Konten Media Partner

Kronologi Kekerasan Seksual selama Hampir 20 Tahun pada Anak-Anak Panti Asuhan di Tangerang

10 Oktober 2024 6:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Kronologi Kekerasan Seksual selama Hampir 20 Tahun pada Anak-Anak Panti Asuhan di Tangerang

Jumlah korban kekerasan seksual di panti asuhan di Tangerang, Banten, diperkirakan bisa mencapai lebih dari 40 anak. Pembiaran dari masyarakat dan lemahnya pengawasan pemerintah diduga membuat kekerasan seksual bisa terus berlangsung di sana selama setidaknya 18 tahun.
Polres Metro Kota Tangerang telah menetapkan Sudirman (49), Yusuf Bachtiar (30, dan Yandi Supriyadi (28) sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak panti asuhan di Tangerang, Banten.
Sudirman adalah pimpinan panti itu, yang disebut polisi telah beroperasi sejak Mei 2006 tanpa izin.
Sementara itu, Yusuf dan Yandi adalah pengurus panti. Keduanya diduga merupakan korban pelecehan oleh Sudirman yang kemudian berbalik menjadi pelaku.
Sudirman dan Yusuf telah ditangkap polisi, sementara Yandi kini masih berstatus buron.
“Ancaman pidana [untuk pelaku] paling singkat lima tahun, maksimal 15 tahun,” kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi Ade Ary Syam Indradi.
Warga sekitar panti mengatakan perilaku “menyimpang” Sudirman sudah terendus sejak lama.
Teman-teman lama Sudirman sekaligus donatur panti mengaku kaget mengetahui tindakan pelaku selama ini. Apalagi, setelah menelusuri lebih lanjut, mereka menemukan jumlah anak yang menjadi korban bisa jadi mencapai lebih dari 40 orang.
Kementerian Sosial mengatakan pengawasan panti asuhan adalah tanggung jawab pemerintah daerah setempat. Sementara itu, Pemerintah Kota Tangerang mengimbau masyarakat lebih berani melakukan pelaporan.
Menurut Tika Bisono, psikolog sekaligus pemerhati isu anak, “negara tidak hadir” dalam upaya perlindungan anak dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
“Setelah media mengangkat [sebuah kasus], biasanya baru kebakaran jenggot,” kata Tika.

Kronologi kasus kekerasan seksual di panti asuhan

Yusmiati, teman SMA Sudirman yang telah ditetapkan sebagai tersangka kekerasan seksual sekaligus pimpinan panti asuhan di Tangerang, mengatakan ide mendirikan panti asuhan tercetus setelah Sudirman mengadakan pengajian di kampungnya puluhan tahun silam.
Saat lulus SMA, Sudirman kesulitan mencari pekerjaan sehingga memutuskan ingin “ngajar ngaji saja,” kata Yusmiati.
Ide itu disambut positif dan didukung teman-teman Sudirman.
Setelah berjalan, peserta pengajian disebut terus bertambah.
Banyak orang, kata Yusmiati, pun percaya pada Sudirman sehingga menitipkan anak-anak untuk diasuhnya.
“Ternyata makin banyak [yang mengirimkan anak-anak untuk diasuh]. Di situlah terbentuk panti asuhan,” kata Yusmiati pada Senin (7/10).
Karena merasa apa yang dilakukan Sudirman baik, teman-teman terus mendukung, termasuk mendonasikan uang untuk pembangunan panti asuhan itu.
“Saya sama teman-teman juga inisiatif menggerakkan, 'ayo kita bangun',” kata Tati Herawati, teman Sudirman lainnya.
Bersama Yusmiati dan Dean Desvi, Herawati lantas menjadi donatur dan orang tua asuh di panti asuhan tersebut.
Anto, warga sekitar panti yang kini berusia 44 tahun, mengaku sempat mengikuti pengajian yang diadakan Sudirman saat masih SMA, kira-kira pada 1997.
Saat itu, kata Anto, ada ustaz yang diundang ke pengajian sehingga sejumlah warga tertarik ikut serta.
Pada masa itu, Anto mengeklaim sejumlah warga sekitar telah menyadari perilaku “menyimpang” Sudirman.
Anak-anak kecil kerap “dipegang-pegang” oleh Sudirman, klaim Anto, meski tak sampai terjadi pemaksaan hubungan intim.
Namun, Anto menyebut Sudirman “royal”, kerap memberikan uang, beras, atau sayuran kepada warga sekitar.
“Enggak sedikit juga orang sini yang dapat [bantuan] dari dia. Kehidupannya dibantu,” kata Anto kepada wartawan Felix Jody Kinarwan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Senin (7/10).
Karena itu, menurut Anto, tingkah laku Sudirman yang kerap menyentuh anak kecil itu jadi semacam rahasia umum.
Ilustrasi anak yang jadi korban kekerasan seksual.
“Kadang kalau tarawih, dia [Sudirman] yang jadi imam, saya salat lagi. Berasa enggak sah,” kata Anto.
Namun, Anto menegaskan ia dan warga lain tidak tahu bila apa yang terjadi di panti ternyata begitu parah.
Selama ini, ia tidak tahu bagaimana kegiatan sehari-hari di panti. Apalagi bangunannya dikelilingi pagar tinggi yang selalu tertutup rapat.
Anto tidak menyangka anak-anak di panti menjadi korban kekerasan seksual selama bertahun-tahun.
“Kita sudah tahu dia kayak begitu [berbeda], tapi enggak ada pemikiran dia mau [melakukan kekerasan seksual],” kata Anto.
Selain Sudirman, dua pengurus panti bernama Yusuf Bachtiar dan Yandi Supriyadi juga ditetapkan menjadi tersangka oleh polisi.
Desvi selaku pendamping korban, yakin Yusuf dan Yandi awalnya adalah mantan korban Sudirman.
Menurut Anto, orang tua Yusuf sengaja menitipkan Yusuf ke Sudirman di panti agar anaknya bisa “menimba ilmu”.
Anto membuat klaim bahwa Sudirman lihai mengambil hati orang-orang sehingga banyak yang menjadi donatur panti.
Anto bilang dulu ia dan anak-anak lain sempat dimanfaatkan untuk mencari donatur.
“Kita dibawa [ketemu donatur]. Saya dibilang anak yatim. Kan kurang ajar,” kata Anto.
“Padahal, kita-kita ini masih ada bapak, masih ada emak.”
Desvi mengatakan ia dan para donatur lain tertipu karena “performance” Sudirman begitu “rapi, manis, agamais”.
“Warga setempat bilang dia baik, suka sedekah, berbagi di mana-mana,” kata Desvi, yang juga dikenal sebagai aktris sinetron.
“Di depan saya juga keseringan lidahnya berzikir.”
Atas alasan itu, Desvi kerap mengenalkan Sudirman ke teman-temannya sesama selebritas di dunia hiburan, yang kemudian ikut memberikan donasi bagi panti asuhan yang dikelola pelaku.
Semua baru terkuak pada Mei lalu, setelah salah satu korban yang telah keluar dari panti mengadu pada Desvi bahwa ia telah menjadi korban kekerasan seksual.
Ilustrasi anak yang jadi korban kekerasan seksual.
Mulanya, Desvi tidak percaya. Apalagi, Sudirman adalah temannya sejak SMP yang dilihat selalu berperilaku baik.
Desvi kemudian berkoordinasi dengan Yusmiati dan Tati, yang mengeklaim mereka juga mendengar cerita serupa.
Ketiganya segera mengumpulkan informasi dan menemukan ada banyak anak lain yang mengaku telah menjadi korban kekerasan seksual sejak awal panti berdiri.
“Panti ini sudah berdiri [nyaris] 20 tahun. Itu yang saya merasa bodoh, saya merasa kecolongan. Padahal saya tiap bulan ketemu mereka, setiap ada acara Muharam, Ramadan,” kata Desvi.
“Saya merasa berdosa sama anak-anak ini. Makanya saya berjuang untuk membela mereka.”
Pada awal Juli, setelah diyakinkan Desvi, seorang korban melaporkan kasus ini ke Polres Metro Tangerang Kota, yang kemudian menetapkan tiga tersangka: Sudirman, Yusuf, dan Yandi.
Sudirman dan Yusuf telah ditangkap polisi, sementara Yandi kini masih dalam pengejaran.

Bagaimana perkembangan kasus ini?

Desvi menuding Yandi membawa kabur salah satu anak panti yang merupakan saksi kunci ke Padang.
Polisi telah menyegel bangunan dan menghentikan operasi panti asuhan di Tangerang tersebut.
BBC News Indonesia telah berulang kali menghubungi Aryono, Kepala Humas Polres Metro Tangerang Kota. Namun, hingga tulisan ini diterbitkan, ia tidak memberi tanggapan.
Pada Senin (7/10), menurut Desvi, 13 anak panti telah dipindahkan ke Rumah Perlindungan Sosial (RPS) Dinas Sosial Kota Tangerang. Sementara empat lainnya ditempatkan di rumah sukarelawan dan dirawat bersama oleh Desvi dan kawan-kawan.
Ditambah nama enam anak lain yang telah keluar dari panti, total ada 23 korban dan terduga korban yang datanya telah Desvi laporkan ke polisi. Sebanyak tujuh di antara mereka telah menjalani pemeriksaan dokter dan visum menunjukkan mereka mengalami kekerasan seksual.
Namun, itu belum semua. Menurut Desvi, total ia memegang nama 41 anak yang diduga pernah menjadi korban kekerasan seksual di panti.
Masalahnya, menurut informasi yang dikumpulkan Desvi dan kawan-kawan, satu dari 13 anak di RPS (yang masih di bawah umur) serta dua anak lain yang telah keluar dari panti sesungguhnya juga pelaku.
Dua terduga pelaku rencananya akan segera dilaporkan ke polisi. Namun, untuk satu lainnya yang masih di bawah umur, Desvi bilang masih mempertimbangkan tindakan yang akan diambil.
“Ini penghuni panti, usia 14 tahun, dia sudah pernah melakukan [kekerasan seksual] kepada 10 atau 11 adik-adiknya,” kata Desvi.
“Saya bingung mau melaporkannya.”

‘Negara tidak hadir’

Pemerintah daerah dan Polres Metro Kota Tangerang telah menyatakan bahwa panti asuhan terkait tidak terdaftar dan tidak memiliki izin operasi.
Di Indonesia, panti asuhan termasuk dalam kategori Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) yang berada di bawah binaan Kementerian Sosial.
Selain panti asuhan, yang termasuk LKS adalah panti untuk lansia, penyandang disabilitas, dan korban penyalahgunaan narkoba.
Supomo, Direktur Jenderal Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, mengatakan pengawasan LKS adalah tanggung jawab pemerintah daerah.
“Kami berharap pemerintah daerah melakukan hal-hal yang kemudian bisa membuat mereka berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku, [agar] LKS-LKS tersebut dilakukan pengawasan dengan baik,” kata Supomo pada Senin (7/10).
Di sisi lain, Penjabat (Pj) Wali Kota Tangerang Nurdin justru mengimbau masyarakat agar melakukan pengawasan lebih ketat di lapangan agar kekerasan terhadap anak tidak terjadi lagi ke depan.
“Kami berharap masyarakat semakin berani melaporkan segala bentuk kekerasan agar bisa segera ditindaklanjuti oleh pihak yang berwenang,” kata Nurdin dalam keterangan tertulisnya pada Jumat (04/10).
Menteri Sosial Saifullah Yusuf pun menegaskan pentingnya pelibatan masyarakat sekitar dalam pendirian LKS seperti panti asuhan.
"Ke depan, saya akan memberikan persyaratan mendirikan panti asuhan salah satunya harus dengan persetujuan warga sekitar," kata pria yang akrab disapa Gus Ipul itu pada Selasa (08/10).
"Kami akan pastikan pengawasan diperketat dan melibatkan masyarakat sekitar panti."
Menurut Tika Bisono, psikolog sekaligus pemerhati isu anak, “negara tidak hadir” dalam upaya perlindungan anak dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual.
Tika menyebut sejumlah alasan, termasuk nomor pengaduan kekerasan dari pemerintah yang kerap tidak berfungsi, pengawasan yang tidak memadai di lapangan, serta sanksi tidak tegas bagi lembaga yang kedapatan jadi tempat terjadinya kekerasan terhadap anak.
“Setelah media mengangkat [sebuah kasus], biasanya baru kebakaran jenggot,” kata Tika.
“Memang mereka enggak pernah ada upaya membangun jaring pengaman buat anak-anak ini. Enggak ada sama sekali. Yang diatur di Undang-Undang Perlindungan Anak itu juga di atas kertas saja. Di lapangan enggak ada.”
Tika pun mempertanyakan masyarakat sekitar panti yang terkesan melakukan pembiaran meski ada sejumlah kejanggalan.
"Padahal semakin bangunan rumah itu tertutup, pihak RT dan RW itu harusnya mendatangi [untuk mengecek]," katanya.
Kini, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Pemerintah Kota Tangerang mengatakan terus mendampingi anak-anak panti yang telah dipindahkan ke rumah perlindungan untuk proses pemulihan trauma mereka.
Petugas DP3AP2KB Kota Tangerang disebut berupaya melakukan pendekatan untuk memahami pikiran, perasaan, ataupun pengalaman anak-anak tersebut.
“Kami berupaya membingkai ulang ingatan anak-anak dengan cara yang sehat dan meningkatkan kesehatan mereka secara terukur. Hasilnya, tim akan membuat rencana pemulihan untuk ke 12 anak-anak tersebut,” kata Titto Chairil Yustiadi, Ketua Tim Kerja Advokasi Perlindungan Perempuan dan Anak DP3AP2KB Kota Tangerang.
Anak-anak itu juga menjalani konseling psikologis dan tes kesehatan untuk memastikan apakah mereka juga menjadi korban kekerasan seksual.
Setelahnya, kata Wali Kota Tangerang Nurdin, anak-anak akan dikembalikan ke keluarganya atau ditempatkan di panti berizin resmi bila tidak memiliki keluarga.
Bila ada yang terindikasi jadi korban, visum akan diserahkan ke polisi untuk penyelidikan lebih lanjut, imbuhnya.
“Pemkot Tangerang akan terus melakukan pendampingan pada seluruh anak-anak hingga kasus ini selesai,” kata Nurdin.
Dian Sasmita, anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengatakan pihaknya pun akan mengawasi agar proses hukum terkait kasus ini berjalan lancar dan hak-hak korban bisa dipenuhi pemerintah pusat dan daerah.
“Ketika dibutuhkan tenaga-tenaga profesional lainnya, kita juga akan mendorong para organisasi profesi juga memberikan perhatian untuk kasus ini,” kata Dian.
“Jadi ini bukan kasus yang akan berjalan sendirian, tapi semua pihak, semua mata akan membantu juga untuk kasus ini.”

Bagaimana dampak psikologis terhadap korban ke depan?

Sepanjang 2023, KPAI menerima total 358 pengaduan kasus kekerasan seksual terhadap anak.
Sementara itu, dari Januari hingga September 2024, KPAI menerima 164 pengaduan kasus serupa.
“Angka yang dilaporkan ke KPAI hanya sebagian kecil dari yang terjadi di luar sana,” kata Dian Sasmita, anggota KPAI.
"Untuk itu, kami tidak hanya berhenti pada penanganan kasus, tapi kita juga akan mendorong supaya pemerintah lebih meningkatkan lagi pencegahan dan pengurangan risikonya."
Ilustrasi anak yang jadi korban kekerasan seksual.
Menurut hasil studi yang dipublikasikan di jurnal Medicine pada 22 September 2023, trauma kekerasan seksual pada anak-anak dapat berlangsung hingga remaja dan bahkan dewasa, serta mengakibatkan “dampak negatif seumur hidup”.
Anak-anak yang jadi korban disebut bisa mengalami depresi, kecemasan, dan rendahnya kepercayaan diri, serta dapat menyakiti diri sendiri atau menunjukkan perilaku seksual yang menyimpang.
“Remaja yang mengalami pelecehan seksual di masa kecil lebih mungkin untuk kabur dari rumah, menggunakan alkohol, memiliki pikiran untuk bunuh diri, mencoba bunuh diri, dan menunjukkan kinerja akademis yang lebih rendah,” tulis artikel jurnal itu.
“Lebih jauh lagi, anak di bawah umur yang mengalami pelecehan seksual terus mengalami gangguan depresi, gangguan makan, kecenderungan bunuh diri, masalah seksual, tingkat perceraian yang tinggi, dan kinerja kerja yang rendah bahkan setelah mereka dewasa.”
Samanta Elsener, psikolog anak dan keluarga, juga mengatakan para korban yang tidak mendapat bantuan profesional untuk memulihkan traumanya berpotensi menjadi pelaku di masa depan.
“Itu karena rasa sakit yang ingin dibagikan bersama dengan korban lainnya, sehingga ia tidak memiliki empati pada kesakitan orang lain,” kata Samanta.
“Jadinya asas balas dendam dengan orang yang lebih lemah dari dirinya dan bisa dimanipulasi. Itu untuk menunjukkan dirinya berkuasa dan memiliki power terhadap korban.”
Wartawan Felix Jody Kinarwan di Tangerang, Banten, berkontribusi untuk laporan ini.