Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Koryoin, Etnis Korea yang Bermigrasi ke Rusia pada Abad Ke-19 dan 'Sambutan Dingin' Warga Korsel
21 Juli 2024 9:30 WIB
Koryoin, Etnis Korea yang Bermigrasi ke Rusia pada Abad Ke-19 dan 'Sambutan Dingin' Warga Korsel
Etnis Korea yang leluhurnya bermigrasi ke wilayah Rusia lebih dari 100 tahun lalu kini kembali ke Korea Selatan, namun perpindahan tersebut menimbulkan beragam permasalahan.
“Jika saya tidak menerjemahkan ke bahasa Rusia, anak-anak lain tidak akan paham pelajaran apa pun,” kata Kim Yana, siswi berusia 11 tahun dari Sekolah Dasar (SD) Dunpo di Asan, sebuah kota dekat ibu kota Korea Selatan, Seoul.
Yana adalah murid yang berbicara bahasa Korea paling fasih di kelasnya. Sebagian besar dari 22 teman sekelasnya mahir bahasa Rusia, mereka tak fasih berbahasa Korea.
Faktanya, hampir 80% murid di sekolah ini adalah “murid multikultural”. Artinya, mereka adalah warga negara asing atau memiliki orang tua yang bukan warga negara Korea.
“Sulit untuk mendapatkan angka pastinya karena para orang tua mempunyai kewarganegaraan dan status tempat tinggal yang berbeda,” kata Chu Dae-yeol, seorang guru senior yang mengawasi urusan akademik.
"Tetapi sebagian besar siswa multikultural diyakini sebagai orang Koryoin," ujarnya kemudian.
Koryoin adalah etnis Korea yang nenek moyangnya bermigrasi dari Korea ke wilayah timur jauh Kekaisaran Rusia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Banyak dari keluarga-keluarga ini lalu dideportasi ke Asia Tengah pada 1930-an, bagian dari kebijakan “pembersihan perbatasan” Stalin.
Mereka tinggal di negara-negara bekas Soviet seperti Uzbekistan dan Kazakhstan. Selama beberapa generasi, mereka akhirnya berhenti berbicara bahasa Korea karena dilarang.
Keluarga Yana pindah kembali ke Korea Selatan tujuh tahun lalu, dan kini ada lebih banyak lagi keluarga lain yang mengikuti jejaknya.
“Saya secara alami belajar bahasa Korea dengan bermain bersama teman-teman Korea di taman kanak-kanak [TK], tapi sekarang ada jauh lebih banyak anak di sekolah yang tidak bisa berbahasa Korea,” katanya.
Di SD Dunpo, 26,6% muridnya dianggap multikultural pada tahun 2018. Tahun ini, jumlahnya melonjak hingga 79,3%.
Hal ini tidak mengejutkan – populasi etnis Korea berkewarganegaraan asing meningkat lebih cepat di Asan, dibandingkan tempat lain di Korea Selatan.
Pada tahun 2010, jumlah mereka yang tinggal di kota kurang dari 300 orang, namun pada tahun 2023 meningkat 52 kali lipat.
Korea Selatan mulai memberikan izin tinggal di negaranya kepada etnis Korea yang tinggal di China dan negara-negara bekas Uni Soviet.
Langkah ini diambil setelah adanya keputusan penting oleh Mahkamah Konstitusi Korsel yang memperluas definisi “rekan senegara” pada tahun 2001.
Namun, jumlah Koryoin mulai meningkat pesat pada 2014, ketika mereka diizinkan untuk mendatangkan anggota keluarga.
Di masa lalu, mayoritas imigran etnis Korea ini berasal dari China dan masih mampu berbicara bahasa Korea. Namun jumlah warga Koryoin yang tidak bisa berbahasa Korea telah meningkat tajam.
Tahun lalu, ada sekitar 105.000 Koryoin yang tinggal di negara ini – hampir lima kali lipat dibandingkan satu dekade lalu.
Korea Selatan tengah bergulat dengan krisis demografi. Meskipun terdapat bantuan tunai dan perumahan dalam jumlah besar, negara ini memiliki tingkat kesuburan terendah di dunia, yang terus menurun dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2023, angka kelahiran di Korsel berada di 0,72, tertinggal jauh dari angka kelahiran sebesar 2,1 yang diperlukan untuk mempertahankan populasi yang stabil tanpa adanya imigrasi.
Jika tren ini terus berlanjut, diperkirakan populasi Korea Selatan akan berkurang setengahnya pada tahun 2100 mendatang.
Padahal, negara ini akan membutuhkan 894.000 lebih banyak pekerja, terutama di industri jasa, untuk “mencapai proyeksi pertumbuhan ekonomi jangka panjang” selama dekade berikutnya, menurut Kementerian Ketenagakerjaan dan Tenaga Kerja Korea Selatan.
“Meskipun visa luar negeri Korea sering dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap etnis Korea, visa ini terutama berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja yang stabil di bidang manufaktur,” kata Choi Seori, peneliti di Pusat Penelitian dan Pelatihan Migrasi.
Di Asan, banyak komunitas Koryoin yang tinggal di dekat kawasan industri, tempat pabrik-pabrik dijalankan oleh subkontraktor Hyundai Motor.
Ni Denis dari Kazakhstan adalah salah satunya.
“Saat ini, saya tidak melihat orang [warga] Korea di pabrik,” katanya.
“Mereka menganggap pekerjaannya sulit, jadi mereka segera pergi. Lebih dari 80% orang yang bekerja dengan saya adalah Koryoin.”
“Tanpa Koryoin, pabrik-pabrik ini tidak akan berjalan,” kata Lee, seorang perekrut yang meminta disebutkan nama belakangnya.
Sebagian besar pekerja migran lainnya, yang bukan etnis Korea, memegang visa kerja jangka pendek. Mereka hanya diperbolehkan untuk tinggal selama empat tahun 10 bulan.
Untuk memperbarui visa, mereka harus kembali ke negara asalnya dan tinggal di sana setidaknya selama enam bulan.
Namun warga Koryoin dapat memperpanjang masa tinggal mereka di Korea setiap tiga tahun tanpa harus meninggalkan negara tersebut.
Segregasi di sekolah dan masyarakat
Koryoin juga menetap di kota industri lainnya, seperti Gwangju dan Incheon. Namun seperti yang terjadi di Asan dan SD Dunpo, kebijakan imigrasi bisa jadi tantangan tersendiri.
“Anak-anak Korea hanya bermain dengan orang Korea dan anak-anak Rusia hanya bermain dengan [orang] Rusia karena mereka tidak dapat berkomunikasi,” kata Kim Bobby, siswa berusia 12 tahun.
Yana sependapat, seraya menambahkan bahwa mereka sering bertengkar karena tidak bisa berkomunikasi.
Dalam upaya untuk mengatasi kendala bahasa, SD Dunpo menyelenggarakan kelas bahasa Korea selama dua jam untuk murid asing setiap hari. Namun demikian, guru Kim Eun-ju mengutarakan kekhawatirannya.
“Saya yakin banyak anak yang sulit memahami pelajaran ketika mereka naik tingkat,” katanya.
Kelas-kelas lain diajarkan dalam bahasa Korea, dan Yana mengatakan bahwa “waktu berlalu dengan cepat” karena begitu banyak murid yang membutuhkan pelajaran untuk ditafsirkan.
Tingkat persaingan akademis di Korea Selatan terkenal tinggi dan sekolah ini kehilangan siswa lokalnya, karena para orang tua khawatir terhadap pendidikan anak-anak mereka.
“Saya agak khawatir saat memindahkan putri saya ke sekolah ini,” kata Park Hana, yang keluarganya berasal dari Asan.
Dia mendaftarkan putrinya yang berusia delapan tahun di Dunpo tahun lalu.
“Meskipun sekolah tetangga penuh sesak, banyak orang tua setempat yang lebih memilih menyekolahkan anak mereka ke sana.”
Wakil Kepala Sekolah Kim Guen-tae mengatakan, menjalankan sekolah yang 80% siswanya multikultural bisa menjadi hal yang sangat melelahkan.
Di masa lalu ketika jumlah siswanya lebih sedikit akan lebih mudah untuk belajar bahasa Korea di luar kelas, karena sebagian besar dari mereka memiliki satu orang tua yang berkewarganegaraan Korea.
Angka partisipasi sekolah menengah atas (SMA) bagi siswa multikultural sedikit lebih rendah dibandingkan siswa lokal, menurut survei nasional resmi yang dilakukan pada 2021.
Park Min-jung, peneliti di Pusat Penelitian dan Pelatihan Migrasi, khawatir akan semakin banyak siswa Koryoin yang putus sekolah jika mereka tidak mendapatkan dukungan yang diperlukan.
“Jika hal ini terus berlanjut, saya khawatir tentang bagaimana anak-anak dapat tinggal di Korea di masa depan,” kata Guru Senior Chu.
Pemisahan ini tidak hanya terjadi di sekolah – misalnya di Asan, lebih banyak warga Koryoin yang menetap di kota tua, sementara penduduk setempat pindah ke kota baru.
Ni, seorang pekerja pabrik yang datang ke Korea Selatan bersama istri dan lima anaknya dari Kazakhstan pada 2018, mengatakan bahwa dia melihat banyak tetangganya di Korea telah pindah dari gedung tempat tinggal mereka.
“Orang Korea sepertinya tidak suka memiliki Koryoin sebagai tetangga,” katanya sambil tertawa canggung.
“Terkadang orang Korea bertanya, mengapa kami tidak tersenyum kepada mereka. Memang begitulah kami, bukan karena kami marah. Tapi orang-orang yang tidak mengenal kami mengira kami sedang marah.”
Dia mengatakan ada perselisihan antar anak-anak di lingkungannya, dan dia pernah mendengar kasus di mana anak-anak Koryoin bersikap “kasar” saat bertengkar.
“Setelah itu, orang tua Korea menyuruh anaknya untuk tidak bermain dengan anak Koryoin. Saya pikir itulah yang menyebabkan segregasi terjadi.”
Kurangnya kebijakan imigrasi
Pengalaman Kota Asan dalam menangani masuknya warga etnis Korea dari luar negeri mengungkap tantangan lebih luas yang dihadapi Korea Selatan dalam menangani imigrasi – sebuah isu kontroversial di salah satu negara dengan etnis paling homogen di dunia.
“Sudah ada penolakan psikologis yang signifikan terhadap masuknya etnis Korea yang tidak berbeda dengan kami, jadi saya khawatir tentang bagaimana Korea akan dapat menerima imigran lain [beda etnis] di masa depan,” kata Seong Dong-gi, pakar Koryoin. di Universitas Inha.
Lee Chang-won, direktur Pusat Penelitian dan Pelatihan Migrasi, sepakat dengan hal ini.
"Tidak ada rencana yang jelas mengenai imigrasi di tingkat pemerintah pusat. Menyelesaikan masalah kependudukan di negara ini dengan orang asing hanyalah sebuah pemikiran belaka.”
Tahun lalu, ada sekitar 760.000 etnis Korea dari China dan negara-negara berbahasa Rusia yang tinggal di Korsel, setara dengan 30% dari populasi asing di negara tersebut.
Korea Selatan juga merupakan tujuan populer bagi pekerja migran dari negara-negara seperti Nepal, Kamboja, dan Vietnam. Pada 2023 terdapat sekitar 2,5 juta orang asing yang tinggal di negara tersebut.
Kebanyakan dari mereka berprofesi di lapangan kerja fisik dan hanya 13% yang melakukan pekerjaan profesional.
Lee mengatakan kebijakan imigrasi saat ini “sangat menekankan pada pekerja berketerampilan rendah”, yang mengarah pada “pandangan umum” bahwa orang asing hanya bekerja di Korea Selatan untuk sementara dan kemudian pergi.
Akibatnya, dia mengatakan, hanya ada sedikit diskusi mengenai penyelesaian jangka panjang bagi semua imigran.
“Saya berharap krisis yang kita rasakan terhadap populasi dapat menjadi katalis bagi masyarakat untuk memandang imigrasi secara berbeda,” kata Choi, peneliti.
“Sekaranglah waktunya untuk memikirkan bagaimana mengintegrasikannya.”
Meski mengalami beberapa tantangan, Ni tidak menyesali keputusan pindah ke Korea Selatan.
“Bagi anak-anak saya, ini adalah rumah. Ketika kami mengunjungi Kazakhstan, mereka bertanya: ‘Mengapa kami ada di sini? Kami ingin kembali ke Korea.'”