Maryna Viazovska: Ilmuwan Ukraina, Perempuan Kedua Peraih 'Nobel Matematika'

Konten Media Partner
7 Juli 2022 12:11 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Maryna Viazovska memenangkan 'Fields Medal' yang bergengsi, yang dikenal sebagai "Nobel Matematika".
zoom-in-whitePerbesar
Maryna Viazovska memenangkan 'Fields Medal' yang bergengsi, yang dikenal sebagai "Nobel Matematika".
Maryna Viazovska menjadi perempuan kedua dalam sejarah yang meraih Fields Medal, sebuah penghargaan yang secara informal dikenal sebagai "Hadiah Nobel untuk Matematika".
Sejak digelar pada tahun 1936, satu-satunya perempuan yang sebelumnya meraih penghargaan itu adalah Maryam Mirzakhani dari Iran, pada 2014.
Viazovska, profesor asal Ukraina berusia 37 tahun, adalah satu dari empat pemenang Fields Medal edisi kali ini. Penghargaan ini diberikan setiap empat tahun kepada matematikawan berusia di bawah 40 tahun.
Dia mendapat pengakuan atas karyanya pada teka-teki berusia 400 tahun tentang kemasan bola (sphere packing).
Tiga pemenang lainnya adalah Hugo Duminil-Copin dari Prancis, June Huh dari Amerika Serikat, dan James Maynard asal Inggris.
Dikenal sebagai dugaan Kepler, persoalan geometris yang ditangani Profesor Viazovska dikenalkan pada tahun 1611 oleh ahli matematika dan astronom Jerman, Johannes Kepler. Ilmuwan ini yang lebih terkenal karena menemukan fakta bahwa Bumi dan planet-planet mengelilingi Matahari dalam orbit elips.

Gender dan perang

Profesor Viazovska menyentil tentang ketidaksetaraan gender dalam pidatonya saat pemberian penghargaan tersebut di sebuah konferensi di Helsinki, Finlandia, tanggal 3-4 Juli lalu.
Matematikawan asal Ukraina ini mengungkapkan kekecewaannya karena hanya menjadi perempuan kedua yang menerima 'Fields Medal'.
"Saya merasa sedih karena saya hanyalah perempuan kedua," ujarnya.
"Tapi kenapa begitu? Saya tidak tahu. Saya berharap itu akan berubah di masa depan."
Profesor Viazovska mengungkap nestapa yang menimpa negaranya akibat perang, dengan berucap "hidup saya berubah selamanya" saat Rusia menginvasi Ukraina pada Februari.
Orang tua dan saudara perempuannya tinggal di ibu kota, Kyiv, ketika pasukan Rusia memasuki negara itu.
"Ketika perang dimulai, saya tidak bisa memikirkan hal lain, termasuk matematika," ungkapnya dalam video yang ditampilkan pada upacara tersebut.
Keluarganya dievakuasi dari Kyiv dan kini tinggal bersamanya di Swiss, tempat dia bekerja di Ecole Polytechnique Federale de Lausanne.
"Saat ini rakyat Ukraina benar-benar membayar harga tertinggi demi keyakinan dan kebebasan kami," tambahnya.
Profesor Viazovska juga memberikan penghormatan kepada Yulia Zdanovska, sosok matematikawan muda yang belajar di bawah guru yang sama seperti yang dia lakukan di Kyiv.
Zdanovska terbunuh akibat serangan rudal Rusia di kota Kharkiv, Ukraina, pada Maret.
"Yulia adalah sosok penuh cahaya dan mimpi besarnya adalah mengajar Matematika kepada anak-anak di Ukraina," katanya.
"Ketika sosok seperti dia meninggal, itu mirip masa depan yang berakhir."

Dugaan Kepler

"Dia (Viazovska) adalah ahli matematika yang brilian," kata Christian Blohmann, peneliti di Institut Max Planck untuk Matematika, Jerman, kepada BBC.
Ahli matematika dan astronom abad ke-17, Johannes Kepler.
"Solusinya untuk masalah pengepakan bola sangatlah indah dan sangat tak terduga."
Viazovska, yang mempresentasikan solusinya pada tahun 2016, telah menerima beberapa penghargaan. Namun kontribusinya tak berakhir di sana.
"Dari upaya yang dihasilkan oleh Viazovska, jalur penelitian telah dibuka di berbagai belahan dunia," kata Pablo Hidalgo, peneliti di Institut Ilmu Matematika dari Dewan Tinggi untuk Penelitian Ilmiah, Spanyol.

Dua tahun

Viazovska lahir di Kyiv dan telah terpikat pada matematika sejak dia masih kecil. Ketika tiba saatnya baginya memutuskan masa depan kariernya di universitas, Viazovska tak butuh waktu lama untuk berpikir.
Setelah lulus dari Universitas Nasional Taras Shevchenko, dia hijrah ke Jerman untuk studi pascasarjana.
Selama studi pascadoktoralnya di Berlin, salah satu persoalan yang dimasukkan Viazovska dalam proposal penelitiannya adalah tentang dugaan Kepler.
Butuh dua tahun baginya untuk menyelesaikannya.
"Ternyata lebih mudah dari yang saya kira," ungkapnya dalam sebuah wawancara pada 2018.
Dia juga menunjukkan keterampilan mendidiknya dengan menyederhanakan masalah menjadi pertanyaan:
"Berapa banyak bola yang bisa kamu masukkan ke dalam kotak yang sangat besar?"
Namun kenyataannya adalah matematika yang digunakan Viazovska untuk sampai pada jawabannya amatlah kompleks.
'Dugaan Kepler' dapat dijelaskan dengan lebih sederhana, dengan menggunakan buah jeruk.

Memikirkan buah jeruk

Bagi Hidalgo, problem yang diungkap Kepler "memiliki kepentingan tertentu bagi dunia nyata, dalam arti, bagaimana orang-orang dapat memahaminya tanpa belajar matematika".
Dan, dalam beberapa hal, bahkan pendekatan Kepler itu dapat menyelesaikanya dalam kehidupan nyata.
Ini semuanya tentang satu premis: apa cara optimal untuk menempati ruang dengan sejumlah bola tertentu - misalnya saja jeruk?
Kepler mengajukan persoalan ini dalam tiga dimensi.
"Pastinya para pedagang sayur sudah menyadari bahwa cara terbaik untuk mengatur jeruk adalah dalam bentuk piramida," kata peneliti asal Spanyol itu.
"Tapi ada perbedaan substansial antara 'tampaknya bentuk ini bakal menempati ruang dengan baik' dan meyakini bahwa 'bentuk ini tak akan tergoyahkan untuk menempati ruang'."
Kepler sendiri tidak dapat membuktikannya dan matematikawan luar biasa lainnya juga tidak berhasil.
Barulah pada akhir 1990-an, matematikawan asal Amerika Serikat, Thomas Hales memberikan jalan keluarnya.
"Apa yang dicapai Viazovska pada 2016 adalah bagaimana menggeneralisasi masalah," jelas Hidalgo.
Tetapi hal menarik mengenai masalah ini adalah bahwa hal itu juga dapat dibawa ke lingkaran (dua dimensi) atau ke bidang dimensi apa pun.
Vazovska menyelesaikannya pada dimensi delapan, dan, bekerja sama dengan peneliti lainnya, pada dimensi 24.
"Apa yang dicapai Viazovska pada 2016 adalah bagaimana menggeneralisasi masalah," jelas Hidalgo.
"Ini bukanlah bahwa seorang matematikawan telah menemukan cara yang aneh untuk mengemas bola. Ini adalah persoalan yang sama, tetapi dalam dimensi yang tak dapat kita visualisasikan sebagai manusia," tambahnya.
Walau kemasan bola berdimensi lebih tinggi seperti itu sulit dipahami, para matematikawan mengatakan bahwa bentuk seperti itu adalah obyek-obyek yang bersifat praktis.
"Mereka terkait erat dengan kode koreksi kesalahan yang digunakan ponsel, wahana antariksa, dan internet untuk mengirim sinyal melalui saluran yang bising," tulis ahli matematika Amerika Serikat, Erica Klarreich, pada 2016.
250 berbanding 25 halaman
Menurut Pablo Hidalgo, pembuktian Hales sampai pada 1990-an amat panjang dan sangat rumit.
Matematikawan Amerika Serikat, Thomas Hales pertama kali menyampaikan bukti dugaan Kepler pada 1990.
Hasilnya disajikan dalam sekitar 250 halaman dan membutuhkan banyak perhitungan dengan komputer.
"Butuh waktu hampir 20 tahun untuk memverifikasi bahwa perhitungan itu benar," kata Hidalgo.
"Viazovska menulis artikel setebal 25 halaman."
Meskipun Hidalgo meyakini bahwa persoalannya "lebih sulit ketimbang yang ditunjukkan Hales", Viazovska berhasil membuat pemaparannya "lebih mudah dipahami".