Malaysia Hapus Hukuman Mati Kejahatan Serius, Apa Ratusan WNI Lolos Eksekusi?

Konten Media Partner
5 April 2023 7:45 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratusan orang berdemonstrasi, di Jakarta, menolak hukuman mati bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri
zoom-in-whitePerbesar
Ratusan orang berdemonstrasi, di Jakarta, menolak hukuman mati bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Parlemen Malaysia telah sepakat untuk mengakhiri praktik ‘wajib’ hukuman mati terhadap 11 kejahatan serius. Apakah aturan ini akan membuat ratusan warga negara Indonesia (WNI) di Malaysia dapat terhindar dari eksekusi mati?
Majelis Rendah Parlemen Malaysia, Senin (03/04), sepakat menghapus hukuman mati sebagai hukuman wajib (mandatory capital punishment) bagi 11 kejahatan serius, seperti pembunuhan, narkotika, hingga terorisme.
Tahap selanjutnya, RUU ini kemudian akan dibahas di Majelis Tinggi (Senat) Malaysia untuk kemudian disahkan.
Terdapat 34 tindak pidana yang dapat dihukum mati di Malaysia dan 11 di antara kejahatan serius itu wajib divonis mati.
Saat ini, ada lebih dari 50 WNI di Malaysia yang telah divonis hukuman mati dan kini sedang menunggu eksekusi, yang telah dimoratorium sejak 2018, kata Duta Besar(Dubes) Indonesia untuk Malaysia, Hermono.
Selain itu, terdapat lebih dari 100 orang WNI yang tengah menjalani proses persidangan dengan tuntutan hukuman mati.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Dubes Hermono menyambut baik amandemen aturan tersebut.
Dia berharap WNI yang telah dijatuhi maupun tengah dituntut hukuman mati dapat terhindar dari eksekusi, bahkan dibebaskan setelah menjalani hukuman penjara.
Sementara itu, Migrant Care dan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) berharap Indonesia dapat menerapkan aturan yang sama, yaitu menghapus hukuman mati.

Apa isi keputusan parlemen Malaysia?

Salinan laporan tentang mengapa hukuman mati di Malaysia harus dihapuskan.
Dewan Rakyat atau Majelis Rendah Parlemen Malaysia telah menyetujui reformasi hukum untuk menghapus hukuman mati wajib, Senin (03/04), yang dapat membebaskan lebih dari 1.300 terpidana mati di negara itu.
Di Malaysia, terdapat 34 jenis tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman mati.
Dari jumlah tersebut, 11 kejahatan serius di antaranya wajib dijatuhi hukuman mati, seperti pembunuhan, pemerkosaan terhadap anak yang menyebabkan kematian, pengkhianatan pada negara, hingga terorisme.
Kesepakatan Dewan Rakyat akan dibawa ke Dewan Negara (Majelis Tinggi), yang diperkirakan akan disetujui, lalu dikirim ke raja guna ditandatangani sebagai undang-undang.
Namun, dalam kasus-kasus luar biasa seperti menimbulkan kematian, amandemen tersebut masih memberikan hakim kewenangan untuk menjatuhkan hukuman mati.
Amandemen ini menghapuskan hukuman mati bagi kejahatan serius yang tidak menyebabkan kematian, seperti penculikan, hingga perdagangan senjata.
Sebagai gantinya, hukuman yang dijatuhkan adalah pidana penjara selama 30 hingga 40 tahun, termasuk hukuman cambuk.
Wakil Menteri Hukum, Ramkarpal Singh, mengatakan hukuman mati adalah hukuman yang tidak dapat diubah dan tidak efektif mencegah kejahatan.
“Hukuman mati tidak membawa hasil yang diharapkan,” kata Ramkarpal Singh.

Apa yang Berubah dari Hukuman Mati di Malaysia?

Tulisan dinding tentang hukuman mati wajib Malaysia untuk perdagangan narkoba di pusat kota Kuala Lumpur.
Mantan hakim dan diplomat Malaysia, Dato' Noor Farida Binti Mohd Ariffin, menjelaskan, narapidana yang telah divonis hukuman mati tidak serta merta akan dibebaskan, baik itu warga Malaysia maupun Indonesia.
“Satu-satunya perbedaan adalah bahwa undang-undang baru yang disahkan oleh parlemen kemarin adalah membuatnya [hukuman mati] tidak lagi wajib, misalnya dalam kasus pembunuhan dan perdagangan narkotika,” kata Farida.
“Artinya, tangan-tangan para hakim tidak lagi terikat dalam kasus-kasus seperti itu. Hakim sekarang akan memiliki keleluasaan untuk menjatuhkan hukuman mati atau menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup,” tambah perempuan yang pernah menjadi Duta Besar Malaysia untuk Belanda (2000-2008).
Lebih rinci, Farida menjelaskan, jika aturan ini disahkan maka setiap narapidana yang terjerat hukuman mati-baik warga Malaysia, Indonesia, dan lainnya-diberikan waktu 90 hari untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) ke Pengadilan Federal (tertinggi) Malaysia atas hukuman mereka.
“Pengadilan Federal memiliki diskresi baik tetap memutuskan hukuman mati yang telah dijatuhkan atau juga mengganti ke hukuman penjara.
"Pengadilan Federal akan mempertimbangkan setiap permohonan kasus per kasus.
"Jadi, dengan kata lain, hukuman mati tetap berlaku,” kata Farida yang kini menjadi anggota LSM bernama G25, yang mempromosikan tata pemerintahan yang baik dan juga memerangi ekstremisme Islam di Malaysia.
Farida mengatakan, mayoritas negara-negara di dunia telah menghapuskan hukuman mati secara total.
Malaysia dan Singapura termasuk negara minoritas yang masih menerapkan hukuman mati.
“Namun penghapusan hukuman mati wajib merupakan langkah maju bagi Malaysia.”
“Saya tentu saja gembira bahwa Parlemen Malaysia telah mengesahkan undang-undang untuk menghapus hukuman mati wajib. The Malaysian Bar Council dan LSM lainnya telah memperjuangkan hal ini sejak lama,” katanya.

Ada Berapa WNI yang Diancam Hukuman Mati di Malaysia?

Puluhan masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta menolak hukuman mati bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono mengatakan, terdapat lebih dari 50 WNI yang telah divonis hukuman mati dan kini sedang menunggu eksekusi, yang telah dimoratorium sejak 2018.
“Mayoritas kasus yang sudah inkrah itu kasus lama yang sudah lebih dari 20 tahun lalu,” kata Hermono.
Selain itu, terdapat lebih dari 100 orang yang tengah menjalani proses persidangan dengan tuntutan hukuman mati.
Hermono mengatakan, dari jumlah tersebut mayoritas karena kasus narkotika, lalu diikuti kasus pembunuhan dan kejahatan serius lainnya.
Total, terdapat lebih dari 1.300 terpidana yang divonis mati dengan beragam latar belakang di Malaysia.
Menurut data resmi, sekitar 1.318 tahanan telah dieksekusi mati di Malaysia dengan cara digantung dari tahun 1992 dan 2023.

Apakah WNI yang divonis mati dapat lepas dari eksekusi?

Dubes Hermono mengatakan menyambut baik amandemen UU Pidana tersebut.
Dan, jika disahkan, tambahnya, akan memberikan dampak positif bagi WNI yang telah dijatuhkan hukuman mati maupun yang dituntut dengan hukuman mati.
“Ini tentu kabar positif bagi warga kita dan diharapkan WNI yang dijatuhi hukuman mati atau yang dituntut hukuman mati dapat terhindar dari eksekusi atau bahkan dibebaskan setelah menjalani hukuman penjara,” kata Hermono.
Lalu bagaimana dengan para WNI yang sudah mendapatkan vonis hukuman mati yang berkekuatan hukum tetap (inkrah)?
Hermono mengatakan terdapat ruang hukum lanjutan, yaitu melakukan peninjauan kembali (PK).
“Bagi mereka yang hukumannya sudah inkrah, KBRI akan memberikan bantuan hukum kepada mereka untuk mengajukan peninjauan kembali [PK] atas hukuman yang telah dijatuhkan menjadi hukuman kurungan (penjara),” tambah Hermono.
Sementara bagi WNI yang tengah menjalani proses persidangan, Harmono menilai, jika aturan ini disahkan kemungkinan besar dapat terhindar dari vonis hukuman mati.
“Bagi yang sedang berproses di pengadilan kalau korbannya tidak meninggal, mestinya hakim tidak akan menjatuhkan hukuman mati, meskipun sekarang tuntutannya hukuman mati, tapi hukuman [penjara] 30 sampai 40 tahun.”
“Misalkan yang sekarang ini karena narkotika, sebelumnya kan selalu jatuh hukuman mati, sekarang bisa kemungkinan divonis menjadi antara 30-40 tahun,” kata Hermono.

Indonesia Harus Mengikuti Malaysia, Hapus Hukuman Mati

Puluhan masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta menolak hukuman mati bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri.
Direktur Eksekutif Migrant Care, lembaga yang fokus mengadvokasi pekerja migran Indonesia, Wahyu Susilo, juga mengapresiasi dan menyambut baik amandemen aturan tersebut.
“Mereka [Malaysia] memang sudah punya roadmap terkait penghapusan hukuman mati, dan ini perkembangan bagus.
"Apalagi ini punya implikasi kepada pekerja migran atau WNI yang selama ini menghadapi ancaman hukuman mati di Malaysia,” kata Wahyu.
Wahyu berharap, jika undang-undang nanti disahkan, pemerintah Indonesia akan aktif mencari data-data jumlah WNI yang terancam hukuman mati di Malaysia.
“Dan berdiplomasi secara bilateral untuk memperjuangkan, kalau bisa mereka diekstradisi, menjalani hukuman di Indonesia,” kata Wahyu, yang menyebut mayoritas WNI yang dihukum mati di Malaysia karena kasus narkotika hingga pembunuhan.
Wahyu mengatakan, Migrant Care telah melakukan beberapa kali advokasi terhadap WNI yang menghadapi ancaman mati WNI di Malaysia, salah satunya adalah Wilfrida Soik, pekerja migran asal NTT yang didakwa hukuman mati karena dituduh melakukan pembunuhan atas majikannya pada tahun 2010.
Wilfrida Soik akhirnya dinyatakan bebas dari hukuman mati pada 2014, namun tidak bisa pulang ke Indonesia karena menunggu surat pengampunan dari Sultan Kelantan.
Enam tahun berlalu, pada 2021, Wilfrida pulang ke Indonesia.
“Berkaca dari kasus Wilfrida dan lainnya, kesulitan yang dihadapi WNI yang diancam hukuman mati adalah bantuan hukum yang tidak maksimal.
"Kerentanannya, pekerja migran Indonesia sulit mendapatkan akses keadilan. Sepanjang proses peradilan, mereka diadili tanpa bantuan hukum,” kata Wahyu.
Wahyu juga menambahkan, amandemen ini harus menjadi cermin bagi pemerintah Indonesia untuk memiliki peta jalan penghapusan hukuman mati di Indonesia.
Dia kemudian berujar, Indonesia terus memperjuangkan agar WNI tidak dihukum mati di luar negeri, namun secara inkonsisten masih menerapkan praktik hukuman mati.
“Kalau Indonesia punya peta jalan untuk penghapusan hukuman mati, kita punya legitimasi moral dan politik menuntut negara lain membebaskan WNI kita yang terancam hukuman mati,” katanya.
Puluhan masyarakat menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta menolak hukuman mati bagi pekerja migran Indonesia di luar negeri.

WNI yang 'Yerancam' Hukuman Mati, 'Minim Akses' ke Bantuan Hukum

Senada, Koordinator Advokasi dari Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Juwarih, mengaku hambatan yang kerap dirasakan WNI, khususnya pekerja migran, yang terancam hukuman mati di luar negeri adalah akses terhadap pendampingan bantuan hukum yang minim.
Walau demikian, Juwarih mengaku senang dengan kemajuan progresif hukum di Malaysia, apalagi ada ratusan WNI yang terancam hukuman mati di sana.
“Harapan kami, itu berlaku juga di Indonesia, DPR membuat regulasi yang sama dengan Malaysia. Kita sebagai negara pengirim harus sinkron juga. Jangan sampai kita menolak hukuman mati, sedangkan negara kita sendiri masih memberlakukan hukuman mati,” kata Juwarih.
“Kami juga meminta pemerintah Indonesia untuk mempelajari WNI yang dihukum mati, apakah ada celah untuk meringankan mereka atau tidak,” tambahnya.
Terkait hal tersebut, Hermono mengatakan, meskipun Indonesia tidak menghapuskan hukuman mati, perlindungan terhadap WNI yang dihukum atau dituntut mati terus secara maksimal dilakukan.
“Kalau di UU mereka memberikan ruang tidak dihukum mati, masa kita tidak memanfaatkannya. Ada peluang, kok tidak dimanfaatkan, tidak ada dilemanya,” kata Hermono.
Jika UU itu akhirnya disahkan maka akan berlaku secara retrospektif yang memungkinkan bagi terpidana mati untuk mengajukan peninjauan kembali atas hukuman mereka.
Proses legislasi untuk membatalkan hukuman mati di Malaysia telah dimulai sejak Juni lalu, ketika pemerintahan di bawah Perdana Menteri (PM) Ismail Sabri Yaakob mengumumkan akan menghapus pidana mati sebagai hukuman wajib.
Namun, hal tersebut dipandang skeptis mengingat perdebatan penghapusan hukuman mati di Malaysia telah berlangsung selama lebih dari satu dekade.