Konten Media Partner

Kontroversi di Balik 'Aturan lepas Jilbab' Paskibraka - 'Tidak Cukup Minta Maaf, Perlu Ditelusuri Kenapa Bisa Terjadi'

16 Agustus 2024 12:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kontroversi di Balik 'Aturan lepas Jilbab' Paskibraka - 'Tidak Cukup Minta Maaf, Perlu Ditelusuri Kenapa Bisa Terjadi'

Walaupun telah meminta maaf dan mengizinkan Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri untuk mengenakan jilbab dalam pelaksanaan upacara HUT RI ke-79 di Ibu Kota Nusantara (IKN), Kalimantan Timur, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) didesak juga untuk mencabut Keputusan BPIP Nomor 34 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka yang disebut menjadi “sumber terjadinya kekisruhan“.
Keputusan BPIP No 34 itu, kata Wakil Sekretaris Jenderal Purna Paskibraka Indonesia (PPI) Irwan Indra, menghilangkan poin “Ciput warna hitam (untuk putri berhijab)“ yang dicantumkan dalam aturan sebelumnya, yaitu Peraturan BPIP No 3 Tahun 2022.
“Kami tidak ingin hanya sekedar meminta maaf tapi perlu ada penelusuran lebih jauh kenapa hal ini bisa terjadi… Kami juga meminta supaya SK BPIP No 34 Tahun 2024 tidak lagi digunakan karena itu sumber atau asal-muasal terjadinya kekisruhan ini, dan kembali ke Peraturan 2022,“ kata Irwan kepada BBC News Indonesia, Kamis (15/08).
Dalam Keputusan BPIP No 34 itu tertulis bahwa standar pakaian, atribut dan sikap tampang - yang berimplikasi pada dugaan larangan menggunakan jilbab - dibuat guna menjaga kesakralan, wibawa, identitas, dan kedisiplinan Paskibraka.
Namun aktivis kebhinekaan dan perdamaian Ahmad Nurchoish menyebut aturan yang mengatasnamakan keseragaman itu malah yang melunturkan nilai kesakralan dari perayaan kemerdekaan Indonesia itu sendiri.
“Upacara 17 Agustus yang sakral bisa berjalan dengan sakral jika Paskibrakanya juga menjalaninya dengan kesakralan dalam beragama,“ kata Nurchoish.
Senada, salah satu orang tua dari Paskibraka putri menyatakan bahwa rasa nasionalisme seorang warga negara jangan diukur dari “mau atau tidaknya menggunakan jilbab“.
Peneliti isu gender dan Islam, Lies Marcoes menyebut pemaksaan menggunakan atau tidak menggunakan jilbab merupakan sebuah kekeliruan, apalagi jika menggunakan pengaruh kekuasaan. Menurutnya hal itu harus dikembalikan ke putusan pribadi masing-masing anggota Paskibraka.
Presiden Jokowi telah mengukuhkan 76 pelajar menjadi anggota Paskibraka di Istana Negara, IKN, Selasa (13/08). Dalam proses itu terlihat tidak ada satupun anggota Paskibraka putri yang mengenakan jilbab. Padahal, Pengurus Pusat PPI menyebut ada 18 anggota putri yang mengenakan jilbab.
Hal itu kemudian mendapatkan kritikan tajam dari banyak pihak. Akhirnya, BPIP menyampaikan permintaan maaf dan mengizinkan penggunaan jilbab pada upacara 17 Agustus.

Orang tua Paskibraka: Nasionalisme jangan diukur dari mau atau tidaknya menggunakan jilbab

Siti Janeeta Abdul Wahab, Paskibraka putri dari Gorontalo, nampak tidak mengenakan jilbab di acara pengukuhan Paskibraka Nasional 2024, yang dilakukan pertama kali di di Istana Garuda, IKN, pada Selasa (13/08) lalu.
Linda Suronoto ibu dari Janet (panggilannya Janeeta) mengaku, perasaannya campur aduk ketika melihat anaknya dari televisi.
Di satu sisi Linda sangat bangga karena anaknya menjadi satu dari 76 anggota Paskibraka yang akan mengibarkan bendera Merah Putih pada Peringatan HUT Ke-79 Kemerdekaan RI. Tapi di sisi lain, dirinya kaget dan kecewa melihat anaknya tidak lagi menggunakan jilbab.
“Sebagai orang tua, saya merasa bangga melihat anak saya sudah dikukuhkan. Tapi ketika melihat dia tidak gunakan jilbab di depan umum, saya kaget juga dan kecewa,” kata Linda Suronoto kepada wartawan Sarjan Lahay di Gorontalo yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Kamis (15/08).
Meskipun itu adalah acara kenegaraan, katanya, pelepasan jilbab perlu dikritisi karena rasa nasionalisme seseorang bukan diukur dari “mau atau tidaknya menggunakan jilbab”.
Padahal, kata Linda, sejak dari sekolah dasar (SD), Janet sudah menggunakan jilbab. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari, anaknya itu terus menggunakan kerudungnya kecuali saat berada di rumah saja.
Linda mengenang, menjadi anggota Paskibraka merupakan salah satu cita-cita yang ingin dicapai anaknya. Usahannya itu pun akhirnya membuahkan hasil.
Pada akhir Juli 2024 lalu, Janet yang masih duduk dibangku kelas 10 terpilih menjadi perwakilan Gorontalo dalam Paskibraka Nasional 2024.
Remaja kelahiran 20 Mei 2008 ini berhasil melewati berbagai proses tahapan seleksi hingga akhirnya terpilih mewakili Gorontalo.
Kebijakan tidak menggunakan jilbab, ujar Linda, sudah tercium sejak anaknya masih dalam proses seleksi Paskibraka Nasional 2024 yang dilaksanakan di Jakarta.
Ketika itu, kata Linda, anaknya sempat bercerita ke dirinya bahwa dalam proses wawancara oleh panitia BPIP ada pertanyaan terkait kesiapan anaknya untuk membuka jilbab dalam proses pengibaran bendera Merah Putih.
“Anak saya ketika diberi pertanyaan itu, dia tidak menjawab pertanyaan itu. Saya juga merasa pertanyaan itu hanya untuk mengetes saja,” jelasnya. Alih-alih bercanda, kata Linda, apa yang dipertanyakan itu ternyata terjadi.
Linda pun berharap larangan jilbab dalam pengibaran Merah Putih untuk dihapus selamanya. Ia ingin anaknya dan juga Paskibraka selanjutnya bisa menggunakan kerudung sebagai pilihan atas keyakinan mereka.
Mungkin Anda tertarik:
Senada, Ketua Purna Paskibraka (PPI) Provinsi Gorontalo Roman Sunge mengaku, larangan berjilbab juga sudah terlihat saat proses seleksi, di mana ada pertanyaan tentang jilbab.
“Seandainya terpilih menjadi Paskibraka Nasional 2024, apakah Anda bersedia untuk melepas jilbab?” kata Roman yang menirukan pertanyaan panitia dari BPIP ke peserta seleksi Paskibraka Nasional 2024 ketika itu.
Dari empat orang (dua perempuan dan dua laki-laki) perwakilan Gorontalo yang mengikuti seleksi nasional Juli lalu, seorang perempuan menyatakan tidak mau untuk membuka jilbabnya.
Alhasil, klaim Roman, satu orang yang menolak itu tidak lulus dalam proses seleksi Paskibraka Nasional 2024. Meski begitu, kata Roman, dirinya tak mengetahui apakah pertanyaan yang diberikan itu menjadi pertimbangan dalam seleksi.
Saat ini, kata Roman, pihaknya bersama PPI pusat sepakat telah menolak kebijakan larangan berjilbab di Paskibraka Nasional 2024. Pasalnya, kata dia, dalam proses latihan, 18 anggota Paskibraka putri masih menggunakan jilbab, tapi ketika pada proses pengukuhan tidak menggunakan jilbab.

Orang tua Paskibraka: ‘Kami melihat dia tak berhijab di TV’

Nurmis, 54 tahun, adalah orang tua dari Maulia Pemata Putri, anggota Paskibraka putri pada 2024 dari Sumatra Barat.
Nurmis bercerita bahwa sejak kecil anaknya selalu menggunakan jilbab saat berada di luar rumah. Dia pun terkejut saat melihat anaknya dari televisi melepas jilbab saat pengukuhan Paskibraka, Selasa lalu.
“Setelah pemusatan latihan pada 12 Juli 2024 lalu kami sudah tidak pernah lagi berhubungan dengan anak kami dan kami melihat dia tidak berhijab itu saat pengukuhan yang ditayangkan di TV kemarin itu,” kata Nurmis saat dihubungi wartawan Halbert Caniago yang melaporkan untuk BBC Indonesia, Kamis (15/08).
Nurmis juga mengaku tidak pernah diberi tahu oleh BPIP bahwa anaknya akan melepas jilbab baik saat pengukuhan maupun pengibaran bendera.
“Seharusnya untuk pelarangan berhijab itu pihak BPIP mengonfirmasi terlebih dahulu kepada orang tua, tetapi ini tidak… Selama ini kami juga tidak mengetahui adanya aturan seperti itu, kami mengetahuinya saat ditayangkan di TV saja “ katanya.
Ia berharap, pada pelaksanaan upacara bendera di IKN, setiap anggota Paskibraka putri yang menggunakan hijab untuk tidak dilarang.
Nurmis mengungkapkan, menjadi seorang Paskibraka adalah mimpi dari Maulia. Anak keempatnya, katanya, tekun berlatih dari subuh hingga malam untuk dapat menjadi anggota Paskibraka pusat, dari seleksi di tingkat kota hingga provinsi.
“Maulia melakukan latihan setiap hari sepulang sekolah… Bahkan hari Sabtu itu dia diantarkan sama papanya pergi latihan selepas salat subuh. Karena latihannya dimulai pukul 05.45 WIB,” katanya.
Pada 12 Juli 2024 lalu, Nurmis bersama suami dan tiga anaknya serta mengantarkan Maulia ke Bandara Internasional Minangkabau untuk berangkat ke IKN.
“Hari itulah terakhir saya bertemu Maulia dan berkomunikasi terakhir itu saat dia sampai di Bandara di IKN mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai,” lanjutnya.
Setelah itu, Nurmis tidak pernah lagi bisa berkomunikasi dengan anak perempuan satu-satunya itu dan hanya bisa memastikan kabarnya melalui media sosial BPIP dan tayangan di TV.
Gubernur Sumatra Barat Mahyeldi menyatakan bahwa aturan BPIP itu tidak menghormati konstitusi dan meminta kebijakan tersebut dicabut dan tidak diberlakukan lagi oleh BPIP.
Selain itu keberatan juga datang dari orang tua pelajar putri asal Yogyakarta saat melihat foto anaknya tanpa jilbab di acara pengukuhan, kata Plt Kepala Kesbangpol Yogyakarta Anna Rina Herbranti, Rabu (14/08).
"Kami menolak aturan tersebut karena [keharusan melepas jilbab] itu bertentangan dengan Pancasila dan Hak Asasi Manusia. Di Yogyakarta, kami tidak pernah memberlakukan kebijakan tersebut," kata Anna.

‘Keputusan BPIP menjadi sumber terjadinya kekisruhan’

Wasekjen PPI Irwan Indra mengapresiasi keputusan BPIP yang telah meminta maaf dan mengizinkan Paskibraka putri mengenakan jilbab saat upacara kemerdekaan.
“Tapi kami tidak ingin hanya sekedar meminta maaf, perlu ada penelusuran lebih jauh kenapa hal ini bisa terjadi,” kata Irwan kepada BBC News Indonesia.
Dia menjelaskan sumber masalah dari polemik ini berakar pada Keputusan BPIP Nomor 34 Tahun 2024 tentang Standar Pakaian, Atribut dan Sikap Tampang Pasukan Pengibar Bendera Pusaka yang ditandatangani pada 1 Juli 2024 lalu.
Keputusan BPIP itu, tambah Irwan, menghilangkan poin “Ciput warna hitam (untuk putri berhijab)“, yang diatur sebelumnya dalam Peraturan BPIP No 3 Tahun 2022.
“Kami meminta supaya SK BPIP No 34 Tahun 2024 tidak lagi digunakan karena itu sumber atau asal-muasal terjadinya kekisruhan ini, dan kembali ke Peraturan 2022,“ ujarnya.
Selain itu, Irwan juga meminta agar BPIP selaku kordinator program Paskibraka dari sebelumnya dipegang oleh Kemenpora untuk terbuka terhadap segala kebijakan yang dibuat.
Irwan melihat aturan BPIP yang menghilangkan poin ciput dilakukan secara tidak terbuka, dan bahkan penandatanganan surat pernyataan bermaterai tidak dijelaskan secara gamblang ke Paskibraka maupun orang tua mereka.
“Makanya ke depan harapannya terbuka saja. Kalau harus melepaskan jilbab sampaikan sejak awal,” katanya.
Waketum PPI Amelia Ivonila Ilahude mengatakan penggunaan hijab tidak menjadi kendala bagi Paskibraka untuk melakukan tugasnya. Bahkan penggunaan jilbab telah dilakukan sejak 22 tahun lalu.
”Pada saat saya bertugas di Istana Negara itu memang kami angkatan 2002, kami menjadi pelopor dari Provinsi Aceh. Jadi setelah itu tetap diperbolehkan memakai hijab," ujar Amelia, Rabu (14/08).
Ketua Umum PPI Gousta Feriza pun meminta BPIP untuk mengubah larangan itu. "Kenapa pada saat pengukuhan dilarang menggunakan hijab atau jilbab atau bahasa lain diseragamkan untuk tidak menggunakan hijab atau jilbab? Bukankah hal ini mencederai kebhinekaan itu sendiri?" kata Gousta dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (14/08).

Rangkaian kecamanan untuk BPIP

Menurut data PPI, terdapat 18 Paskibraka putri dari total 76 anggota pada 2024 yang menggunakan jilbab sejak pemusatan latihan, latihan, hingga gladi resik.
Namun, berdasarkan pantuan BBC News Indonesia yang hadir menyaksikan proses pengukuhan di Istana Negara, Selasa (13/08) lalu, tidak ada yang terlihat mengenakan jilbab.
Proses pengukuhan yang dapat disaksikan oleh masyarakat dari siaran media itu kemudian memunculkan rangkaian kecaman.
Selain PPI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebut dugaan pelarangan penggunaan jilbab itu sebagai kebijakan yang “tak bijak, tak adil, dan tak beradab”.
"BPIP ini tak patuh, melanggar aturan konstitusi dan Pancasila. Buat apa bikin aturan melepas jilbab saat upacara saja. Sungguh ini aturan dan kebijakan yang tak bijak, tak adil dan tak beradab," kata Ketua MUI Cholil Nafis, Rabu (14/08).
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menyebut dugaan pelarangan jilbab sebagai tindakan yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun memandang aturan itu harus dikoreksi karena tidak relevan. . "Seharusnya penggunaan hijab bukan halangan untuk berprestasi dan berkreasi," kata Ketua PBNU bidang keagamaan Ahmad Fahrur Rozi.

Akhirnya jilbab diperbolehkan – Apa pembelaan BPIP?

Kepala BPIP Yudian Wahyudi menjelaskan bahwa pelepasan jilbab bertujuan untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman dalam pengibaran bendera.
“Karena memang kan dari awal Paskibraka itu uniform [seragam],” ujar Yudian ketika memberi pernyataan pers di IKN, Rabu (14/08).
Yudian menambahkan penyeragaman itu berangkat dari semangat Bhinneka Tunggal Ika, yaitu ketunggalan dalam keseragaman.
“Dia [anggota Paskibraka yang berhijab] bertugas sebagai pasukan yang menyimbolkan kebersatuan dalam kemajemukan,” katanya.
Selain itu, Yudian mengeklaim bahwa pelepasan jilbab dilakukan secara sukarela, di mana setiap Paskibraka telah menandatangani surat pernyataan kesediaan mematuhi peraturan pembentukan dan pelaksanaan tugas Paskibraka.
Dia pun menjelaskan bahwa pelepasan jilbab hanya dilakukan saat Paskibraka bertugas di acara pengukuhan dan pengibaran bendera.
Di tengah ramainya kritikan, Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) Heru Budi Hartono pun mengambil keputusan dengan memperbolehkan jilbab dalam upacara HUT RI ke-79.
"Kami baik di tingkat pusat yang akan besok tanggal 17 melakukan pengibaran bendera tetap menggunakan sebagaimana adik-adik kita mendaftar menggunakan jilbab," ujar Heru di Balai Agung, Balai Kota Jakarta pada Rabu (14/08).
Keesokan harinya, Kamis (15/08), BPIP mengeluarkan keterangan pers yang berisi permintaan maaf terkait dengan berita pelepasan jilbab bagi Paskibraka putri tingkat pusat 2024.
Selain meminta maaf, BPIP pun mengizinkan Paskibraka putri untuk mengenakan jilbab saat pengibaran Bendera Merah Putih.
“BPIP menegaskan mengikuti arahan Kasetpres selaku penanggung jawab pelaksanaan upacara HUT RI ke-79… yang menyatakan bahwa Paskibraka putri yang mengenakan jilbab dapat bertugas tanpa melepaskan jilbabnya,” kata Yudian.

Apakah kesakralan hilang atas nama keseragaman?

Dalam Keputusan BPIP No 34 tertulis bahwa standar pakaian, atribut dan sikap tampang - yang berimplikasi pada dugaan larangan menggunakan jilbab - dibuat guna menjaga kesakralan, wibawa, identitas, dan kedisiplinan Paskibraka.
Namun aktivis kebhinekaan dan perdamaian Ahmad Nurchoish menyebut aturan yang mengatasnamakan keseragaman malah yang melunturkan nilai kesakralan dari perayaan kemerdekaan Indonesia itu sendiri.
“Jadi menurut saya Upacara 17 Agustus yang sakral bisa berjalan sakral jika para Paskibraka meyakini dan menjalankan kesakralan juga dalam beragama,“ kata Nurcholish.
Nurcholish mengatakan penerapan nilai-nilai agama seperti jilbab dalam konteks kenegaraan perlu dilakukan secara bijak, khususnya terhadap kebebasan dalam berekspresi dan berkeyakinan.
“Harusnya tidak perlu ada aturan seperti itu karena akan memantik persoalan dalam relasi antarumat beragama,“ ujar Direktur Eksekutif Harmoni Mitra Madania ini.

‘Berjilbab dan tidak itu kebebasan untuk memilih‘

Peneliti isu gender dan Islam, Lies Marcoes menyebut pemaksaan menggunakan atau tidak jilbab merupakan sebuah kekeliruan, apalagi melalui pengaruh kekuasaan.
“Karena power yang dimiliki misal oleh otoritas agama harus memakai jilbab, dan sebaliknya atas nama kekompakan, keseragaman dipaksa tidak memakai jilbab. Keduanya sama-sama keliru,” kata Lies.
Menurutnya penggunaan jilbab harus dikembalikan ke putusan pribadi masing-masing anggota Paskibraka dan tugas negara adalah memfasilitasi setiap pilihan wargannya.
“Berjilbab dan tidak itu kebebasan masing-masing untuk memilih,” katanya.
Selain itu, Lies juga melihat bahwa polemik ini menunjukkan belum selesainya harmonisasi antara nilai-nilai kenegaraan atau kebangsaan dengan Keislaman yang saling berkubu di Indonesia, di mulai sejak penghujung Orde Baru pada 1990-an.
“Jadi remah-remah, sisa, dari situasi itu masih ada di tengah naik turunnya hubungan antara Islam dan negara,“ katanya.
“Jadi relasi negara dan Islam itu tidak statis. Dalam satu situasi di bawah Orde Baru periode awal, Umat Islam itu menderita sekali. Jumlahnya mayoritas tetapi posisi sosial dan politiknya minoritas.”
“Tapi sekarang sebaliknya, mereka menjadi raja dan seringkali tidak sensitif terhadap kelompok lain yang dalam posisi sahaya [biasa], sehingga kerap muncul singgungan antara nilai-nilai kenegaraan dan Islam,” kata Lies.
BBC News Indonesia telah menghubungi pihak BPIP untuk dimintai tanggapan terkait hal ini namun hingga berita tayang belum mendapatkan respons.

Ketatnya proses seleksi – bagaimana sejarah Paskibraka?

Terdapat 76 Paskibraka yang akan mengibarkan bendera Merah Putih pada 17 Agustus.
Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari 153.000 pelajar yang mendaftar dari 38 provinsi yang mewakili 514 kabupaten/kota.
Dilansir dari situs BPIP, pembentukan Paskibraka diawali ketika Presiden Sukarno memerintahkan ajudannya, Husein Mutahar, untuk menyiapkan pengibaran bendera dalam memperingati perayaan HUT RI yang pertama.
Atas perintah itu, Husein kemudian memiliki ide bahwa acara pengibaran dilakukan oleh para pemuda dari seluruh wilayah Indonesia.
“Tetapi, karena gagasan itu tidak mungkin terlaksana, maka Mutahar hanya bisa menghadirkan lima orang pemuda yang berasal dari berbagai daerah dan kebetulan sedang berada di Yogyakarta. Lima orang tersebut melambangkan Pancasila,” tulis dalam situs itu, yang prosesnya berlangsung hingga tahun 1949.
Ketika ibu kota Indonesia dikembalikan ke Jakarta pada tahun 1950, pengibaran bendera Merah Putih dilaksanakan oleh Rumah Tangga Kepresidenan sampai tahun 1966.
Selama periode itu, para pengibar bendera berasal dari para pelajar dan mahasiswa yang ada di Jakarta.
Kemudian, sejak tahun 1969, anggota pengibar bendera pusaka adalah para remaja SMA yang merupakan utusan dari seluruh provinsi di Indonesia, di mana tiap provinsi diwakili oleh sepasang remaja putra dan putri.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 51 tahun 2022 tentang Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka, pembentukan Paskibraka tidak disiapkan sebatas untuk menaikkan dan menurunkan bendera pusaka pada peringatan HUT RI, tetapi menjadi suatu program pengkaderan calon pemimpin bangsa yang berkarakter Pancasila.
Para Paskibraka itu disiapkan menjadi calon pemimpin bangsa masa depan Indonesia yang memiliki jiwa nasionalisme dan berjiwa Pancasila.
Kemudian, Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila Kepada Generasi Muda Melalui Program Pasukan Pengibar Bendera Pusaka mengamanatkan BPIP menjadi institusi yang bertanggung jawab dalam rekrutmen dan seleksi Paskibraka melalui program Pendidikan Ideologi Pancasila (PIP).