Konten Media Partner

Kompleks SD di Makassar Disegel dan Seribu Murid ‘Dirumahkan’ – Mengapa Perlindungan Hak Pendidikan Anak 'Lemah'?

24 Juli 2024 13:15 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kompleks SD di Makassar Disegel dan Seribu Murid ‘Dirumahkan’ – Mengapa Perlindungan Hak Pendidikan Anak 'Lemah'?

Sekitar seribu murid Sekolah Dasar (SD) di Makassar, Sulawesi Selatan, disebut belajar dari rumah karena kompleks sekolah mereka disegel. Kompleks sekolah tersebut menjadi pusat sengketa kepemilikan lahan antara pemerintah daerah (pemda) dan sekelompok warga yang mengaku sebagai ahli waris.
Dampak dari perselisihan itu, salah satu orang tua murid, Abdul Muis, mengaku anaknya telah beberapa hari ‘dirumahkan’.
“Mau ke sekolah merasa khawatir ada apa-apa, namanya anak kecil toh kayak begitu,” kata Abdul kepada wartawan Darul Amri di Makassar, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (23/07).
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (Kornas JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan kasus itu hanya satu contoh dari banyak kasus yang menunjukkan lemahnya sistem perlindungan hak pendidikan anak.
“Kita tidak punya mekanisme bagaimana menampung anak-anak yang sekolahnya bermasalah atau berkonflik, dan ini banyak terjadi di banyak tempat. Akhirnya ketika ada kasus semacam itu, korbannya adalah anak-anak tidak sekolah,” kata Ubaid.
Terkait dengan pernyataan Ubaid itu, BBC News Indonesia telah menghubungi Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud Ristek, Iwan Syahril, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan.
Sejak Selasa (16/07) sekelompok orang yang mengaku sebagai ahli waris menyegel gerbang kompleks tempat tiga SD berada, yaitu SD Inpres Pajjaiang, SD Inpres Sudiang dan SD Negeri Sudiang.
Pemkot Makassar kemudian memutuskan para siswa belajar di rumah dari Kamis (18/07) hingga Sabtu (20/07) dan kembali ke sekolah pada Senin (22/07). Namun, pantauan BBC News Indonesia hingga Selasa (23/07), sekolah tersebut masih tutup.
Sengketa ini bermula ketika warga yang mengaku ahli waris menggugat Pemkot Makassar pada 2017 ke jalur hukum terkait kepemilikan lahan kompleks SD Pajjaiang, seluas 8.100 meter persegi.
Pemkot Makassar pun kalah di tingkat pertama, banding, hingga kasasi di Mahkamah Agung (MA) dan diputus untuk membayar ganti rugi atas penguasaan lahan tersebut kepada ahli waris, merujuk pada putusan MA nomor: 1021 K/Pdt/2020 tanggal 3 Juni 2020.
Ahli waris menuntut Pemkot Makassar untuk membayar ganti rugi lahan sebesar Rp14 miliar. Namun, Pemkot Makassar urung melaksanakannya karena tengah mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK).

‘Mau sekolah, tapi kami khawatir’

Sebuah spanduk melintang di pagar Kompleks SD Inpres Pajjaiang dan SD Inpres Sudiang. Tiga ban bekas, kursi, dan beberapa potong kayu disusun menutup gerbang.
Spanduk yang mengatasnamakan Aliansi Pemuda dan Mahasiswa Biringkanaya itu bertuliskan: ”Meminta Pemerintah Kota Makassar untuk tidak tutup mata serta taat tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan dengan segera melakukan ganti rugi atas lahan objek SD Negeri Pajjaiang kepada Ahli Waris Alm. Badjda Bin Koi”.
Masih dalam kompleks yang sama, pintu gerbang sekolah SD Negeri Pajjaiang juga disegel oleh spanduk yang sama.
Berdasarkan pantauan, tidak terlihat adanya aktivitas belajar mengajar di Kompleks SD itu pada Selasa (23/07).
Salah satu orang tua murid, Abdul Muis mengaku sedih dengan kejadian penyegelan kompleks SD ini karena menganggu hak anaknya untuk bersekolah dan mendapatkan pendidikan.
”Tidak sekolah ini satu minggu, belajar di rumah, kadang juga mau ke sekolah merasa khawatir ada apa-apa, namanya anak kecil toh kayak begitu, kita tahu sendiri anak kecil apalagi masih diantar mamaknya, belum lagi yang jalan kaki,” kata Abdul kepada wartawan Darul Amri di Makassar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Selasa (23/07).
Abdul mengatakan, pihak Pemkot Makassar tidak memberikan rasa aman bagi keberlangsungan belajar mengajar yang ada di tiga sekolah itu.
"Ya segera pemerintah atau institusi yang menangani masalah pendidikan untuk segera tuntaskan jangan dibiarkan saja berlarut-larut seperti ini."
"Kita punya pemerintah. Namanya pemerintah ya melayani rakyat, iya kan, bukan membuat sengsara rakyat. Fungsi pemerintah itu sudah hampir tidak ada kalau sudah kayak begini," sambungnya.
Pada Senin lalu (22/07), orang tua murid lain, Rahmawati membawa anaknya untuk kembali sekolah. Namun, katanya, sekolah masih ditutup.
“Antar anak sekolah, ini belum bisa masuk karena tertutup sekolah. Kemarin sempat belajar karena pak polisi bukakan pintu gerbang jadi bisa masuk belajar lagi, tapi ini hari ditutup lagi, jadi tidak belajar lagi anak-anak,” kata Rahmawati.
Dia sangat berharap perselisihan ini dapat segera selesai dan anaknya dapat kembali belajar di sekolah.
Sebelumnya, para murid dan orang tua mereka terpantau sempat datang ke sekolah pada Selasa (16/07) dan Rabu (17/07), namun mereka tertahan di depan gerbang yang tertutup.
"Untuk hari ini tidak belajar, pulang," kata Kepala SD Inpres Pajjaiang, Bustam kepada DetikSulsel, Rabu (17/07).
Aparat keamanan sempat membuka pagar kompleks sekolah namun sejumlah siswa telah dibawa pulang oleh orang tua mereka sebelum gerbang terbuka.
"Setelah dibuka langsung proses belajar, cuma jumlah siswa berkurang karena beberapa sudah pulang. Tapi kita maklumi karena tidak kondusif tadi jadi banyak yang dibawa pulang sama orang tuanya," kata Guru SD Pajjaiang, Eva Susanti Selasa (16/07) dilansir dari Detikcom.
Wali Kota Makassar Ramdhan Pomanto mengatakan pihaknya tengah mencari cara agar para siswa bisa tetap belajar. "Ini sementara dipikirkan dulu untuk sekolahnya anak-anak di situ," ucapnya.

‘Kami tidak menyegel, tapi menduduki hak sesuai putusan pengadilan’

Lahan kompleks SD seluas sekitar 8.100 meter persegi ini menjadi pusat sengketa ketika sekelompok orang yang mengaku sebagai ahli waris mengguggat Pemkot Makassar ke jalur hukum.
Putusan kasasi di MA pada 2020 meminta Pemkot Makassar diputus membayar ganti rugi atas penguasaan lahan tersebut kepada ahli waris. Namun hingga 2024, kata kuasa hukum ahli waris, Munir Mangkana, Pemkot Makassar belum menjalankannya.
"Putusan keluar tahun 2020, dan sekarang sudah hampir mau masuk 2025, tapi belum ada niat baik pemerintah kota, makanya ada reaksi dari ahli waris menutup dan menempati lahan tersebut," kata Munir.
Munir menambahkan, ahli waris tidak melakukan penyegelan, melainkan “menduduki haknya sesuai putusan pengadilan”.
Pihak ahli waris pun, kata Munir, sudah beberapa kali melakukan komunikasi dengan Pemkot Makassar setelah putusan MA, tapi ganti rugi tak kunjung diberikan.
Salah satu ahli waris, Firman, menjelaskan lahan milik almarhum kakeknya, Badjida Bin Koi alias Madjida Bin Koi, tak pernah diwakafkan ke Pemkot Makassar.
"Kalau wakaf mana buktinya, kalau dari pemerintah [statusnya] hak pakai untuk pembangunan sekolah ini, bukan untuk memiliki," ujar Firman yang mengaku bahwa pihaknya telah tiga kali menyegel kompleks SD itu, dilansir dari detikSulsel, Selasa (16/07).
Ahli waris lainnya, Said, mengatakan orang tuanya dulu sekadar meminjamkan lahan tersebut kepada pemerintah.
"Lahannya kurang lebih 81 are, dibangun sejak tahun 1975, karena dulu kalau kita melawan pemerintah kita dianggap PKI, jadi saya punya orang tua takut. Dan pemerintah bilang banyak nanti anak dan cucumu yang sekolah nanti di sini. Jadi statusnya hak pakai bukan wakaf," ujar Said.

Lalu, apa kata Pemkot Makassar?

Pemkot Makassar memiliki pandangan berbeda. Pengacara Pemkot Makassar, Fanny Anggraini, mengatakan Badjida bin Koi telah menghibahkan lahan miliknya seluas 8.100 meter persegi ke Pemkot Makassar agar dibangun sekolah pada 1975.
"Nah tertulis di KIB [kartu inventaris barang] bahwa tanah sekolah ini hibah dari Majida bin Koi tapi kita [Pemkot] tidak punya akta hibah, hanya tertulis di KIB saja,” kata Fanny kepada Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Senada, Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Muhyiddin, mengaku mengetahui sejarah kompleks sekolah yang menampung sekitar 1.000 anak didik itu.
Menurutnya, kompleks sekolah itu dibangun sejak 1974 hingga 1975 di atas lahan wakaf dari warga. Dia pun mengaku heran setelah hampir 50 tahun baru muncul gugatan.
"Kami paham sekolah ini, saya dulu masih di dinas pendidikan pernah kami ukur, banyak sekolah kami ukur, pada saat waktu pengukuran kenapa tidak ada yang keberatan," kata Muhyiddin kepada detikSulsel.
"Dulu dibangun rata-rata orang mewakafkan, pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan dan sosial waktu itu baik bangunan sekolah dan masjid yang penting ada yang memberikan wakaf."
Selain itu, Fanny menambahkan, Pemkot Makassar akan mematuhi putusan MA, namun, hal itu belum bisa dilaksanakan karena masih menunggu putusan upaya peninjauan kembali (PK) yang tengah berproses.
"Upayanya pemerintah kota adalah mengajukan upaya hukum luar biasa atas putusan kasasi itu sejak tahun 2021, tapi sampai sekarang belum ada putusan PK yang kami terima, jadi kami menganggap bahwa ini kami masih upaya hukum, kami anggap masih proses," ujarnya.
Selain itu, Fanny menambahkan, Pemkot Makassar akan melakukan ganti rugi kepada ahli waris jika mereka memiliki sertifikat lahan, karena alas hak seperti rincik (surat tanah tradisional) dinilai juga akan kuat jika ada sertifikat.
”Sesuai UU Agraria harus disertai bukti-bukti lainnya misalnya surat keterangan tanah bahwa dia pernah menduduki beberapa puluh tahun. Nah, itu yang belum diurus oleh ahli waris barang kali sampai belum bisa diuruskan sertifikat hak milik atas nama ahli warisnya,” tambahnya.
Senada, Kepala Bidang Aset Pemanfaatan dan Pengadaan Tanah Dinas Pertanahan Kota Makassar, Ismail Abdullah mengatakan pihaknya akan membayar jika kasus sengketa lahan telah inkracht (berkekuatan hukum tetap) di MA.
"[Pembayaran ganti rugi lahan] belum bisa kita akomodir, dikarenakan belum ada putusan hukum yang bersifat final. Karena masih berproses di Mahkamah Agung," kata Ismail kepada detikSulsel, Kamis (18/07).
"Kecuali sudah ada putusan dan hasil, itu baru kita duduk dulu untuk melihat. Itupun dari ahli waris silakan mengurus pensertifikatan. Kalau terbit, baru kita duduk bersama-sama terkait ganti ruginya," ujar Ismail.

‘Sistem perlindungan belum mampu menjamin hak pendidikan anak‘

Di balik polemik sengketa hukum yang terjadi, Kornas JPPI Ubaid Matraji mengatakan kasus itu menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memberikan perlindungan hak pendidikan bagi setiap anak di Indonesia dalam kondisi apapun.
Ketidakmampuan itu, katanya, disebabkan karena tidak adanya sistem proteksi bagi para murid jika sekolah sedang berkonflik.
“Kita tidak punya mekanisme atau mitigasi bagaimana menampung anak-anak yang sekolahnya bermasalah, berkonflik dan sebagainya sehingga bisa pastikan ketika ada kasus semacam itu anak-anak enggak sekolah,“ kata Ubaid.
“Tapi jangankan keadaan darurat, dalam situasi normal saja pemerintah tidak mampu melindungi hak pendidikan anak. Lihat saja bagaimana nasib anak-anak yang didiskualifikasi PPDB, tidak ada upaya pemerintah menjamin mereka tetap sekolah,” katanya.
Untuk itu, menurutnya, salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan menghilangkan perbedaan antara sekolah negeri dengan swasta.
“Jadi kalau memang bermasalah dengan sekolah negeri yang ada di situ, ya memang harus bisa ditampung di sekolah-sekolah swasta terdekat di situ,” katanya.
“Sekolah swasta itu banyak, ada yang model sekolah formal dan non-formal, ada juga model madrasah, pestantren, dan seterusnya. Itu harus bisa langsung menampung anak yang dalam situasi emergency. Jadi jangan sampai proses pembelajaran terganggu,” katanya.
“Nah ini kan menjadi masalah ketika mereka masuk swasta, lalu pertanyaannya adalah yang bayar siapa? Sekolah harus dikembalikan ke UU Sisdiknas, mau anak sekolah dimana saja tidak masalah karena dibiayai pemerintah,” katanya.
Terkait dengan pernyataan Ubaid itu, BBC News Indonesia telah menghubungi Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud-Ristek, Iwan Syahril dan Plt Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbud-Ristek, Anang Ristanto, namun hingga berita ini diterbitkan belum ada tanggapan dari mereka.