Konten Media Partner

Korban Pelecehan Pertanyakan Tindakan Paus Fransiskus terhadap Predator Seks

7 Mei 2025 7:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Korban Pelecehan Pertanyakan Tindakan Paus Fransiskus terhadap Predator Seks

Di Roma, Italia, sebanyak 133 kardinal tengah membahas siapa yang layak terpilih sebagai pemimpin Vatikan selanjutnya. Namun, diskusi soal siapa sosok Paus berikutnya masih dibayangi pertanyaan tentang warisan Paus Fransiskus.
Bagi Gereja Katolik Roma, catatan kinerja mendiang Paus Fransiskus yang paling sensitif atau kontroversial adalah penanganan terhadap kasus-kasus pelecehan seksual anak-anak oleh rohaniawan.
Paus Fransiskus dinilai berbuat lebih banyak dibandingkan para pendahulunya dalam hal mengakui para korban dan mereformasi prosedur internal Gereja.
Namun, bagi banyak penyintas, langkah-langkah yang diambil Paus Fransiskus belum cukup.
Peringatan: Artikel ini memuat penuturan yang rinci soal kekerasan seksual yang bisa membuat pembaca merasa tidak nyaman.
Pelecehan yang dialami Alexa MacPherson oleh seorang pastor Katolik dimulai sewaktu usianya tiga tahun dan berlanjut selama enam tahun.
"Ketika saya berusia sembilan setengah tahun, ayah saya menangkap basah pastor itu ketika dia mencoba memperkosa saya di sofa ruang tamu," kata MacPherson kepada saya saat kami bertemu di tepi laut Boston.
"Bagi saya, itu sudah seperti kejadian sehari-hari."
Setelah mengetahui pelecehan tersebut, ayahnya menelepon polisi.
Pada 24 Agustus 1984, pastor bernama Peter Kanchong itu dijadwalkan menghadapi sidang atas pengaduan pidana terhadapnya. Dia dituduh melakukan penyerangan dan kekerasan terhadap anak di bawah umur.
Namun, tanpa sepengetahuan keluarga MacPherson, sesuatu yang amat tak lazim terjadi di balik layar.
Gereja Katolik—institusi yang memiliki kekuasaan besar di Kota Boston—meyakini bahwa pengadilan berpihak kepada mereka.
"Pengadilan berusaha menangani masalah ini sedemikian rupa untuk membantu Pastor Peter dan menghindari skandal bagi Gereja," tulis Uskup Agung Boston saat itu, Bernard Law, dalam sebuah surat yang tersembunyi selama bertahun-tahun.
Alexa MacPherson percaya bahwa Gereja Katolik dapat melakukan lebih banyak hal terkait pelecehan anak.
Alexa MacPherson mengakui peristiwa yang menimpanya terjadi lebih dari empat dekade silam alias jauh sebelum Paus Fransiskus memimpin Vatikan.
Di sisi lain, selama periode yang sama, serangkaian skandal global terungkap dan menunjukkan bahwa isu eksploitasi seksual sistemik terhadap anak-anak masih berlangsung dan menjadi tantangan terbesar Gereja modern.
MacPherson meyakini Paus Fransiskus gagal menangani tantangan ini.
Dia menegaskan ini ketika saya menanyakan reaksinya atas berita kematian Paus tersebut.
"Sejujurnya, saya tidak merasa ada reaksi yang berarti," jawabnya.
"Saya tidak mau menafikan hal-hal baik yang telah dia lakukan, tetapi pekerjaan rumah Gereja dan Vatikan serta orang-orang yang bertanggung jawab dalam hal ini masih sangat banyak."

Mengungkap pelecehan

Surat Uskup Agung Bernard Law pada tahun 1984 ditujukan kepada seorang uskup di Thailand.
Surat yang menyebutkan tuduhan "pelecehan anak" itu ditulis dua bulan setelah sidang pengadilan di Boston. Putusan pengadilan menyebut Gereja tidak terlibat skandal.
Peter Kanchong—yang berasal dari Thailand—terhindar dari tuntutan pidana formal dan dijatuhi hukuman percobaan satu tahun. Semua ini berlaku dengan syarat dirinya menjauhi keluarga MacPherson dan menjalani terapi psikologis.
Dalam suratnya, Uskup Agung menulis bahwa evaluasi psikologis Gereja menyebutkan bahwa pastor itu "tidak termotivasi dan tidak merespons terhadap terapi". Oleh karena itu, dia harus "dipaksa menghadapi konsekuensi dari tindakannya" melalui hukum pidana dan hukum Gereja.

Baca juga:

Alih-alih menindaklanjuti saran itu, Uskup Agung malah memohon kepada uskup Thailand untuk segera menarik Peter Kanchong kembali ke keuskupannya di Thailand.
Untuk kedua kalinya, Uskup Agung menyebutkan risiko "skandal besar" jika dia tetap berada di AS.
Laporan media pada saat itu menunjukkan bahwa otoritas Gereja di Thailand setuju untuk menerima Peter Kanchong kembali.
Akan tetapi, Peter Kanchong mengabaikan panggilan tersebut. Dia menemukan pekerjaan di Boston, di sebuah fasilitas untuk orang dewasa dengan disabilitas belajar.
Pada 2002—lebih dari 18 tahun setelah ayah MacPherson pertama kali melapor ke polisi—surat Uskup Agung itu dipublikasikan oleh Gereja Katolik sesuai perintah Pengadilan Boston.
Surat tersebut adalah salah satu dari ribuan halaman dokumen yang dirilis Gereja Katolik.
Surat kabar lokal, The Boston Globe, memutuskan untuk menantang kekuasaan Gereja Katolik di kota itu dengan menempatkan kisah-kisah para korban di halaman depannya.
Tidak lama kemudian, ratusan orang dan pengacara mereka berjuang di pengadilan untuk membuka catatan internal terkait pelecehan seksual terhadap anak-anak yang disimpan selama beberapa dekade.
Gereja mencoba berargumen bahwa Amandemen Pertama Konstitusi AS melindungi kebebasan beragama sehingga Gereja punya hak untuk merahasiakan berkas-berkas tersebut.
Itulah mengapa putusan pengadilan untuk membuka dokumen-dokumen tersebut menjadi momentum penting.
Dihubungi pada saat itu, Peter Kanchong menyangkal tuduhan tersebut.
"Apakah Anda punya bukti? Apakah Anda punya saksi?" katanya kepada The Boston Globe yang mewawancarainya di kota itu.

Baca juga:

MacPherson adalah salah satu dari lebih dari 500 korban yang memenangkan gugatan perdata senilai US$85 juta (sekitar Rp1,3 triliun) atas pelecehan yang mereka derita di tangan puluhan pastor.
Berkas-berkas internal menunjukkan bahwa, Uskup Agung Bernard Law berkali-kali menangani kasus-kasus pelecehan dengan cara yang sama seperti kasus Peter Kanchong: yaitu sekadar memindahkan para pastor ke paroki-paroki lain.
Setelah gugatan perdata selesai, Bernard Law yang saat itu sudah menjadi Kardinal mengundurkan dari jabatannya di Boston dan pindah ke Roma.
Bagi para penyintas, impunitas Gereja makin diperparah ketika Bernard Law diberi kehormatan jabatan selama tujuh tahun sebagai Imam Agung Basilika Santa Maria Maggiore.
Santa Maria Maggiore merupakan bangunan yang sama tempat Paus Fransiskus dimakamkan.
Bernard Law meninggal di Roma pada tahun 2017.
Berbagai sumber dari dalam Gereja memuji Paus Fransiskus karena dia dinilai melangkah lebih jauh dibandingkan pendahulunya dalam mengatasi masalah pelecehan ini.
Pada 2019, Paus Fransiskus memanggil lebih dari 100 uskup ke Roma dan mengadakan konferensi tentang krisis tersebut.
"Kita melihat tangan kejahatan," katanya kepada mereka mengenai kasus pelecehan anak-anak.
Konferensi tersebut menghasilkan revisi hukum Gereja tentang "kerahasiaan kepausan" yang memungkinkan kerja sama dengan pengadilan sipil jika diperlukan dalam kasus pelecehan.
Namun, perubahan tersebut tidak mewajibkan pengungkapan semua informasi terkait pelecehan anak. Alih-alih, revisi hukum hanya mengatur pengungkapannya dalam kasus-kasus tertentu ketika diminta secara resmi oleh otoritas yang sah.

Baca juga:

Selain itu, undang-undang baru ini mengharuskan setiap tuduhan pelecehan dilaporkan ke atasan dalam struktur organisasi Gereja. Undang-undang baru tidak sampai mewajibkan Gereja untuk melaporkan tuduhan-tuduhan tersebut kepada pihak berwenang.
Pengacara MacPherson, Mitchell Garabedian, yang sosoknya diabadikan dalam film Spotlight, mengatakan kepada saya bahwa ada banyak cara bagi Gereja untuk terus menjalankan kerahasiaan.
"Kami harus berlitigasi di pengadilan untuk mendapatkan dokumen, tidak ada yang benar-benar berubah," katanya.
Kemenangan hukumnya pada tahun 2002 merupakan momen penting dan diikuti oleh longsoran kasus serupa di puluhan negara.
Namun, Garabedian yakin ada banyak gereja di seluruh dunia mengetahui tentang kesalahan yang terjadi dan pengetahuan itu tetap disembunyikan.
"Meskipun dia [Paus Fransiskus] melakukan beberapa hal, itu tidak cukup," kata MacPherson ketika saya meminta penilaiannya.
Para pengkritik meyakini Paus Fransiskus tidak berbuat cukup untuk mengatasi masalah pelecehan anak.
MacPherson ingin pihak Gereja membeberkan semua hal yang mereka ketahui.
"Salah satu yang terpenting adalah mengungkap para pastor predator dan orang-orang yang menutup-nutupi skandal ini. Kemudian meminta pertanggungjawaban mereka di pengadilan hukum biasa, alih-alih melindungi dan menyembunyikan mereka."
Bagi MacPherson, menyaksikan berita tak berujung tentang pemakaman Paus dan persiapan pengangkatan penggantinya terasa menyakitkan.
"Di satu sisi, ini seolah merayakan pelecehan," katanya kepada saya.
"Penutupan-penutupan itu masih ada dan terlindungi tembok Vatikan dan hukum kanon mereka."
Liputan berita itu sulit dihindari MacPherson karena ibunya masih sangat beriman pada Gereja Katolik.
"Hanya soal suksesi yang saya lihat di berita, dan ibu saya terobsesi menontonnya, jadi saya terus menerus dibombardir dengan itu."
Sementara itu, Peter Kanchong, yang kini berusia 85 tahun, belum pernah dihukum atas suatu pelanggaran pun.
Meskipun dilarang memegang posisi formal apa pun di Keuskupan Boston, Peter Kanchong belum dicopot dari jabatannya sebagai pastor.

Baca juga:

Dalam daftar para klerus yang dituduh dan dipublikasikan Gereja, kasus Peter Kanchong disebut sebagai "belum terselesaikan" tanpa adanya keputusan akhir mengenai bersalah atau tidak bersalah.
Dia hanya dicatat sebagai "AWOL" atau absen tanpa izin.
"Saya sudah bertahun-tahun mengupayakan agar dia [Peter Kanchong] dicopot dari jabatannya sebagai pastor. Jabatan pastornya cuma bisa dicopot di tempat dia ditahbiskan, yaitu di Thailand, atau oleh Vatikan," tutur MacPherson.
MacPherson mengeklaim Gereja sampai-sampai bersusah payah mengubah nama paroki tempat dirinya dilecehkan. Menurut dia, ini adalah upaya untuk menghapus apa yang terjadi di sana.
BBC meminta pandangan Keuskupan Boston tentang warisan Paus Fransiskus serta tanggapan terhadap klaim bahwa Gereja Katolik mempertahankan budaya kerahasiaan atas catatan internalnya sendiri.
Kami tidak menerima jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kami juga bertanya apakah Uskup Agung saat ini dapat melakukan sesuatu untuk membantu para korban yang berusaha mencopot seorang pastor dari jabatannya.
Kami diarahkan ke Vatikan.
Saat Gereja Katolik bersiap memilih Paus baru, Alexa MacPherson tidak memiliki banyak harapan untuk reformasi yang lebih komprehensif.
"Kalian bilang ingin maju. Kalian bilang ingin membawa orang kembali ke dalam pangkuan," katanya.
"Tetapi kalian tidak mungkin melakukan semua itu sampai kalian benar-benar mengakui dosa-dosa itu, dan kalian meminta pertanggungjawaban orang-orang yang bertanggung jawab."