Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.1
Konten Media Partner
Makin Banyak Anak Muda Mengidap Kanker – Apa Penyebab dan Gejalanya?
11 November 2024 12:10 WIB
Makin Banyak Anak Muda Mengidap Kanker – Apa Penyebab dan Gejalanya?
![Kasus kanker payudara, kanker kolektoral dan kanker jenis lainnya telah meningkat pada orang berusia 20-an hingga 40an tahun di banyak negara.](https://ichef.bbci.co.uk/news/raw/cpsprodpb/0245/live/42638d20-96a7-11ef-ba4d-5b04a90bcb33.jpg)
Kasus kanker payudara, kanker usus besar (kolorektal), dan kanker jenis lainnya telah meningkat pada orang berusia 20-an hingga 40an tahun. Apa yang sebenarnya telah terjadi?
Selama 10 tahun terakhir kasus kanker kolorektal atau usus buntu di kalangan penduduk berusia 25 hingga 49 tahun telah meningkat di 24 negara, termasuk Inggris, Amerika Serikat, Prancis, Australia, Kanada, Norwegia, dan Argentina.
Temuan awal penyelidikan ini disampaikan pada kongres Union for International Cancer Control (UICC) di Jenewa pada September 2024. Ini menjadi temuan yang mengejutkan dan memprihatinkan.
Para peneliti American Cancer Society (ACS) dan Badan Internasional untuk Penelitian Kanker WHO mensurvei data dari 50 negara untuk memahami tren tersebut.
Di 14 negara, tren peningkatannya hanya terjadi pada kelompok dewasa muda. Sementara itu, tren kasus pada orang dewasa yang lebih tua tetap stabil.
Ini merupakan salah satu penelitian terbaru dari sejumlah penelitian lainnya mengenai tren serupa dari berbagai jenis kanker pada kaum muda.
Salah satu yang meningkat signifikan adalah kasus kanker payudara.
Namun, jumlah kasusnya meningkat 1% per tahun secara umum, bahkan 1,4% per tahun pada perempuan berusia di bawah 50 tahun.
Penelusuran epidemiologi menunjukkan kalau tren ini tampaknya bermula pada tahun 1990-an.
Menurut sebuah studi , kasus kanker stadium awal di dunia telah meningkat 79% pada periode 1990-2019. Angka kematian akibat kanker pada kelompok usia muda juga meningkat sebesar 29%.
Studi lainnya dari The Lancet Public Health menemukan bahwa kasus kanker dari 17 jenis yang berbeda meningkat di generasi muda, khususnya generasi X dan milenial.
Masalah kanker stadium awal sudah menjadi perhatian organisasi-organisasi besar seperti IUCC. Mereka ingin meningkatkan kesadaran mengenai ini di kalangan dokter umum. Tujuannya untuk memastikan bahwa gejala awalnya dapat diketahui oleh pasien muda.
“Seorang dokter akan menanggapi lebih serius keluhan pasien berusia di atas 60 tahun soal kesulitan buang air besar, merasa lelah, dan kembung dibandingkan keluhan orang berusia 30-an tahun yang masih aktif dan tidak seperti penderita kanker umumnya,” kata Kepala Bidang Advokasi UICC Sonali Johnson.
“Dokter mungkin akan menganggap keluhan [pemuda] itu sebagai gejala iritasi usus besar atau stres kerja.”
“Jadi ada banyak kasus di mana gejala-gejala yang dialami pasien diabaikan dan tidak dirujuk untuk pemeriksaan darah atau kolonoskopi,” tuturnya.
Para dokter spesialis kanker mengatakan bahwa pasien yang mengidap kanker pankreas terkadang berusia puluhan tahun lebih muda dari yang diperkirakan. Padahal, umumnya orang yang didiagnosa penyakit ini berusia 70-an tahun.
“Bukanlah hal biasa bagi saya bertemu orang berusia di bawah 40 tahun yang mengidap kanker pankreas,” kata Eileen O'Reilly, ahli onkologi medis gastrointestinal di Memorial Sloan Kettering Cancer Center New York.
“Tapi, hampir setiap minggu ada saja, dan ini mengerikan. Mereka sedang berada di puncak kehidupan, baru berkeluarga dan punya segalanya untuk hidup. Dampaknya bagi masyarakat sangat besar,” sambungnya.
Para ahli onkologi biasanya mengaitkan kasus kanker pada pasien yang lebih muda sebagai akibat dari faktor risiko yang diturunkan, seperti mutasi gen BRCA1 dan BRCA2 pada kanker payudara.
Namun, semakin banyak pasien yang tidak memiliki kecenderungan genetik yang jelas.
Sebagian besar kasus kanker pada usia muda yang ditemui O’Reilly, tidak ada keterangan genetik yang jelas.
Ketika diteliti di laboratorium, tumor yang diidap oleh pasien berusia 20-an, 30-an, atau 40-an tampak lebih agresif dibandingkan dengan pasien kanker pankreas berusia 70-an.
O’Reilly mengatakan kondisi ini sering kali membuat prognosis atau prediksi soal peluang bertahan hidup mereka menjadi sangat buruk, meskipun pasien itu sering kali dalam kondisi sehat.
“Mereka lebih muda, lebih bugar dan biasanya dapat menghadapi pengobatan yang intens dengan lebih baik, tapi beberapa orang mengidap kanker pankreas yang sangat agresif sehingga kondisi mereka bisa memburuk dalam sekejap,” jelas O’Reilly.
“Bagi mereka dan bagi kami, ini sulit dipahami. Siapa yang pernah membayangkan kalau orang berusia di bawah 40 tahun dan sehat akan menghadapi keganasan kanker?”
Situasi ini menyebabkan para spesialis kanker merasa kian genting untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya.
Para peneliti dalam studi Lancet khawatir kalau pola ini terus berlanjut, maka beban penyakit akan meningkat di masa depan.
Tak cuma itu, tren ini akan membuat upaya memerangi kanker demi kesehatan masyarakat menjadi mundur hingga beberapa dekade.
Jadi, apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Penjelasan yang mungkin paling masuk akal tertuju pada obesitas dan sindrom metabolik–kumpulan kondisi yang terjadi secara bersamaan dan meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan stroke.
Kondisi ini dianggap berkaitan dengan meningkatnya risiko kanker lewat peningkatan peradangan di seluruh tubuh dan menyebabkan deregulasi jalur hormon utama.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Sementara itu, studi Lancet menemukan bahwa 10 dari 17 jenis kanker yang prevalensinya meningkat di generasi muda AS adalah yang berkaitan dengan obesitas seperti kanker ginjal, ovarium, hati, pankreas, kandung empedu, serta mieloma.
“Semua bukti menunjukkan ada perubahan gaya hidup,” kata profesor patologi dan epidemiologi Universitas Harvard, Shuji Ogino yang pernah meneliti peningkatan kasus kanker dini.
“Setiap orang memiliki ribuan varian genetik, beberapa di antaranya memicu peningkatan risiko kanker yang sangat kecil, tapi ini dapat meningkat saat dikombinasikan dengan perubahan lingkungan.”
“Kita tahu bahwa mengonsumsi terlalu banyak gula dan makanan olahan, memiliki glukosa darah yang konsisten tinggi, dan resisten terhadap insulin tidak hanya meningkatkan risiko diabetes, tapi juga kanker.”
Namun, obesitas tidak menjelaskan seutuhnya situasi ini.
O’Reilly mengatakan bahwa banyak pasien kanker pankreas berusia muda yang ia temui terlihat bugar dan sehat, tanpa alasan yang jelas mengapa mereka bisa sakit.
“Selalu mengejutkan buat saya. Kondisi yang kita kira baik bagi kebanyakan orang, ternyata tidak berlaku bagi orang-orang ini.”
“Mereka yang mengidap kanker sering kali terlihat sehat, bersemangat dan fisiknya sangat bugar.”
Ogino yakin bahwa ini bisa jadi mencerminkan munculnya beberapa karsinogen berbeda, yang selama ini kurang diperhatikan.
Meskipun para epidemiolog telah lama fokus pada hubungan sebab akibat antara merokok dan kanker, prevalensi merokok telah menurun drastis selama beberapa dekade terakhir.
Sebaliknya, Ogino merasa yang sering diabaikan adalah perubahan besar dalam pola tidur di seluruh dunia yang terjadi dalam 50-100 tahun terakhir.
Beberapa peneliti bahkan berpendapat bahwa paparan cahaya buatan yang hampir permanen melalui lampu hingga gawai merupakan karsinogen baru yang dapat memicu gangguan pada jam biologis tubuh. Ini berkaitan dengan kanker payudara, usus besar, ovarium dan prostat.
“Kita banyak terpapar cahaya buatan pada malam hari, bahkan sejak kita masih bayi,” kata Ogino.
“Di Jepang, misalnya, sebagian besar penduduknya terjaga hingga larut setiap malam. Kerja sif sudah lebih umum, misalnya di toko serba ada yang buka 24 jam.”
Ogino juga menuturkan bahwa faktor risikonya tidak mungkin tunggal, tapi gabungan dari berbagai faktor yang memicu penyakit kanker muncul lebih dini.
Banyak ilmuwan kanker percaya bahwa yang mendorong adalah konsekuensi dari berbagai perubahan toksik di dalam usus, ditambah perubahan gaya hidup.
Pada Juni 2023, Frank Frizelle, seorang ahli bedah kolorektal di Rumah Sakit Christchurch, Selandia Baru, menyerukan agar para spesialis kanker kolorektal di seluruh dunia lebih banyak menginvestigasi hubungan potensial antara menelan mikroplastik dalam jumlah besar dengan risiko kanker usus dini.
Makalahnya yang berjudul “Mungkinkah mikroplastik memicu kanker kolorektal dini ?” menyatakan bahwa kemunculan kanker kolorektal yang semakin sering muncul pada orang berusia di bawah 50 tahun ternyata cocok dengan masa ketika mikroplastik lebih banyak ditemukan di lingkungan.
Menurutnya, keberadaan partikel plastik kecil ini dapat mengganggu lapisan lendir kolon, yang melindungi lapisan usus dari berbagai patogen dan racun dari makanan kita.
“Mikro dan nanoplastik dapat memungkinkan lapisan lendir meresap dengan cara tertentu, seperti melubangi kondom dengan peniti,” katanya.
“Kalau kita bisa membuktikan bahwa ini benar, mungkin hal ini terkait dengan ukuran, seperti partikel karbon dan penyakit paru-paru.”
Sejauh ini, keterkaitannya masih bersifat spekulatif. Namun, Frizelle bukanlah satu-satunya peneliti yang mengaitkan perubahan racun di dalam usus yang berpotensi menjadi karsinogenik.
Peneliti lainnya mengatakan komponen tertentu dalam makanan ultra-proses dapat berperan memicu peradangan dan kerusakan DNA di dalam usus besar, mulai dari pewarna makanan hingga pengemulsi. Walau demikian, bukti-bukti ilmiahnya masih relatif terbatas.
Usus besar terhubung dengan lambung, saluran pencernaan lainnya serta sistem kekebalan tubuh. Jadi, perubahan di dalam usus tidak hanya berkaitan dengan kanker kolektoral, tapi juga berbagai tumor padat seperti kanker payudara dan kanker darah.
Para peneliti sedang menyelidiki apakah penggunaan antibiotik dapat menjadi salah satu faktornya.
Mengenai paparan mikroplastik, penggunaan antibiotik di seluruh dunia telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Khususnya pada anak-anak di bawah usia lima tahun, di mana dosis antibiotik yang dikonsumsi meningkat dari 9,8 per 1.000 orang pada tahun 2000 menjadi 14,3 pada tahun 2018.
Secara keseluruhan, konsumsi antibiotik per kapita global meningkat di semua kelompok usia antara tahun 2000 dan 2015, sesuatu yang menurut O'Reilly merupakan penyebab utama yang perlu diperhatikan.
Mengingat kemampuan antibiotik untuk memusnahkan sebagian besar spesies bakteri dan dengan demikian secara drastis membentuk kembali mikrobioma usus dengan cara yang berpotensi berbahaya, paparan antibiotik yang lebih besar sebelumnya telah dikaitkan dengan kanker paru-paru, limfoma, kanker pankreas, karsinoma sel ginjal, dan multiple myeloma.
“Bakteri yang hidup di usus telah diseleksi melalui proses Darwin. Mereka adalah bagian dari kekebalan tubuh yang memungkinkan tubuh kita mengenali sel-sel abnormal, partikel asing, dan mencegah timbulnya keganasan sejak dini,” kata O’Reilly.
“Ini memang belum jelas, tetapi gagasannya adalah paparan antibiotik yang lebih besar berarti pengawasan kekebalan tubuh tidak bekerja seefektif yang seharusnya.”
Salah satu konsekuensi potensial dari antibiotik yang berlebihan adalah memusnahkan bakteri komensal yang ada di usus. Ruang yang ditinggalkan oleh bakteri baik itu kemudian dapat diisi oleh mikroba yang lebih jahat.
Dalam 10 tahun terakhir, Ogino dan kolaboratornya di seluruh dunia telah mempublikasikan banyak penelitian mengenai patogen oportunistik yang sepertinya mampu menyerang usus dan mendorong perubahan sel yang meningkatkan risiko perkembangan kanker.
Secara khusus, Ogino dan rekan-rekannya telah menemukan bahwa bakteri yang disebut Fusobacterium nucleatum tampaknya mampu mendorong pertumbuhan usus pra-kanker serta perkembangan tumor yang lebih agresif.
Penelitian lain menunjukkan bahwa jenis E. coli tertentu tampaknya mampu mendorong perkembangan kanker dan secara bersamaan menekan respons kekebalan tubuh.
Seperti halnya keterkaitan antara tidur dan obsesitas, ada beragam faktor yang mendorong terjadinya kanker pada usia dini.
Menurut Ogino, itu dapat dipupuk sejak kanak-kanak hingga dewasa dan kemungkinan besar kombinasinya secara bertahap dapat meningkatkan risiko penyakit pada usia dewasa muda.
Meskipun sebagian besar dari kita membawa beberapa bentuk E. coli, penelitiannya telah menunjukkan bahwa bakteri ini cenderung berkembang pesat ketika kita mengonsumsi makanan ultra-proses. Itu artinya pola makan juga berperan penting.
Masih belum diketahui secara jelas mengapa orang-orang dengan profil yang berbeda-beda akhirnya mengembangkan kanker stadium awal.
Namun, O'Reilly mengatakan bahwa sangat penting bagi para ilmuwan untuk mempelajarinya secara lebih rinci, untuk mencoba dan menghindari bencana kesehatan global di tahun-tahun mendatang.
“Ada kebutuhan yang sangat besar akan penelitian untuk mencoba dan memahami apa yang sedang terjadi dan apa yang memicu penyakit-penyakit ini secara dini,” katanya.
“Saya merasa ini sangat menakutkan bagaimana kita melihat kasus kanker pankreas dan kanker pada organ tubuh padat lainnya meningkat pada kalangan muda. Bagi saya, ini berarti kita dibayangi oleh krisis kesehatan masyarakat,” tutur O’Reilly.
Artikel versi Bahasa Inggris berjudul 'These are people in the prime of life': The worrying puzzle behind the rise in early-onset cancer dapat Anda baca di BBC Future .