 Agustus nanti yang akan berlaku adalah keputusan JR [judicial review] MK yang mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora,” kata Dasco.
Dasco lantas mempertegas hal ini dalam konferensi pers pada pukul 18.45 WIB.
Hanya dalam sehari, Gerindra berbalik arah.

Manuver Gerindra dan Prabowo pasca-aksi

Jumat (23/08), dua petinggi Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad dan Habiburokhman, menyambangi Polda Metro Jaya untuk meminta polisi membebaskan para peserta aksi yang ditangkap sehari sebelumnya.
Habiburokhman, wakil ketua Komisi III DPR sekaligus wakil ketua umum Partai Gerindra, mengunggah video kunjungan tersebut di akun X-nya pada pukul 21.06 WIB.
Di video tersebut, Habiburokhman tampak menemui para peserta aksi dan mengatakan, “Dijamin Om Dewan [kalian akan] pulang.“
Ia juga berbincang dengan Iqbal Ramadhan, salah satu demonstran yang disebut ibunya, Machica Mochtar, sempat “dihajar” aparat sebelum ditangkap.
“Iqbal anaknya Bu Machica Mochtar. Ibunya nyari di media,” kata Habiburokhman.
“Pulang hari ini.”
Di saat yang sama, beredar kabar bahwa Prabowo Subianto, presiden terpilih sekaligus ketua umum Gerindra, marah besar melihat adanya manuver untuk merevisi UU Pilkada.
Menanggapi kabar itu, Ahmad Riza Patria, ketua DPD Partai Gerindra DKI Jakarta, bilang Prabowo selalu “mengedepankan aspirasi masyarakat”.
“Terkait revisi UU, yang pasti perlu kami sampaikan selama ini Pak Prabowo selalu mengedepankan demokrasi, selalu berpijak pada peraturan dan perundang undangan menjadi landasan dan selalu mengedepankan konstitusional," kata Riza, seperti dilaporkan Detik.
Sabtu (24/08), muncul isu bahwa Prabowo sempat menelepon Megawati Sukarnoputri, ketua umum PDI-P, dan mengatakan bahwa pembahasan revisi UU Pilkada di luar kehendaknya.
Hal ini disampaikan Alif Iman Nurlambang, yang menyebut diri sebagai “koordinator demo begal konstitusi”, dalam sebuah potongan video yang beredar di X. Potongan itu berasal dari video bincang daring yang pertama diunggah di akun YouTube Forum Keadilan TV pada Jumat (23/08).
BBC News Indonesia telah mencoba mengonfirmasi hal ini pada lima politikus Gerindra, tapi hingga tulisan ini tayang belum mendapat respons.
Sementara itu, Aryo Seno Bagaskoro, juru bicara pemenangan pilkada PDI-P, bilang ia “tidak dalam posisi mengonfirmasi atau menolak” kabar bahwa Prabowo sempat menelepon Megawati.
“Saya kira siapa pun elite yang melakukan komunikasi di belakang, itu saya yakin akan mendengar kehendak rakyat,” katanya pada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Pada malam hari yang sama, Prabowo menghadiri penutupan kongres keenam PAN di Jakarta.
Dalam pidatonya di kongres itu, Prabowo menyinggung “mereka-mereka yang terlalu haus dengan kekuasaan”.
“Kadang-kadang kekuasaan itu hendak dibeli, hendak diatur, hendak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan lain, kekuatan-kekuatan di luar kepentingan rakyat,” katanya.
Prabowo menambahkan, orang-orang yang berniat baik kerap “ditipu” atau “dibohongi” oleh orang-orang “licik”, “munafik”, “yang lain di bibir, lain di hati”.
Prabowo menyampaikan hal ini di tengah derasnya hujatan pada Presiden Joko Widodo dan keluarganya di media sosial, termasuk terkait dugaan nepotisme Jokowi untuk memuluskan jalan Kaesang Pangarep maju dalam pemilu gubernur dan membangun dinasti politik.

‘Jangan lupa ingatan’

Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan ada dua pihak yang jelas bakal diuntungkan bila revisi UU Pilkada disahkan pekan lalu: Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus dan keluarga Presiden Joko Widodo—utamanya Kaesang Pangarep si putra bungsu.
KIM mulanya berisi partai-partai pengusung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka pada pemilu presiden terakhir. Ia kini disebut KIM Plus setelah sejumlah partai yang tadinya berseberangan ikut bergabung sehingga terbentuk “koalisi gendut”.
Ada 12 partai dalam KIM Plus: PKS, Partai Gerindra, Partai NasDem, Partai Golkar, PKB, PAN, Partai Demokrat, PSI, PPP, Perindo, Partai Garuda, dan Partai Gelora.
Aisah bilang partai-partai dalam KIM Plus sejak awal terlibat dalam pembahasan kilat revisi UU Pilkada. Apalagi, tambahnya, mereka punya kepentingan memenangkan calon kepala daerah tertentu dan menguasai wilayah-wilayah strategis di Indonesia.
Namun, kata Aisah, Gerindra yang menjadi motor KIM Plus kini seakan “cuci tangan”. Gerindra disebut membiarkan narasi berkembang bahwa ini semua gara-gara Jokowi dan mencoba menunjukkan bahwa situasi membaik berkat Prabowo dan kroni-kroninya.
“Menurut saya enggak bisa seolah-olah Gerindra tidak berada di situ dan kemudian melepaskan tanggung jawabnya. Jadi seperti cuci tangan,” kata Aisah.
“Mereka harus bertanggung jawab juga dong atas apa yang mereka sudah lakukan. Jangan lupa ingatan.”
Aisah menduga ada kekhawatiran dari kubu Prabowo bahwa kekacauan publik akibat revisi UU Pilkada bakal berlarut-larut dan kian memanas sehingga memengaruhi suksesi kepemimpinan mendatang. Apalagi, hanya tersisa kurang dari dua bulan sebelum Prabowo dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2024.
Prabowo disebut tahu betul bagaimana kekuatan publik dapat mengakhiri rezim seperti yang terjadi pada 1998. Karena itu, kata Aisah, ia berhati-hati.
Made Supriatma, peneliti ISEAS–Yusof Ishak Institute, menyampaikan hal senada.
Prabowo bisa jadi khawatir apa yang terjadi pada 1998 terulang kembali sehingga berusaha mengendalikan situasi secepat mungkin, kata Made.
Di luar itu, menurut Made, Prabowo punya kepentingan lain.
Selama ini, Jokowi tampak mendukung Prabowo dan membantunya memenangkan pemilu presiden, sehingga muncul kesan bahwa Prabowo adalah “orangnya Jokowi” yang dipilih untuk meneruskan kekuasaan, kata Made.
Namun, tambahnya, Prabowo tentu tak ingin citra itu bertahan seterusnya.
“Karena pasti tidak akan boleh ada matahari kembar. Dia tidak akan mau dilihat sebagai bonekanya Jokowi,” kata Made.
Gerakan sosial yang “luar biasa” akhirnya membatalkan revisi UU Pilkada, memojokkan Jokowi dan keluarganya, serta memicu penyusunan ulang strategi di kalangan para elite, kata Made.
Semua itu lantas disebut memberi Prabowo momentum untuk mulai melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi.
“Jadi satu-satunya orang yang benar-benar diuntungkan oleh situasi ini sebenarnya adalah Prabowo,” ujar Made.

Apa benar hubungan Prabowo-Jokowi telah retak?

Minggu (25/08), Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato saat pembukaan kongres ketiga Partai NasDem di Jakarta.
Saat itu, ia menyentil pihak yang menurutnya meninggalkannya ramai-ramai jelang akhir jabatannya.
"Biasanya datang itu ramai-ramai, terakhir begitu mau pergi, ditinggal ramai-ramai," kata Jokowi.
Pernyataan tersebut seakan kian mengobarkan isu bahwa hubungan Jokowi dan Prabowo Subianto mulai retak.
Sehari sebelumnya, saat menghadiri penutupan kongres keenam PAN di Jakarta, Prabowo sempat membahas pula hal ini.
Menurut Prabowo, banyak orang berbicara seakan lebih tahu dari dirinya sendiri, termasuk mereka yang mengatakan bahwa hubungannya dan Jokowi telah retak.
“Di mana retaknya?” kata Prabowo. “Selalu mau adu domba.”
Narasi “adu domba” ini lantas diangkat pula oleh pihak istana untuk melawan isu keretakan.
Senin (26/08), Juri Ardiantoro, staf khusus presiden, menyebar pernyataan tertulis pada pers yang menegaskan bahwa isu keretakan hubungan Prabowo-Jokowi sengaja dimunculkan pihak tertentu untuk mengganggu agenda keberlanjutan pemerintahan.
Faktanya, kata Juri, Jokowi memberikan ruang dan kesempatan bagi Prabowo sebagai presiden terpilih untuk mulai menyusun agenda-agenda strategis demi memuluskan transisi pemerintahan. Karena itu, ia tidak melihat adanya keretakan hubungan.
“Di mana letak keretakannya? Itulah yang menjadi pertanyaan Pak Prabowo. Presiden terpilih tegas menampik berbagai spekulasi, rumor, bahkan upaya-upaya politik yang bertujuan mengadu domba dengan Presiden Joko Widodo,” kata Juri.
“Politik adu domba itu politik usang yang sangat tidak disukai oleh masyarakat kita. Jadi, berhentilah membangun narasi dan spekulasi yang bersifat memecah belah kita sebagai bangsa.”
Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Prabowo, menyampaikan hal senada.
“Isu-isu ini sengaja ada pihak yang menghembuskan untuk mengadu domba Pak Prabowo dan Jokowi,” kata Dahnil pada BBC News Indonesia.
“Yang jelas, beliau berdua tidak bisa diadu domba dan insyaallah tetap kompak dan saling mendukung satu dengan lainnya.”
Meski begitu, Aisah Putri Budiatri dari BRIN mengatakan tanda-tanda keretakan itu sudah ada. Salah satunya dari gerak-gerik Prabowo dan Gerindra yang seakan ingin menjadi “pahlawan” di tengah kekisruhan revisi UU Pilkada serta bagaimana mereka membiarkan narasi yang menyudutkan Jokowi berkembang luas.
Namun, bisa jadi Prabowo masih berhati-hati untuk menjaga relasi dengan pihak atau kelompok tertentu, misalnya para loyalis Jokowi, imbuhnya.
“Jadinya ditarik-ulur gitu ya,” katanya.
“Karena tentunya masih ada pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang juga dijaga relasinya sama Prabowo.”