Komunitas Rabaris di India Utara: Potret Manusia dan Macan Tutul Hidup Bersama

Konten Media Partner
14 Mei 2022 11:25 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Komunitas Rabaris di India Utara: Potret Manusia dan Macan Tutul Hidup Bersama
zoom-in-whitePerbesar
Saat macan tutul telah menjadi sasaran perburuan dan bahkan pembunuhan karena balas dendam di sebagian besar wilayah India, masyarakat di desa Bera di India Utara malah hidup bersama secara damai dengan kucing yang anggun itu.
Menyusuri hutan dan tanjakan yang curam, kami kemudian disuguhkan pemandangan dengan hamparan luas yang dipenuhi batu besar, atau dikenal wilayah Gorwar, yang membentang di sepanjang tepi Pegunungan Aravalli, di barat daya Rajasthan, India.Kami sedang melakukan safari pagi hari di desa Bera, tiga jam perjalanan dari kiblat wisata Udaipur.
Di sini, kami ingin menjadi saksi sebuah anomali, yaitu kohabitasi atau hidup bersama antara manusia dan macan tutul, tanpa konflik.
Memang, jumlah macan tutul telah meningkat di India dalam beberapa tahun terakhir, pada laporan 2018 populasinya diperkirakan berjumlah 12.852 ekor.
Namun, konflik manusia-hewan di negara berpenduduk padat ini tidak bisa dihindari.
Macan tutul telah diburu karena keindahan kulitnya untuk dijadikan mantel dan bagian tubuh lainnya dengan harga tinggi di pasar ilegal.
Mereka juga telah dibunuh oleh sekelompok penduduk desa, sebagai balasan atas serangan kucing itu kepada ternak atau hanya sekadar takut karena macan tutul masuk ke wilayah manusia.
Dalam enam bulan pertama tahun 2021, setidaknya ada 102 macan tutul yang diburu dan 22 lainnya dibunuh oleh penduduk desa.
Sepanjang 2012 hingga 2018, tercatat 238 macan tutul dibunuh di negara bagian Rajasthan saja. Dan laporan media tentang serangan macan tutul terhadap manusia, sangat sering terjadi.

Hidup bersama

Namun, di sudut wilayah Rajasthan yang terpencil, sekelompok masyarakat menjalani kehidupan bersama yang damai dengan macan tutul.
Mereka adalah Rabaris, komunitas penggembala semi-nomaden yang bermigrasi ke India dari Iran lebih dari satu milenium lalu.
Diperkirakan terdapat sekitar 60 macan tutul, bersama dengan hyena, rubah gurun, babi hutan, antelop, dan hewan kecil lainnya, hidup bebas tanpa ancaman di tanah ini.
Kucing besar yang berkeliaran bebas ini dikenal dengan nama macan tutul Jawai, dinamai sesuai nama bendungan yang dibangun di Sungai Jawai pada tahun 1957.
Perairan yang murni adalah sumber air utama bagi kota-kota dan desa-desa di sekitarnya, dan merupakan habitat penting bagi satwa liar.Pagi itu, Pushpendra Singh Ranawat, seorang konservasionis kaya 'asam garam' di lapangan, mengajak saya ke sebuah relung dalam bernama "Negara Macan Tutul" - tempat yang memiliki kepadatan macan tutul tertinggi di dunia dalam radius 25 km di sekitar Bera.
"Tidak ada satu pun insiden perburuan liar dalam setidaknya lima dekade," katanya.
"Dan yang penting, macan tutul di sini tidak menganggap kehadiran manusia sebagai ancaman potensial.""Itu sangat luar biasa," kata saya dengan terkejut."Kita lihat saja nanti," kata Ranawat sambil mengamati lanskap yang dipenuhi bebatuan dengan kacamata lapangannya.
Kami menghabiskan beberapa menit berikutnya dalam keheningan, hanya diselingi oleh gemerisik angin yang melewati semak-semak gurun.
Matahari musim dingin yang menyejukkan berubah sedikit lebih hangat, menyinari batu-batu yang seperti dipahat di sekitar kami.
Suara merak yang melengking memecah kesunyian.
Ranawat lalu bersiaga dan memfokuskan kembali teropongnya. Tanpa bersuara, ia menunjukkan saya ke arah sebuah batu sekitar 100 meter jauhnya, di antara gua dan celah bebatuan.
Di sana, seekor macan tutul dewasa muncul dari lubang gelap dan kemudian rebahan di sebuah batu mencari kehangatan matahari pagi.
"Ini namanya Laxmi," kata Ranawat.
Semua macan tutul Jawai diberikan nama oleh masyarakat setempat.Saat dua kendaraan safari lainnya menaiki lereng dan berhenti di samping kami, Laxmi menatap kami dengan tatapan sombong, menguap dan meregangkan tubuh dengan anggun.
Laxmi kemudian mengeluarkan panggilan - antara mendengus dan mengeong - sebagai isyarat.
Ssaat kemudian, dua anak macan tutul menyelinap keluar dari lubang batu lalu berpelukan di samping ibunya.
Mereka tampaknya tidak menyadari kehadiran tiga kendaraan dan sekitar selusin penonton.Setelah safari pagi, Ranawat dan saya bertemu Sakla Ram di dekat desa Jeewada, sekitar 17 km dari Bera.
Dia baru saja selesai memotong daun dan cabang dari pepohonan di lereng hutan yang tipis.
"Dia mengumpulkan pakan ternak untuk kawanan ternaknya yang masih muda," kata Ranawat, saat kami mengikuti penggembala Rabari.
Tubuh Ram yang kurus dan berotot dengan daun dan ranting yang seimbang di bahunya membuatnya tampak seperti pohon berjalan.
Kami segera sampai di rumahnya di Jeewada, sebuah bangunan sederhana berlantai satu, di mana dia tinggal bersama keluarga dan kambingnya.
"Saya punya 52 ternak," kata Ram, saat saya melihat dia sedang memerah susu salah satu kambing.
Putri bungsunya, berusia sekitar empat tahun, duduk di sampingnya dengan mata penasaran saat saya berbicara dengan ayahnya."Apakah Anda pernah kehilangan salah satu ternak karena serangan macan tutul?" Saya bertanya.Dia mengangguk setuju, lalu menambahkan, "cukup banyak"."Bagaimana perasaan Anda tentang hal itu? Apakah Anda tidak marah karena kehilangan itu?" saya kembali bertanya.Wajah Ram yang berkeriput dan tegas seketika berubah menjadi penuh senyum melankolis.
"Ini memang sangat membuat saya sedih," katanya.
"Saya merawat setiap anggota kawanan sejak lahir di kandang ini. Tapi macan tutul juga punya hak untuk makan." Saya terkejut kagum mendengar jawabannya.

Persembahan pada dewa

Negara memang menyediakan paket kompensasi bagi warga yang kehilangan ternaknya akibat serangan macan.
Namun proses adminstrasi dan komumen yang rumit menjadi penghalang utama bagi penduduk desa untuk mengeklaim itu.
Dan komunitas Rabari, pemuja dewa Hindu Siwa, juga menganggap ternak yang mati akibat serangan adalah sebuah persembahan makanan kepada dewa.
Tapi, alasan ini tidak menjelaskan pembunuhan brutal terhadap macan tutul di tempat lain di India, di mana Dewa Siwa adalah dewa utama.
Jawaban Ram yang mencerahkan saat kehilangan ternak kemungkinan besar berasal dari sikap penerimaan komunitasnya kepada hewan sebagai bagian integral dari ekosistem.
Pandangan ini sangat berbeda dengan narasi konvensional yang menganjurkan agar wilayah ditetapkan secara terpisah untuk manusia dan satwa liar.
Jurnal British Ecological Society menerbitkan sebuah studi tentang dinamika hubungan macan tutul dan manusia yang dilakukan oleh para peneliti dari WCS India, Departemen Kehutanan Himachal Pradesh dan NINA, Norwegia.
Para peneliti menyatakan, beberapa komunitas pedesaan di India Utara seperti Bera menganggap macan tutul sebagai makhluk yang berpikir, bukan sekadar predator yang didorong oleh naluri.
Artinya, macan tutul adalah binatang yang memiliki kemampuan untuk menegosiasikan ruang bersama dengan manusia."Saling menghormati adalah kata kuncinya," kata Ranawat hari itu juga, saat kami berjalan-jalan di desa Peherwa, 20 km dari Bera.

Simbiosis manusia-macan tutul

Sebuah tangga panjang bercat putih membawa kami menyusuri punggung bukit yang diapit oleh ceruk, cekungan, dan ruang batu ke sebuah kuil kecil yang terbuat dari batu."Ini adalah sarang favorit macan tutul, karena sebagian besar gua ini berventilasi silang," kata Ranawat.
Ia menjelaskan, masyarakat lokal sering melihat kucing-kucing besar itu duduk-duduk di sini; dan tidak pernah merasa terancam oleh kehadirannya.
Kuil di puncak bukit ini menghadap ke petak-petak lahan pertanian yang terbentang di lanskap tandus.
"Penduduk desa menanam gandum, millet, dan mustar di lahan pertanian ini," kata Ranawat.
"Ini adalah tanah yang tidak ramah untuk pertanian, dan macan tutul menjauhkan kijang dan babi hutan dari ladang yang dibudidayakan dengan susah payah oleh manusia.""Jadi intinya, ini adalah hubungan simbiosis manusia-macan tutul?" Saya bertanya.Ranawat tertawa terbahak-bahak. "Di satu sisi, ya, betapapun anehnya kedengarannya."
Saat sore hari berlalu, cahaya matahari gurun melunak dan lapisan kabut tipis melayang rendah di cakrawala.
Inilah saatnya bagi kucing-kucing Bera untuk keluar dari rumah gua mereka untuk mencari makanan.
Seperti kata pepatah Rabari kuno, "Siang-siang milik manusia, dan malam milik macan tutul."
Namun, pelanggaran atas aturan dasar ini membuat cemas Ranawat dan orang lain di komunitasnya.
Kemudahan untuk melihat salah satu predator yang paling sulit dipahami di dunia ini menjadi daya tarik utama bagi wisatawan domestik dan asing.
Safari yang tidak diatur, safari malam yang mengganggu kucing nokturnal, dan pembangunan hotel yang merajalela di dekat tempat tinggal kucing besar dapat membahayakan keseimbangan ekologis yang rapuh - yang sebelumnya telah dipertahankan di wilayah tersebut."Untuk itu Jawai perlu mendapatkan status cagar komunitas," kata Ranawat.
Diperkenalkan pada 2003 dalam Amandemen Undang-Undang Perlindungan Satwa Liar India, status yang berbasis masyarakat dan keanekaragaman hayati ini akan memungkinkan penduduk desa untuk menentukan sejauh mana pembangunan lokal, membatasi jumlah dan skala hotel di zona tersebut.
Ini juga akan memungkinkan penduduk desa untuk melarang safari malam dan memastikan bahwa masyarakat lokal terus dipekerjakan dalam inisiatif pariwisata berkelanjutan di wilayah tersebut.Lebih lanjut, Ranawat mengatakan, "Koeksistensi manusia-macan tutul ini hanya dapat berlanjut jika generasi Rabari berikutnya meneruskan tradisi penggembalaan mereka."
Keesokan paginya, saat kami melewati medan Jawai yang terjal untuk kembali ke Udaipur, saya melihat beberapa gadis Rabari dengan kawanan kecil sapi dan kerbau.
Mengenakan pakaian perkotaan yang santai, duo remaja ini tampak sangat berbeda dari anggota perempuan yang lebih tua di komunitas mereka, yang hampir selalu tampil dalam ghagra-cholis tradisional (pakaian sehari-hari yang sederhana) dan kerudung yang dikenakan longgar.
Gadis-gadis itu memegang tongkat kayu - alat sederhana yang secara tradisional digunakan untuk mengendalikan ternak mereka - dan sesekali bersiul keras untuk menjaga pasukan tetap pada jalurnya.Penasaran, saya meminta sopir untuk menghentikan mobil, lalu saya mendekati mereka.
Mereka adalah siswa sekolah menengah atas bernama Shila dan Aarti, yang merawat ternak ketika ayah mereka pergi untuk urusan bisnis.
Mereka bercerita bahwa mereka berencana untuk menyelesaikan pendidikan dan sambil dengan senang hati menjalani cara hidup leluhur di sekitar ternak mereka.
"Kami senang membawa hewan kami ke padang penggembalaan," kata Shila. Aarti tersenyum dan mengangguk setuju. Mendengar jawaban mereka, sepertinya manusia dan kucing penghuni tanah tandus ini tidak perlu pindah ke padang rumput yang lebih hijau - setidaknya, tidak dalam waktu dekat.---
Versi bahasa Inggris dari artikel ini, Where humans don't fear leopards, bisa Anda baca di laman BBC Travel.