Konflik Aceh: Trauma Anak-Anak Muda yang Alami dan Lihat Kekerasan—Direkrut GAM

Konten Media Partner
23 Juni 2023 12:10 WIB
·
waktu baca 18 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Safiuddin, Syera dan Jamaluddin mengatakan kekerasan di Aceh tak pernah hilang dari ingatan mereka.
zoom-in-whitePerbesar
Safiuddin, Syera dan Jamaluddin mengatakan kekerasan di Aceh tak pernah hilang dari ingatan mereka.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tiga anak muda Aceh menceritakan ketakutan dan pengalaman traumatis mereka pada saat konflik Aceh memanas pada akhir 1990-an dan awal tahun 2000.
Ketika itu ribuan personel Tentara Nasional Indonesia diturunkan untuk menghadapi Gerakan Aceh Merdeka,yang saat itu disebut pemerintah sebagai Gerakan Pengacau Keamanan (GPK).
Seorang mengaku menjadi korban dan mengalami kekerasan, termasuk disetrum dan digantung dengan kaki di atas - pengalaman yang masih menjadi mimpi buruk sampai sekarang.
Ada yang menyaksikan aksi kekerasan dan juga masih merasakan trauma mendalam. Ada yang sangat membekas dan sempat menyebabkan kebencian terhadap negara.
Pakar sosiologi mengatakan tak pernah ada yang membantu mereka yang saat itu berusia belia - di atas lima tahun sampai belasan tahun - mengatasi trauma.
Presiden Joko Widodo direncanakan akan meluncurkan penyelesaian non-yudisial 12 pelanggaran HAM berat di Indonesia pada akhir Juni ini.
Tiga di antara pelanggaran HAM berat terjadi di Aceh, Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh), Rumoh Geudong-Pos Sattis, dan peristiwa Jambo Keupok.
Inilah apa yang dialami tiga anak muda yang tak saling mengenal di lokasi yang berbeda.

Cerita dari Pidie - disetrum dan digantung di 'rumah penyiksaan'

Rumoh Geudong, rumah tradisional Aceh di Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, bagi banyak warga di seputar menjadi momok yang mengangkat pengalaman mengerikan.
Rumah ini digunakan Kopassus sejak 1990 sebagai rumah tahanan sebelum dibakar massa pada Agustus 1998.
Seorang anak muda yang masih tinggal di Pidie, perlu waktu bertahun-tahun untuk menghilangkan trauma disiksa di lokasi yang sering disebut "rumah jagal" ini.
Beberapa bulan sebelum dibakar, Saifuddin, nama anak muda itu, pernah dibawa tentara ke lokasi tersebut.
Umurnya ketika itu menginjak lima tahun, dan penyiksaan tersebut masih menghantuinya sampai saat ini.
Mimpi buruk itu bermula saat seseorang yang tidak dikenal datang ke rumahnya dan mengajaknya "jenguk bapak ke Rumoh Geudong."
Ayahnya saat itu memang tengah ditahan tanpa proses hukum sejak dua tahun sebelumnya - pada 1996 - karena tuduhan bekerja untuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Saifuddin dan tiga saudaranya sedang bermain di teras rumah waktu itu. Tidak ada orang dewasa, ibu mereka berada di kebun.
Melihat kedatangan orang yang tidak dikenal, anak-anak itu langsung lari ke dalam rumah, lalu mengunci pintu.
Mereka terus mengintip ke luar sampai lelaki itu beranjak pergi.
Sekitar satu jam kemudian, untuk kedua kalinya laki-laki tadi datang lagi. Kali ini ia membawa seorang tentara bersamanya.
Melihat orang tersebut datang dengan tentara, anak-anak itu langsung ketakutan dan berlari. Mereka trauma mengingat ayah mereka juga pernah dibawa paksa oleh tentara.
"Kakak sudah berfirasat sejak awal, melihat dari jauh ada tentara datang berdua begitu, kakak langsung menggendong adik yang masih bayi dan langsung lari," tutur Saifuddin, kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC Indonesia, awal Juni lalu.
Saking takutnya, sang abang masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu, tanpa sadar Saifuddin masih di luar.
Saifuddin lari ke samping rumah. Namun, tentara itu dengan mudah menyambar kaki mungilnya lalu memaksanya naik ke atas sepeda motor.
Ia bercerita, sepanjang jalan hanya bisa menangis, saat dibawa ke Rumoh Geudong, beberapa kilometer dari Desa Krueng Jangko, rumah Saifuddin.

Teriakan tak bisa didengar, musik dibunyikan kencang

Dalam penjelasan di buku Rumoh Geudong, the Scar of The Acehnese, disebutkan bahwa tentara Indonesia (Kopassus) menduduki rumah khas Aceh tersebut sejak 1990 dan mulai menjadikannya sebagai kamp penyiksaan di ujung tahun 1995.
Saifuddin sendiri mengaku dibawa ke sebuah ruangan yang merupakan lantai dasar Rumoh Geudong. Namun, ia tidak ingat dengan jelas bentuk ruangan tersebut.
Menurut buku itu, di lantai dasar rumah tersebut terdapat ruang penyiksaan yang berada di depan dan sebuah ruangan lagi "untuk menyimpan jenazah para tahanan yang dibunuh di ruang lainnya".
Seingat Saifuddin, ia didudukkan oleh salah seorang tentara ke atas meja terbuat dari ban yang sangat besar—diyakininya merupakan ban alat berat. Di atasnya telah dilapisi dengan kaca bundar.
"Di tepinya ada ditaruh benda semacam baterai mobil begitu, sebesar ini." Ia mengangkat kedua tangan, membayangkan ukuran benda tersebut di sana.
"Seperti baterai mobil truk," tambahnya.
Besar kemungkinan benda yang dimaksudnya adalah alat setrum aki mobil.
Seorang tentara tiba-tiba menarik dua utas kabel yang ujungnya memiliki jepitan dari benda berbentuk kotak tadi.
"Lalu dijepitkan ke perut saya. Dikontak, disetrum, di pusar," kata Saifuddin. Ia terlihat takut untuk menggambarkan seperti apa rasanya.
"Yang banyak saya rasa dari awal diambil, [saya] menangis, sekuat-kuatnya sampai pulang tidak berhenti menangis," ujarnya.
Teriakannya sulit didengar dari luar karena tentara sengaja memutar musik dengan volume sangat keras.
Setelah menyetrum, menurut Saifuddin, ia digantung, dengan kaki diikatkan ke atas dan kepala di bawah.
Sepanjang penyiksaan itu, kata Saifuddin, ia cuma bisa menangis tak berdaya.
Sesaat kemudian, ikatannya dilepas. Seorang tentara menyeretnya keluar dan berusaha menyelupkan kepalanya ke dalam sumur yang ada di samping Rumoh Geudong sambil mencengkram kakinya.
Namun, tentara itu tidak melanjutkan. Saifuddin kemudian dibawa naik ke atas sebuah balai, ditempatkan bersama sejumlah ibu-ibu yang tidak dikenalnya.
"Ibu-ibu sekitar lima orang. Tetapi saya tidak peduli apa-apa, dalam pikiran nyawa saya sudah habis. Menangis terus, yang teringat detik-detik terakhir saya menangis," kata Saifuddin.
Anehnya, beberapa saat kemudian, seorang tentara menaruh dua potong kue ke dalam tangannya, "saya pegang di tangan kiri satu potong, tangan kanan satu potong".
Kue itu di Aceh dikenal dengan nama kue "arafit", sejenis bakpia.
"Dalam bayang saya [pikiran saya] ini sepotong untuk abang sepotong untuk saya," cerita Saifuddin.
Ia mengatakan kue itu diberikan agar membujuknya berhenti menangis.
Setelah beberapa jam di Rumoh Geudong, Saifuddin diantar kembali ke rumah oleh lelaki yang sebelumnya datang dan mengajaknya.

Temuan serpihan tulang

Ibunya saat itu sudah berada di rumah. Saifuddin sengaja dibiarkan di depan rumah sementara orang yang mengantarnya langsung pergi.
Di tahun itu juga, Rumoh Geudong dibakar oleh massa, karena dianggap membawa banyak sekali petaka bagi sejumlah warga.
Ketika itu status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dinyatakan dicabut pada Agustus 1998.
Saat tim pencari fakta Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) datang ke Rumoh Geudong, mereka masih menemukan sisa-sisa kekerasan.
Yang ditemukan termasuk serpihan tulang jari tangan dan kaki serta bekas percikan darah di dinding. Tim juga menemukan kuburan massal seluas 150x180 meter persegi di dekat rumah tersebut, demikian tertulis di dalam buku Rumoh Geudong, the Scar of The Acehnese.
Namun, kuburan massal tersebut telah kosong. Buku itu menyebut bahwa sejumlah korban dan saksi mengaku melihat tentara menyewa sejumlah orang untuk membersihkan kuburan massal tersebut.
Ayah Saifuddin yang juga sempat ditahan di sana telah dibebaskan beberapa bulan sebelum rumah tersebut dibakar.
Dari cerita ayahnya, Saifuddin baru tahu alasan mengapa waktu itu tentara membawanya ke Rumoh Geudong.
Tentara curiga ayah Saifuddin diyakini tahu rantai pasokan senjata yang baru disebarkan GAM ke Pidie.
Pada hari yang sama ketika Saifuddin dibawa ke Rumoh Geudong, ayahnya sedang diinterogasi.
Mereka baru menyadari bahwa menyiksa Saifuddin untuk membuat ayahnya buka mulut.
Trauma akibat penyiksaan yang pernah dialaminya masih menjadi mimpi buruk.
Saifuddin kerap terbangun mendadak di tengah malam sembari berteriak meminta tolong, "Ibu, takut!"
"Kan sering takut, maka diberi obat [penghilang rasa] takut. Enggak tahu obat apa sebenarnya. Semacam sirop yang dibawa pulang," tuturnya.
Ia mengatakan obat itu kemungkinan sirop biasa namun sengaja diberikan sebagai upaya membuatnya tenang.
Walau sudah dibebaskan, menurut Saifuddin, ayahnya ketika itu masih menjadi sasaran Satuan Gabungan Intelijen (SGI).
Ayahnya adalah guru yang dicurigai memiliki peran dalam sejumlah operasi gerilya GAM.
Tahun-tahun berikutnya, kata Saifuddin, ia sering ketakutan bila ada yang menyebut "Rumoh Geudong".
"Kalau dengar kata "Rumoh Geudong" langsung lari nggak tahu arah. Saya kecil lumayan bandel, boleh dibilang pemberani, kalau cekcok sama teman langsung main pukul, tetapi kalau pantang dibilang, 'nanti saya sebut Rumoh Geudong' itu saya langsung lari," ujarnya.
Kejadian yang pernah dialaminya juga telah membuat Saifuddin membenci semua hal yang berkaitan dengan tentara Indonesia.

Kebencian terhadap tentara setelah disiksa

Ia mengatakan sering sengaja berkelahi dengan anak tentara yang satu sekolah dengannya dan membuatnya dipanggil ke ruang guru.
"Pernah waktu di sekolah dasar saya pukul anak tentara sampai lemas," kisahnya.
Beranjak dewasa, menurutnya, ia berusaha bangkit melawan traumanya sendiri.
Lulusan salah satu kampus yang ada di Samalanga itu kini membuka jasa cetak dan pengetikan di pinggir jalan di Pidie.
Saat ditemui, ia terlihat banyak tersenyum.
Namun, ia mengaku sampai sekarang masih ada rasa benci yang menggeliat di hatinya.
"Melihat tentara saja rasanya ingin "membalas" walaupun sekarang, kan, sudah sadar, mereka cuma tugas negara. Berbuat karena perintah".
Ia mengatakan tidak ada seorang pun dari pihak pemerintah yang datang menemui Saifuddin.
Pernyataannya sebagai salah satu korban Rumoh Geudong pun belum ditanyakan oleh tim "pengambil pertanyaan" dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.
Pihak yang pernah menemuinya adalah tim dari Komite Keamanan Bersama (JSC), yang dibentuk sebagai pemantau penghentian permusuhan setelah penandatanganan Cessation of Hostilities Agreement (COHA) 9 Desember 2002.
Saifuddin mengatakan mereka bertanya tentang apa yang dialaminya di Rumoh Geudong.

Cerita anak loper koran 'menangis menanti ayah'

Sekitar satu tahun setelah kejadian yang menimpa Saifuddin, di wilayah Aceh lain, juga terjadi kekerasan.
Sore hari pada bulan Mei 1999. Suasana di Kampung Keudeu, Breuno Geukeuh, Dewantara, Aceh utara, panik.
Seorang pria yang baru melewati Simpang Kertas Kraft Aceh (KKA) berteriak dan meminta semua warga desa masuk ke rumah.
"Masuk kalian semua ke rumah, jangan ke mana-mana, banyak orang mati di simpang KKA, ditembak-tembak," teriak pria tadi dengan panik seperti diungkapkan Syera Lestari.
Syera berusia 10 tahun ketika itu. Ibunya yang tengah hamil besar, memegang erat adiknya.
Syera menangis. Ingat bapak yang tengah mengantar koran.
Simpang KKA termasuk salah satu lokasi tempat ayahnya sering mengantar koran dengan sepeda motor.
Syera mengatakan sudah sering mendengar cerita ayahnya distop dan diinterogasi tentara. Ia juga sudah pernah melihat sendiri orang yang tak membawa KTP dipukul dan berdarah.
Suara bom dan tembakan juga sudah sering ia dengar dan membuat detak "jantung berdegub kencang karena ketakutan."
Ia takut sang ayah hilang dan tak kembali.
"Saya ingat, ketika kecil mengalami masa kelam, ketika konflik Aceh, ada rasa takut, ada rasa trauma. Itulah yang saya ingat ketika menari, teringat semua di Aceh," cerita Syera kepada wartawan BBC News Indonesia, Endang Nurdin di (The School of Oriental & African Studies), SOAS, London, akhir Mei lalu.
Saat itu ia dan teman-temannya tengah bersiap untuk tampil membawakan tarian yang diberi judul Riwang (Pulang), bagian pertunjukkan dari Tim Naskah Sumatra di perguruan tinggi di London itu.
Guru tari Aceh ini dengan berbinar mengatakan ia sangat bangga bisa menampilkan tarian ini di perguruan tinggi di London ini.
Namun tiba-tiba matanya berlinang. "Perasaan sangat sedih tiba-tiba muncul, bila mengingat konflik," tambahnya.
Kejadian di Aceh itu langsung membuat raut wajahnya berubah seketika.
"Waktu konflik yang paling kami takuti, bapak saya, beliau tukang koran, ketika keluar, kita selalu merasa takut apakah bapak apa bisa pulang dengan selamat atau tidak," ceritanya.
Ia mengatakan walaupun ayahnya memakai rompi dengan tulisan koran yang dia antar, tetap saja suasana tak menentu dan mencekam, membuat mereka semua khawatir akan keselamatannya.
Suara bom dan tembakan ketika itu juga membuat warga desa selalu ketakutan.
"Pernah suatu sore, kami mendengar suara bom di kantor polisi Dewantara. Kami semua lagi di rumah langsung kaget dan saling lihat ke jendela ada kejadian apa. Seperti warga lainnya kami semua di rumah merasakan ketakutan dan membayangkan apa yang akan terjadi keesokan harinya."
Satu hal rutin, kata Syera, adalah semua rumah warga digeledah dan semua orang diperiksa dan diminta menunjukkan KTP.
Salah seorang tukang yang tengah memperbaiki rumah mereka tidak membawa KTP dan dipukul di depan banyak warga.
"Dia dipukul dengan ujung senapan dan mukanya berdarah. Untungnya ibu saya keluar dan bilang bapak itu memperbaiki rumah kami dan menunjukkan kondisi rumah yang banyak semen dan batu bata. Baru mereka berhenti dan menuju ke rumah lain," tambahnya.
Suara bom dan tembakan yang bisa datang kapan saja ini membuat mereka yang tinggal di desa itu, sigap mencari tempat berlindung di rumah.
"Begitulah, setiap hari, jika ada suara tembak, kami tiarap di rumah sambil tutup telinga dan bersembunyi," katanya lagi.
Satu hal yang mereka syukuri, tutup Syera, adalah ayah dan sanak keluarga mereka, tidak ada yang menjadi korban selama konflik Aceh berlangsung.
Menurut Amnesty Internasional, antara 10.000 sampai 30.000 orang, termasuk banyak warga sipil, tewas dalam konflik antara pasukan pemerintah Indonesia dan GAM sejak 1976 sampai 2005.
Amnesty menyebut "pihak berwenang Indonesia hampir sepenuhnya gagal dalam tugasnya untuk memberikan kebenaran, keadilan, dan perbaikan kepada puluhan ribu korban dan anggota keluarga mereka."

Cerita dari Simpang KKA - menyaksikan pembantaian, bergabung dengan GAM

Bila Syera Lestari dan keluarganya merasakan kepanikan akibat kekerasan di Simpang KKA, Jamaluddin menyaksikan langsung penembakan itu. Insiden tersebut disebut tragedi Simpang KKA atau Dewantara.
Umurnya menginjak 17 tahun ketika Jamaluddin terjebak bersama ribuan orang yang sedang berkumpul di Simpang KKA.
Pagi itu, ia sudah siap ke sekolah. Namun batal jalanan telah diblokade massa.
Dokumen Komnas HAM (2016) menyatakan bahwa keramaian tersebut dipicu oleh kemarahan penduduk setempat yang tidak terima setelah tentara melakukan penyisiran disertai kekerasan selama mencari salah seorang warga yang diduga hilang sejak beberapa hari sebelumnya.
Warga bahkan sempat menggelar ronda malam untuk memastikan tidak terjadi lagi penyisiran tentara yang menangkap dan menginterogasi warga secara semena-mena.
Sebelumnya tiga orang warga ditangkap secara acak dan tanpa dasar penangkapan yang jelas, tulis laporan Komnas HAM.
Pada Senin pagi, 3 Mei 1999, tiga truk berisi prajurit dari Den Arhanud Rudal 001 dan Yonif 113 Bireuen kembali datang menyisir desa tanpa didampingi pejabat daerah seperti yang telah disepakati dalam negosiasi antara warga dengan tentara sehari sebelumnya.
Warga pun memutuskan menghadang jalan agar truk tentara tidak bisa lewat.
Ketika truk-truk tersebut berupaya keluar dari blokade, sontak penduduk mengejar sehingga truk tersebut terdesak ke Simpang KKA.
Lambat laun, massa pun terkonsentrasi ke persimpangan. Jalan yang selama ini menjadi akses utama bagi kendaraan umum diblokade sementara penumpangnya disuruh turun, dan menambah jumlah kerumunan.
"Macet karena ada kerumunan. Saya berada di tengah-tengah kerumunan," cerita Jamaluddin kepada wartawan Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC Indonesia di Banda Aceh, awal Juni lalu.
Menurut Komnas HAM, awalnya tembakan dilepaskan oleh pasukan Den Arhanud Rudal 001 yang datang belakangan dengan truk setelah dihubungi via radio oleh anggota Yonif 113 yang tidak bisa bergerak karena truk mereka terhalang massa.
Saat itu, terjadi pengerahan pasukan karena ada desas-desus bahwa penduduk setempat berencana mengepung markas Den Arhanud Rudal 001.
Tembakan pertama dilepas setelah tentara memancing warga dengan melempar kayu ke arah kerumunan, menurut laporan Komnas HAM.
"Saya berada di tengah-tengah kerumunan itu dan menyaksikan bagaimana terjadi pembantaian terhadap masyarakat oleh TNI," demikian pengakuan Jamaluddin.
Tembakan secara membabi-buta itu menumbangkan sebanyak dua orang hanya beberapa meter di depan mata Jamaluddin, katanya.
"Kalau enggak salah saya, satu di depan saya itu di punggungnya tembus ke dada," ungkapnya.
Mereka yang tumbang berteriak, "tolong kami, tolong kami!", dan itu masih terngiang-ngiang di telinga Jamaluddin.
Laporan Komnas HAM menyebut bahwa tembakan mulai meletus menjelang tengah hari.
"Pasukan Den Arhanud Rudal 001 mengarahkan tembakan lurus ke arah warga berkumpul dan menembak selama kurang lebih 20 menit. Sementara itu Pasukan dari Batalyon 113 melakukan tembakan susulan," tulis laporan itu.
Korban dari penembakan itu mencapai 23 orang menurut laporan Komnas HAM.
Namun, dokumen yang dirilis oleh Global Initiative for Justice Truth and Reconciliation (GIJTR) menyebut 46 warga sipil tewas, tujuh di antaranya adalah anak-anak; 156 warga lainnya menderita luka tembak dan 10 orang hilang.
Jamaluddin mengaku terlibat dalam proses evakuasi jenazah para korban sampai selesai.
"Saya di situ sampai sore karena kami yang membantu itu diberi nasi oleh Palang Merah Indonesia (PMI) semua," tuturnya.
Jamaluddin pulang dengan "kemarahan" di dalam hati, "alat negara sewenang-wenang terhadap rakyat, membantai seolah-olah kita bukan anak bangsa yang lahir dari rahim ibu pertiwi".
Tidak beberapa lama setelah peristiwa di Simpang KKA terjadi, kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dikabarkan sedang melakukan perekrutan.
GAM sendiri, kata Jamaluddin, di tempatnya saat itu menjaring anggota baru dengan mekanisme pendaftaran secara terbuka.
"Setiap desa ada pengumumannya via perangkat kampung gampong, via selebaran," ungkapnya.
Hal ini tidak disia-siakan oleh Jamaluddin. Ia memutuskan untuk ikut mendaftarkan diri dengan cara langsung mendatangi markas GAM wilayah Sagoe Tgk. Di Lhok Drien yang dipimpin oleh Panglima Sagoe bernama Tgk. Tarmizi.
Setelah diterima, Jamaluddin dihubungi beberapa minggu kemudian.
Saat itu GAM harus mengumpulkan sekitar 100 calon prajurit terlebih dahulu sebagai syarat agar "kamp pelatihan" selama tiga bulan dimulai.
Anggota dan pimpinan GAM saat melakukan latihan pada akhir 1990-an.
Kamp pelatihan tersebut tersembunyi, "di salah satu desa di Kecamatan Sawang, namanya Pante Jaloh".
Jamaluddin baru tahun pertama sekolah menengah atas ketika memutuskan bergabung dengan GAM dan ditatar di kamp pelatihan gerilyawan.
Para calon prajurit dilatih secara fisik layaknya militer serta menerima indoktrinasi ideologi.
Semasa mengikuti pelatihan, dia masih sempat mencuri-curi waktu untuk datang ke sekolah.
Ia bahkan memiliki ijazah dari sekolahnya yang baru bisa diambil setelah terjadi penandatanganan nota kesepahaman antara perwakilan Indonesia dan GAM pada Agustus 2005.
Selama tergabung, ia ditugaskan sebagai kombatan di bawah Sagoe Tgk. Di Lhok Drien, sejumlah perang ala gerilya dilangsungkan.
Jamaluddin mengatakan ia bertugas menanam ranjau darat di jalur kendaraan lapis baja tentara Indonesia.
"Saya ada empat, lima kendaraan [yang kena]," sebutnya.
Menurut dia, terdapat masa selama setahun di mana dirinya tidak aktif bersama pasukan dan membagi waktu antara misi-misi klandestin dan sekolahnya.
Ketika tahun terakhir sekolah menengah atas, ia diajak bergabung ke dalam kelompok GAM di wilayah Sagoe XXV Kabupaten Aceh Besar di bawah Panglima Daerah Tgk. Nasir dan melewati sejumlah pertempuran.
Ditanya berapa jumlah prajurit lawan yang berhasil dibidiknya, Jamaluddin menjawab, "secara etika, perang sudah selesai, enggak boleh disebutkan".
Pertempuran yang paling diingat Jamaluddin adalah pada awal 2005 yakni ketika kepalanya lolos dari tembakan musuh yang dia duga sudah lama dibidik.
Ketika itu ia sedang beristirahat dan beribadah di zona penguasaan tentara Indonesia di kawasan hutan Lambaro Neujid.
"Kalau secara logika dan skill militer, saya [seharusnya] habis [waktu itu]," ujar Jamaluddin.
Menurutnya, sewaktu kontak senjata berlangsung antara kelompoknya dengan tentara Indonesia di Aceh masih berlangsung, pada saat yang bersamaan juga terjadi upaya pembersihan jenazah korban dan reruntuhan bangunan yang porak-poranda akibat bencana gempa dan tsunami.
Ia mengatakan "hidup setelah pertempuran adalah bonus untuk menuju kebaikan."
Maka setelah nota kesepahaman ditandatangani dan menjadi momentum perdamaian antara RI dan GAM, Jamaluddin memilih berkarir di dunia akademik.
Ia saat ini sedang mengejar gelar magister dan doktor di salah satu universitas di Aceh. Ia juga tercatat sebagai dosen salah satu kampus di Cilegon, Jawa Barat.
Namun pengalaman di Simpang KKA ia sebut sebagai sesuatu "yang sampai hari ini masih terbayang".
Ia mengatakan yang masih tersisa baginya "adalah lebih kepada kebencian, bukan trauma. Kalau trauma kita ketakutan, kita bukan itu, [tetapi] kebencian terhadap negara," ungkapnya.
Kebencian itu, menurut Jamaluddin sendiri, karena negara hanya berhasil di bagian pemusnahan alutsista GAM, sementara itu membiarkan residu ideologis melekat.
Pendidikan, kata Jamaluddin, menjadi salah satu alternatif untuk melenyapkan sisa-sisa ideologi "perlawanan" termasuk terhadap anak-anak muda yang berpotensi terpapar olehnya.
"Negara harus hadir untuk itu [pendidikan]," tegas dia.
"Saya berharap negara menjadikan saya sebagai pilot project sebagai penyelesaian konflik [melalui pendidikan]," tambah Jamaluddin.

"Generasi pendendam"

Demonstran di Jakarta pada 1999 menuntut pengadilan atas kekerasan yang terjadi di Aceh.
Sosiolog di Aceh, Arfiansyah melihat anak-anak muda seperti Saifuddin, Jamaluddin dan Syera Lestari menyimpan rasa trauma yang mereka atasi sendiri.
Dan sejumlah anak muda lain seperti Saifuddin dan Jamaluddin, ia sebut sebagai kelompok "generasi pendendam".
Baik Saifuddin dan Jamaluddin menyatakan mereka sempat "merasakan kebencian" terhadap tentara setelah apa yang mereka saksikan dan alami sendiri.
"Trauma dan stres [adalah] keadaan yang lazim di seluruh wilayah pascakonflik dan kekerasaan. Tentu di Aceh tidak berbeda, mereka trauma, dan stres."
"Tetapi yang saya perhatikan keadaan psikologi lainnya yang tidak menjadi perhatian orang, yaitu dendam," terang Arfiansyah kepada wartawan di Aceh Rino Abonita yang melaporkan untuk BBC Indonesia.
Ia melanjutkan, dalam sejumlah kasus akan terlihat perbedaan sikap antara mereka yang mengalami pengalaman kekerasan secara langsung dan tidak.
"Yang mengalami langsung dan menyaksikan cenderung aktif, asertif, keras kepala, dan cenderung memberontak. Sebagian mereka terlibat aktif melalui organisasi dan cenderung menginisiasi perlawanan, tetapi sebagiannya, karena trauma, mereka cenderung menjadi pendiam," jelas dia.
Orang-orang seperti Saifuddin serta Jamaluddin, tambah Arfiansyah, tidak mendapat perhatian dari akademisi apalagi pemerintah.
Namun, mereka selalu muncul dalam riset-riset dengan topik yang beririsan.
"Saya kira generasi pendendam sedikit pas karena memberi peringatan untuk semua orang tentang potensi yang bisa mereka sebabkan ke depan," tegas Arfiansyah.
Menurut Arfiansyah, kelompok-kelompok "generasi pendendam" ini susah terdeteksi.
Mereka bisa saja muncul sebagai kelompok "perlawanan" yang baru apabila mereka dibiarkan membawa residu pengalaman mengerikan itu tanpa ditangani negara.
"Ketidakmampuan pemerintah meningkatkan kualitas perdamaian dan melihatnya tidak sekedar hanya sebatas angka-angka kuantitatif, hanya membuat Aceh merasa aman dari kontak senjata dan pembunuhan liar secara masif, tetapi potensi konflik masih ada," tegasnya.
"Generasi pendendam" ini, kata Arfiansyah lagi, sebenarnya juga merambah ke tingkat yang lain, karena konflik yang terjadi di Aceh ikut menyebar ke sesama penduduk bahkan menjadi tabrakan horizontal.
"Generasi ini tidak hanya dendam kepada TNI, Polri dan pemerintah Indonesia. Mereka juga dendam kepada ekskombatan yang melakukan kekerasan terhadap mereka dan orang terdekat mereka," kata Arfiansyah.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna menyorot pentingnya pemenuhan hak terhadap generasi yang masa anak-anaknya mengalami pengalaman buruk.
"Tak heran konflik Aceh seolah tak pernah usai, sebab keseriusan dan komitmen negara tak ada dalam hal pemenuhan hak korban terutama pemulihan," tegas Husna.
Menurutnya, pengalaman kekerasan yang terjadi pada masa lalu yang terperangkap dalam tubuh dewasa para korban akan berubah menjadi sentimen terhadap negara.
"Sentimen ini sangat berbahaya bila diorganisir dan dipakai oleh kelompok tertentu. Pada akhirnya, kekerasan direproduksi ulang," tambahnya.

Kisah di balik Rumoh Geudong

Rumah itu beralamat di Desa Billie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, dan disebut-sebut dibangun oleh keturunan seorang prajurit kerajaan bernama Ampon Raja Lamkuta pada 1818.
Letaknya sekitar 125 kilometer dari Banda Aceh dan berada di antara permukiman penduduk.
Menurut buku Rumoh Geudong, The Scar of The Acehnese, pada masa kolonial, rumah tersebut menjadi tempat mengatur siasat untuk melawan Belanda.
Secara berturut-turut, Rumoh Geudong dikuasai oleh sejumlah hulubalang, yakni Teuku Kejreun Rahman, Teuku Kejreun Husein, dan Teuku Kejreun Gade.
Semasa Jepang mengokupasi Aceh hingga Indonesia merdeka pada 1945, rumah tersebut dihuni oleh keturunan Teuku Kejreun Husein, yakni Teuku Raja Umar dan anaknya, Teuku Muhammad.
Namun, pemeliharaannya dilanjutkan oleh keturunan Tengku Kejreun Gade.
Rumah ini berada di atas lahan seluas 150x80 meter persegi, tidak jauh dari lintasan Banda Aceh-Medan.