Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
Masyarakat Adat di Himalaya yang Menyelamatkan Populasi Sapi Gunung dari Ancaman Deforestasi dan Perubahan Iklim
10 Agustus 2024 18:00 WIB
Masyarakat Adat di Himalaya yang Menyelamatkan Populasi Sapi Gunung dari Ancaman Deforestasi dan Perubahan Iklim
Populasi mithun atau sapi gunung di Himalaya terancam karena deforestasi dan perubahan iklim. Masyarakat adat membangun 'pagar hidup' untuk melindungi spesies yang terancam punah itu.
Di kaki bukit bagian timur Himalaya, India, seorang peternak, Yang Ering Moyong mengenakan kemeja longgar dan celana panjang lalu bergegas menjalankan aktivitasnya pada pagi hari.
Dia berjalan melewati semak-semak lebat di perbukitan yang mengelilingi desa Mirem menuju hutan.
Moyong berhenti sejenak sambil mengeluarkan suara nyaring bernada tinggi, sebuah panggilan untuk kawanan mithun yang ia rawat. Mithun merupakan spesies semi-liar yang terancam punah.
Ibu dua anak berusia 39 tahun itu merupakan satu-satunya perempuan penggembala di desanya.
Dia adalah anggota suku asli Adi di Arunachal Pradesh. Moyong mulai merawat mithun setelah suaminya meninggal delapan tahun lalu.
"Ini bukan hal yang mudah," katanya.
"Mertua saya memiliki 50 ekor mithun pada 2013. Hampir setengahnya dimakan anjing liar. Saya harus menjual beberapa di antaranya karena mereka masuk ke peternakan lain dan merusak tanaman," kata Moyong.
Untuk menutupi biaya hidup keluarganya, Moyong juga bekerja sebagai tenaga pengajar yang ditunjuk negara untuk mendidik perempuan di Mirem dan desa-desa lainnya dalam bidang keterampilan berwirausaha.
Merawat mithun pada akhirnya membuat Moyong harus merogoh kocek lebih dalam.
"Pada 2019, saya harus membayar ganti rugi sebesar Rs40.000 (setara Rp7.800.000) untuk tanaman yang rusak karena mithun peliharaan kami tersesat dan masuk ke lahan milik orang lain," jelas Moyong.
Angka itu merupakan akumulasi terhadap lima hingga enam kejadian serupa sepanjang tahun.
Di sisi lain, dia juga harus menghidupi keluarganya dengan pengasilan sebesar Rs12.000 (sekitar Rp2.300.000) per bulan sebagai seorang pengajar.
Untuk mencegah mithun tersesat, Moyong dan anggota masyarakat adat Adi lainnya membangun 'pagar hidup' dari kawat berduri dan tunggul pohon anggrek di sepanjang kaki bukit Himalaya.
Bagi masyarakat adat Adi, mithun merupakan sesuatu yang sakral. Hal itu diutarakan oleh peneliti dari Universitas Ashoka, India, Abhishruti Sarma dalam buku Changing Affinities yang mengeksplorasi hubungan masyarakat adat dengan mithun.
“Bagi komunitas adat Adi di Arunachal Pradesh, keberadaan segala sesuatu di planet ini terkait dengan kelahiran mithun. Ketika mithun lahir, Dadi Bote (Dewa binatang) menjadi penjaganya juga,” kata Barun Taki, salah satu dari komunitas penggembala mithun.
“Dadi Bote membawa mithun ke dunia untuk kita. Sudah menjadi tugas kita untuk membesarkan dan merawat mereka,” kata Taki.
Dia juga menambahkan, bahwa selama festival Solung yang diadakan setiap bulan September di negara bagian Arunachal Pradesh, masyarakat berdoa kepada Dadi Bote untuk menambah jumlah mithun, melindungi mereka agar tidak terjatuh dari tepi tebing dan terhindar dari penyakit seperti penyakit mulut dan kuku.
Mithun yang telah digolongkan 'rentan' oleh International Union For Conservation of Nature (IUCN), tinggal di hutan dan daerah perbukitan yang dibelah sungai, kolam, dan danau, di ketinggian 6.000 meter dengan suhu berkisar antara 20-30 derajat celsius.
Moyong dan penggembala lainnya di timur laut India memelihara mithun di ekosistem yang menyatu dengan alam bebas , sehingga ternak dapat berkeliaran bebas di alam liar, tanpa pakan tambahan apa pun kecuali garam.
Meningkatnya suhu permukaan Bumi dan aktivitas manusia, seperti penebangan hutan dan penggundulan hutan , mulai mengancam habitat mithun dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut studi tahun 2011 , suhu diperkirakan akan meningkat setidaknya 1,9 derajat celsius antara tahun 2021-2050 di beberapa bagian Nagaland.
Di wilayah timur laut India, jumlah kejadian curah hujan ekstrem tahunan diperkirakan meningkat sebesar 26% pada tahun 2050 .
Dampak perubahan iklim ini diperkirakan akan menyebabkan penurunan jumlah mithun karena kurangnya ketersediaan sumber makanan dan meningkatnya penyakit mulut dan kuku.
Meningkatnya suhu dan curah hujan yang tidak menentu berdampak pada habitat mithun dengan mengubah distribusi dan komposisi vegetasi, kata Girish Patil, direktur Pusat Penelitian Nasional Penelitian Pertanian Dewan India tentang Mithun (ICAR-NRC) di Nagaland, India.
“Peristiwa cuaca ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, dapat semakin memperburuk degradasi dan fragmentasi habitat, sehingga menambah tekanan pada populasi mithun,” ungkap Patil.
"Deforestasi juga mengurangi ketersediaan lahan penggembalaan yang cocok untuk mithun," kata Patil.
Meskipun belum ada penelitian yang menganalisis peningkatan konflik manusia dan mithun, penurunan tutupan hutan “meningkatkan peluang mithun memasuki lahan pertanian, sehingga memicu konflik”, katanya.
Menurut analisis Global Forest Watch , India kehilangan 23.300 km persegi tutupan pohon pada tahun 2001-2023 atau sekitar 8.348 kali luas Kawasan Gelora Bung Karno.
Sementara Nagaland kehilangan 259 km persegi dan Arunachal kehilangan 262 km persegi hutan selama periode itu.
“Jika hal ini terus berlanjut dalam 40-50 tahun ke depan, tidak akan ada hutan. Jika tidak ada hutan, maka tidak akan ada mithun,” kata Kobe Khate, pejabat teknis senior di ICAR-NRC.
Untuk melindungi habitat dan spesies mithun, para peneliti di ICAR-NRC bekerja sama dengan masyarakat adat Adi membangun 'pagar hidup' yang diklaim memiliki waktu pakai yang cukup panjang. Pemasangan pagar di kawasan di desa itu dimulai pada 2022 lalu.
Terletak di antara kaki timur pegunungan Himalaya dan melintasi sungai Remi, 'pagar hidup' itu dibangun dari kawat berduri dan tunggul pohon anggrek, tempat para mithun merumput.
ICAR-NRC juga membantu para petani membangun tempat peristirahatan dari lembaran bambu untuk mithun dan anak sapi mereka.
Mithun hanya diperbolehkan mencari makan di area penggembalaan berpagar pada siang hari dan dibawa kembali ke tempat penampungan pada malam hari. Sapi-sapi tersebut sebelumnya berkeliaran bebas di hutan, kembali dengan sendirinya, yang terkadang memakan waktu bertahun-tahun.
Moyong membiarkan mithun peliharaannya keluar untuk merumput di pagi hari dan mengunci mereka di tempat penampungan pada malam hari.
“Setelah pemasangan pagar, saya tidak perlu khawatir mithun saya akan tersesat ke ladang lain di musim dingin,” katanya.
Pada tahun 2022, dia harus membayar Rs7.000 atau sekitar Rp1.360.000 untuk satu insiden.
Mithun di alam bebas bertindak sebagai insinyur ekosistem yang penting di timur laut India.
“Mereka penting bagi kesehatan ekosistem karena aktivitas mencari makan mereka membantu penyebaran benih berbagai tanaman dan pohon," kata Patil dari ICAR-NRC.
"Mereka adalah pendaur ulang nutrisi yang efisien saat mereka mengonsumsi tumbuh-tumbuhan dan kemudian menghasilkan kotoran yang kaya nutrisi, sehingga memperkaya tanah untuk pertumbuhan tanaman,” ujarnya kemudian.
Sebuah studi tahun 2010-2011 yang dilakukan oleh ICAR, yang mewawancarai 200 petani di Nagaland, menemukan bahwa pemagaran di area pemeliharaan mithun telah membantu ternak lain berkembang.
Penyebaran benih dan pupuk alami yang dilakukan mithun membantu pertumbuhan tanaman hingga padang rumput yang juga berfungsi sebagai sumber makanan mithun.
Sebuah studi pada tahun 2023 menyimpulkan bahwa perluasan silvopasture hingga 250.905 km persegi di Amerika Serikat bagian timur dapat menyerap antara 4,9 juta hingga 25,6 juta metrik ton emisi karbon dioksida per tahun.
“Mirip dengan peternakan lainnya, ekosistem yang dipengaruhi mithun dengan vegetasinya yang lebat dan tanah yang kaya nutrisi berkontribusi terhadap penyimpanan dan siklus karbon, serta mengurangi emisi gas rumah kaca,” kata Patil.
"Mithun bergerak bebas di alam liar. Ia memakan tanaman yang relatif lebih kecil karena tidak bisa mencapai tempat yang tinggi. Mithun makan, bergerak dan mengeluarkan biji-bijian, sehingga hutan bisa diregenerasi," kata Kewiribam Zeliang, penggembala mithun berusia 47 tahun di Nagaland.
Pagar ini juga membantu mengatasi deforestasi, kata Zeliang.
“Tidak seorang pun diperbolehkan menebang pohon setelah pagar dipasang. Jika ada yang menebang pohon di dalam hutan masyarakat, dia harus membayar denda sebesar Rs500 (setara Rp97.370) atau dia akan kehilangan akses untuk fasilitas bersama yang dimiliki desa tersebut," ujarnya.
Lebih dari 400 km jauhnya dari Mirem, di desa Tening di Nagaland, Negara Bagian di India, masyarakat adat Zeliang memelihara ternak mithun mereka.
Desa itu berada di Perbukitan Naga yang merupakan hutan dengan kontur terjal, tidak jauh dari perbatasan India-Myanmar.
Desa Tening disebut menyediakan lingkungan yang ideal bagi kelangsungan hidup mithun, dengan ketinggian 800-1.500 meter dan udaranya sejuk.
Sekitar 20 tahun lalu, ada sekitar 300 mithun yang dipelihara oleh 30-40 penggembala.
Namun pada tahun 2016, hanya ada 50 mithun dengan delapan pemilik, dan sisanya ditembak oleh petani ketika mereka menyelinap ke peternakan mereka atau dibunuh oleh anjing liar, kata para petani di Nagaland.
Akibatnya, banyak yang berhenti beternak mithun dan pindah ke kota lain untuk bekerja.
Pada tahun 2013, keluarga Zeliang memiliki 16 mithun. Setelah melihat mereka menjadi korban serangan para petani dan anjing liar, dia berhenti memelihara mithun.
“Sebagian besar mithun ditembak oleh para petani ketika mereka memasuki lahan pertanian dan menghancurkan tanaman mereka. Sisanya mati akibat wabah penyakit mulut dan kuku serta predator liar,” katanya.
'Pagar hidup' itu menggantikan fungsi tunggul atau sisa pangkal pohon-pohon tua yang biasa mengelilingi area penggembalaan mithun.
“Mithun pernah dilepaskan di hutan masyarakat sebelumnya, dan mereka akan dengan mudah menyeberang di bawah kayu yang membentang antara sisa pangkal pohon. Pagar ini akan mengering dan roboh,” kata Zeliang.
Lelah dengan keadaan itu, akhirnya Zeliang menjadi guru sekolah dasar bahasa Inggris selama enam tahun.
Kemudian pada tahun 2019 ia kembali membesarkan mithun setelah ICAR-NRC memasang 'pagar hidup' sepanjang 20 km di sepanjang puncak bukit yang mengelilingi desa.
Pagar itu meringankan kerja para penggembala, karena dahulu, mereka harus naik ke bukit, menyeret bongkahan kayu dan memperbaiki pagar yang sudah usang lebih dari dua kali dalam setahun.
Menurut Zeliang pagar itu lebih mudah dirawat, karena dapat bertahan selama dua hingga 10 tahun.
Dia mengatakan bahwa merawat mithun telah memungkinkan dirinya memperoleh penghasilan yang cukup untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang yang lebih tinngi.
Sejak 'pagar hidup' ini diperkenalkan, populasi mithun telah meningkat dari 50 pada tahun 2016 menjadi 70 pada tahun 2020, menurut laporan Khate dan peneliti lain di ICAR-NRC.
Para petani memperoleh keuntungan total sebesar Rs975.000 (sekitar Rp190 juta) selama periode itu.
Para ilmuwan yakin sistem penggembalaan itu telah membantu mengurangi angka kematian mithun secara keseluruhan.
“Salah satu pencapaian penting dari pagar ini adalah peningkatan populasi mithun,” kata Patil.
Pada tahun 2019, total populasi mithun di India adalah 390.000 ekor, berdasarkan sensus ternak ke-20 .
“Populasinya telah menunjukkan tingkat pertumbuhan 30% yang belum pernah terjadi sebelumnya, melampaui pertumbuhan ternak lainnya,” kata Patil.
“Pagar yang tepat menjauhkan mithun dari lahan pertanian, mengurangi konflik dengan petani dan meminimalisir kematian mithun.”
Kiphutlak Newmai yang kini berusia 40 tahun sebelumnya memiliki dua mithun tetapi terpaksa menjual salah satunya untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
“Seekor lainnya terbunuh dalam konflik agrikultur atau tersesat di alam liar,” katanya.
Namun setelah menyadari manfaat ekonomi dari memelihara sapi semi-liar ini, dia membeli seekor mithun pada tahun 2023.
Di Nagaland, penggembala laki-laki memelihara mithun. Sebagai imbalannya, perempuan memberikan makanan kepada penggembala laki-laki.
Di Mirem, Moyong menyewa seorang penggembala dengan harga satu mithun untuk memelihara enam ekor sapi betinanya dengan kontrak lima tahun.
“Saya merasa sulit untuk berpartisipasi aktif dalam membesarkan mithun karena masyarakat di sini tidak menganggap saya setara dalam peran tersebut,” katanya.
Sarma mengatakan bahwa perempuan yang belum menikah atau menjanda sering kali membayar penggembala laki-laki karena tidak aman bagi mereka untuk menjelajah jauh ke dalam hutan untuk mencari mithun mereka.
Terlepas dari hambatan-hambatan ini, perempuan sudah mendapatkan keuntungan finansial karena merawat mithun, kata Sarma.
Newmai setuju: "Memiliki mithun adalah sebuah langkah menuju kebebasan finansial. Ketika diperlukan, saya berharap akan ada yang membayar harga yang mahal untuk mithun saya."
Metode 'pagar hidup' ini juga memiliki tantangan. Membangun sistem antara masyarakat penggembala yang dilindungi di luar negara bagian Nagaland dan Arunachal Pradesh dapat merugikan petani hingga Rs50.000 (setara Rp9.730.000).
Sistem seperti ini membutuhkan lebih banyak dana dari pemerintah, menurut para peneliti di ICAR-NRC. Peningkatan skala ke wilayah lain di India bergantung pada faktor-faktor seperti ketersediaan lahan penggembalaan dan sumber daya.
“Mithun pada dasarnya adalah hewan yang perlu dipelihara selama tiga hingga empat tahun sebelum disembelih," kata Patil.
"Lahan penggembalaan adalah suatu keharusan untuk beternak mithun dan dibandingkan dengan sistem yang dipelihara secara bebas, beternak mithun mungkin tidak layak secara ekonomi bagi para peternak,” lanjutnya.
“Masyarakat pada umumnya tidak mempunyai dana untuk mendirikan sistem seperti itu.”
Di Mirem, warga desa mengakui bahwa pagar telah berhasil mengurangi konflik manusia-mithun, namun belum mampu mencegah serangan predator lain, khususnya anjing liar Asia, yang masuk dalam kategori terancam punah dalam Daftar Merah IUCN.
“Jumlah mithun [tetap] konstan di desa karena anak sapi dibunuh oleh anjing liar,” kata Oyem Ering, 52 tahun, sepupu Moyong.
Karena pagar terletak dekat dengan hutan, mithun tetap rentan terhadap serangan anjing liar. Terutama anak-anak mithun. Para ilmuwan di ICAR-NRC sedang mencari solusinya.
Rencananya anak mithun akan dipelihara di kandang terpisah dengan susu alternatif hingga berumur enam bulan dan bebas berkeliaran di alam liar.
Para ilmuwan sedang berdiskusi dengan pemerintah mengenai serangan tersebut. "Hilangnya sekitar 5% populasi mithun karena anjing liar dianggap tidak dapat dihindari dalam sistem penggembalaan bebas di hutan," kata Patil.
Penelitian menunjukkan bahwa peternakan mithun menghasilkan lebih sedikit metana jika dibandingkan peternakan sapi pada umumnya.
Peternakan adalah sumber emisi metana terbesar yang dihasilkan manusia , terhitung hampir 40%, menurut Badan Energi Internasional.
Metana terurai di atmosfer hanya dalam waktu 12 tahun, jauh lebih cepat dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan karbon dioksida (CO2) selama berabad-abad – namun jumlah gas rumah kaca juga 80 kali lebih kuat dari CO2 dalam rentang waktu 20 tahun.
Sebuah studi yang tidak dipublikasikan oleh para ilmuwan di ICAR-NRC menunjukkan bahwa rumen atau perut mithun mungkin menghasilkan tingkat metana yang relatif rendah.
Moyong mengatakan 'pagar hidup' telah meringankan beban keuangan yang dia hadapi sebelumnya.
“Karena pagar telah dipasang, saya tidak melihat adanya pelanggaran mithun di desa saya,” katanya.
"[Sebelumnya] hal ini menguras pendapatan saya. [Kini] hutan yang dipagari sangat terlarang bagi orang luar untuk menebang pohon. Hutan menjadi jalan bebas hambatan bagi hewan liar."
Versi Bahasa Inggris dari artikel ini berjudul The indigenous community protecting Himalayan sacred cattle in India dapat Anda baca di BBC Future .