Konten Media Partner

Makin Banyak Kaum Muda Indonesia Kena Serangan Jantung, Apa Saja Penyebabnya?

16 Juli 2024 7:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Makin Banyak Kaum Muda Indonesia Kena Serangan Jantung, Apa Saja Penyebabnya?

Jika Anda mengira bahwa orang yang rentan terkena serangan jantung adalah orang lanjut usia alias lansia, coba pikir lagi. Beberapa tahun belakangan, jumlah pasien jantung usia muda dilaporkan meningkat di Indonesia. Apa saja penyebabnya?
Ryan Keswani, 40 tahun, terlihat bugar dan aktif.
Ryan saat ini sedang berada di Jepang dan berprofesi sebagai dokter spesialis bedah syaraf. Pria bertubuh tegap ini rajin berolahraga dan kerap memberikan informasi seputar olahraga, kesehatan, dan hobi kaligrafinya di laman Instagram-nya.
Namun, pada 7 November 2021, Ryan mengalami kejadian yang mengubah perspektif hidupnya.
“Saat itu yang saya rasakan adalah nyeri ulu hati, berdebar-debar dan keringat dingin pada malam sebelumnya. Setelah itu sangat sulit untuk bernafas, terutama saat berbaring datar,” kenang Ryan yang mengaku belum pernah merasakan sakit seperti itu.
“Pagi harinya saya merasa lemas sekali, dan nyeri ulu hatinya terasa lebih berat dan semakin sesak hingga akhirnya saya pergi ke UGD," paparnya kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Saat diperiksa di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, Ryan didiagnosa terkena miokarditis alias radang otot jantung.
Butuh waktu hampir satu tahun bagi Ryan untuk kembali beraktivitas normal. Dia mengaku sempat merasa putus asa karena tidak dapat melakukan dua hal yang paling dinikmatinya: berolahraga dan operasi pasien.
Ryan bukan satu-satunya orang muda yang mengalami gangguan jantung.
BBC News Indonesia mengunjungi Fasilitas Rehabilitasi Pusat Jantung Nasional Harapan Kita di Slipi, Jakarta Barat, Jumat (14/06).
Sekilas, tempat ini terlihat seperti pusat kebugaran komersil atau fitness center dengan berbagai jenis alat treadmill dan sepeda statis. Di bagian tengahnya bahkan terdapat lintasan jogging dan area untuk senam.
Menjelang siang hari, bagian pelayanan rehabilitasi dipenuhi pasien-pasien yang mengikuti program perbaikan kesehatan jantung.
Tidak hanya orang berusia lanjut yang mengikuti program rehabilitasi. Di sini justru banyak kaum muda yang ikut menjalani tes di treadmill – terutama laki-laki.
Ada yang menggunakan treadmill dan sepeda statis, ada pula yang menggunakan lintasan jogging – mereka berjalan, tentu, alih-alih berlari.
Lagu berirama ceria kemudian terdengar – beberapa pasien rehabilitasi mengikuti senam pagi.
“Coba semuanya letakkan dua jari di bagian nadi seperti ini,” ujar instruktur sembari memperagakan bagaimana mengukur detak jantung.
Penyakit jantung dulu cenderung identik sebagai kondisi yang banyak dialami orang yang sudah berumur. Namun, dari yang terlihat di pusat rehabilitasi kardiovaskular RS Harapan Kita, tidak sedikit dari mereka masih tergolong muda.
Johan, 41, adalah salah satunya.
Warga Bekasi, Jawa Barat ini menjadi pasien di RS Harapan Kita sejak akhir Mei silam. Beberapa minggu sebelumnya, Johan mengaku merasakan keringat dingin dan sesak napas. Awalnya dia berpikir dia terkena asam lambung.
“Awal-awalnya [dada] berdebar, naik tangga itu kayak berdebar,” Johan mengenang apa yang dialaminya sebelum diboyong ke rumah sakit.
Johan yang sehari-harinya bekerja di depan laptop dan begadang menyebut kadar stres yang dialaminya karena kelelahan bekerja dan berpikir menjadi faktor serangan jantung yang dialaminya.
“Stres juga dan kurang olahraga dan makan kurang sehat mungkin, ya?” ujarnya.
Johan juga mengakui dirinya menderita penyakit gula dan, menurut dokter, karang gigi yang dideritanya juga mendorong serangan jantung yang dialaminya.

Baca juga:

Momok yang mengintai siapa saja - Catatan wartawan Amahl Azwar
Menyaksikan para pasien rehabilitasi jantung di atas treadmill, di sepeda statis, dan mengikuti senam pagi di aula RS Harapan Kita membawa ingatan saya pada awal 2023. Saat itu, merupakan salah satu penyintas serangan jantung.
Walau sebelumnya pernah mendengar kasus serangan jantung menimpa orang yang masih muda, baru setelah mengalami serangan pada akhir 2022 saya benar-benar menjaga kesehatan saya.
Saat itu saya tengah menyetir motor pulang dari rumah teman ketika tiba-tiba dada kiri saya terasa seperti disayat es batu. Saya sempat menghentikan motor dan menelusuri Internet untuk mengecek gejala: kesimpulannya antara saya terkena serangan jantung atau serangan panik.
Saya pun mengendarai motor saya ke UGD terdekat – dan benar saja, saya mengalami penyumbatan di pembuluh darah. Saya pun menginap di rumah sakit selama satu pekan ke depan.
Beberapa bulan kemudian, saya dipasang ring jantung dan mengikuti program rehabilitasi – persis seperti pasien-pasien yang ada di artikel ini.
Klise, memang, tapi yang jelas pengalaman ini membuka mata saya tentang penyakit ini. Serangan jantung tak hanya mengintai orang tua, tapi juga mereka yang masih muda dan terlihat sehat.
Pengalaman ini pun mendorong saya untuk lebih memperhatikan kesehatan jantung. Saya sebelumnya keranjingan olahraga – tetapi sekarang saya memutuskan untuk tidak terlalu memforsir tubuh. Tentunya berupaya menjaga pola makan, dan, yang paling penting, mengelola stres dengan baik.
Dokter Spesialis Jantung dan Pembuluh Darah, Basuni Radi, saat ini menjabat sebagai pelaksana tugas (Plt) Direktur Sumber Daya Manusia, Pendidikan dan Penelitian Pusat Jantung Nasional Harapan Kita. Dia mengatakan dirinya sudah bertugas di bagian rehabilitasi jantung sejak 2014.
“Semakin ke sini, semakin sering kita melihat pasien-pasien serangan jantung tapi muda,” kata dokter Basuni kepada wartawan Amahl Azwar yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
“Kalau dulu kan kesannya hanya 60 tahun ke atas gitu. Sekarang kita bisa lihat makin banyak yang 30-an tahun. Bahkan ada pernah yang 20-an tahun,” ujarnya kemudian.
Secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti, mengonfirmasi penyakit jantung tidak hanya ditemukan pada usia tua.
“Tren menunjukkan peningkatan usia penyakit jantung pada usia yang lebih muda,” ujar Eva dalam keterangan tertulis.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 dan 2018 menunjukan tren peningkatan penyakit jantung yakni 0,5% pada 2013 menjadi 1,5% pada 2018.
“Terdapat peningkatan prevalensi serangan jantung pada usia kurang dari 40 tahun sebanyak 2% setiap tahunnya dari tahun 2000 sampai 2016,” imbuh Eva mengutip pernyataan dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
Dokter Jantung, Siska Suridanda Danny, yang menjabat sebagai Ketua kelompok Staf Medik Rawat Intensif dan Kegawatan Kardiovaskular di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, mengatakan serangan jantung pada usia lanjut memang dianggap sebagai “proses degeneratif” – memburuknya jaringan dan organ berkaitan dengan penuaan tubuh.
“Tapi kalau terjadi [pada] usia muda… ini [berarti[ ada sesuatu, nih. Harusnya, kan, enggak dong? Usia rata-rata serangan jantung di Indonesia itu sekitar 57-59 tahun,” ujar dokter Siska.
Menurut dokter Siska, usia rata-rata serangan jantung di Indonesia lebih muda dibandingkan di belahan dunia lain.
“Di Amerika, Eropa, seingat saya sekitar 63-65 tahun. Di Singapura dan Malaysia juga 60-an tahun.”

Apa saja penyebabnya?

Dokter Siska mengomentari beberapa hal yang bisa menjadi faktor di balik peningkatan prevalensi jantung pada usia muda.
“Perlu diingat bahwa serangan jantung ini penyebabnya multifaktorial. Namanya penyakit tidak menular, selalu multifaktorial. Ada faktor-faktor risiko yang mungkin mengarah ke sana,” jelas dokter Siska.
Salah satu hal yang dikomentari adalah stres. Dokter Siska menyebut generasi muda saat ini lebih rentan terkena stres – terutama dengan fenomena media sosial seperti sekarang.
“Zaman dulu bukannya enggak [ada] stres juga. Orang tua kita pasti hidupnya juga stressful. Cuma mungkin persaingan tidak terlalu ketat, dan cara mereka untuk mengelola stres itu sudah ada,” ujar dokter Siska.
“Zaman sekarang persaingan itu ketat. Media sosial memicu, rasa insecure. ‘Kok dia bisa begini?’, ‘Kok dia bisa?’ Jadi kayaknya lebih-lebih terpapar sama kecemasan yang mungkin berlebihan.”
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Eva Susanti, menyebut generasi muda sekarang ada juga yang menjadi generasi sandwich.
“Generasi sandwich merupakan individu yang terhimpit antara dua generasi dengan rentang usia 50-60 tahun, dengan orang tua yang menua, anak, bahkan cucu,” tutur Eva.
“Namun, seiring dengan dinamika perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu, terdapat transisi rentang usia dalam menempatkan kategori usia pada generasi sandwich.”
Eva mengatakan mereka yang menjadi generasi sandwich di keluarganya tidak hanya akan terbebani secara finansial, tetapi juga dukungan fisik dan emosional untuk orang tua dan anak-anak mereka.
“Generasi sandwich rentan alami gangguan kesehatan.”
“Kurang tidur, perasaan bersalah, merasa khawatir terus-menerus, hilang minat terhadap aktivitas yang sebelumnya disenangi, kecemasan. Pada akhirnya, kondisi tersebut mempengaruhi kesehatan fisik,” ujarnya.

Apakah keranjingan olahraga menjadi faktor risiko?

Beberapa kasus orang yang mendadak meregang nyawa saat aktif berolahraga juga mendapat perhatian dari para dokter yang berfokus pada kesehatan jantung.
Pada 5 Februari 2011 silam, aktor Adjie Massaid meninggal dunia di RS Fatmawati akibat serangan jantung – usianya 43 tahun. Dia sempat bermain bola sebelum terkena serangan.
Pebulutangkis Markis Kido meninggal dunia pada usia 36 tahun pada 21 Juni 2021. Markis sudah pensiun dari pertandingan profesional saat terkena serangan jantung ketika bermain bulutangkis di Tangerang.
Pada 18 Februari 2020, aktor Malaysia, Ashraf Sinclair meninggal dunia pada usia 40 tahun akibat serangan jantung. Meninggalnya Ashraf menjadi perbincangan karena aktor itu gemar berolahraga.
Fisioterapis dan pelatih kebugaran, Matias Ibo, memperhatikan semakin banyak orang yang menyadari pentingnya untuk hidup sehat – aktif dan bergerak. Hal ini juga dipicu dengan tren hidup berolahraga di media sosial – misalnya berlari maraton.
Namun, menurut pria yang sempat menjadi fisioterapis di tim nasional sepak bola indonesia ini, melakukan kegiatan olahraga dengan intensitas tinggi secara tiba-tiba (setelah kondisi tubuh yang tidak pernah melakukan aktivitas berat), bisa mempengaruhi tubuh secara negatif.
“Ibaratnya kita nyetir mobil, nih, terus kita melihat ada mobil balap. Lalu, kita ingin ngebut, ya, jebol juga mesinnya,” ujar Matias.
Matias pun menyarankan siapa saja yang baru menekuni olahraga secara serius untuk melakukan pengecekan medis secara menyeluruh.
Invest saja, enggak akan rugi. Karena ini menyangkut hidup kita juga, nyawa kita,” ujarnya.
Menurut dokter Siska, rasa ingin bersaing yang berlebihan saat berolahraga kompetitif justru berdampak negatif bagi tubuh – apalagi bagi orang-orang berumur 40 tahun lebih.
“Rasa mau menang membuat respon tubuh saat olahraga bukan lagi [mengeluarkan hormon yang menyebabkan pembuluh darah rileks. [Sehingga] detak jantung bertambah tinggi,” ujar dokter Siska.
“Misalnya futsal, kalau santai kan biasanya oke, tapi kan kadang-kadang ada unsur mau menangnya, ya?”
Tenis, lanjut dokter Siska, juga kerap mencetuskan serangan jantung di lapangan karena termasuk olahraga “intensitas tinggi dan unsur mau menangnya sendiri juga tinggi”.
Walaupun klise, merokok masih dipandang sebagai penyebab utama dari prevalensi serangan jantung pada usia muda.
“Mungkin memang ada faktor risiko yang belum bisa kita identifikasi banget, misalnya genetik. Tapi kalau genetik, kenapa di Malaysia bisa lebih tua usianya? Yang jelas, proporsi perokok di Indonesia lebih tinggi daripada negara-negara tetangga,” ujar dokter Siska.
“Kita lihat data pencatatan serangan jantung di Indonesia, misalnya, untuk serangan jantung yang terjadi di usia muda, yaitu kurang dari 40 tahun, 80 persennya adalah perokok.”
Kembali ke Johan, dia berkomitmen untuk tetap rajin mengikuti program rehabilitasi jantung dan mengikuti saran-saran pelatih. Saat ini, dia datang ke bagian rehabilitasi dua atau tiga kali per minggu untuk berlatih jalan kaki di atas treadmill.
Dia pun berkomitmen untuk lebih menjaga kesehatannya dengan tidak memaksakan diri untuk bergadang dan tidak memforsir tubuh.
“Kita harus hidup sehat,” ujarnya.
Sementara Ryan, yang kesehariannya sudah rajin berolahraga, mengaku justru banyak mendapat komentar seperti: “buat apa olahraga dan hidup sehat kalau ternyata bisa sakit jantung?”
“Namun, menurut saya, semua olahraga dan hidup sehat yang saya jalani ini membantu proses penyembuhan saya setelah sakit jadi lebih cepat dan lancar, tanpa komplikasi,” ujarnya optimis.
“Bahkan setahun setelah kejadian, saat echocardiography [prosedur pemeriksaan jantung dengan gelombang suara-ultra] dan [pemindaian] MRI, jantung saya dinyatakan normal, dan bisa kembali beraktivitas kembali seperti biasa.”