Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Menelusuri Masa Lalu Pecinan Glodok Jakarta Lewat Walking Tour
21 Januari 2023 11:00 WIB
·
waktu baca 18 menitJika Anda menumpang bus Transjakarta jurusan Blok M - Kota Tua, turunlah satu perhentian sebelum mencapai tujuan akhir. Di sana Anda akan menjumpai kawasan Glodok atau yang dikenal sebagai daerah Pecinan Jakarta.
Selama lebih dari 300 tahun, Glodok dikenal sebagai pusat perdagangan yang dipenuhi masyarakat keturunan etnis Tionghoa . Lantas, bagaimana nasibnya sekarang dan seperti apa masa depannya?
Suara lantang dari alat pengeras suara milik pemandu wisata terdengar nyaring di tengah kebisingan kendaraan dan teriakan para pedagang kaki lima yang menawarkan jajanan khas Tionghoa seperti kuotie, tauco, siomay, dan lainnya.
Dynasti Ara, seorang pemandu wisata dari Jakarta Good Guide (JGG), membawa rombongannya berisi 17 orang masuk ke pelosok-pelosok gang Glodok. Matanya yang tajam menghitung satu per satu peserta sambil berjalan di depan kerumunan.
Tur jalan kaki atau walking tour yang dipandu oleh Ara bermula dari pusat perbelanjaan Harco Glodok, kemudian melipir ke Pantjoran Tea House sebelum menjajal deretan toko-toko kuno yang ada di Petak Sembilan.
Masuk ke dalam sebuah gang, Ara membawa mereka ke klenteng Vihara Darma Bakti yang sudah menjadi tempat sembahyang ternama di daerah itu. Titik berikutnya adalah Gereja Santa Maria de Fatima, di mana sosok Tuhan Yesus dan Bunda Maria bermata sipit terpampang pada kaca.
Sebelum ke Vihara Dharma Jaya Toa Se Bio, kelompok tur beristirahat sejenak untuk membeli es jeruk yang disajikan dalam plastik.
“Ini salah satu rekomendasi dari food traveller juga, jadi kita selalu mampir ke sini karena setelah ini kan bisa dibawa sambil jalan sambil lihat makanan yang lain. Jadi konsentrasinya dikembalikan dulu ya, melalui es jeruk ini. Karena haus pasti,” jelas Ara yang duduk di kursi bakso dikelilingi para peserta yang meluruskan kaki mereka yang pegal setelah berjalan kaki seharian.
Di kios kecil itu, Ara bercerita tentang sebuah kejadian pada imlek tahun lalu, ketika 300 orang berebutan untuk mengikuti tur jalan kaki di Pecinan Glodok dan hanya 45 orang yang terpilih. Dia mengatakan bahwa Pecinan Glodok merupakan rute paling popular yang dimiliki JGG.
“Rutenya paling susah didapat. Jadi kalau mereka yang biasa ikut JGG mereka sudah tahu jadwal kita akan terbit di hari Minggu siang. Enggak lihat di postingan Instagram, mereka langsung buka website,” ungkap Ara.
Lewat tur jalan kaki itu sendiri, Ara hendak mengenalkan sejarah dan budaya Tionghoa kental yang ada di daerah pecinan tersebut, sekaligus beraneka ragam kuliner yang ditawarkan para pedagang setempat.
“Seluruh dunia punya Chinatown. Kenapa kita enggak datang ke Chinatown di wilayah kita sendiri dulu sebelum kenal Chinatown di negara-negara lainnya.
“Toh, gausah jauh-jauh ke luar negeri. Yang mereka punya sama dengan apa yang kita punya jadi kenali budaya di sekitarmu dulu sebelum kamu mengenal budaya-budaya lain,” kata Ara.
Pada Juni 2022 Glodok diresmikan sebagai Desa Wisata oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Sejak itu banyak wisatawan lokal maupun asing yang berdatangan untuk mencicipi masakan khas Glodok dan mengenal sejarah dan budaya komunitas Tionghoa yang menetap di sana.
Andri Kurniawan, pemilik Toko Sukaria di Petak Sembilan yang dikunjungi rombongan tur JGG, merasa senang semenjak Glodok menyandang status Desa Wisata. Menurutnya, semakin banyak wisatawan yang datang, semakin banyak orang yang dapat mengenal budaya Tionghoa.
“Jadi memperkenalkan tradisi China, budaya-budaya… Bersyukurlah saya. Bukannya mereka datang hanya untuk belanja ya, tapi diperkenalkan. Jadi tradisi kita diketahui oleh mereka. Supaya antara kita dan mereka enggak ada perbedaan,” ungkap Andri sambil tersenyum lebar.
Pria berusia 57 tahun itu sudah tinggal di Glodok sejak lahir. Ayah dan ibunya merantau dari China ke Indonesia dan mendirikan Toko Sukaria di Jakarta pada 1946 dan dilanjutkan olehnya pada 1992.
Tokonya menjual beraneka jenis peralatan sembahyang yang dikemas dalam bingkisan-bingkisan besar yang dipajang di bagian depan toko. Lantaran saat pandemi jalanan sepi, ia kini melihat pembeli sudah semakin bertambah.
“Banyak pembeli. Mereka tetap mengikuti tradisi, menghormati orang tua, itu tetap harus berjalan. Apalagi yang menganut agama Buddha. Yang Konghucu mereka menyambut tahun baru, menyambut dewa rezeki supaya tahun depan lebih baik dari tahun ini,” jelasnya.
Memasuki Petak Enam, Ara menyapa para pedagang yang ia jumpai seperti kawan lama. Para warga sekitar tampaknya sudah akrab dengan para pemandu wisata berbaju biru yang menggelar tur jalan kaki. Di antaranya adalah Ko Akhwet, penggiat kaligrafi terakhir di Pecinan Glodok.
“Koko ini satu-satunya ahli pembuat tulisan kaligrafi China yang tersisa karena tidak ada lagi yang meneruskan,” ujar Ara, memperkenalkan bapak-bapak tua yang menjaga toko itu seorang diri.
Ko Akhwet terlihat malu tersipu saat memperlihatkan hasil karyanya yang terbaru, sebuah plakat kayu berwarna cokelat dengan ukiran cat emas dan huruf Mandarin yang tertera pada bagian tengahnya.
Tur berakhir dengan upacara pembuatan teh di sebuah rumah teh di Petak Enam di Chandra, sebuah bangunan baru yang diimpit dua gang sempit. Tampilannya jauh berbeda dari gang basah dan kumuh yang namanya diambil sebagai inspirasi dan lebih menyerupai pusat makanan yang ada di mal-mal modern.
Klaren (21), salah satu peserta yang mengikuti tur, mengatakan bahwa ia hanya pernah mengunjungi Glodok saat dirinya masih SD. Saat itu, ia dan orangtuanya datang untuk mencari peralatan sekolah yang murah dan berkualitas.
“Kalau ke Glodok sama keluarga pernah sih waktu masih kecil. Cuma kalau yang jalan-jalan bareng gitu enggak pernah, baru sekarang ini.”
Ia merasa lebih dekat dengan kultur Tionghoa-nya karena dapat mengenal lebih dalam tentang budaya dan sejarah Glodok lewat tur jalan kaki. Ia pun tertarik untuk kembali ke Glodok setelah tur berakhir.
“Menyenangkan [turnya], aku sangat menikmati. Dengerin sejarahnya itu menarik banget.”
Hingga saat ini, Jakarta Good Guide memiliki 50 rute aktif sejak didirikan pada 2015. Bahkan sejak awal, rute Pecinan Glodok selalu menjadi yang paling populer.
“Rute kita ada sekitar lebih dari 40 rute, yang paling populer dan favorit adalah Chinatown. Karena menurut saya ada tiga unsur yang orang cari kalau sedang liburan: makanan, cerita sejarah dan tempat foto. Klenteng yang sudah usang pun bisa menjadi menarik di zaman digital,“ kata Huans Solehan, Chief Marketing JGG dan salah satu co-founder dari organisasi tersebut.
Huans bercerita tentang bagaimana JGG dibentuk oleh sekelompok pemandu wisata yang terinspirasi oleh tur jalan kaki yang ada di Eropa. Mereka kemudian mengembangkan sistem itu untuk memperkenalkan Jakarta ke turis mancanegara.
Namun dengan datangnya pandemi yang memberhentikan perjalanan ke luar negeri, turis domestik mulai tertarik mengikuti tur jalan kaki.
“Mulai populer setelah pandemi terutama itu mulai membeludak banget. Sebelumnya yang tahu [Glodok] cuma orang asing. Cuma setelah 2017, orang lokal mulai tertarik,” tutur Huans.
Menurut Huans, Pecinan Glodok memang pantas dijadikan tempat wisata karena nilai sejarah yang ditawarkan wilayah itu sendiri.
“Orang ingin mencari tahu ada apa di situ dan kenapa begitu. Kenapa etnis Tionghoa tidak tinggal di daerah lain. Kenapa di situ? Itu jadi pertanyaan dan cerita tersendiri.”
Asal-muasal Pecinan Glodok
Sejarawan senior Rushdy Hoesein mengatakan bahwa asal mula Pecinan di Glodok terbentuk bermula dari pembangunan benteng di Batavia pada abad ke-17. Saat itu ada pembagian penduduk, yakni siapa yang berhak tinggal di luar maupun dalam benteng.
“Mereka yang tidak berhak tinggal di dalam, mereka tinggal di luar benteng. Antara lain itu adalah masyarakat China yang semakin lama semakin bertambah banyak,” kata Rushdy.
“Para migran dari China bermula dari pedagang miskin tetapi dengan kemampuan dan kehidupan keras yang mereka alami bisa sukses, bahkan mereka menjadi pengusaha-pengusaha besar. Ini mereka bertambah banyak, saling undang-mengundang hingga membangun komunitasnya sendiri.”
Ia menjelaskan bagaimana kehadiran para pedagang dari China menguntungkan kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) karena mereka mampu memenuhi berbagai macam kebutuhan pokok, mulai dari kebutuhan pangan seperti sayur, buah-buahan, daging babi hingga konstruksi.
“Mereka itu bisa melebar sampai mempunyai kemampuan lain. Pembangunan yang masih primitif itu sudah dilakukan oleh orang China. Termasuk jalan kali, yang disebut Ciliwung padahal itu terusan, sepanjang jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk, itu yang bangun orang China,” ungkap Rushdy.
Tak dipungkiri, para pedagang asal China pun akhirnya menguasai perdagangan kuliner, khususnya di daerah Glodok yang mencakup Pancoran, Petak Sembilan dan seterusnya.
“Sebelum orang Indonesia tergila-gila pada kopi di sana sudah diperkenalkan itu yang namanya warung-warung kopi. Mereka bisa nongkrong, duduk ngobrol dan minum kopi. Dan itu menjadi sebuah kehidupan sehari-hari yang nyaman juga,” ungkap Rushdy.
Willy Yulus merupakan penerus generasi empat dari Kopi Es Tak Kie, sebuah kedai kopi yang sudah beroperasi di Pecinan Glodok hampir satu abad lamanya.
Usaha keluarga yang berawal dari kios kecil di pinggir jalan Petak Sembilan, kemudian berpindah ke Gang Gloria, kini memiliki enam cabang yang tersebar di Jakarta.
Willy, yang menghabiskan masa kecilnya di Glodok, merasa senang dengan perbaikan baru yang muncul sejak Glodok menyandang gelar Desa Wisata. Salah satunya adalah pembangunan kembali tugu gerbang depan kawasan Glodok Pancoran yang pernah dirobohkan oleh Belanda.
“Memang dulu tugu itu ada. Itu gerbang yang ada ukiran emang ada. Tapi dirubuhkan pas zaman Belanda. Dan sekarang Pak Anies mendirikan lagi. Welcome to Chinatown itu baru dibikin dan itu lumayan bagus.
“Gang Gloria yang dulu dibikin sekarang seberangnya ada Chinatown Point bersebelahan, sekarang gang dipersempit dan dibagusin sponsor, itu lebih baik sih,“ ujar Willy.
Meski ia cukup senang dengan bangunan-bangunan baru tersebut, ia merasa unsur-unsur Glodok yang mungkin dianggap ‘kuno‘ tetap perlu dilestarikan. Sebab, modernisasi yang terlalu drastis dapat berisiko menghilangkan ciri khas Pecinan Glodok itu sendiri.
“Kalau desain ulang seperti sekarang patokannya Chinatown Singapur atau Malaysia. Sedangkan Chinatown kita di Glodok bukan seperti itu. Itu menghilangkan identitas kita. Sedangkan seharusnya Chinatown kita masih mengandung unsur perantauan Tiongkok yang emang masih membawa kultur kuno asli,“ ungkap Willy.
Salah satu peserta tur jalan kaki Pecinan Glodok, Dimas (30) yang berasal dari Lenteng Agung, mengaku sangat tertarik mendalami sejarah daerah-daerah pecinan.
“Karena kan kita tahu ya kalau Glodok kental banget dengan Chinese culture ya, jadi saya memutuskan untuk pergi ke sini karena ingin tahu gimana sebenarnya sejarahnya,“ katanya.
Selain pecinan di Glodok, ia juga pernah berkunjung ke pecinan yang ada di Semarang dan Malaysia. Menurutnya, Pecinan Glodok memiliki daya tarik tersendiri dari hawa yang muncul di tengah gang dan jalanan sempit penuh toko.
“Pertama dari toko-toko yang ada di situ ya, kemudian pasti kan mereka mungkin punya restoran atau apa yang otentik banget. Dan pasti ada cerita tuh di balik itu. Mungkin ada tempat-tempat yang mungkin saya belum tahu pasti ceritanya,“ ujar Dimas.
Kerusuhan dan tragedi gelap Pecinan Glodok
Sejarah Pecinan Glodok dan berbagai toko-toko otentik di dalamnya sempat hancur akibat episode kelam, pada 1965 dan 1998.
Lalita Setiandi masih mengingat betul kejadian 1998 yang ia alami saat baru berusia lima tahun.
Pemilik Lit Bakehouse-yang keluarganya dulu merupakan pendiri Tian Liong, toko perkakas ternama di Pecinan Glodok – duduk di seberang saya sambil memegang erat secangkir kopi susu hangat dari dapur kafe kecilnya.
“Aku melihat semuanya,“ ujar Lalita yang mengaku merinding setiap kali mengingat kembali tragedi itu. Bulu di lengan kanannya pun berdiri saat ia bercerita.
“Jadi aku pulang sekolah tiba-tiba orang-orang di bawah pada lari-larian. Kita taruh papan triplek buat tutupi jendela, habis itu aku dibawa ke [lantai] paling atas. Dan aku tutup kepala dengan pot bunga dan lihat di jalanan ada orang-orang melempar batu, ada yang matanya berdarah. Di Pasar Glodok situ abunya sampai hitam ke langit.“
Meskipun sudah genap 25 tahun sejak tragedi kemanusiaan tersebut, Lalita mengatakan warga sekitar, khususnya yang generasi tua, masih hidup dengan trauma yang membekas dari kejadian itu.
“Tapi pada akhirnya kita mesti move on. Tapi di dalam kita masih ada semacam ketakutan. Walaupun ini sudah 2023, memorinya masih ada lah,” ungkapnya.
Tak hanya Lalita, ingatan Willy terkait kejadian 1998 juga masih tinggal di benaknya seperti baru kemarin terjadi. Ia saat itu duduk di bangku SMP ketika ia harus jalan kaki pulang di tengah kerusuhan yang sedang terjadi di jalanan.
“Pintu besar itu dibakar, belakangnya kan kita. Jadi mau enggak mau kita harus ngungsi. Jadi toko kita tutup, kita udah siap ngungsi karena itu urusannya sudah pada kebakaran, api dimana-mana,“ katanya.
Di kala itu, Willy dan ayahnya harus berjalan kaki mencari tempat aman untuk menghindari kekerasan yang terjadi di kampung halaman mereka sendiri. Sementara, ibu dan saudara-saudaranya masih berada di rumah mereka yang terletak di Jalan Hayam Wuruk, tak jauh dari titik kerusuhan.
“Ada penjarahan juga, keadaan mulai mengerikan maka kita pindah lagi. Ke Tangki. Masuk rumah kakek, dalam gang. Warga sekitar situ masih baik, ‘oh ini Chinese perlu dilindungi’. Itu sampai tengah malam baru aman. Esoknya baru pulang, baru tenang,“ kata Willy.
Sementara Andri, sang pemilik toko Sukaria di Petak Sembilan, lahir saat kerusuhan 1965 terjadi. Dalam hidupnya, ia telah mengalami dua tragedi yang merenggut banyak nyawa di sekitar jalanan Glodok.
“Saya baru lahir itu terjadi pembunuhan orang Tionghoa begitu banyak di sini. Ayah saya cerita. Dia ada di dalam toko ini, di sini ditutup pintunya.
“Kalau kita bayar sama pribumi, mereka melindungi kita. Karena baik kan. 'Oh enggak ada, orangnya udah pulang'. Nah, kami terlindungi. Tapi yang ketemu di jalan, habis. Jangan sampai terjadi seperti itu lagi, jangan terjadi sampai seperti tahun '98,” kata Andri dengan muka muram.
Sejarawan Rushdy Hosein menjelaskan bagaimana di masa lalu, kelompok minoritas yang terisolir menjadi target empuk di manapun mereka berada. Hal tersebut menjadi katalis bagi peristiwa-peristiwa kelam yang melekat di permukiman tersebut.
“Mereka berada di satu tatanan yang tidak bisa ditebus pihak lain. Ada krisis sosial budaya yang menimbulkan berbagai gejolak sosial yang terjadi. Buntutnya terjadi kekerasan sosial, pembakaran, seperti pemerkosaan.
“Kedekatan mereka dengan penguasa dan kemampuan mengolah bisnis. Itu jadi sasaran… Kehidupan mereka sebagai komunitas terisolir. memberikan peluang karena mereka tidak tersebar”
Tapi di zaman sekarang, menurut Rushdy, komunitas keturunan Tionghoa sudah berkembang. Sebab mereka sudah menjadi lebih terbuka dan mudah membaur dengan golongan lain.
“Ada perkembangan baru. Dulu mereka hidup dalam komunitas dan tidak berbeda satu dengan lain. Masyarakat jadi lebih terbuka. Keterbukaan itu merupakan faktor adaptasi mereka dan bersosialisasi.”
‘Siapa yang akan meneruskan?’
Terlepas dari masa lalu Glodok, pertanyaannya sekarang bagaimana masa depan kawasan itu?
Pertanyaan ini semakin relevan mengingat sejumlah anak dan cucu pemilik usaha di Glodok enggan meneruskan usaha keluarga mereka setelah mengenyam pendidikan di luar negeri.
Namun, tak demikian halnya dengan Willy, yang kini dijuluki sebagai penerus Kopi Es Tak Kie generasi ke-4.
Willy mengaku dirinya sempat bekerja di bidang ekspor impor sebelum akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya untuk meneruskan usaha keluarganya.
Hatinya tergerak setelah membaca sebuah artikel hasil wawancara seorang wartawan dengan ayahnya. Saat ditanya siapa yang akan meneruskan usaha legendarisnya, ayah Willy, Latief Yulus, mengatakan tidak tahu, karena semua anaknya sudah bekerja sendiri-sendiri.
“Saya bilang nggak, nggak bisa begini. Saya harus meneruskan. Masa berakhir saja di generasi tiga. Ini kan namanya warisan, sudah legacy. Harus turun, sambung lagi generasi empat dan lima. Harus dipertahankanlah,” tegas Willy.
Pria lahiran 1985 itu merasa anak muda Tionghoa banyak yang lebih pilih untuk bersekolah di luar negeri dan terlalu gengsi untuk meneruskan usaha orang tua mereka.
"Saya rasa mungkin apakah gengsi, mungkin apakah enggak sesuai sama dia punya hobi. Jadi ya, hilang sudah, tidak ada pelestarian dari zaman dulu punya,“ katanya.
Berdasarkan pengamatan Willy, banyak bangunan di Glodok yang kini terlantar, kosong dan tidak terurus. Sebab, banyak warga yang asli Glodok telah memilih untuk pindah ke daerah-daerah lain seperti Tangerang, Pluit, Surabaya dan lainnya karena tak tahan dengan suasana yang sumpek dan sempit.
“Sejak 98, banyak toko obat tutup dan makanan sudah banyak yang enggak ada penerusnya. Makanan enak dan jadul, orang-orang tua itu dagang sampai umurnya berakhir. Enggak ada yang terusin, generasi dua masih ada tapi tidak ada lagi generasi ketiga. itu banyak sekali di Glodok.“
Hal tersebut juga dibenarkan oleh Sejarahwan Rushdy Hoesein yang mengatakan bahwa seiring berjalannya waktu, semakin banyak warga keturunan etnis Tionghoa yang pindah dari Glodok, tetapi ada pula warga luar daerah yang masuk untuk mengisi kekosongan tersebut.
”Kalau Anda pergi ke Petak Sembilan itu terasa memang. Dan ini menjadi sebuah dunia baru, bukan hanya dinikmati oleh orang China saja. Banyak orang-orang Indonesia, orang-orang pribumi, mereka itu melengkapi,” ujar Rushdy.
Lalita secara khusus memilih untuk mendirikan toko kue dan kopi di Gang Kalimati, dekat tempat usaha keluarganya yang dahulu menjual perkakas di Toko Tian Liong.
“Kenapa buka di Glodok? Karena aku dibesarkan di Glodok, dari aku kecil, dari lahir. Aku generasi ketiga. Jadi kakek-nenek aku buka toko di depan, toko Tian Liong, itu berdiri 1935, itu juga salah satu alasan kenapa aku buka di sini.
”Mereka pindah dan [tempat] ini kosong. Ayahku bilang kenapa enggak kamu mulai sesuatu dari apa yang ada. Mulai sesuatu dari bawah,” ungkap Lalita.
Awalnya, banyak orang bingung dengan keputusannya membuka tokonya di Glodok. Sebab, orang-orang yang datang ke Glodok ingin mencari makanan jalanan di tengah gang-gang sempit, sedangkan toko Lalita lebih menyerupai kafe-kafe untuk orang muda nongkrong di daerah Senopati dan Jakarta Selatan.
”Kalau mau sukses, lu harusnya buka di Selatan, misalnya kayak di mal-mal. Tapi menurut saya, ada kewajiban untuk mengembangkan lingkungan kita sendiri,” jelas Lalita.
”Karena aku pengin membuat daerah ini semakin baik, paling tidak untuk aku lah. Karena aku tahu pasti ada orang seumuran aku yang ingin punya coffeeshop di daerah tempat tinggal aku sendiri.”
Bagaimana Masa Depan Pecinan Glodok?
Sebagai salah satu orang muda keturunan Tionghoa yang masih giat menjalankan usaha sendiri, Lalita merasa perlu ada lebih banyak anak muda Tionghoa yang ikut serta dalam mengembangkan masa depan Glodok.
Ia merasa kultur dan identitas asli Tionghoa itu sendiri semakin memudar dengan banyaknya gedung yang ditinggalkan dan usaha yang tidak ada penerusnya.
“Perlu ada hembusan angin segar untuk membangun Glodok lagi. Siapa yang bakal lanjutin nilai-nilai dan tradisi China kalau bukan kita?” katanya.
Perempuan berusia 29 tahun itu ingin orang muda memiliki semangat untuk membuat Glodok menjadi tempat yang keren dan penuh kehidupan, seperti di zaman orangtuanya.
“Aku selalu diceritain orangtua dan kakek-nenek, dulu Glodok keren banget. Apalagi sebelum ada mall. Orang datang ke Glodok buat cari barang bagus dan makan, kayak Senopati. Tapi sekarang orang lihatnya udah beda,” ujar Lalita.
Selia (19), merupakan anak muda Indonesia keturunan Tionghoa yang sedang kuliah di sebuah universitas politeknik ternama di Fuzhou. Di sana, ia mengambil jurusan dengan bahasa pengantar Mandarin. Sebab, ia ingin mahir berbahasa China seperti kakek-nenek dan segenap keluarganya.
“China salah satu [negara] yang perdagangannya paling tinggi, paling bagus. Dan bahasanya juga nomor dua di dunia. Dulu juga nenek aku suka bilang, belajar mandarin nanti pasti dibutuhin,” ujar Selia kepada BBC News Indonesia.
Selia mengatakan ibunya pernah membuka toko busana di Glodok yang bernama Cindy Collection selama 25 tahun. Namun, akibat pandemi, toko tersebut terpaksa tutup. Selia sendiri sedang bekerja menjalani usaha online shop bersama saudaranya sembari berkuliah.
Ia masih mengenang memori masa kecilnya saat ia membantu ibunya menjalani toko pada akhir pekan.
“Kalau dulu sih paling bantu-bantu mamih di sana. Dan ketemu tetangga-tetangga, mereka baik banget. Suka dikasih permen, dikasih minuman makanan gitu kan. Sama makanan di sana juga enak-enak jadi wah, seru sih,” kata Selia.
Meski kini Glodok semakin sepi karena orang muda banyak pindah dan tidak mau meneruskan usaha orangtua mereka, menurut Selia mereka masih bisa ikut membangun Pecinan Glodok lewat cara-cara lain.
“Mungkin yang kayak jualan-jualan gitu, yang tradisi-tradisi mungkin orangtua mungkin lebih mengerti ya kalau menurut aku ya. Karena di Chinatown sendiri banyak budaya Tionghoa kayak jualan. Sekarang kan banyak tempelan dan snack, mungkin orang tua lebih ngerti gitu.”
Menurut Selia orang muda keturunan Tionghoa bisa memberikan ide-ide baru untuk mempromosikan pecinan, khususnya dengan memanfaatkan perkembangan teknologi digital untuk mempromosikan daerah pecinan itu.
“Orang muda kayaknya sekarang lebih ke online-online. Misalnya di Youtube atau video-video, kayak vlog atau enggak di reels gitu kan. Content-content seperti itu yang menarik. Aku pernah waktu itu ketemu vlog buatan influencer di YouTube, wah seru juga ya,” kata Selia.
Selain keinginannya untuk belajar Bahasa Mandarin, ia juga tertarik dengan mengembangkan usahanya sendiri di Indonesia usai lulus dari universitas.
“Aku juga tertarik sama dunia bisnis itu, makanya aku di China ambil jurusan Ekonomi dan Perdagangan. Jadi ambil jurusan itu pakai bahasa [pengantar] Chinese sekalian belajar bahasanya.”
Selia berharap ke depannya, semakin banyak orang muda yang tertarik melestarikan budaya mereka.
“Mungkin dari aku, ya tetap melestarikan budaya-budaya yang ada di Indonesia, salah satunya budaya Tionghoa di Indonesia.”
Jangan Jadi Kacang Lupa Kulit
Berkaca dari sejarah Glodok dan perkembangannya hingga sekarang, Andri berharap generasi-generasi muda tidak menjadi ‘kacang lupa kulit’. Yakni, mereka perlu melestarikan budaya dan tradisi mereka sebagai orang Indonesia dan juga orang etnis Tionghoa.
“Kami enggak suruh kamu kiblat ke China, bukan. Saya orang Indonesia, tapi karena saya ada keturunan [China] jadi saya juga enggak boleh lupa kulit. Tradisi kita jangan hilang, dikembangkan supaya negara lain melihat.”
Agar 1998 tak terulang lagi, Lalita mengatakan bahwa sikap saling menghargai dan terbuka satu sama lain tidak hanya merupakan pekerjaan rumah bagi warga keturunan Tionghoa saja, melainkan semua orang.
“Karena kalau zaman dulu kan kita masih dibilang minoritas. Ini harus berjalan dua arah, kita harus saling menghormati. Pada akhirnya, kita orang Indonesia, kita bukan China. Saya orang Indonesia, saya lahir disini juga, jangan bandingin-bandingin ras,” tegasnya.
Ara, pemandu wisata Jakarta Good Guide, bercerita tentang sambutan baik dari para warga Glodok setiap kali didatangi rombongannya.
“Orang-orang di sini udah welcome banget karena udah terbiasa. Apalagi JGG sekarang setiap hari ada rute Chinatown, jadi jangan kaget tadi banyak yang 'hah? ke sini lagi ya?' karena mukanya saya lagi-saya lagi. Jadi ya, nanti apalagi kalau udah masuk per-gang-gangan ya, mohon maaf nih kalau agak terkenal ya,” kata Ara sambil tertawa.
Menurut Ara, warga Glodok yang ia temui merasa senang karena ada yang memperkenalkan kultur mereka kepada turis mancanegara maupun domestik, terutama bagi orang muda yang semakin tertarik mengenal budaya dan sejarah lokal.
“Mereka menganggap mereka masih dipandang minoritas. Bagaimana caranya agar orang lain yang memperkenalkan biar enggak merasa mereka ini. 'Nih gue lho'. Tapi kan orang-orang kita yang mengenalkan ‘mereka di antara kita lho,’. Jadi mereka juga lebih terbuka sama kita dan kita juga bahagia banget melihat hal itu.”