Konten Media Partner

Mahkamah Internasional Sidangkan Gugatan Afrika Selatan terhadap Israel – Kenapa Indonesia Tidak Bisa Ikut Menggugat?

11 Januari 2024 7:30 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Mahkamah Internasional Sidangkan Gugatan Afrika Selatan terhadap Israel – Kenapa Indonesia Tidak Bisa Ikut Menggugat?

Sejumlah warga Palestina berduka atas meninggalnya orang terdekat mereka yang meninggal akibat serangan Israel pada 10 Januari 2024
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah warga Palestina berduka atas meninggalnya orang terdekat mereka yang meninggal akibat serangan Israel pada 10 Januari 2024
Komnas HAM mendorong Indonesia untuk melakukan intervensi di Mahkamah Internasional (ICJ) dengan mendukung upaya hukum Afrika Selatan. Namun, Indonesia bukanlah negara peratifikasi Konvensi Genosida. Lantas tindakan konkret apa yang bisa dilakukan Indonesia?
Mahkamah Internasional (ICJ) dijadwalkan menggelar sidang perdana gugatan yang dilayangkan oleh Afrika Selatan terhadap Israel yang dituding melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza pada 11 dan 12 Januari.
Secara terpisah, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan: "Indonesia secara konsisten berdiri tegak bersama bangsa Palestina memperjuangkan hak-haknya serta melawan kekejaman dan penjajahan Israel” dalam pernyataan pers tahunannya untuk 2024.
Komnas HAM mendorong pemerintah Indonesia “untuk melakukan intervensi di ICJ dengan mendukung upaya hukum Afrika Selatan di ICJ.”
Akan tetapi, juru bicara Kementerian Luar Negeri RI mengatakan Indonesia “secara hukum tidak bisa menggugat” karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia bukanlah Negara Pihak – negara yang setuju untuk terikat perjanjian internasional berkekuatan hukum.
Lantas bagaimana Indonesia berperan nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia seperti apa yang terjadi di Gaza saat ini?
Berikut ini adalah sejumlah hal yang perlu Anda ketahui tentang sidang gugatan Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional yang digelar pekan ini.

Apa itu Konvensi Genosida?

Konvensi tentang Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida disahkan PBB pada 9 Desember 1948.
Ahli hukum Rafael Lemkin, yang berkebangsaan Polandia-Yahudi, merancang isi Konvensi dan dia juga yang menemukan kata “genosida”.
Genosida sendiri adalah tindakan yang bertujuan menghancurkan suatu bangsa, kelompok etnis, ras, atau komunitas penganut agama secara keseluruhan atau sebagian.
Genosida adalah salah satu kejahatan internasional yang paling sulit dibuktikan.
Konvensi Genosida PBB secara efektif dilaksanakan pada 12 Januari 1951. Per April 2022, ada 153 negara yang menjadi negara pihak. Negara pihak adalah negara yang setuju untuk terikat perjanjian internasional berkekuatan hukum.

Apa upaya hukum Afrika Selatan terhadap Israel?

Gugatan Afrika Selatan diajukan melalui ICJ di Den Haag, Belanda, pada 29 Desember tahun lalu dan Mahkamah dijadwalkan menggelar sidang perdana pada 11 dan 12 Januari minggu ini.
Afrika Selatan menyusun berkas gugatan setebal 84 halaman yang menyebut aksi-aksi Israel "merupakan sebuah genosida karena mereka berniat menghancurkan" orang-orang Palestina di Gaza "secara substansial".
Afrika Selatan mengatakan aksi-aksi genosida ini meliputi pembunuhan, penganiayaan yang berdampak serius terhadap kejiwaan dan fisik, dan secara sengaja membuat kondisi-kondisi yang "menghancurkan [orang-orang Palestina] secara komunitas".
Gugatan Afrika Selatan menyebut pernyataan demi pernyataan yang dikeluarkan para pejabat Israel menyiratkan niat genosida.
Mahkamah Internasional (ICJ) berlokasi di Den Haag, Belanda.
Menurut Juliette McIntyre, seorang dosen hukum dari Universitas South Australia, gugatan terhadap Israel "sangatlah komprehensif" dan "disusun dengan cermat".
"Susunan berkas ini merespon semua argumen yang mungkin disebutkan Israel… dan juga mengantisipasi klaim-klaim bahwa mahkamah tidak memiliki kewenangan," ujar McIntyre kepada BBC.
Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung, menyoroti kesamaan pandangan antara Afrika Selatan dan Indonesia dalam konteks dukungan terhadap Palestina.
“Tampaknya terdapat pembagian tanggung jawab di Mahkamah Internasional bagi Indonesia dan Afrika Selatan, yakni dalam kerangka kerjasama Selatan-Selatan dan Dasasila Bandung,” ujar Rezasyah kepada BBC Indonesia.

Bagaimana posisi Indonesia dalam Konvensi Genosida?

Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, dalam siaran pers pada Selasa (09/01) mengatakan Komnas HAM Palestina mengimbau mereka untuk mendukung upaya hukum Afrika Selatan di Mahkamah Internasional.
“[Komnas HAM RI] mendorong pemerintah Indonesia untuk melakukan intervensi di ICJ dengan mendukung upaya hukum Afrika Selatan di ICJ atas dugaan genosida yang dilakukan oleh Israel di Gaza Palestina,” tutur Atnike dalam pernyataan tertulisnya.
Menanggapi rilis Komnas HAM tersebut, Kementerian Luar Negeri mengatakan Indonesia “secara moral dan politis” mendukung sepenuhnya upaya hukum Afrika Selatan atas dugaan genosida Israel di Gaza.
“Namun secara hukum Indonesia tidak bisa ikut menggugat karena dasar gugatan adalah Konvensi Genosida dimana Indonesia bukan Negara Pihak,” ujar juru bicara Kemenlu Lalu Muhammad Iqbal melalui pesan teks yang diterima BBC Indonesia.
“Di sisi lain [...]Majelis Umum PBB telah meminta saran dan pendapat Mahkamah Internasional mengenai “status dan konsekuensi hukum” pendudukan Israel terhadap Palestina,” terangnya.
Dalam kaitan ini, kata Iqbal, pada 19 Februari 2024 mendatang Menlu Retno Marsudi dijadwalkan hadir untuk menyampaikan pendapat lisan di depan Mahkamah Internasional guna mendorong Mahkamah memberikan pendapat lisan seperti yang diminta oleh Majelis Umum PBB.
Indonesia adalah satu dari beberapa anggota PBB yang tidak menjadi Negara Pihak dalam Konvensi Genosida.
Dosen senior untuk Kajian Indonesia dari Universitas Queensland, Annie Pohlman, mengatakan dalam makalahnya bahwa Indonesia sepertinya tidak akan meratifikasi Konvensi Genosida – juga instrumen HAM kuat lainnya seperti Statuta Roma – dalam waktu dekat mengingat sejarah panjang dan kelamnya seperti pelanggaran HAM 1995-1996.
“Retorika ritualisme hak asasi manusia Indonesia hanya akan bisa menjadi janji-janji kosong,” tulis Pohlman dalam esai bertajuk Indonesia and the UN Genocide Convention: The Empty Promises of Human Rights Ritualism (Indonesia dan Konvensi Genosida PBB: Janji-Janji Kosong Ritualisme Hak Asasi Manusia).
BBC Indonesia telah memperoleh izin dari Pohlman untuk mengutip makalahnya.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyoroti komitmen pemerintah Indonesia dalam bidang hak asasi manusia (HAM) yang menurutnya “setengah hati”.
“Dalam kebijakan luar negeri dan sikap RI dalam forum regional maupun multilateral yang membahas krisis hak asasi manusia di sejumlah wilayah maupun dalam kaitan dengan ratifikasi perjanjian internasional [...] seperti Suriah dan Palestina, baru sebatas pernyataan moral. Belum ada langkah konkret,” ujar Usman kepada BBC Indonesia.
Menurut pegiat HAM itu, Indonesia baru sebatas komitmen normatif dan masih bersikap setengah hati di tingkat ratifikasi perjanjian internasional sehingga pelaksanaannya di lapangan menjadi tidak efektif.
“Bahkan ada sejumlah perjanjian penting yang relevan dengan situasi krisis di Palestina, Ukraina, hingga Myanmar tapi hingga kini tidak kunjung diratifikasi. Contohnya Konvensi Genosida, Konvensi Pengungsi dan Statuta Roma.”
Pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi menyanggah tuduhan bahwa negaranya melakukan genosida di ICJ dalam sidang pada Desember 2019 silam.
“Bahkan agenda ratifikasi Statuta Roma kini dihapus dari RANHAM [Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia],” ujar Usman.
Implikasinya, kata Usman, adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.
Menanggapi pertanyaan mengenai kenapa Indonesia masih belum meratifikasi perjanjian relevan untuk krisis HAM seperti Konvensi Genosida PBB, Usman menjawab: “Indonesia memiliki sejarah kekerasan politik yang panjang”.
“Termasuk yang dapat digolongkan ke dalam jenis kejahatan paling serius seperti kejahatan kemanusiaan dan genocida,” ujar Usman.
Sementara menurut Teuku Rezasyah, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Genosida “karena belum adanya kepaduan sikap diantara pemerintah, parlemen, dan masyarakat umum”.

Apa Indonesia bisa berperan lebih banyak terkait Palestina?

Menurut Kishino Bawono, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Katolik Parahyangan dengan fokus kajian Timur Tengah, posisi Indonesia di peta perpolitikan dunia belum bisa dikatakan middle power (kekuatan menengah) apalagi major power (kekuatan besar).
Hal ini membuat pengaruh Indonesia di mata internasional tidak akan terlalu signifikan dalam konteks menyuarakan isu kemanusiaan di Palestina.
“Tidak heran jika memang kita hanya sibuk dengan pernyataan-pernyataan saja dan pertemuan-pertemuan yang juga menghasilkan pernyataan-pernyataan serta resolusi tanpa realisasi signifikan,” tuturnya.
Di sisi lain, Kishino menambahkan bahwa Indonesia “masih dibebani isu-isu kemanusiaan” di negeri seperti ini.
Akademisi ini menggarisbawahi kasus kekerasan kepada pengungsi Rohingya di Aceh yang sempat viral pada bulan Desember 2023.
Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan Indonesia tentang Palestina pun, menurut Kihsino, “juga akan terasa munafik dengan sempat merebaknya sentimen anti pengungsi Rohingnya di Indonesia beberapa waktu terakhir ini.”
“Di satu sisi menyuarakan seruan membela Palestina, tapi kemudian melakukan tindak kekerasan kepada pengungsi Rohingya yang ada di Indonesia,” ujarnya.
Lalu, tanpa meratifikasi Konvensi Genosida, apakah Indonesia berperan lebih dalam mendukung Palestina?
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan implikasi dari tidak diratifikasinya Konvensi Genosida – dan Statuta Roma – adalah Indonesia semakin kehilangan pijakan untuk berperan secara nyata dalam menangani situasi krisis kemanusiaan di dunia.
Hampir satu juta orang etnis Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada 2017 dan sebagian dari mereka menuju Indonesia.
Kendati demikian, Teuku Rezasyah, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran, Bandung, memiliki pendapat lain.
“Konvensi Genosida yang ada hingga saat ini, cenderung memojokkan negara berkembang saja. Tidak mampu menyebut genosida di masa lalu, yang telah dilakukan oleh negara-negara berkebudayaan Eropa, atas wilayah jajahan mereka di Asia, Afrika, dan Latin Amerika,” ujar Rezasyah kepada BBC Indonesia.
Menurut dia, Indonesia masih bisa melakukan langkah-langkah konkret lainnya seperti mendukung saran Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memboikot produk yang berhubungan dengan Israel di dalam negeri dan juga menggalang solidaritas Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Gerakan Non-Blok (GNB) di seluruh dunia dalam mendukung Palestina.

Seberapa efektifkah Mahkamah Internasional dalam menyidangkan kasus?

Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani, mengatakan lembaga peradilan internasional kerap tidak efektif dalam menegakkan putusan yang telah dibuat karena "tidak ada penegak hukum yang dapat memaksakan putusan".
"Dalam masyarakat internasional, yang berlaku adalah hukum rimba yaitu siapa yang kuat dia yang menang. Might is Right," ujarnya.
Walaupun Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Genosida, Hikmahanto mengatakan Indonesia tetap bisa memanfaatkan resolusi Majelis Umum PBB yang meminta advisory opinion (saran dan pendapat) dari Mahkamah Internasional (ICJ).
Juru bicara Kemenlu Indonesia Lalu Muhammad Iqbal sebelumnya mengatakan Menlu Retno Marsudi telah dijadwalkan menyampaikan pendapat lisan di depan Mahkamah Internasional terkait hal ini.