Konten Media Partner

Penyiksaan Warga Sipil oleh Sejumlah Prajurit TNI di Papua: Mengapa Berulang?

1 April 2024 7:45 WIB
·
waktu baca 20 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi. TNI membantah memiliki prosedur kekerasan dalam operasi mereka di Papua. Namun merujuk riset akademik, kekerasan aparat terhadap warga sipil, termasuk yang berujung kematian, terus berulang selama puluhan tahun.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi. TNI membantah memiliki prosedur kekerasan dalam operasi mereka di Papua. Namun merujuk riset akademik, kekerasan aparat terhadap warga sipil, termasuk yang berujung kematian, terus berulang selama puluhan tahun.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Atasan para anggota TNI yang menyiksa seorang warga sipil di Puncak, Papua, berkata kepada BBC bahwa dia tidak mengetahui kasus itu. Pimpinan TNI pun mengeklaim kasus tersebut dilakukan oleh oknum dan bukan “gambaran perilaku anggota TNI secara keseluruhan“. BBC News Indonesia menyusun kronologi kasus penyiksaan itu dan menelusuri kasus-kasus kekerasan serupa di Papua, yang menurut sebuah riset, kebanyakan korbannya adalah warga sipil.
“Kamu kalau menghadapi situasi terjepit apapun, kamu harus berani. Kamu tembak, jangan ragu-ragu. Kamu jangan takut dengan masalah-masalah pelanggaran HAM,“ kata Jenderal Dudung Abdurachman, pada 11 Mei 2023 di Cianjur, Jawa Barat.
Tong ngerakeun urang Sunda. Tong sieunan maneh diditu. Tong jadi ayam sayur,“ kata Dudung.
Perkataan dalam bahasa Sunda itu berarti “Jangan bikin malu orang Sunda. Kamu jangan jadi penakut di sana. Jangan jadi ayam sayur.“
Saat mengatakan itu, Dudung menjabat Kepala Staf Angkatan Darat. Dia mengucapkan kalimat itu sebagai pesan untuk prajurit Batalyon Infanteri 300 Braja Wijaya yang akan berangkat ke Kabupaten Puncak, Papua Pegunungan.
Kurang lebih 10 bulan setelah pernyataan Dudung itu, sebuah video memperlihatkan personel batalyon tersebut menyiksa seorang laki-laki Papua yang dituduh milisi pro-kemerdekaan—sebuah tudingan yang belakangan tidak terbukti.
Juru Bicara Markas Besar TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, membantah bahwa pernyataan Dudung menjadi salah satu pendorong prajurit Yonif 300 Braja Wijaya melakukan penyiksaan. “Tidak benar,“ ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Awal Februari lalu, TNI menyatakan penangkapan berujung kematian satu dari tiga orang asli Papua di Kabupaten Puncak yang mereka tuduh milisi pro-kemerdekaan sebagai sebuah “keberhasilan“.
Satu setengah bulan setelah menyatakan “keberhasilan“ itu, pimpinan TNI meminta maaf kepada publik. Kata maaf mereka sampaikan kepada pers di Jakarta usai video penyiksaan terhadap satu dari tiga laki-laki Papua yang mereka tangkap di Kabupaten Puncak itu viral.
Laki-laki bernama Defianus Murib yang disiksa itu tetap hidup usai penyiksaan tersebut, meski kondisi medisnya saat ini urung diketahui. Kepala RSUD Ilaga Elpina Kogoya tidak merespons upaya komunikasi yang dilakukan BBC News Indonesia.
TNI berkeras pada tuduhan mereka bahwa Defianus dan dua laki-laki Papua lain yang mereka tangkap—Alpius Murib dan Warinus Kogoya—adalah milisi pro-kemerdekaan. Usai penyiksaan itu, Defianus dan Alpius dilepaskan. Kepolisian menyatakan bahwa mereka adalah warga sipil.
Sementara itu Warinus tewas dalam kondisi dituduh sebagai anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat. Sejumlah informasi menyebut Warinus tewas setelah disiksa dan diseret oleh aparat sejauh satu kilometer. BBC News Indonesia belum bisa memverifikasi kabar itu.
Menurut klaim TNI, Warinus tewas bukan akibat disiksa prajurit Yonif 300 Braja Wijaya. TNI membuat klaim, Warinus tewas tak lama setelah berupaya melarikan diri dari aparat.
Warinus jatuh dari mobil aparat dalam kondisi tangan diikat, klaim Panglima Kodam Cenderawasih, Mayjen Izak Pangemanan. Ketika jatuh, kata Izak, kepala Warinus membentur batu.
Bagaimanapun, pernyataan “keberhasilan” TNI itu akhirnya berganti menjadi permintaan maaf, meski Mayjen Izak sempat membuat penyangkalan.
Pimpinan militer membuat klaim penyiksaan yang terjadi di Puncak dilakukan oleh oknum dan bukan “gambaran perilaku anggota TNI secara keseluruhan“.
Namun data yang disusun berbasis metodologi akademis dan wawancara terhadap korban maupun aparat berbanding terbalik dengan klaim petinggi militer.
Data hasil riset di Australian National University yang dipublikasi dalam buku berjudul Torture and Peace-building in Indonesia: The Case of Papua menunjukkan, dari setidaknya 431 kasus penyiksaan oleh aparat pada periode 1963-2010 di Papua, hanya dua yang dilakukan terhadap milisi pro-kemerdekaan. Sisanya merupakan penyiksaan terhadap warga sipil—nonkombatan alias orang-orang yang tidak mengangkat senjata.
Data tersebut disusun Budi Hernawan, pakar konflik dan hukum humaniter dari Sekolah Tinggi Teologi Driyarkara. Dia menyimpulkan: penyiksaan aparat terhadap orang Papua berulang kali terjadi. Budi berkata, penyiksaan aparat telah menjadi bagian dari kebijakan pemerintah dan otoritas militer serta terus dibiarkan.
BBC Indonesia menyusun kronologi penyiksaan tentara di Puncak, Papua, terhadap laki-laki bernama Defianus Kogoya. Kami juga mewawancarai warga Puncak, seorang pendeta yang rutin menangani warga korban penyiksaan, serta dua ahli yang telah mendalami isu Papua selama puluhan tahun. Berbasis wawancara itu, kami memeriksa berbagai klaim yang awal pekan ini dikatakan pimpinan TNI.
Ratusan prajurit TNI mengikuti seremoni militer di Aceh, Desember 2023. Mereka akan berangkat menuju Papua.

Bagaimana penyiksaan di Puncak terjadi?

Komandan Satgas Yonif 300/Braja Wijaya, Letkol Afri Swandi Ritonga, membuat klaim dia mendapat informasi bahwa milisi pro-kemerdekaan berencana membakar puskesmas di Distrik Omukia pada 3 Februari lalu.
“Saya langsung perintahkan jajaran satgas untuk melaksanakan patroli sebagai tindakan pencegahan,” kata Afri seperti dirilis dalam situs resmi TNI pada 5 Februari lalu.
Atas perintah Afri itu, Satgas Yonif 300/Braja Wijaya, Satgas Damai Cartenz dan Satgas Elang IV menyisir Distrik Omukia.
Afri membuat klaim, pada pukul empat sore terdengar tiga tembakan yang diarahkan ke pasukannya. Prajuritnya lantas berlindung dan membalas dengan “memberi tembakan peringatan”.
Afri membuat klaim, eskalasi kontak tembak tidak menurun. Oleh karenanya Afri memerintahkan enam tim untuk mengejar orang-orang yang diduga milisi TPNPB. Afri mengerahkan enam tim itu ke daerah Gome, Omukia, Kepala Air, dan Kunga.
Setelah lima jam kontak tembak dan pengejaran, Afri berkata timnya menangkap tiga laki-laki Papua. Mereka adalah Warinus Murib, Defianus Kogoya, dan Alinus Murib.
Afri menuduh bahwa Warinus adalah milisi TPNPB yang selama ini dicari Polres Puncak. Tuduhan soal status Warinus itu yang dibantah kelompok advokasi seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, LBH Papua, dan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Puncak.
Juru Bicara TPNPB, Sebby Sambom, juga membantah Warinus adalah bagian dari kelompoknya.
Dalam keterangannya pada 5 Februari lalu, Afri tidak menyebut bahwa Warinus akhirnya tewas. Dia juga sama sekali tidak menuturkan adanya penyiksaan.
AKPB Bayu Suseno, Juru Bicara Satgas Cartenz, tak lama setelah kejadian itu juga menyebar pernyataan kepada pers. Dia tidak menyebut penyiksaan telah terjadi.
Berbeda dengan Afri, Bayu menyebut Warinus tewas dalam kontak tembak.
Dalam pernyataannya, Bayu menuduh Alinus dan Defianus adalah anggota TPNPB pimpinan Numbuk Telenggen.
Peristiwa di Puncak itu berlalu dan tak dibicarakan publik. Akhir Februari lalu, Afri dan 350 prajuritnya pulang ke markas mereka di Cianjur, Jawa Barat. Kepulangan mereka disambut arak-arakan. Afri mendapat kalungan bunga dalam seremoni itu. Hiasan rumbai-rumbai khas Papua terpasang di kepalanya.
“Alhamdulillah enam KKB tewas di tangan Satgas Raider 300,” kata Afri dalam keterangan tertulis yang disebarkannya kepada pers saat itu. Dia juga menyebut bahwa pasukannya menawan dua orang.
Satu bulan kemudian, antara tanggal 20 dan 21 Maret, dua video beredar di media sosial. Seorang laki-laki Papua tanpa pakaian duduk direndam air di sebuah tong. Beberapa laki-laki lain, salah satunya memakai kaus bertuliskan Raider 300, memukuli orang tersebut. Ada pula yang menyayat-nyayat orang di dalam tong itu dengan belati.
“Ukir-ukir. Enak itu,” terdengar salah satu pelaku penyiksaan mengatakan itu saat belati disayatkan ke tubuh korban.
“Langsung terkelupas, anjing,” kata pelaku lainnya. “Siapa yang dapat bajunya?” ujar pelaku lainnya.
Orang yang dipukuli dan disayat itu adalah Definaus Kogoya. Warinus Murib dan Alinus Murib tak tampak dalam video tersebut.
Saat meminta maaf kepada publik pada 25 Maret lalu, Mayjen Izak menyebut penganiayaan itu terjadi setelah aparat menangkap Defianus dan Alinus di Gome.
“Tapi setelah itu (penganiayaan), mereka dibawa ke puskesmas, diobati, dan dikembalikan ke keluarganya,” kata Izak.
Dalam foto yang dilihat oleh BBC Indonesia, setelah penyiksaan itu Defianus memang dibawa ke fasilitas medis. Namun dia dibaringkan di tempat tidur dengan tangan diikat.
Dalam foto lainnyya, terlihat bahwa wajah Defianus bengkak dan lebam. Matanya benjut dan biru. Guratan seperti bekas sayatan membentang dari pipi kiri, hidung, ke pipi kanan. Sebagian besar rambutnya terkelupas.
BBC Indonesia terus berusaha mengonfirmasi kondisi medis Defianus kepada Direktur RSUD Ilaga, Elpina Kogoya. Namun Elpina, yang juga istri Bupati Puncak Willem Wandik, tak merespon pesan teks maupun panggilan telepon BBC.
Tuduhan AKBP Bayu Seno bahwa Defianus adalah anggota TPNPB juga belakangan tak terbukti. Polres Puncak tidak melanjutkan proses hukum terhadap Defianus dan Alpius. Mereka dilepas dalam kondisi babak belur.

Jawaban Letkol Afri kepada BBC News Indonesia

Mayjen Izak, di hadapan pers di Jakarta, menyebut penyiksaan terhadap Defianus adalah perbuatan melanggar hukum. Dia membuat klaim, TNI tidak menerapkan prosedur kekerasan dalam pelaksanaan tugas di Papua.
”Kami menyayangkan, ini tidak boleh terjadi. Dalam upaya kami menyelesaikan persoalan dengan cara-cara yang benar, ini sangat disayangkan,“ ujarnya.
Hingga awal pekan ini, kata Juru Bicara TNI Angkatan Darat, 42 prajurit dari Yonif 300 Braja Wijaya telah diperiksa oleh otoritas Polisi Militer Kodam Siliwangi. Dari jumlah itu, 13 di antaranya ditetapkan menjadi tersangka. Kristomei berkata, mereka dimasukkan ke tahanan militer dengan keamanan maksimum.
“Kami akan cek apakah itu atas inisiatif pribadi atau ada perintah dari atasannya,“ kata Kristomei.
“Kami akan lihat bagaimana keterkaitan sebab-akibatnya. Ini akan menentukan hukuman untuk prajurit itu,“ ujar Kristomei.
Atasan para prajurit itu adalah Letkol Afri Ritonga, Komandan Yonif 300 Braja Wijaya. Seperti tertulis pada rilis TNI, Februari lalu, lulusan Akademi Militer tahun 2004 itulah yang memerintahkan patroli militer sebelum penyiksaan terjadi.
Melalui sambungan telepon, BBC News Indonesia bertanya kepada Afri, “Apakah Anda mengetahui ada personel Anda yang melakukan penyiksaan pada 3 Februari lalu?“
“Bagaimana ya saya menjawabnya. Saya berada di lokasi berbeda. Saya tidak tahu penyiksaan itu,“ jawab Afri.
Afri berkata, setelah video penyiksaan itu beredar, “kami kena semua.“
Hingga berita ini dipublikasi, otoritas TNI belum mengumumkan identitas personel Yonif 300 Braja Wijaya yang telah berstatus tersangka.

Bukan kejadian pertama di Puncak, Papua

Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigjen Kristomei, berkata lembaganya “membekali prajurit” yang akan dikirim ke Papua. Pembekalan itu, kata dia, diberikan “agar prajurit TNI memenuhi SOP (prosedur operasi standar), rule of engagement, dan hukum humaniter”.
Rule of engagement yang disebut Kristomei adalah regulasi internal TNI bahwa pembelaan diri yang dilakukan tentara harus sesuai dengan eskalasi ancaman yang diperkirakan akan terjadi. Ketentuan ini menentukan apakah tindakan pembelaan diri tentara dapat dibenarkan atau tidak.
“TNI AD tidak pernah mengajarkan tindak kekerasan dalam meminta keterangan,” kata Kristomei tentang penyiksaan tentara terhadap Defianus.
“Ini pelanggaran hukum dan akan kami tindak,” ujarnya.
Juru Bicara Mabes TNI, Mayjen Nugraha Gumilar, meminta agar publik tidak menjadikan penyiksaan terhadap Defianus sebagai gambaran perilaku prajurit TNI di Papua.
“Kejadian seperti ini harus dilihat seperti perkataan pepatah ‘tiada gading yang tak retak’. Tak ada yang sempurna di dunia ini,” ujar Nugraha.
“Kami akui organisasi kami bukan superman, selalu ada titik lemah yang selalu kami perbaiki,” tuturnya.
Bagaimanapun, peristiwa penyiksaan tentara terhadap warga sipil di Puncak, Papua, bukan baru kali ini terjadi.
Pada Februari 2022, seorang anak bernama Makilon Tabuni disiksa hingga tewas oleh sejumlah personel Yonif Mekanis 521 Dadaha Yodha. Sejumlah tentara itu lalu membakar jenazah Makilon di depan Kantor Polsek Sinak.
Dalam peristiwa itu, tentara juga menyiksa enam anak lainnya. Penyiksaan ini dilakukan atas dalih bahwa Makilon dan anak-anak lainnya mencuri senjata.
Kolonel Aqsha Erlangga, yang pada waktu itu menjabat Juru Bicara Kodam Cenderawasih, sempat membantah tentara melakukan penyiksaan terhadap tujuh anak itu. Aqsha menyebut foto-foto terkait penyiksaan yang beredar di media sosial itu sebagai hoaks.
Aqsha bahkan sempat menyebut bahwa Kodam Cenderawasih telah melaporkan orang yang menyebarkan foto-foto itu ke kepolisian dengan UU ITE. Namun proses persidangan akhirnya mengungkap bahwa penyiksaan itu terbukti benar terjadi.
Sebanyak 13 tentara dihukum bersalah dalam kasus kematian Makilon. Pada tingkat banding di Pengadilan Militer Tinggi Surabaya tertanggal 16 Februari 2023, mereka dijatuhi pidana penjara selama 1,5 tahun. Hanya dua di antara mereka yang mendapat vonis pemecatan dari TNI.
Mayjen Gumilar berkata, dua dari 13 pelaku itu sekarang tengah menjalani pemenjaraan. Sementara itu, 11 pelaku lain tidak menerima putusan hakim dan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali.

Perkara lainnya?

Februari 2023, lima personel TNI AD divonis bersalah dalam kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga sipil di Nduga.
Pengadilan Militer Jayapura menjatuhkan vonis penjara seumur hidup kepada Mayor Helmanto Fransiskus Dahki, Pratu Rahmat Amin Sese, dan Pratu Rizky Oktaf Muliawan. Adapun Pratu Robertus Clinsman dan Praka Pargo Rumbouw, masing-masing divonis 20 tahun dan 15 tahun penjara. Mereka semua dipecat dari TNI.
Satu tentara lain yang menjadi terdakwa dalam kasus ini, Kapten Dominggus Kaimana, meninggal di tahanan sebelum mendapat vonis.
Pada Maret 2023, tujuh tentara dari Yonif 443 Julu Siri divonis bersalah oleh Pengadilan Militer Makassar. Mereka terbukti menyiksa, membunuh, dan membakar jenazah dua warga sipil di Intan Jaya, yaitu Apinus Zanambani dan Luter Zanambani.
Lettu Josua Mangihut Tua, Lettu Febbi Puji Hantara, Serka Baharuddin, dan Kopda Mufajirin Adi Yatma divonis delapan bulan penjara.
Serka Oktapianus Sangga Kalatiku, Serka Muhammad Syamsir, dan Serda Pance Gereuw divonis enam bulan penjara. Seluruh terdakwa ini dihukum pemecatan dari TNI.
Merujuk berkas pengadilan, penyiksaan terhadap Apinus dan Luther terjadi di lobi Koramil 1705-11 Sugapa.
“Terdakwa-2 (Oktapianus) mendudukkan Apinus Zanambani ke kursi, lalu mengikat kedua tangan Apinus menggunakan tas noken milik Apinus agar tidak melarikan diri,” demikian fakta persidangan yang tertulis dalam berkas pengadilan.
“Setelah itu Terdakwa-4 (Pance) memukul wajah Apinus dengan menggunakan tangan kosong berkali-kali, sambil Terdakwa-2 bertanya kepada Luter tentang keterlibatannya dengan kelompok bersenjata di Papua
“Tetapi Luter tidak memberikan jawaban, hanya diam saja sehingga Oktapianus langsung memukul menggunakan tangan, mengenai bibir dan badan, demikian juga pemukulan yang dilakukan oleh anggota yang lainnya yang mengakibatkan Apinus dan Luter luka-luka,” begitu tertulis di berkas pengadilan.
Hakim menyatakan, empat tentara itu membakar jenazah Apius dan Luter untuk menghilangkan jejak kejahatan.

Perkara tahun 2022

Selama tahun 2022, terdapat pula kasus-kasus penyiksaan lain yang berujung pada kematian warga sipil di Papua.
Empat personel Yonif 400 Banteng Raiders divonis bersalah karena menyiksa sampai mati dua laki-laki Papua bernama Janius Bagau dan Justinus Bagau. Perkara ini telah bergulir hingga Pengadilan Militer Tinggi Jakarta.
Lulusan Akmil tahun 2008, Kapten Sofyan Ramli, divonis tiga tahun penjara. Teman satu angkatan Sofyan di Akmil, yaitu Kapten I Gede Hendra Widyantara, divonis dua tahun penjara.
Dua pelaku lainnya, Sertu Surono dan Koptu Abdul Rifais Renyaan, masing-masing dihukum dua dan satu tahun penjara. Seluruh pelaku ini dihukum pemecatan dari TNI.
Para pelaku membunuh Janius dan Justinus di sebuah klinik di Intan Jaya. Seperti pada kasus lain yang disebut dalam artikel ini, TNI menuduh Janius dan Justinus sebagai anggota TPNPB—klaim yang akhirnya tidak terbukti.

‘Penyiksaan di Puncak bukan insiden tunggal‘

Pakar konflik dan hukum humaniter dari STF Driyarkara, Budi Hernawan, menyebut kasus penyiksaan di Puncak yang belakangan ramai dibicarakan semestinya dilihat secara luas, termasuk berbagai kasus kekerasan aparat di Papua sebelumnya.
Dengan analisis yang meluas, Budi berkata, kekerasan aparat di Papua membentuk pola yang merujuk pada sebuah tata kelola yang disengaja.
“Penyiksaan aparat di Papua berbeda dengan penyiksaan yang terjadi di tempat lain yang biasanya bertujuan mengejar pengakuan pelaku,“ kata Budi.
“Kepentingan pelaku (aparat) di Papua yang melakukan penyiksaan adalah mempertontonkan kekerasan bahwa merekalah yang berkuasa. Ini terjadi karena lingkaran imunitas yang kebal.
“Hampir tidak mungkin pelaku melakukan tindakan yang sebegitu keji tanpa tembok imunitas yang kokoh,“ ujar Budi.
Budi mengatakan, kekerasan aparat terhadap warga sipil di Papua juga terus-menerus muncul akibat pembiaran terhadap banyak kasus sebelumnya. Akibatnya, kekerasan menjadi kebiasaan yang dinormalisasi. Buktinya, kata Budi, kekerasan tidak hanya terjadi dalam satu peristiwa, tapi lebih dari 50 tahun.
Tiga tentara disidang dalam kasus penyiksaan terhadap warga Papua di Jayapura, November 2010.
Dalam risetnya, Budi mencatat bahwa dari 431 kasus kekerasan aparat terhadap orang Papua, 39% terjadi di ruang publik, 24% di kantor polisi, dan 12% di pos militer. Dari jumlah kasus itu, 65% pelaku adalah tentara, 34% polisi, dan 1% milisi pro-kemerdekaan.
Budi mewawancarai 24 aparat yang melakukan kekerasan itu. Mayoritas dari mereka, kata Budi, menyatakan bahwa mereka “hanya melakukan perintah“. Kekerasan, kata para pelaku yang dikutip Budi, juga merupakan kebiasaan dalam institusi mereka.
Dalam risetnya, Budi mengutip pernyataan seorang mantan tentara yang pernah ditugaskan menjaga perbatasan Indonesia-Papua Nugini. Tentara itu bernama Maxi, nama samaran yang diberikan Budi untuk melindungi identitasnya.
“Kami menendang mereka, memaksa mereka berjalan jongkok, lari, dan melakukan push-up. Kami menonton itu,“ kata Maxi.
“Kami tidak menembak siapapun, tapi kami bebas melakukan apapun yang kami suka. Ini seperti permainan bagi kami, untuk bersenang-senang. Kami tidak memiliki aktivitas apapun dan komandan kami pun tidak berbuat banyak untuk merespons tindakan kami. Dia membiarkan kami.
“Benar, awalnya ada perintah tapi kemudian tindakan itu menjadi praktik umum seolah-olah itu tugas kami, padahal tidak begitu,” kata Maxi.
Dalam berbagai kesempatan, BBC News Indonesia menemukan istilah musa (muka sama) yang ditakuti oleh banyak laki-laki asli Papua. Istilah ini merujuk pada kecenderungan salah tangkap oleh aparat, tuduhan anggota TPNPB, yang bisa berujung pada penyiksaan.
Pangdam Cenderawasih Mayjen Izak, kepada pers di Jakarta, membenarkan bahwa tentara sulit membedakan warga sipil dan anggota TPNPB.
"Sangat sulit (mengidentifikasi) karena mukanya hampir sama. Mereka brewok," kata Izak.
Menurut Budi Hernawan, ketidakmampuan aparat membedakan milisi dan warga sipil ini adalah kesalahan fatal.
"Ini sangat tidak profesional. Membedakan kombatan dan warga sipil adalah prinsip dasar hukum humaniter yang harus dipegang setiap tentara di dunia. Ini adalah kegagalan mendasar aparat di Papua," ujar Budi.
Delapan prajurit TNI tewas dalam serangan TPNPB di Papua, Februari 2013.

Respons personel Yonif 300

BBC News Indonesia melihat sejumlah unggahan anggota Yonif 300 Braja Wijaya di media sosial. Mereka mengeluh soal perkara kekerasan yang kini bergulir ke Polisi Kodam Siliwangi.
Mayoritas dari unggahan mereka bernada sama: mempertanyakan pemberlakuan hak asasi manusia dalam konflik bersenjata di Papua.
Hukum humaniter, kata Budi, memberi peluang bagi setiap kombatan untuk menyerang musuh yang berpotensi membahayakan mereka. Namun Budi menyebut, prinsip hukum humaniter belum berlaku di Papua karena pemerintah tidak mendeklarasi daerah itu sebagai daerah perang atau daerah operasi militer.
Bagaimanapun institusi militer, kata Budi, semestinya memberi pengajaran tentang prinsip humaniter dan hak asasi manusia pada prajuritnya.
“Prajurit tidak bisa disodori hukum yang rumit. Tapi apakah sebenarnya prinsip itu diajarkan kepada prajurit? Seperti apa kurikulum di TNI?” ujar Budi.
“Di seluruh dunia, prajurit belajar dari seniornya. Perilaku senior itu membadan dan menjadi pola. Kalau seniornya memberi contoh tindakan melawan hukum, yunior pasti ikut, sebagus apapun regulasi yang berlaku,” kata Budi.
Berdasarkan kesaksian yang dihimpun BBC News Indonesia dan catatan lembaga advokasi, sejumlah kasus dugaan kekerasan aparat terhadap warga sipil di Papua tidak bergulir ke pengadilan.
Tahun 2020 misalnya, Pastor Agustinus Duwitau, ditembak di Intan Jaya. Dia bisa bertahan hidup. Pelakunya diduga aparat TNI. Tapi hingga kini kasus itu tidak diusut. Pada kasus lain di Intan Jaya tahun 2021, Melpianus Sondegau yang berusia dua tahun tewas, diduga kuat akibat tembakan aparat. Tak ada investigasi resmi terhadap kematiannya.

Kesaksian pendeta tentang aparat dan TPNPB

Pendeta Atias Matuan melayani di Gereja Kingmi, Yahukimo. Dia memakamkan lima orang yang tewas ditembak aparat pada September 2023. Lima orang itu adalah Danius Heluka, Musa Heluka, Man Senik, Yoman Senik, dan Kapai Payage.
TNI menuduh kelimanya adalah milisi TPNPB. Namun Atias membantah tudingan itu. Kelimanya, kata Atias, adalah jemaat di gerejanya.
“Mereka ditembak bukan karena melakukan perlawanan ke aparat, tapi saat mereka sedang menyeberang Kali Brasa,” ujar Atias. Tidak ada investigasi aparat setelah kematian lima orang itu. Mereka kehilangan nyawa dalam tuduhan berstatus anggota TPNPB.
“Saya yang menerima jenazah mereka. Saya memakam mereka. Tempat kuburan mereka saya bangun permanen. Itu saya tangani sendirian,” kata Atias.
Di sisi lain, Atias melontarkan kritik pula kepada TPNPB. Menurutnya, kelompok milisi itu semestinya tak perlu masuk ke pemukiman warga sipil.
“Lebih baik mereka ambil posisi di yang jelas supaya perlawanan dengan TNI/Polri jelas medannya. Jangan ke masyarakat,” kata Atias.
“Tapi TPNPB bersandar ke masyarakat sehingga masyarakat juga ikut korban konflik, rumah-rumah dibakar, semua harta kekayaan habis,” ujarnya.
TPNPB dalam berbagai kasus mengaku bertanggung jawab atas kematian tentara dan polisi. Mereka juga membuat klaim telah membunuh beberapa warga sipil yang mereka tuduh mata-mata aparat Indonesia. Salah satu yang dibunuh TPNPB, yang kasusnya belum terang-benderang, adalah perempuan bernama Michelle Ndoga.

Cerita warga, ‘saya sedih dan malu’

Anom (bukan nama sebenarnya) adalah pemuda asli Kabupaten Puncak. Dia lahir dan besar di Distrik Beoga. Tinggal di daerah yang terus-menerus diguncang konflik bersenjata, Anom dikirim orangtuanya untuk bersekolah di luar Papua. Namun sejak 2019, bukan hanya dia yang pergi dari kampung. Ibu dan saudara kandungnya menyelamatkan diri ke Timika bersama ribuan warga Puncak dalam gelombang pengungsian massal.
Meski badannya tak berada di Puncak, Anom mengetahui situasi di tanah kelahirannya melalui mata dan telinganya. Foto dan video kontak tembak di Puncak, termasuk kekerasan yang dialami warga sipil, berseliweran masuk ke ponselnya. Cerita kerabat yang lari dan tak bisa pulang ke Puncak juga didengarnya secara langsung.
Seperti catatan yang disusun akademisi, kelompok advokasi HAM, termasuk yang muncul dalam pemberitaan BBC Indonesia sebelumnya, telah banyak muncul dugaan kekerasan aparat terhadap warga di Papua. Itu pula yang terjadi pada kerabat Anom.
Menurut cerita Anom, pamannya, tinggal di Puncak dan berusia 50-an tahun, pernah ditangkap aparat meski tak pernah terlibat milisi pro-kemerdekaan.
“Mereka pukul dan siram dia dengan air panas. Untung pos aparat itu dekat jurang, jadi dia buang diri ke jurang, melarikan diri,” kata Anom.
“Paman saya kejiwaannya agak terganggu, jadi bicara sudah agak sulit. Waktu aparat bertanya, dia menjawab tapi aparat bingung.
“Seperti laki-laki pada umumnya di Puncak, dia jalan membawa parang. Tapi mungkin aparat pikir dia mata-mata TPNPB atau mau menyerang tentara,” ujar Anom.
BBC Indonesia tidak dapat memverifikasi cerita Anom ini. Namun yang jelas, parang adalah benda yang melekat pada setiap laki-laki dewasa Papua, baik di daerah pesisir maupun pegunungan. Mereka membawa parang dalam keseharian sebagai bagian dari tradisi dan budaya—selain juga untuk memudahkan mereka yang hidup dengan cara berburu-meramu.
Relasi laki-laki dewasa Papua dan parang setidaknya dapat dibaca dalam kajian mendalam berjudul Gender, Ritual, and Social Formation in West Papua yang ditulis antropolog Belanda, Jan Pouwer. Wartawan perjalanan Ahmad Khoiri juga pernah menulisnya sebagai kebiasaan warga Papua.
Anom berkata, konflik bersenjata di Puncak telah membuat kehidupan warga sipil “hancur lebur”. Aktivitas pendidikan terhenti, fasilitas kesehatan tidak berjalan. Transportasi udara, yang menjadi tulang punggung mobilitas orang dan kebutuhan pokok, juga kerap mandek karena kontak tembak terjadi di sekitar bandar udara.
Lebih dari itu, Anom menyebut aparat membangun pos-pos jaga di hampir setiap kampung. Masyarakat, terutama laki-laki dewasa, akhirnya terus-menerus cemas menjadi korban salah tangkap atau salah tembak.
“Warga seperti tidak bisa bergerak. Bergerak sedikit bisa dituduh bagian dari kelompok bersenjata,” ujarnya.
Sejumlah warga asal Papua di Jakarta, Desember 2006, mengadakan peringatan terhadap tujuh orang yang tewas setelah dituduh bagian dari milisi pro-kemerdekaan.
Berdasarkan realitas sehari-hari itu, Anom justru heran melihat publik saat ini ramai membicarakan kasus penyiksaan terhadap warga Puncak. Anom berkata, dia dan banyak warga Puncak selama ini rutin melihat foto dan video kekerasan terhadap warga sipil, bahkan mendengar sendiri dari kerabat yang menjadi korban.
“Mata saya ini sudah melihat berbagai kekerasan terhadap orang kulit hitam. Kejadian penyiksaan seperti itu bagi saya sudah sangat-sangat biasa,” kata Anom.
Meski menyebutnya sebagai sesuatu yang biasa, video kekerasan terhadap warga sipil Papua membuat mentalnya terpukul.
“Sebagai anak Papua, melihat rekaman seperti itu membuat psikologis saya terganggu. Saya keluar kos, saya lihat di tempat merantau ini banyak orang hidup nyaman, dibanding orang Papua,” ujar Anom.
“Saya lihat video kekerasan dan realitas di Papua, saya bertanya kenapa keadaannya tidak sebanding dengan yang saya rasakan di tempat merantau. Seperti neraka dan surga.
“Di sini saya berinteraksi dengan kawan-kawan dari luar Papua, masyarakat saya jadi korban tapi saya justru merasa malu. Orang mungkin kasihan, tapi ada yang anggap saya sebagai bagian dari kelompok bersenjata.
“Apakah saya harus pindah dari sini? Apakah saya harus hidup sendiri,” kata Anom.
Liputan tambahan oleh wartawan di Papua, Abeth You.