Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mencari Keadilan bagi Adelina Lisao: Vonis Bebas Majikannya Diharapkan Batal
9 Desember 2021 9:36 WIB
·
waktu baca 11 menit'Wajah Bengkak, Luka Bakar, Gigitan Anjing,' Upaya Mencari Keadilan bagi Adelina Lisao, 'Tak Boleh Ada lagi Penyiksaan Pembantu Rumah Tangga'
Indonesia mengharapkan Mahkamah Persekutuan di Malaysia, bersidang hari ini, Kamis (09/12), akan membatalkan putusan yang membebaskan majikan Adelina Lisao, pekerja migran asal Nusa Tenggara Timur yang meninggal dengan banyak luka di tubuhnya akibat dugaan penyiksaan oleh majikannya pada Februari 2018.
Konsul Jenderal Indonesia di Penang, Bambang Suharto mengatakan keadilan bagi Adelina adalah simbol perlindungan bagi pekerja migran dan penjaga hubungan bilateral dengan Malaysia.
"Semoga hakim membatalkan putusan [bebas] sebelumnya, tapi jika upaya pidana tidak berhasil, pemerintah RI akan mengajukan gugatan perdata," kata Bambang Suharto kepada BBC News Indonesia.
Majikan Adelina, Ambika MA Shan, perempuan yang berumur sekitar 60 tahun, didakwa pasal pembunuhan, dengan ancaman maksimal hukuman mati, sementara putrinya, R Jayavartiny didakwa mempekerjakan Adelina secara ilegal.
Namun pada April 2019, Pengadilan Tinggi membebaskannya, dan putusan itu dikukuhkan pengadilan banding pada 22 September 2020.
Anggota parlemen Malaysia, Steven Sim, yang melihat sendiri kondisi Adelina pada hari terakhirnya, menegaskan pasti ada yang bertanggung jawab atas luka-luka mengerikan yang diderita pekerja migran ini.
"Keadilan bagi Adelina harus ditegakkan. Malaysia harus memberi contoh. Mustahil tidak ada yang bersalah dengan tragedi seperti itu… Bagaimana kita bisa mengatakan tidak ada yang menyebabkan semua itu? Jika [terduga pelaku bebas], pemerintah [Malaysia] gagal melindunginya," kata Steven Sim Chee Kong kepada BBC News Indonesia.
Sementara itu, LSM di Malaysia, Tenaganita yang turut mengurus Adelina setelah diselamatkan mengatakan, kematian pekerja migran ini menunjukkan "darahnya ada di tangan kita. Membiarkan pelaku seperti majikannya bebas membuat kita semua terlibat dalam meninggalnya Adelina dan banyak lainnya yang memiliki nasib yang sama."
"Nasib Adelina adalah realitas sedih ribuan pekerja rumah tangga (PRT) lain yang rentan terhadap semua bentuk eksploitasi, dan saatnya untuk meningkatkan perlindungan terhadap semua pembantu rumah tangga," kata Glorene Das, direktur eksekutif Tenaganita.
Glorene juga mengatakan, mereka berharap "putusan akhir akan memberi keadilan bagi Adelina walaupun dia sudah tak bersama kita lagi dan menyeret majikannya untuk bertanggung jawab."
"Saya sangat yakin bahwa satu-satunya cara efisien mencegah eksploitasi terhadap siapapun adalah dengan memenjarakan pelaku dalam waktu lama," tambahnya.
Tenaganita, menurut Glorene terus melakukan kampanye agar "kita tak lagi dapat menerima penyiksaan dan kekerasan di rumah-rumah, dan tidak dapat membiarkan gagalnya sistem hukum."
Glorene mengatakan eksploitasi terhadap para pekerja terjadi karena tak ada payung hukum.
"Employment Act 1995 (Akta Pekerja) yang seharusnya melindungi hak-hak pembantu rumah tangga, bahkan tidak mengakui mereka sebagai pekerja namun justru didefinisikan sebagai pembantu."
Ada dua kemungkinan putusan yang akan diambil Mahkamah Persekutuan Malaysia (setingkat Mahkamah Agung), Kamis (09/12) ini, menurut Konjen Indonesia di Penang, Bambang Suharto.
Terdakwa majikan bernama Ambika MA Shan akan bebas murni dari jeratan pidana, memperkukuh putusan sidang banding, atau persidangan untuk terdakwa dilanjutkan kembali.
Saat diselamatkan pada Februari 2018, Adelina ditemukan dengan kondisi "tangan dan kakinya penuh dengan luka bakar." Luka-luka yang mengeluarkan cairan ini adalah akibat dari penggunaan bahan kimia untuk membersihkan toilet dan tidak pernah diobati.
Wajahnya bengkak dan dia sangat ketakutan saat petugas menyelamatkannya. Para suster dan dokter di rumah sakit Bukit Mertajam, Penang juga terkejut dengan luka-luka di sekujur badannya.
Adelina tak tertolong, ia meninggal pada 11 Februari 2018, lima tahun setelah ia pertama tiba di Malaysia.
Adelina adalah pekerja migran Indonesia (PMI) dari Nusa Tenggara Timur yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Identitas Adelina dipalsukan saat ke Malaysia tahun 2013, saat masih berusia 15 tahun namun dibuat lebih tua enam tahun.
Hari-hari terakhir Adelina - tak berani makan sebelum dapat izin
Adelina diselamatkan dari rumah majikannya setelah anggota parlemen, Steven Sim, mengontak polisi.
Steven juga mengontak Tenaganita, yang sebelumnya sudah berkunjung ke kediaman majikan Adelina namun tak ada orang, dan laporan tidak ditanggapi polisi karena tidak ada bukti.
Anggota tim Tenaganita mendampingi dan menyuapkan makanan walaupun Adelina terlihat sangat takut karena majikannya, Ambika dan putrinya menyaksikan.
Obvervasi yang dicatat Tenaganita
Adelina meninggal setelah diduga mengalami penyiksaan oleh Ambika yang didakwa dengan Pasal 302, pembunuhan dengan ancaman hukuman mati.
Namun, terduga kini "menghirup udara segar" karena pengadilan di Mahkamah Tinggi Pulau Pinang membebaskan terdakwa atau Discharge Amount to Acquital (DAA).
Keluarga Adelina: 'Keadilan harus ditegakkan'
Keluarga Adelina di Soe, Timor Tengah Selatan, masih berharap akan ada keadilan bagi Adelina.
"Terombang-ambing tiga tahun, Kami berharap sidang nanti, pengadilan Malaysia menjatuhkan hukuman sesuai dengan perbuatannya yang nyata-nyata telah mengorbankan jiwa orang lain, jiwa sesama," kata Isak La'a, pendamping keluarga Adelina kepada BBC News Indonesia.
Jika sebaliknya, terduga pelaku dibebaskan, Isak menyebut terjadi sebuah diskriminasi dan pelanggaran atas hak asasi manusia (HAM) di Malaysia.
"Adelina itu betul-betul disiksa, dia menderita sakit dan kemudian meninggal. Keluarga sangat menyesal dan menuntut keadilan.
"Anak mereka pergi mencari berkat untuk keluarga, ternyata harus mengalami peristiwa nahas yang sangat menyedihkan dan memilukan," kata Isak.
Isak mengatakan, ia dan keluarga Adelina menaruh harapan yang besar kepada Pemerintah Indonesia supaya mendesak Malaysia menuntut keadilan bagi Adelina dan mencegah kasus serupa terjadi pada pekerja migran lainnya.
"Mustahil tak ada yang bersalah"
Anggota parlemen di Bukit Mertajam, Penang, Steven Sim Chee Kong termasuk orang pertama yang melihat Adelina setelah mendapatkan laporan dari timnya. Ia mengatakan keadilan perlu ditegakkan.
"Malaysia harus memberi contoh. Mustahil bahwa tidak ada yang bersalah yang menyebabkan tragedi seperti itu.
"Saya bersama Adelina di hari terakhir hidupnya, saya melihat sendiri luka di tubuhnya. Bagaimana kita bisa mengatakan tidak ada yang menyebabkan semua itu?" kata Steven kepada BBC News Indonesia.
Steven menambahkan, jika terdakwa ternyata dinyatakan bebas dari jerat sanksi pidana, maka dia menyebut "pemerintah [Malaysia] gagal melindungi kehidupan manusia".
Warga Malaysia juga menyatakan kemarahan ketika pengadilan banding membebaskan majikan Adelina. Pada 14 Februari 2019, Menteri Sumberdaya M Kulasegaran, menyatakan sangat terkejut dan mengibarkan "perang" melawan perdagangan manusia dan mereka yang dipekerjakan secara paksa.
TPPO hingga penganiayaan, 'tidur dengan anjing'
Adelina Lisao lahir di Abi, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, pada tahun 1998.
Pada umur 15 tahun, Juni 2013, ia berangkat ke Malaysia pertama kali dengan visa pelancong melalui sponsor perorangan.
Di Indonesia, umurnya dipalsukan menjadi 21 tahun dan mengaku berasal dari Medan, Sumatera Utara.
Dalam catatan Kementerian Luar Negeri, setiba di Kuala Lumpur, Malaysia, majikan Adelina mengkonversi visa kunjungan singkatnya menjadi izin kerja sebagai PRT selama setahun.
Setelah izin habis, Adelina pulang ke Indonesia. Tapi, tiga bulan kemudian, Adelina kembali ke Malaysia menggunakan visa turis, dan bekerja untuk Jayavartiny Rajamanickam (anak dari Ambika) di Penang.
Di situ, Adelina bekerja sebagai PRT secara ilegal karena majikan tidak mengurus izin kerja, asuransi dan kontrak kerja.
Empat tahun berlalu, tepatnya 10 Februari 2018, Kepolisian Seberang Perai Tengah menyelamatkan Adelina dari penyiksaan dan membawanya ke rumah sakit setelah mendapatkan informasi dari para tetangga yang mendengarnya mengerang kesakitan.
Saat dievakuasi petugas, Adelina disebut mengalami kurang gizi, luka-luka parah (tangan dan kaki penuh luka bakar, wajah bengkak), dan ketakutan.
Adelina bahkan disebut hampir tidak bisa berjalan dan diduga dipaksa tidur di beranda rumah bersama anjing - majikannya dikabarkan tak mau cairan dari luka-luka di tubuhnya membuat kotor dalam rumah mereka.
Keesokan harinya, Adelina dinyatakan meninggal dunia, dengan dugaan Ambika melakukan penganiayaan.
Hasil autopsi (post mortem) rumah sakit menunjukkan, penyebab kematian adalah kegagalan multiorgan sekunder karena anemia (kemungkinan pengabaian).
Polisi menangkap Ambika dan ditahan dengan tuntutan Pasal 302 Kanun Keseksaan Bunuh (pidana pembunuhan) dengan ancaman hukuman mati, sementara putrinya, R Jayavartiny didakwa mempekerjakan Adelina secara ilegal.
"Terjebak di DNAA dan DAA, materi perkara belum digali"
Persidangan Ambika, menurut Konjen Indonesia di Penang, Bambang Suharto, belum memasuki subtansi dakwaan pembunuhan.
Belum dilakukan pemeriksaan saksi dan barang bukti, pada 18 April 2019, namun jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan permohonan Discharge Not Amounting To Acquittal (DNAA) ke Mahkamah Tinggi Pulau Pinang.
Artinya, JPU meminta terdakwa dibebaskan dari dakwaan, namun dapat dituntut lagi di kemudian hari.
Tetapi, hakim menolak permohonan JPU dan membebaskan terdakwa melalui putusan Discharge Amounting to Acquital (DAA).
Pertimbangan hakim adalah JPU tidak mempersiapkan berkas tuntutan sesuai dengan waktu yang telah diberikan dan tidak dapat menjelaskan alasan permohonan DNAA. Ditambah, usia terdakwa Ambika yang sudah tua (lebih 60 tahun) dan sakit.
Mendengar putusan itu, JPU mengajukan banding ke Mahkamah Rayuan Putrajaya dan pada 22 September 2020, dan hakim memperkuat putusan pengadilan sebelumnya.
JPU pun kembali mengajukan langkah hukum tahap akhir ke Mahkamah Persekutuan (Mahkamah Agung) yang keputusannya dibacakan hari ini, Kamis (09/12).
Jika hakim memperkuat putusan pengadilan sebelumnya, maka terdakwa Ambika akan bebas murni dan tidak bisa didakwa pidana atas kematian Adelina.
Pemerintah Indonesia menyatakan kecewa karena persidangan Adelina hanya berkutat di argumentasi DNAA dan DAA.
"Inti permasalahan yaitu penyebab meninggalnya Adelina belum dibahas, belum digali, belum ada pembuktian. Hanya terjebak diargumentasi DNAA dan DAA," kata Bambang Suharto.
Bambang mengatakan pemerintah Indonesia berharap agar Mahkamah Persekutuan tidak memperkuat putusan pengadilan sebelumnya sehingga pembuktian dan persidangan dapat dilanjutkan.
"Tapi, jika langkah pidana terhadap majikan tidak membuahkan hasil positif (memperkuat putusan sebelumnya), Pemerintah RI melalui KJRI Penang akan melakukan tuntutan perdata," ujar Bambang.
Koordinator Koalisi Masyarakat Pembela Adelina Sau Korban Human Trafficking (Kompas Korhati), Gabriel Goa, mengatakan, persidangan terhadap Adelina tidak dianggap serius oleh aparat penegak hukum Malaysia.
"Jaksa tidak profesional dalam memperjuangkan hak hukum Adelina dengan mengajukan DNAA sehingga tidak masuk ke pokok perkara. Begitu juga dengan majelis hakim yang membebaskan terdakwa. Jika kembali bebas, ini adalah peradilan sesat," kata Gabriel.
Gabriel menambahkan, proses persidangan Adelina adalah preseden buruk perlindungan hukum di Malaysia terhadap pekerja migran.
Berbeda dengan di Malaysia, aparat penegak hukum Indonesia telah menjatuhkan penjara terhadap para pelaku di Indonesia, mereka adalah Floran Tina Leoklaran, Jiter Jitriana Orias Benu dan Sarifudin dengan vonis masing-masing enam tahun penjara.
Lalu, Habel Pah dengan hukuman tujuh tahun penjara.
Keadilan bagi Adelina, simbol perlindungan pekerja migran Indonesia
Selain upaya penegakan hukum, pemerintah Indonesia juga melakukan beragam upaya diplomasi dengan pihak Malaysia, seperti bertemu dengan Kejaksaan Agung, pemerintah pusat dan daerah Malaysia, serta menghadiri persidangan.
"Ini yang selalu kami angkat di high level, agar ini tidak dianggap masalah kecil. Pemerintah dan rakyat Indonesia menaruh perhatian di kasus ini. Kita banyak menyuplai tenaga kerja dan nyaman dengan TKI, please give good signal," kata Konjen Bambang.
KJRI Penang telah mendapatkan hak-hak keuangan Adelina sebesar Rp220 juta, yang terdiri dari gaji tiga tahun, biaya pengiriman jenazah dan kompensasi.
Bambang menegaskan, beragam upaya yang dilakukan itu karena keadilan bagi Adelina adalah simbol perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri, dan juga untuk menjaga hubungan bilateral dengan Malaysia.
Selain itu, ujar Bambang, perlu juga dilakukan pembenahan di dalam negeri, khususnya terkait pemalsuan identitas dan pengiriman TKI ilegal.
"Kasus Adelina adalah salah satu contoh buruk keberangkatan PMI secara unprosedural ke luar negeri yang menyita banyak perhatian dan sumber daya berbagai pihak, baik di Indonesia maupun di Malaysia," ungkap Bambang.
Kemlu juga terus berupaya untuk menyepakati nota kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Domestik Indonesia di Malaysia yang telah kadaluarsa sejak 2016.
Kekosongan hukum kini, menempatkan PMI Indonesia dalam posisi rentan di Malaysia. Bambang mencontohkan, "di Malaysia ada Maid Online, bisa dengan visa turis datang, mengurus izin di sana dan langsung menjadi pekerja legal.
"Cara ini tidak bisa memberikan perlindungan sejak awal. Kalau jalur resmi BP2MI, Kemenaker, akan dilengkapi kontrak, dan lainnya, tapi kalau lewat Maid Online pakai visa turis saja bisa," katanya.
Akses keadilan, 'proses panjang, bertele-tele dan berpihak'
Federasi Pekerja Rumah Tangga Internasional (IDWF) menyebut persidangan Adelina adalah proses yang panjang, bertele-telet, berpihak, dan menunjukkan lemahnya akses keadilan dan perlindungan bagi para pekerja migran di Malaysia.
"Kasus Adelina itu yang terungkap media, di luar itu banyak kasus serupa. Kepercayaan pekerja domestik yang tereksploitasi terhadap keadilan sangat tipis di sini," kata fasilitator lapangan IDWF di Malaysia, Nasrikah.
Nasrikah tidak bisa membayangkan jika akhirnya terduga pelaku, Ambika, bebas dari tuntutan pidana.
"Ini akan menjadi gambaran bahwa hukum rimba berlaku, siapa punya kuasa, wewenang dan uang, dia yang lebih mendapatkan angin segar, sementara keadilan bagi korban sangat sulit didapat.
"Jadi ke depan sangat sulit bagi korban menuntut keadilan dan bagi pelaku,'Ah, kasus Adelina saja bebas, jadi tidak perlu takut'," kata Nasrikah.
Koordinator Kompas Korhati, Gabriel Goa juga mengatakan, jika Ambika bebas dari jerat pidana maka mereka akan mendesak Presiden Joko Widodo untuk melakukan tindakan, seperti moratorium pengiriman PRT ke Malaysia.
"Karena ini akan membuat kecewa keluarga korban, kami dan masyarakat Indonesia," ujarnya.
Berdasarkan data BP2MI, kasus Adelina adalah satu dari lebih 550 PMI asal NTT yang dipulangkan dalam peti mati sejak 2014 sampai Agustus 2021, sebagian besar adalah pekerja gelap.
Diperkirakan masih ada ribuan tenaga kerja gelap asal Indonesia termasuk dari NTT di Malaysia, yang menjadi korban perdagangan orang.