Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengapa Gizi Buruk Masih Menghantui Asmat? - Cerita dari Kampung Terpencil di Pedalaman Papua Selatan
5 Agustus 2024 8:50 WIB
Mengapa Gizi Buruk Masih Menghantui Asmat? - Cerita dari Kampung Terpencil di Pedalaman Papua Selatan
Masalah gizi buruk dan wabah campak di pedalaman Asmat, Papua Selatan, yang terjadi pada akhir 2017 dan awal 2018, terus menghantui hingga kini. Upaya menangani persoalan kesehatan ibu-anak di wilayah tersebut masih menghadapi tantangan dan kendala.
Tujuh tahun lalu, sedikitnya 75 orang – utamanya anak-anak – meninggal dunia di sana. Kasus ini menyedot keprihatinan dan kemarahan yang meluas.
Publik nasional dan internasional dipaksa memelototkan matanya ke wilayah selatan Papua yang berbatasan dengan Laut Arafuru, utamanya di pedalaman yang sebagian terisolasi. Pemerintah Indonesia bahkan menetapkannya sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB).
Foto-foto menyedihkan bocah dengan tulang menonjol dengan tatapan mata menahan perih yang dimuat harian nasional Kompas pada hari-hari itu, menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan banyak orang untuk terlibat.
Lalu, setelah tragedi itu terungkap ke permukaan, berduyun-duyun langkah mitigasi dilakukan.
Lantas janji-janji perbaikan agar peristiwa memalukan itu dapat ditekan dan tak terulang lagi pun dibuat. Langkah-langkah konkret pun dilakukan.
Memang sudah ada komitmen dan semacam upaya untuk melakukan perubahan seperti yang dijanjikan setelah krisis kesehatan di Asmat itu.
Kucuran Dana Otonomi Khusus Papua yang mengalir sampai ke kampung-kampung adalah buktinya.
Belum lagi berbagai kebijakan di atas kertas yang mengutamakan kepada kebutuhan dan cara pandang Orang Asli Papua (OAP).
Kemudian muncul harapan bahwa masalah-masalah seputar kesehatan ibu dan anak di wilayah itu dapat diatasi.
Tetapi enam atau tujuh tahun kemudian temuan kami di liputan mendalam BBC News Indonesia dan The Gecko Project memperlihatkan masih ada sejumlah persoalan belum teratasi.
Salah satunya, kami masih menemukan kasus-kasus gizi buruk di sebagian pedalaman Kabupaten Asmat.
Tidak sampai di situ. Sejumlah persoalan yang dulu dianggap sebagai faktor penyebab meledaknya kasus gizi buruk dan wabah campak masih kami jumpai.
Selama sepekan dimulai akhir Oktober 2023, saya dan videografer Dwiki Marta kembali melakukan perjalanan ke Asmat untuk melakukan liputan mendalam yang tertunda setelah kami diusir dari sana tujuh tahun silam.
Liputan ini kami bagi dalam empat tulisan dan ini adalah bagian pertama.
Pada tulisan pertama, kami memaparkan kesaksian seorang uskup dan cerita pilu seorang ibu yang kehilangan dua anaknya dalam krisis kesehatan tujuh tahun lalu.
Kami juga menyoroti harapan warga di kawasan terisolasi yang kesulitan mengakses layanan kesehatan.
Di bagian akhir seri satu ini, kami beberkan bahwa wilayah Asmat masih menghadapi masalah stunting atau tengkes.
Dua tahun lalu data Kementerian Kesehatan menyebut prevalensi balita stunting di Asmat tertinggi di tanah Papua.
Inilah kisahnya:
Wajah Mina sesekali terlihat terang dan seringkali gelap dalam temaram cahaya kekuning-kuningan yang memantul di dinding dari nyala tungku api di belakangnya.
Rumah Mina, yang terletak di kampung Atat di Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua Selatan, memang belum dialiri listrik.
Pada Kamis, 26 Oktober 2023 lalu, saat kami mulai melakukan wawancara di rumahnya, langit sore berangsur-angsur berganti jingga.
Lalu semua kemudian berubah gelap. Lampu sorot kamera akhirnya dihidupkan agar dapat merekam wajahnya.
Untuk menuju rumah perempuan berusia awal 30 tahunan di kampung Atat, kami diantar Pastor Pius Apriyanto Bria dan beberapa orang koleganya.
Dari kampung As, kami harus melalui jalan kecil yang terbuat dari papan kayu. Sekitar satu meter di bawah kami adalah rawa-rawa yang saat itu kering.
Sebagian papan kayunya rusak, berlubang, sehingga kami mesti hati-hati saat melangkah.
Kampung As dan Atat dipisahkan sungai kecil berwarna kecoklatan yang siangnya dijadikan lokasi bermain anak-anak.
Mereka berloncatan dari jembatan kayu dan mandi di sana. Dalam perjalanan, kami melewati rumah-rumah beratap seng warna biru yang dibangun oleh pemerintah.
Dinding dan alasnya terbuat dari kayu. Ada papan kecil di pasang di dindingnya. Ada tulisan:
Rumah kayu bantuan Dana Desa T.A 2021.
Pembangunan rumah masyarakat Tipe 45.
101 juta.
Di sepanjang jalan ada pula rumah yang sepertinya dibangun sendiri oleh warga.
Terbuat dari kayu, ada di antaranya tanpa jendela dan beratap daun sagu atau nipah. Saya tidak tahu apakah bangunan sederhana itu untuk ditempati atau semacam rumah adat.
Dan, setelah berjalan sekitar setengah jam, sampailah kami di rumah Mina.
Ada teras di depannya dan berpagar kayu. Di atas pintu dan jendela ada lubang angin.
Kami lantas disambut tuan rumah dan masuk ke dalam rumah yang dindingnya tanpa hiasan atau ornamen apa pun, kecuali noda kehitaman pada sebagian dindingnya – bekas senderan kepala.
Rumah Mina yang dibangun dari guyuran Dana Otonomi Khusus memiliki setidaknya dua kamar.
Di bagian belakang ada ruangan agak luas, mirip dapur, dan agak di pojokan dipasang tungku dengan api yang menyala.
Di dekatnya ada ceret alumunium sedikit penyok yang digantung.
Tidak jauh dari sana tergantung gulungan kain kelambu yang sepertinya merupakan bantuan pemerintah untuk mencegah gigitan nyamuk. Ada pula ember dan jeriken plastik di dekat perapian.
Dihampari kulit kayu sebagai alas, kami duduk di atas papan kayu nan ringkih yang saat kami berjalan di atasnya akan mengeluarkan bunyi ‘kriek, kriek…’ Kaki videografer kami sempat terperosok usai wawancara.
Mina, sang tuan rumah, duduk bersila di depan perapian itu, seperti diminta videografer kami guna pengambilan gambar.
Pastor Yanto dan beberapa rekannya duduk bersandar di samping. Sejumlah anggota keluarga Mina ikut bergabung dan duduk membelakangi kami.
Mengenakan kaos berkerah motif garis putih-ungu yang kusam dan celana pendek gelap, Mina lebih sering menatap wajah saudara-saudaranya saat wawancara ketimbang melihat saya.
Agaknya merekalah yang menjadi harapan Mina ketika dia kesulitan menemukan kata dalam bahasa Indonesia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kami.
Di awal wawancara, ketika langit di atas kampung itu belum berubah gelap, sesekali menyelinap suara teriakan dan gelak tawa anak-anak yang bermain di depan atau sekitar rumahnya.
Semuanya berubah tatkala senja datang dan kegelapan merayap hingga ke ruangan belakang.
Samar-samar bebunyian serangga dari rawa-rawa dan pepohonan di belakang rumah Mina perlahan-lahan menggantikannya.
Keheningan terasa sekali di ruangan itu ketika pertanyaan kami akhirnya menyinggung apa yang terjadi pada Mina enam atau tujuh tahun silam, ketika percakapan kami membahas kematian dua anaknya akibat wabah campak dan gizi buruk.
Waktu berlalu. Tapi tujuh tahun bukan waktu yang panjang untuk dapat melupakannya begitu saja.
“Rangka, rangka,” Mina mencoba menggambarkan kondisi dua anaknya yang tinggal tulang dibalut kulit menjelang kematiannya.
“Dia punya tulang saja. Habis.”
Selama wawancara, Mina seringkali memberikan jawaban pendek-pendek berupa dua atau tiga kata.
Ketika dia kesulitan berbahasa Indonesia, dua orang saudaranya membantu dengan menerjemahkan pertanyaan kami dalam bahasa setempat.
Mereka kemudian menjawabnya dalam bahasa Indonesia di hadapan kami.
Dua anaknya yang meninggal bernama Antonia Damari dan Erman Sawaipik. Saya menimpali dengan bertanya: berapa usia anak kedua saat meninggal?
“Kecil sekali.”
Jawaban lebih detil disampaikan saudara-saudaranya, tapi masih diwarnai keraguan. Usianya antara dua bulan dan empat bulan, kata mereka.
Tak berapa lama kemudian muncul satu orang keluarganya yang masuk ruangan seraya menggendong anak balita yang tiba-tiba menangis.
“Seperti yang itu [usianya],” celetuk saudara Mina lainnya seraya menunjuk sang balita yang merengek itu.
Adapun anak pertama yang meninggal berusia kira-kira lima, enam atau tujuh tahun.
Mina dan saudara-saudaranya memberikan jawaban berbeda.
Diperkirakan dua anak malang itu terkena campak dan dirawat seadanya setidaknya selama sebulan di rumahnya.
Mengapa tidak dibawa ke puskesmas? Tanya saya.
Kali ini Mina yang menjawab langsung. ”Orang tidak bantu saya. Saya menderita.”
Agak lama terdiam. ”Tidak ada perahu.”
Keluarga Mina tidak memiliki perahu motor untuk membawa dua anaknya yang sakit keras.
Pun jika diberi pinjaman perahu motor oleh tetangga, mereka tak punya uang untuk membeli bahan bakar minyak.
Mereka akhirnya mendapat pinjaman uang. Mereka lantas membawanya ke puskesmas di Nakai, pusat dari Distrik Pulau Tiga, yang jarak perjalanannya bisa tiga atau empat jam dengan perahu motor bermesin kecil.
Namun nyawa dua anaknya itu akhirnya tak tertolong.
“Itu yang tadi kakak [Mina] bilang setengah mati [untuk dapat pinjaman perahu motor dan membeli minyaknya]. Jadi serahkan anak ke Tuhan, begitu,” adik Mina yang bernama Lori menjelaskan kepada kami.
'Ada pria menangis sambil memangku anaknya yang meninggal'
Uskup Aloysius Murwito berencana merayakan Natal bersama masyarakat di Kampung As dan Atat, Asmat, Papua Selatan. Kejadiannya tujuh tahun silam, persisnya 25 Desember 2017.
Dua kampung itu terletak di Distrik Pulau Tiga, kira-kira dua jam perjalanan dengan perahu motor bermesin besar dari ibu kota Kabupaten Asmat, Agats, tempat sang uskup tinggal dan bertugas.
Memang satu-satunya cara menuju ke sana adalah naik perahu karena sungai adalah urat nadi penting di wilayah itu.
Tidak ada jalan darat, kecuali Anda harus berjalan kaki melalui hutan lebat dan rawa-rawa nan luas.
Saban tahun Uskup Murwito – Uskup di Keuskupan Agats – memilih merayakan Natal bersama masyarakat di pedalaman wilayah itu. Dia tentu memiliki harapan Natal tahun itu bakal lebih khidmat.
Tetapi pemandangan yang dia lihat sendiri pada hari itu di depan gereja di kampung itu, akhirnya, membuat perayaan Natal hari itu terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
Tidak lama setelah perahu motor yang ditumpanginya berlabuh di kawasan terisolasi itu, mata pria kelahiran 1950 ini tak bisa berpaling dari kehadiran beberapa ibu tengah menggendong anak-anaknya yang kurus, perut buncit, dengan rambut kemerahan.
Kondisi fisik ibu-ibu itu juga membuatnya dibekap duka.
“Saya pilu,” ungkap Uskup Murwito saat kami temui di ruangan kerjanya di Kota Agats, Selasa, 31Oktober 2023 silam.
Tujuh tahun kemudian ingatan Murwito terhadap kenyataan di hadapannya seperti tak beranjak dari pikirannya. Itulah yang kemudian dia ceritakan kepada kami pada malam itu.
Ini adalah pertemuan kedua kami. Pada awal 2018, saya dan videografer Dwiki Marta bertemu dengannya di ruangan yang sama, juga pada malam hari.
Saat itu kami tengah meliput wabah campak dan gizi buruk di sana tetapi harus pulang lebih cepat.
Jarum jam di dinding ruangan kerja uskup Murwito terus bergerak ke kanan, tetapi waktu seperti membeku malam itu.
Rentang tujuh tahun setelah wabah mematikan itu seperti baru saja terjadi kemarin. Setidaknya itu yang menjejali pikiran saya.
“Semakin pilu rasanya karena saat itu ada keluarga-keluarga yang anaknya meninggal,” ungkap pria kelahiran 1950 ini.
Dia memang kemudian mendatangi beberapa rumah warga di sana.
Saat itulah Murwito menyaksikan suasana yang mungkin belum pernah dialaminya sejak dipilih pada 2002 sebagai uskup di wilayah itu: Seorang pria terisak memangku anaknya yang sudah meninggal.
“Ada tangisan-tangisan di sana,” suara perlahan uskup seperti beradu dengan nyanyian serangga di rawa-rawa kering di bawah ruangan kerjanya.
Seperti rumah-rumah lainnya di Asmat, kompleks keuskupan juga berdiri di rawa-rawa.
Uskup Murwito mengakui kampung itu dulu relatif terisolir.
“Sekolah juga tidak jalan, guru-guru kurang setia di tempat,” ungkapnya.
Di kampung itu hanya ada satu sekolah dasar.
Dia juga tidak memungkiri saat itu tidak ada pastor yang ditugaskan di sana.
Tidak diketahui apa alasannya, tetapi situasi seperti itu sangat dirasakan dampaknya oleh warga ketika serangan wabah campak dan gizi buruk itu.
Seorang guru sekaligus kepala sekolah Sekolah Dasar (SD) YPPK Santa Petrus Paulus di kampung itu, Doretheus Ohoiwutun, mengaku tidak adanya pelayanan pastor itu membuat warga seperti kehilangan sandaran.
Puncaknya ketika wabah campak dan gizi buruk itu menyerang.
“Saya dan dewan gereja saja selama satu dan dua tahun sendiri yang menangani umat di sini,” ungkap Pak Guru Theus.
Dia mengaku dirinya sempat menangis tatkala meyakinkan Uskup Murwito agar segera ditempatkan seorang pastor di kampung itu.
Barulah pada 2020 Keuskupan Agats menempatkan seorang pastor di sana.
Dan, seperti kelak tercatat dalam laporan resmi pemerintah Indonesia, ada 37 orang – utamanya anak-anak – di kampung itu yang meninggal akibat wabah campak dan gizi buruk.
Ini adalah jumlah terbesar di Kabupaten Asmat yang sampai Januari 2018 tercatat 71 orang meninggal.
Laporan-laporan menyebutkan kematian itu terjadi antara September 2017 hingga Januari 2018.
Kembali ke Uskup Murwito. Seperti berjanji pada dirinya sendiri, dia (“Sebagai gembala yang merasa bertanggungjawab terhadap umatnya,” ujarnya) kemudian mengabarkan apa yang dia saksikan di Kampung As dan Atat itu kepada para koleganya di keuskupan Agats.
Rupanya dari sinilah berita buruk itu terdengar dan lantas menyebar di mana-mana – hingga Jakarta.
Tetapi mungkin saja horor kematian di Kampung As dan Atat yang dikunjungi Uskup Murwito itu akan tergilas waktu dan terlupakan, serta barangkali pemerintah Indonesia akan menutup mata, jika surat kabar nasional Kompas saat itu tidak menjadikannya sebagai berita utama – lengkap dengan foto menyesakkan: bocah kecil yang sekarat akibat campak dalam gendongan orang tuanya.
Uskup Murwito menyadari dan memahami betapa penting kehadiran media massa dalam mengungkap apa yang terjadi di Asmat, kala itu.
“Berita itu menjadi besar dan menjadi ingatan bagi pemerintah daerah di sini yang bertanggungjawab atas masyarakatnya.”
Pemberitaan Harian Kompas itu kemudian menggelinding dan serempak diikuti media nasional lainnya dan media asing. Pemberitaan itu jelas saja dibaca para pejabat di Jakarta, termasuk Presiden Joko Widodo.
Dari sanalah kemudian terungkap pula bahwa wabah campak dan gizi buruk itu juga terjadi di distrik dan kampung-kampung lainnya di Asmat.
Setidaknya ditemukan kasus serupa di enam distrik dari belasan distrik yang ada di wilayah itu.
Dan, bisa ditebak, setelah diberitakan secara meluas, lalu melahirkan keprihatinan dan kemarahan, Jakarta kemudian menaruh perhatian besar yang ditandai penerapan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di Asmat.
Seluruh pihak terkait kemudian energinya seperti tersedot ke Asmat, utamanya di kawasan-kawasan pedalaman yang ditemukan wabah tersebut.
Lalu, seiring berbagai upaya digelar guna menanganinya, muncul berbagai pertanyaan kunci tentang faktor utama penyebab meledaknya wabah campak dan gizi buruk di wilayah itu.
Jawaban atas pertanyaan itu agaknya tergantung kepada siapa yang mengutarakannya.
Di mata pemerintah, utamanya Kementerian Kesehatan, telunjuk mereka mengarah kepada apa yang disebut sebagai “pola pikir dan budaya” masyarakat di pedalaman Asmat, selain faktor lainnya seperti pelayanan kesehatan dan sarana pendukungnya.
“Persoalannya itu klasik, dari dulu seperti itu,” kata Steven Langi, Kepala Bagian Kemasyarakatan Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat, kepada kami di Kota Agats, akhir Oktober 2023 lalu.
Di sini, Steven merujuk kepada apa yang disebutnya sebagai pola pikir dan kebudayaan warga di pedalaman Asmat terkait apa yang disebutnya sebagai kesadaran tentang pentingnya aspek kesehatan ibu dan anak.
Dia memberikan contoh, seperti yang terjadi pada 2017 dan 2018 lalu, wabah campak dan gizi buruk bisa terjadi, lantaran orang tua membawa anak-anaknya untuk pangkur sagu atau berburu di hutan.
Ketika anaknya sakit di hutan yang jaraknya jauh, mereka kesulitan untuk mendapatkan akses kesehatan, katanya.
Steven juga mengaku seringkali menemukan kasus saat program imunisasi digelar oleh puskesmas pembantu, misalnya, si anak tak pernah nongol untuk mendapatkan vaksin karena ikut keluarganya ke hutan.
“Pasti akan muncul ketika keluarga itu ke hutan, kemudian anaknya dibawa serta,” ujarnya.
Apa yang diutarakan Steven Langi tak jauh berbeda dengan temuan Kementerian Kesehatan yang diumumkan ke publik pada 18 Mei 2018 terkait latar belakang wabah campak dan gizi buruk di Asmat.
Ada beberapa faktor yang disebut sebagai musababnya, tetapi 40% adalah faktor lingkungan dan 30% faktor perilaku sosial budaya.
Sisanya, menurut Kemenkes, faktor pelayanan Kesehatan 20% dan genetika 10%.
Mereka lantas menyontohkan wabah campak di Asmat itu lantaran cakupan imunisasi lengkap sulit dilakukan.
Alasannya, anak-anak yang berusia enam bulan sudah dibawa ke hutan oleh orang tuanya.
“Sehingga sulit dijangkau petugas kesehatan,” demikian presentasi Kemenkes saat itu.
Adapun kasus gizi buruk, menurut Kemenkes, dilatari pola hidup bersih dan sehat masyarakat Asmat yang disebut tergolong rendah.
“Belum lagi ketersediaan air bersih yang minim.”
Sampai di sini masalahnya? Tidak. Steven Langi tak memungkiri persoalan lain yang melatari kasus tujuh tahun lalu di Asmat itu adalah masalah layanan kesehatan.
“Waktu KLB itu hanya ada 17 puskesmas di Asmat,” akunya seraya menambahkan saat ini sudah bertambah lima puskesmas di sana.
Kementerian Kesehatan mengamini adanya persoalan layanan kesehatan. Minimnya tenaga kesehatan profesional juga menjadi salah-satu kendala.
Belum lagi adanya kasus-kasus beberapa tenaga kesehatan yang absen atau tidak praktik di layanan kesehatan di pedalaman.
Sebelum bertemu Uskup Murwito malam itu, kami mendatangi Kampung As dan Kampung Atat di Distrik Pulau Tiga.
Di sanalah, tujuh tahun silam, setidaknya 37 orang (utamanya anak-anak) meninggal akibat campak dan gizi buruk.
Kami ingin mengetahui apa yang terjadi saat itu. Kami juga ingin mengorek informasi masalah apa saja yang dialami masyarakat di dua kampung itu ketika wabah menyerang.
Di kampung yang sepi itu kami menginap dua hari satu malam di rumah seorang pastor.
Di hari pertama, kami berjumpa pria murah senyum berkaos merah bernama Markus Situr.
Saat wabah mematikan itu, pria kelahiran 1955 ini adalah Kepala Kampung Atat. Dia juga pernah aktif di dewan gereja setempat.
Seperti kebanyakan warga di sana, tragedi itu masih melekat di pikirannya.
Apa penyebab kematian puluhan orang di sana sangat bergantung pada siapa yang akan bercerita kepada Anda.
Di awal cerita, Markus menyebut ada peristiwa “air besar” di kampungnya sebelum terjadi wabah campak. Mungkin yang dimaksud Markus adalah banjir besar.
“Ada air besar, air naik dari gunung, air dari laut, baku campur. Hujan, dingin. Akhirnya tanaman juga habis, tidak tumbuh dengan baik,” ungkapnya.
Kesaksian seperti ini juga diungkapkan Titus Bapmar, warga setempat dan anggota dewan gereja. Pria kelahiran 1976 ini pun mengaku wabah itu didahului banjir besar.
“Ini semua tenggelam, tanaman mati,” cerita Titus seraya menambahkan banjir besar seperti itu tak pernah dia alami sebelumnya.
“Tingginya lebih dari satu meter.”
Ihwal banjir besar ini tidak pernah ada dalam keterangan resmi pemerintah terkait wabah di sana.
Markus dan Titus bercerita warga mandi, minum, buang air kecil dan besar dari air banjir itu.
Mereka mengungkap saat itulah penyakit campak yang menular itu menyebar dengan cepat.
Lalu korban meninggal pun melonjak cepat dalam hitungan hari.
“Saya bilang, tiga sampai empat anak mati dalam satu hari,” ungkap Markus. Di Kampung As, kebanyakan yang meninggal adalah anak-anak.
Dengan berbagai keterbatasan dan kendala, sebagian orang tua di sana berupaya agar anaknya segera diobati dan sembuh.
Seperti yang disaksikan Markus dan Titus, keluarga-keluarga itu berupaya mendatangi puskesmas pembantu (pustu) di kampung itu, tetapi petugasnya sulit dijumpai.
“Waktu itu susternya jarang tinggal di sini,” kata Markus yang kemudian diamini oleh Titus.
Kesaksian dua orang ini membenarkan fakta bahwa faktor pelayanan kesehatan merupakan faktor kunci di balik wabah campak dan gizi buruk itu.
Bagi keluarga yang secara ekonomi mapan, persoalan minimnya layanan kesehatan itu relatif bisa diatasi.
Sebagian mereka segera membawa anaknya yang sakit itu ke puskesmas di distrik terdekat. Tentu saja, mereka harus merogoh kocek untuk membeli bensin dan menyewa perahu motor.
Titus termasuk yang beruntung. Salah-satu anaknya sembuh setelah diserang campak (“Badannya berbintik-bintik, badannya panas,” katanya). Dia kemudian membawa anaknya ke rumah sakit umum di Agats.
“Pulang-pergi sampai sehat, sudah bisa sekolah sekarang,” ungkap Titus. Ada beberapa cerita seperti ini, tetapi tidak sedikit cerita sebaliknya yang menyedihkan.
Markus teringat satu keluarga yang akhirnya terpaksa membawa anaknya dengan naik perahu dayung miliknya untuk menuju puskesmas terdekat di Distrik Sawa Erma.
Ini membutuhkan waktu berjam-jam jika dibanding naik perahu motor.
Keluarga itu tidak mampu menyewa perahu motor milik tetangganya. Atau sang pemilik perahu motor tidak mau meminjamkannya karena khawatir tertular campak.
“Ada yang mati di perjalanan,” Markus menceritakannya dengan mimik datar.
Kesaksian Markus ini membenarkan fakta bahwa akses ke layanan kesehatan ikut berkontribusi dalam wabah campak tujuh tahun silam itu.
Setelah terungkap ke publik, pihak keuskupan ikut terlibat menolong keluarga di Kampung As dan Atat yang anggotanya terserang campak dan gizi buruk.
Ini kata Markus dan Titus. Mereka membawanya dengan perahu motor tanpa dipungut biaya untuk dirawat di rumah sakit di Agats.
Ketika saya bertanya apakah bantuan yang akhirnya diberikan pemerintah itu terlambat?
“Terlambat!” kata Markus dan Titus nyaris berbarengan. Intonasi suara mereka terdengar sangat jelas.
'Kami harus bayar Rp500 ribu untuk sewa perahu motor ke puskesmas terdekat'
Dari sumbernya, sungai nan lebar ini bergerak tenang, dan nantinya akan bergabung dengan puluhan atau ratusan sungai lainnya yang kebanyakan lebarnya sempit, sehingga mungkin saja tidak diberi nama.
Dalam perjalanan menyusuri sungai dari Agats menuju Kampung As dan Atat di Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua Selatan, Kamis, 26 Oktober 2023 lalu, kami menumpang perahu motor (speed boat).
Ini adalah alat transportasi satu-satunya untuk bisa mencapai kampung-kampung yang dulu terisolasi.
Sering kali dengan kecepatan tinggi, kadang-kadang kami mengambang pelan di sungai sempit demi menghindari gelondongan kayu yang dapat membuat mesin perahu motor kami terganggu. Tapi kami tidak selalu berhasil.
“Glodak, glodak!” Tiba-tiba terdengar bunyi benturan. Sumber suara itu berasal dari mesin penggerak di belakang perahu motor kami yang terbuat dari serat fiber.
Kemudian, “klek, klek…”. Mesin perahu motor kami mati? Lalu sunyi, kecuali sisa-sisa suara ombak kecil di belakang, dan suara kami sendiri. “Ada apa?”
Baling-baling perahu patah? Bagaimana nasib kami nantinya? Apakah ada buaya di bawah perahu kami? Secara refleks saya pun melihat layar telepon genggam: Tidak ada sinyal. Sementara di kanan-kiri hutan bakau, dan tak ada manusia, selain kami berempat.
Cornelis, pengemudi kapal motor kami, memperlihatkan ketenangan.
Dibantu Redemtus Anggur, staf dari satu lembaga di bawah naungan Keuskupan Agats yang memandu kami, mereka berusaha menjauhkan perahu dari gelondongan kayu.
Tak berapa lama kemudian, perahu kami melaju kembali.
Duduk sebagai penumpang di atas perahu motor yang bergerak lincah memecah aliran sungai, membuat saya merasa kecil dibanding sosok Anggur dan pria di balik setir perahu motor itu.
Kedua pria asal Nusa Tenggara Timur (NTT) ini sudah mengenali sungai-sungai yang kami lalui pagi itu.
Anggur, misalnya, hafal nama-namanya. Dia menyebut Sungai Betz dan Fai yang lebarnya antara 200 dan 900 meter ketika perahu motor kami meraung-raung di atasnya.
Selama perjalanan itu, kami sesekali bertemu warga yang naik perahu dayung tradisional.
Hubungan masyarakat Asmat dengan sungai memang amatlah dekat.
Sungai-sungai itu merupakan sumber kehidupan warga di sana, sehingga tidak mengherankan kebanyakan mereka mendirikan pemukimannya di tepi sungai.
Mereka juga meyakini sungai-sungai itu memiliki jiwa dan tempat roh melakukan perjalanan menuju keabadian.
Saya kemudian teringat satu nasihat yang disampaikan seorang warga Agats. Ini terjadi sebelum kami melakukan perjalanan ke Distrik Pulau Tiga.
Begini kira-kira nasihatnya: Saya diminta mengurai dan menaburkan satu bungkus rokok linting dan satu benda lainnya ke sungai saat kami melewatinya.
Tujuannya? “Agar perjalanan kalian selamat sampai tujuan,” ujarnya. Saya kemudian menuruti nasihatnya.
Namun sejujurnya, saya justru merasa dimanjakan dengan menumpang perahu motor dengan ukuran mesin (85 PK) yang dapat melaju kencang.
Keberadaan mesin tempel itu dapat memangkas perjalanan yang biasanya memakan tiga atau empat jam menjadi sekitar dua jam.
Tapi ini perjalanan mahal dan sangat mungkin tidak terjangkau secara ekonomi oleh sebagian warga di pedalaman Asmat yang sangat tergantung kehadiran sarana perahu motor.
Dua kali melakukan perjalanan ke Asmat dalam rentang tujuh tahun terakhir, saya sering mendengarkan semacam ratapan massal tentang masalah itu.
Pada awal 2018, ketika ada wabah campak dan gizi buruk di Asmat, lanskap geografi wilayah itu disimpulkan salah satu kendala dalam pelayanan kesehatan terutama di pedalaman. Biaya transportasi air yang tinggi adalah pelatuknya.
Kini, tujuh tahun kemudian, ratapan seperti itu masih nyaring terdengar ketika kami mendatangi Kampung As dan Kampung Atat, akhir Oktober 2023.
Dua kampung ini terletak di Distrik Pulau Tiga yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Mimika dan Nduga.
Saat wabah campak dan gizi buruk menyerang dua kampung itu, setidaknya ada 34 anak meninggal dunia – jumlah terbesar jika dibanding korban meninggal di distrik lainnya.
“Di sini beda dengan Jakarta, karena [masyarakat di wilayah Asmat] gunakan trayek sungai, dan biayanya lebih mahal,” ungkap Archimedes Bafito, kelahiran 2000, kepada kami.
Alumni sekolah menengah atas (SMA) ini saya jumpai di rumah sederhana Pastor Pius Apriyanto Bria di Kampung As.
“Dan tidak semua warga punya speed boat.”
Archi – begitu sapaannya – sedang mengikuti tahap percobaan sebelum mengikuti semacam pendidikan untuk menjadi pastor. Dia membantu aktivitas pastor Yanto di sana.
Selain Archi, siang itu rumah pastor Yanto juga didatangi Titus Bapmar dan Markus Situr.
Yang disebut pertama adalah anggota gereja di kampung itu, dan kedua adalah eks kepala kampung. Mereka bercerita banyak betapa masyarakat sangat tergantung kepada moda transportasi perahu motor.
Di kampung As dan Atat setidaknya hanya ada dua atau tiga orang yang memiliki kendaraan itu, kata Markus.
Warga yang membutuhkannya disebutnya harus merogok kocek untuk menyewa.
Misalnya saja untuk menuju puskesmas terdekat di Distrik Sawa Erma, mereka harus menyediakan uang Rp500 ribu untuk sewa dan ongkos bahan bakar minyak (BBM).
“Ini yang mesin kecil, 15 PK,” kata Markus. Kalau mesinnya lebih besar, jatuhnya tentu saja lebih mahal.
Warga dua kampung itu selama ini lebih memilih ke puskesmas di Sawa Erma. Alasannya jaraknya lebih dekat ketimbang ke puskesmas Nakai, ibu kota Distrik Pulau Tiga.
Tentu saja Markus, Titus atau Archi harus mengeluarkan ongkos lebih banyak jika hendak berobat ke rumah sakit umum daerah (RSUD) di Kota Agats.
Perahu motor dengan mesin yang lebih kecil dipatok Rp1 juta. “Kalau PK-nya besar bisa sampai Rp2 juta.”
Untuk mendapatkan uang Rp1 juta itu bukan soal sepele bagi warga di dua kampung itu.
Titus mengaku “harus berpikir banyak atau harus kerja berat dulu” untuk mendapatkan duit sebesar itu dalam sehari.
“Tak mungkin sepertinya, saya tidak punya gaji. Saya sehari saja tidak pasti dapat Rp20 ribu, Rp 50ribu, apalagi Rp1 juta,” aku Titus yang selama ini menggantungkan hidupnya kepada aktivitas pangkur sagu, berburu, dan mencari ikan.
Titus lalu teringat ketika anaknya sakit tidak lama setelah wabah campak pada akhir 2017.
Dia kalang kabut kesulitan mencari pinjaman perahu motor untuk membawa anaknya yang mengalami gizi buruk ke puskesmas terdekat.
Beruntung bidan satu-satunya di kampung itu meminjamkan perahu motornya – jika perahu motor milik Dinas Kesehatan itu rusak, tentu lain lagi ceritanya. (Selengkapnya baca kisah bidan Mama Sina dalam artikel seri kedua, terbit Selasa, 6 Agustus 2024).
Tapi tidak semua warga Kampung As dan Atat bernasib baik seperti Titus.
Lodi, seorang warga Kampung Atat, tidak bisa menguburkan anaknya di kampungnya karena tidak punya uang untuk membayar sewa perahu motor.
Anak lelakinya – belum genap satu tahun – meninggal akibat diare parah tidak lama sebelum kami bertemu di rumah keluarga besarnya, awal Oktober tahun lalu.
“Dia meninggal di Puskesmas Sawa Erma,” ungkapnya kepada kami.
Lodi adalah adik Mina, warga Kampung Atat yang kehilangan dua anaknya akibat wabah campak dan gizi buruk pada 2017-2018.
Ketika pria kelahiran 1999 ini hendak membawa jenazah sang anak ke rumahnya, dia dihadapkan masalah pelik. Dia tak punya sepeser uang pun untuk membayar BBM perahu motor yang akan disewanya. Dia harus menyediakan uang sekitar Rp200 ribu untuk beli 10 liter bensin.
Merasa frustasi, Lodi sempat bersitegang dengan pemilik perahu, tetapi tetap tidak ada titik temu. Dia menyerah.
Akhirnya… “kita simpan [kubur anak saya] di sana [Distrik Sawa Erma].”
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, Lodi memangkur sagu dan berburu di hutan serta mencari ikan di sungai pada waktu tertentu saja.
Kembali lagi ke Titus Bapmar dan Markus Situr. Apa yang bisa Anda lakukan ketika ada anggota keluarga sakit tapi Anda tak punya duit untuk menyewa perahu motor? Tanya saya.
“Itu harus lewat kepala kampung atau pastor,“ aku Titus. Artinya dia harus meminjam uang atau perahu motor dari dua orang itu.
Markus mengamini. Dia tidak memungkiri bahwa sebagian warga meminta bantuan Pak Guru Theus – kepala sekolah di satu-satunya sekolah dasar di Kampung As dan Atat.
Namun paling sering mereka meminta pertolongan Pastor Yanto, walau terkadang tidak bisa dituruti karena alasan tertentu.
Dan mereka tak melulu pinjam uang, terkadang masyarakat meminjam bensin atau meminta obat-obatan. (“Saya ada stok obat dari Jakarta, seperti Paracetamol, tapi stoknya terbatas,” Pastor Yanto menimpali seraya menambahkan hal itu dilakukan warga setelah bidan satu-satunya di sana mengaku kehabisan obat).
Dan, jangan kaget, tidak semua pemilik perahu motor secara enteng hati mau menyewakannya.
Ini biasanya terjadi apabila sang calon penyewa mau membawa anggota keluarganya yang sakit. Jadi tidak semata soal kecocokan harga, kata Markus.
“Kalau seandainya saya mau bantu, saya takut anak ini punya sakit, [penyakit] dia pindah ke anak atau cucu saya. Ini tidak boleh, pamali,” ujarnya.
Pemerintah Kabupaten Asmat dan pemerintah pusat di Jakarta bukannya tidak menyadari masalah geografi Asmat yang sulit ini, walaupun kemudian disadari pula bahwa itu membutuhkan anggaran yang tak sedikit.
Tetapi alasan yang terakhir ini sepertinya tidak lagi relevan setelah wabah campak dan gizi buruk 2018 di wilayah itu membuat elite di Papua dan Jakarta dipaksa untuk mencari jalan keluarnya.
Dan saya teringat pernyataan seorang pejabat pemerintah pusat ketika wilayah di selatan Papua itu menjadi sorotan setelah wabah campak dan gizi buruk 2017-2018.
Alangkah idealnya jika ada puskesmas keliling yang dapat menjangkau kampung-kampung yang sulit, kata sang pejabat.
Sebelum berangkat ke Asmat, saya sudah mendapatkan informasi bahwa pemerintah setempat mengeklaim sudah rutin menggelar puskesmas keliling ke kampung-kampung.
Tugasnya: melayani imunisasi hingga pemeriksaan dan pengobatan gratis.
“Petugas puskesmas kita rutin melaksanakan pusling,” kata Bupati Asmat, Elisa Kambu, awal pekan kedua Juli 2024. Program ini diklaim digelar dua bulan sekali.
Prevalensi balita stunting di Asmat tertinggi di Papua - 'Ada kesenjangan'
Ketika kami melakukan liputan ke Kabupaten Asmat, Papua Selatan, akhir Oktober 2023 lalu, wilayah itu memiliki prevalensi balita stunting tertinggi di Papua pada 2022.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 oleh Kementerian Kesehatan menyebutkan angka prevalensi balita stunting di Kabupaten Asmat mencapai 54,5%.
Angka tersebut melonjak 16,4 poin persentase dari tahun sebelumnya yang sebesar 38,1%.
Di urutan berikutnya ada Kabupaten Yahukimo dengan prevalensi balita stunting 53,3%, diikuti Kabupaten Nduga di peringkat ketiga sebesar 50,2%.
Adapun Kabupaten Deiyai memiliki prevalensi balita stunting terendah di Papua, yakni 13,4% diikuti Kabupaten Nabire dengan 17,1%.
Dinas Kesehatan Kabupaten Asmat sempat memasalahkan metode pengambilan sample penelitian SSGI itu, kata Steven Langi, kepala bidang kesehatan masyarakat Dinkes Asmat.
Temuan itu berbeda dengan data hasil penelitian Dinkes Kabupaten Asmat.
“Data kami, kita mencapai 18% pada 2022,” kata Steven Langi kepada BBC News Indonesia, akhir Oktober 2023 lalu.
Jika memakai data milik Dinkes Asmat, prevalensi balita stunting di wilayah itu pada 2022 “berada paling rendah [prevalensi balita stunting] di lima besar [di Papua]”, sebut Steven.
Terlepas dari perbedaan data tersebut, SSGI Kementerian Kesehatan menyebutkan, prevalensi balita stunting di Provinsi Papua mencapai 34,6% pada 2022, tertinggi di skala nasional setelah NTT dan Sulawesi Barat.
Di wilayah Papua, prevalensi balita stunting 2022 meningkat 5,1 poin persentase dari tahun sebelumnya. Pada 2021, angkanya sebesar 29,5%.
Pada 2022, Papua memiliki 16 kabupaten/kota dengan prevalensi balita stunting di atas rata-rata angka provinsi, sedangkan 13 kabupaten/kota lainnya di bawah rata-rata.
“Kalau kita lihat angka stuntingnya pun masih di atas angka nasional. Begitu juga angka wasting,” kata pengamat gizi dari Universitas Cenderawasih, Jayapura, Sarni Ramte Allo Bela, kepada kami, awal November 2023 silam.
Wasting adalah gizi kurang dan gizi buruk yang ditandai berat badan anak yang terlalu rendah bila dibandingkan tinggi badannya.
Adapun stunting atau tengkes ditandai tinggi badan anak yang lebih pendek dari standar usianya.
“Keduanya juga saling mempengaruhi dan saling memperburuk satu sama lain,” ungkap kelompok informal profesional lintas disiplin yang memiliki kepedulian pada isu pangan dan gizi ini.
“Anak dengan wasting memiliki resiko tiga kali besar mengalami stunting dibandingkan dengan anak izi normal,” jelas JPGI.
Anak dengan gizi buruk memiliki daya tahan tubuh yang lebih rendah. Mereka juga memiliki resiko tinggi mengalami infeksi. “Bahkan kematian,” tandas Jaring Pangan dan Gizi Indonesia.
Pada 2023, hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Kementerian Kesehatan mengungkapkan prevalensi stunting balita di Indonesia mengalami penurunan dari 21,6% (SSGI 2022) menjadi 21,5%.
Penurunan prevalensi stunting ini berturut-turut terjadi selama 10 tahun terakhir (2013-2023).
“Tetapi ini masih jauh dari target nasional yang 14%,” kata Ketua Umum Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Dedi Supratman, awal Februari 2024 lalu .
“Angka ini juga di atas rekomendasi WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) sebesar 20%,” tambahnya.
Dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024, 38 provinsi di Indonesia, sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi stunting di bawah angka nasional.
Tiga provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Papua Tengah (39,4%), Nusa Tenggara Timur (37,9%) dan Papua Pegunungan (37,3%).
Saat ini, menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Ascobat Gani, tren tengkes di Indonesia memang mengalami penurunan, tetapi terjadi kesenjangan.
“Masih banyak daerah yang stuntingnya tinggi, seperti NTT dan Papua ,” kata Ascobat, awal Februari 2024.
Dia menilai program penurunan tengkes sudah banyak, tetapi yang diabaikan adalah penguatan sistem.
“Bagaimana masalah stunting yang sudah masuk RPJMN [Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional] ini bisa diterjemahkan sampai RPJM desa,” ujarnya.
Supaya dari hulu sampai hilir ada komitmen, tandas Ascobat.
Ini adalah tulisan pertama dari empat tulisan dalam liputan khusus 'Asmat setelah tujuh tahun wabah campak dan gizi buruk'.
Seri kedua dari liputan ini, Cerita bidan Mama Sina berjibaku sendirian melayani kesehatan di pedalaman Asmat Papua - 'Kami butuh puskesmas di kampung ini', bisa Anda simak di situs BBC News Indonesia Selasa, 6 Agustus.