Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.88.1
Konten Media Partner
Mengapa Banyak Warga Korsel dan Jepang Berpindah Keyakinan?
3 Juli 2024 14:19 WIB
Mengapa Banyak Warga Korsel dan Jepang Berpindah Keyakinan?
"Joon" dibesarkan di keluarga Kristen di Korea Selatan. Namun seperti banyak orang di negara asalnya, keyakinannya sekarang sangat berbeda dengan yang ia anut sedari masih kecil.
Dia sekarang mengidentifikasi dirinya sebagai agnostik.
"Saya tidak tahu apa yang ada di luar sana. Tuhan mungkin ada, atau mungkin juga bukan Tuhan - sesuatu yang supranatural," katanya melalui telepon dari Seoul.
Orang tua Joon masih merupakan penganut Kristen yang taat. Joon mengatakan bahwa kedua orang tuanya akan merasakan "kesedihan yang mendalam" jika mengetahui bahwa dirinya tidak lagi menjadi penganut agama.
Ia tidak ingin mengecewakan orangtuanya, jadi ia meminta untuk menggunakan nama samaran.
Pengalaman Joon mencerminkan temuan dari sebuah studi terbaru dari lembaga penelitian Amerika Serikat, Pew Research Center. Penelitiannya menunjukkan negara-negara di Asia Timur memiliki warga dengan tingkat tertinggi di dunia yang keluar dan berpindah agama.
Lebih dari 10.000 orang ditanyai tentang keyakinan mereka, dan banyak yang mengatakan bahwa mereka sekarang memiliki identitas agama yang berbeda dengan agama yang mereka anut saat dibesarkan.
Hong Kong dan Korea Selatan menduduki peringkat teratas, dengan 53% responden di masing-masing negara mengatakan bahwa mereka telah mengubah agama mereka, termasuk benar-benar meninggalkan agama.
Di Taiwan, 42% orang telah berpindah agama dan di Jepang sebanyak 32%.
Bandingkan dengan survei tahun 2017 di Eropa. Di benua ini, tidak satu pun negara yang punya tingkat perpindahan agama melebihi 40%.
Adapun di Amerika Serikat, data tahun lalu menunjukkan hanya 28% orang dewasa yang mengaku tidak lagi mengidentifikasi diri mereka dengan agama yang mereka anut sewaktu kanak-kanak.
Bagi Joon, perubahan dalam pandangannya terjadi setelah dirinya meninggalkan rumah orang tua dan terpapar ide-ide baru. Saat dia masih kanak-kanak, keluarganya "bangun setiap pagi sekitar pukul 6 pagi, dan semua orang akan membaca dan berbagi ayat-ayat Alkitab."
Setiap pagi "seperti sebuah kebaktian kecil", katanya.
Joon meninggalkan rumah orang tua pada usia 19 tahun dan mulai pergi ke salah satu gereja terbesar di Seoul - sebuah gereja dengan ribuan jemaat. Gereja tersebut memiliki penafsiran Alkitab yang sangat literal, misalnya menolak teori evolusi.
Hal ini tidak sesuai dengan teori ilmiah yang telah dipelajari Joon. Pandangan dunianya pun berubah dengan cara berbeda.
"Saya pikir agama Kristen memiliki pengertian yang sangat jelas tentang hitam dan putih, benar atau salah. Namun setelah mengamati masyarakat, dan bertemu dengan orang-orang dari latar belakang yang berbeda, saya mulai berpikir bahwa dunia ini terdiri dari banyak zona abu-abu."
Joon mengatakan bahwa sekitar separuh dari teman-temannya tidak lagi percaya dengan keyakinan yang mereka anut saat kanak-kanak, terutama mereka yang dibesarkan sebagai orang Kristen.
Dan bukan hanya agama Kristen yang kehilangan penganut. Sebanyak 20% orang yang dibesarkan sebagai penganut agama Buddha kini telah meninggalkan agama tersebut. Di Hong Kong dan Jepang, jumlahnya mencapai 17%.
Sebagian orang di wilayah ini memilih untuk memeluk agama baru. Di Korea Selatan, misalnya, agama Kristen mengalami peningkatan penganut sebesar 12%, sedangkan agama Buddha mengalami peningkatan pengikut sebesar 5%. Di Hong Kong, agama Kristen dan Buddha masing-masing mengalami kenaikan penganut sebesar 9% dan 4%.
Namun, kelompok terbesar di antara mereka yang mengubah identitas agama adalah orang-orang yang tidak memeluk agama apa pun. Jumlahnya di negara-negara Asia Timur lebih tinggi daripada di belahan dunia lainnya.
Sebanyak 37% orang di Hong Kong dan 35% orang di Korea Selatan mengatakan bahwa ini merupakan proses pencarian mereka, dibandingkan dengan 30% di Norwegia atau 20% di Amerika Serikat.
Bagaimanapun, terlepas dari apa yang tampak seperti peningkatan sekularisasi, sejumlah besar orang di seluruh wilayah ini mengatakan bahwa mereka masih mengambil bagian dalam ritual dan praktik spiritual.
Di semua negara yang disurvei, lebih dari separuh orang yang tidak memeluk agama, mengatakan telah mengambil bagian dalam ritual untuk menghormati nenek moyang mereka dalam 12 bulan terakhir. Dan sebagian besar orang yang disurvei di seluruh wilayah mengatakan bahwa mereka percaya pada Tuhan/Dewa-dewa atau makhluk gaib.
Semua ini tidak mengejutkan bagi Dr Se-Woong Koo, yang merupakan seorang ahli studi agama. Berbicara kepada BBC dari Seoul, ia mengatakan bahwa kemampuan untuk mengambil bagian dari agama-agama yang berbeda selaras dengan sejarah wilayah tersebut.
"Secara historis, di Asia Timur tidak terlalu fokus pada apa yang bisa disebut sebagai identitas agama yang eksklusif. Jika Anda seorang penganut Tao, bukan berarti Anda tidak bisa menjadi penganut Buddha pada saat yang sama, atau penganut Konghucu. Batas-batas ini jauh lebih tidak jelas sebagaimana di Barat."
Barulah pada abad ke-19, setelah terjadi peningkatan interaksi dengan orang-orang Barat, konsep agama seperti yang kita pahami saat ini dibawa ke Asia Timur. Namun, kemampuan untuk memiliki berbagai identitas dan tradisi adalah sesuatu yang tidak pernah benar-benar hilang di wilayah ini, kata Dr Koo.
Dia juga melihat hal tersebut di rumahnya sendiri. Dr Koo mengatakan bahwa ibunya telah berpindah agama dalam beberapa kesempatan.
"Akhir pekan lalu dia mendaftar sebagai anggota Gereja Katolik di daerah kami. Dan saya yakin dia akan pergi ke sana pada hari Minggu."
Tapi kemudian, ibunya mengatakan kepadanya bahwa dia sebenarnya "pergi ke sesi penyembuhan doa" di sebuah gereja Injili setempat.
Dr Koo bertanya, "apa yang terjadi dengan Gereja Katolik, ibu?" Dia berkata bahwa yang dia butuhkan pada saat itu adalah "kesembuhan yang lebih dari apa pun".
Ibunya "ingin pergi ke Gereja Katolik karena dia dulunya adalah seorang Katolik.
Tetapi entah bagaimana, ketika harus menerima jenis intervensi fisik tertentu yang dia yakini dibutuhkan, dia pergi ke tradisi lain."