Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Krisis Ekonomi Sri Lanka: Pendidikan Jadi Hal Mewah
5 Januari 2023 17:00 WIB
·
waktu baca 4 menit Malki terlalu bersemangat untuk tetap tenang di tempat tidur.
Bocah 10 tahun ini bangun satu jam lebih awal sebelum dua adik perempuan dan dua adik laki-lakinya terjaga supaya ia bisa mengikis sisa-sisa kuteks merah cerah dari kukunya.
Ini hari pertamanya kembali ke sekolah dan ia ingin tampil serapi mungkin.
Tetapi adik-adiknya harus tinggal di rumah — keluarganya hanya mampu menyekolahkan Malki.
Enam bulan lalu, Sri Lanka dilanda krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaan.
Meskipun sekarang situasi di negara kepulauan itu sebagian besar sudah kembali tenang, dampak dari pengangguran massal dan kenaikan harga yang dramatis sekarang terlihat jelas di antara banyak keluarga.
Mimpi buruk setiap orang tua
Ibu Malki, Priyanthika, harus menghentikan sementara pendidikan anak-anaknya supaya mereka bisa mencari uang dengan menjual kembang api.
Harga pangan di Sri Lanka mencapai rekor termahalnya ketika level inflasi mencapai hampir 95%.
Pada hari-hari tertentu, tidak ada seorang pun di keluarga Malki yang makan.
Dan meskipun sekolah di Sri Lanka gratis, mereka tidak menyediakan makanan.
Ditambah ongkos untuk seragam dan transportasi, pendidikan telah menjadi kemewahan yang tidak lagi mampu dibeli Priyanthika.
Perempuan itu berkata ia butuh sekitar 400 rupee per hari (Rp17.000) untuk setiap anak kalau mereka ingin kembali ke sekolah.
Duduk di rumah satu kamar tidurnya, di atas ranjang yang ia bagi dengan semua anggota keluarga, Priyanthika menyeka air mata dari wajahnya.
"Semua anak ini biasanya berangkat sekolah setiap hari, saya tidak punya uang untuk menyekolahkan mereka sekarang," ujarnya.
Malki bisa bersekolah karena sepatu dan seragamnya masih pas.
Tapi adik perempuannya, Dulanjalee, berbaring di tempat tidur sambil menangis. Dia kesal hari ini bukan gilirannya.
"Sayangku, jangan menangis," kata Priyanthika. "Ibu akan mencoba dan membawamu besok."
Pendidikan yang hancur
Saat matahari terbit, anak-anak yang berangkat sekolah bergegas di sepanjang jalan tanah dengan mengenakan seragam katun putih. Mereka duduk menumpuk di jok belakang sepeda motor atau berdesakan di tuk-tuk.
Di seberang kota, Prakrama Weerasinghe menghela napas lelah.
Ia adalah kepala sekolah di Sekolah Menengah Kotahena Pusat Kolombo dan menyaksikan kesulitan ekonomi yang dialami para siswa setiap hari.
"Ketika hari sekolah dimulai, ketika kami mengadakan upacara pagi, anak-anak sering pingsan karena kelaparan," ujarnya.
Pemerintah berkata mereka sudah mulai mendistribusikan beras ke sekolah-sekolah namun beberapa sekolah yang dihubungi oleh BBC mengatakan mereka belum menerima bantuan.
Weerasinghe mengatakan kehadiran siswa sempat turun sampai 40% sehingga ia terpaksa meminta para guru untuk membawa makanan tambahan supaya siswa terus kembali ke kelas.
Joseph Stalin adalah Sekretaris Jenderal Serikat Guru Ceylon.
Dia yakin pemerintah pura-pura tidak tahu tentang semakin banyaknya keluarga yang berhenti menyekolahkan anak karena alasan biaya.
"Guru-guru kami adalah yang melihat kotak-kotak makan siang yang kosong," katanya. "Korban sebenarnya dari krisis ekonomi ini adalah anak-anak."
"Mereka (pemerintah) tidak mencari jawaban atas masalah ini. Ini sudah diamati dan diidentifikasi oleh UNICEF dan lainnya, tapi tidak pemerintah Sri Lanka."
UNICEF mengatakan warga Sri Lanka akan semakin sulit mencari makan selama bulan-bulan mendatang, dengan inflasi harga barang-barang pokok seperti beres terus melumpuhkan ekonomi keluarga.
Lembaga PBB itu memperkirakan lebih banyak anak di seluruh negeri akan terpaksa berhenti sekolah.
Bergantung pada amal
Dengan pemerintah tampak tidak mampu menangani situas ini, sejumlah lembaga amal telah turun tangan.
Samata Sarana adalah lembaga amal Kristen yang telah membantu orang-orang termiskin di Kolombo selama tiga dekade.
Hari ini, aula makanan mereka penuh dengan siswa yang lapar dari sekolah-sekolah di seluruh ibu kota.
Meskipun badan amal tersebut dapat membantu sekitar 200 anak setiap hari, jelas bahwa mereka juga kesulitan untuk memenuhi kebutuhan.
"Mereka memberi kami makanan, bus untuk pulang, mereka memberi kami segalanya sehingga sekarang kami bisa belajar," kata Manoj yang mengantre untuk makan siang dengan beberapa temannya.
Ketika Malki pulang dari hari pertamanya kembali ke sekolah, ia memberi tahu ibunya betapa ia senang bisa bertemu teman-temannya lagi.
Tetapi ia juga mengatakan bahwa ia membutuhkan buku pelajaran baru dan bahwa gurunya meminta uang tambahan untuk membeli bahan-bahan untuk proyek sekolah - uang yang keluarga itu tidak punya.
"Kalau kami berhasil mencari makan hari ini, kami kemudian khawatir bagaimana mencari makan besok," kata Priyanthika.
"Ini sudah menjadi hidup kami."