Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Kosmetik Ilegal Bermerkuri dan Berbahaya Masih Beredar, Kenapa Sulit Diberantas?
4 Juli 2023 7:45 WIB
·
waktu baca 7 menitBadan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah mengumumkan 13 merek kosmetik ilegal mengandung merkuri, namun produk-produk berbahaya itu masih dipromosikan secara bebas di media sosial dan diperjualbelikan di lokapasar.
Pakar farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Endang Lukitaningsih mengatakan peredaran kosmetik ilegal sulit diberantas karena penindakannya "belum menyeluruh" dan "tidak menimbulkan efek jera" sehingga terus berulang.
Melalui unggahan Instagram-nya pada akhir pekan lalu, BPOM menyebut 13 merek kosmetik ilegal yang masih ditemukan beredar sepanjang pemantauan mereka pada 2022.
Ke-13 merek kosmetik itu adalah Temulawak New Day & Night, CAC Glow, Natural 99, HN (Siang & Malam), SP Special UV Whitening, Dr Original Pemutih, Super DR Quality Gold SPF 30, Diamond Cream, Herbal Plus New Day & Night, Ling Zhi Day & Night, Sj Sin Jung, Tabita, dan Krim Labella.
Berdasarkan pantauan BBC News Indonesia hingga Senin (3/7) malam, produk-produk itu masih dijual bebas.
Di sejumlah platform lokapasar, krim wajah merek HN masih banyak muncul dalam pencarian. Beberapa toko bahkan telah menjual hingga lebih dari 10.000 produk tersebut.
Ketua harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo mengatakan hal itu membuktikan bahwa penindakan BPOM dan pemerintah "belum efektif".
Pada saat yang sama, masih banyak konsumen yang mengabaikan mutu produk dan dampak buruknya yang akhirnya melanggengkan ceruk bagi bisnis ilegal ini.
Produk-produk semacam itu "laku keras" berkat iming-iming kulit "putih, bersinar, dan mulus" secara instan.
"Mereka [konsumen] terjebak dalam mitos yang dibangun industri kecantikan bahwa cantik itu identik dengan putih. Ditambah awareness yang sangat rendah, lebih mementingkan harga murah ketimbang mutu produk," jelas Sudaryatmo.
Dikutip dari Kompas.com , Koordinator Humas BPOM Eka Rosmalasari mengakui bahwa beberapa merek yang dinyatakan ilegal masih ditemukan setiap kali operasi pengawasan, padahal pihaknya "sudah pernah memberikan peringatan publik" sejak beberapa tahun lalu.
Dia menduga, produk-produk itu masih beredar karena produsennya berbeda dengan pembuat awal.
Masif di media sosial dan lokapasar
Tidak sulit mencari konten-konten yang gencar mempromosikan krim-krim tersebut di media sosial seperti Instagram dan TikTok.
Beberapa konten mengiming-imingi bahwa krim tersebut bisa membuat kulitnya menjadi lebih “glowing”.
“Yang dulu dihina item sama mantan. Sekarang liat gw buktiin. Glowing kan?” tulis seorang pembuat konten di TikTok sambil berpose memegang krim yang masuk dalam daftar ilegal BPOM.
Unggahannya disukai oleh lebih dari 4.000 pengguna.
Di sisi lain, peringatan terkait bahayanya produk sejenis ini juga banyak digaungkan di media sosial.
Seorang pengguna TikTok, Exel_Frizqia membagikan pengalamannya menggunakan krim merek HN.
Mulanya, dia menyebut bahwa krim itu membuat wajahnya bersinar, mulus, dan bersih selama mengonsumsinya pada 2016-2019.
Begitu berhenti, dia mengaku wajahnya langsung mengalami breakout, kondisi di mana kulit wajah mengalami iritasi, kemerahan, dan berjerawat.
Sejak saat itu, Exel pun beralih pada produk kosmetik yang terdaftar di BPOM.
Dia membagikan pengalamannya di TikTok untuk meningkatkan kesadaran pengguna lainnya soal bahaya menggunakan krim abal-abal.
Namun krim-krim itu nyatanya masih dijual bebas dan laku. Beberapa toko daring mengklaim produknya "aman" dengan embel-embel "original" dan "bersertifikat uji lab".
Bahkan ada pula yang mengklaim produk itu terdaftar di BPOM, meski pengumuman resmi dari BPOM menyatakan sebaliknya.
Menurut Sudaryatmo, pemasaran kosmetik abal-abal ini makin sulit diberantas setelah dipasarkan begitu masif di media sosial.
Apalagi ketika penggunaannya dipromosikan oleh para pemengaruh di media sosial yang memiliki banyak pengikut.
Akhirnya, upaya pengawasan dan penindakan terhadap produk-produk ini tidak sebanding dengan betapa cepat ekspansinya.
“BPOM memang melakukan patroli siber terkait ini, berkoordinasi dengan Kementerian Kominfo untuk di-take down, tapi tidak efektif juga,” kata Sudaryatmo.
“Semestinya BPOM bersama Kominfo bisa menertibkan platform [lokapasar] itu untuk tidak memperdagangkan produk-produk yang secara legal bermasalah.”
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo Semuel Pangerapan mengaku pihaknya dan BPOM memiliki perjanjian kerja sama untuk meminta penyedia aplikasi dan lokapasar menghapus konten penjualan kosmetik ilegal.
Berdasarkan catatan BPOM, terdapat 121.795 tautan yang terdeteksi mengedarkan kosmetik ilegal sejak Januari 2022 hingga April 2023.
Tautan itu pun telah dikoordinasikan dengan Asosiasi E-Commerce Indonesia (Indonesian E-Commerce Association/idEA) untuk diturunkan.
“Apabila mereka tidak melakukannya tepat waktu, akan kena sanksi administrasi, dan bisa sampai diblokir,” kata Semuel kepada BBC News Indonesia.
Dia mengklaim permintaan semacam ini “hampir setiap saat ada”.
Namun ketika dikonfirmasi soal mengapa penjualan merek-merek kosmetik ilegal itu masih menjamur di lokapasar, Semuel mengatakan, “sedang tidak memegang data untuk mengecek apa saja yang sudah diajukan untuk di-take down.”
Perlu pengawasan menyeluruh
Menurut Endang Lukitaningsih, peredaran kosmetik ilegal sulit diberantas sepenuhnya karena pengawasannya sering kali hanya di hilir.
Peran pengawasan ini kerap kali bergantung pada kewenangan BPOM yang terbatas, yang menurut Endang hanya bisa menindak berdasarkan pengujian sampel dari produk-produk yang telah dipasarkan.
Padahal dia mengatakan penting pula untuk mengawasi peredaran bahan bakunya.
Banyak dari produsen kosmetik ilegal ini berskala rumahan. Mereka memanfaatkan bahan baku yang dijual bebas yang sebenarnya ditujukan untuk kepentingan lain.
Para produsen ini juga mengabaikan aturan dan standar mutu yang ditetapkan BPOM, yang menurut Endang "sudah sangat ketat".
Namun ketika memasarkannya, "banyak pula yang mecatut dan mengklaim produknya telah terdaftar di BPOM", seolah-olah produk mereka "aman" digunakan.
"Padahal mereka beli, campur sendiri dengan bahan berbahaya, lalu di-branding sendiri. Padahal bahan-bahan itu sebetulnya ditujukan untuk praktikum atau pembelajaran misalnya," kata Endang.
Dengan beragam taktik itu, dia menggarisbawahi pentingnya menutup peluang produksi kosmetik ilegal dengan memperketat peredaran bahan bakunya.
"Jejaring bahan baku itu semestinya punya regulasi yang ketat dan tertib. Jadi tidak bisa hanya menumpukan penindakannya hanya pada saat produknya sudah jadi,” tuturnya.
Oleh sebab itu, penindakan terhadap peredaran kosmetik “harus dilakukan secara menyeluruh”, melibatkan Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Kominfo, dan Polri untuk mengawasi mulai dari peredaran bahan baku hingga penjualannya.
Penindakan yang dilakukan sejauh ini pun, menurut Endang, terbukti belum cukup memberi efek jera.
"Sanksinya itu kan berjenjang, tergantung tingkat penyimpangannya, mulai dari penarikan produk sampai paling berat ditutup. Tapi kenyataannya banyak yang ditutup pun, nanti buka pabrik baru lagi gampang," kata Endang.
YLKI pun mengamini bahwa penegakan hukum masih menjadi "titik lemah" untuk memberantasi peredaran kosmetik ilegal.
Dari sisi konsumen, Sudaryatmo mengatakan rata-rata masyarakat yang telah dirugikan oleh kosmetik ilegal ini pun "sering kali enggan melapor".
"Kami selalu mendorong konsumen yang dirugikan untuk melapor supaya ada penegakan hukum, tapi kalau produsennya kecil-kecil, pada akhirnya banyak yang tidak mau melaporkan," kata Sudaryatmo.
Situasi itulah, kata dia, yang akhirnya membuat kosmetik ilegal pada akhirnya terus muncul kembali.
Bagaimana dampak menggunakan krim bermerkuri?
Merkuri merupakan jenis logam berat berwujud cair dengan warna keperakan, tak berbau dan mengkilap. Merkuri akan mencair apabila dipanaskan pada suhu 357 derajat Celcius.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Bahan Berbahaya dan Beracun, merkuri termasuk ke dalam kategori bahan berbahaya dan beracun (B3).
BPOM juga telah melarang penggunaan merkuri dalam kosmetik yang diatur dalam Peraturan BPOM Nomor 23 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetik.
Menurut Endang, molekulnya yang kecil membuat merkuri yang digunakan pada kosmetik dapat meresap hingga ke dalam kulit.
Padahal kosmetik semestinya hanya dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia seperti pada epidermis, rambut, kuku.
Penggunaan merkuri dapat mengelupas lapisan epidermis.
“Sehingga yang muncul itu kulit di lapisan dalam, sifat selnya hidup, segar warnanya dan kalau kena sinar matahari bisa terlihat kenyal,” jelas Endang.
“Orang-orang tergiur dengan instannya itu, senang karena baru perawatan dua hari kulitnya langsung bersinar. Tapi mereka enggak ngerti dengan efek jangka panjangnya.”
Lapisan epidermis yang terus menipis itu dapat membuat kulit menjadi rentan ketika terpapar sinar matahari, debu, dan bakteri. Inilah yang memicu muncul flek-flek hitam, iritasi, hingga jerawat.
Dalam jangka panjang, merkuri yang meresap ke dalam tubuh bisa mengganggu organ tubuh. Apalagi ketika kadarnya telah terakumulasi di dalam tubuh.
Dengan kondisi kulit yang telah rentan pun, merkuri pada akhirnya dapat meningkatkan risiko seseorang terkena kanker kulit.
Lalu bagaimana jika sudah terlanjur terpapar zat berbahaya ini?
“Sesegera mungkin harus ke dokter kulit untuk upaya regenerasi sel-sel kulit. Ada yang bisa cepat diselamatkan, tapi sayangnya ada juga kondisi kulitnya sudah irreversible [tidak bisa dikembalikan],” ujarnya.
Berkaca dari kasus ini, Endang berpesan agar para pengguna kosmetik teliti memeriksa status registrasi produk di BPOM terlebih dulu untuk memastikan keamanannya.