Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-Cita Penyatuan Korut dengan Korsel?
22 Desember 2024 12:30 WIB
Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-Cita Penyatuan Korut dengan Korsel?
Kim Jong-un mengumumkan pergeseran ideologis terbesar dalam 77 tahun sejarah Korea Utara.
Reunifikasi dua negara di Semenanjung Korea merupakan tujuan utama Korea Utara yang didirikan Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, pada tahun 1947.
Cita-cita satu Korea, di bawah Kim Jong-un, sekarang sudah ditinggalkan sepenuhnya. Dan pengabaian ini bukan sekadar penurunan prioritas seperti yang sebelumnya terjadi.
Dalam deklarasinya, Kim Jong-Un menyebut reunifikasi tidak lagi menjadi tujuan negara komunis itu. Dia mengatakan Korea Selatan telah menjadi "musuh utama".
Julukan ini sebelumnya hanya ditujukan terhadap Amerika Serikat.
Kim Jong-un tidak berhenti di deklarasi itu saja.
Dia membongkar badan dialog dan kerja sama antar-Korea, menghancurkan Gapura Reunifikasi yang menjadi simbol, serta menghancurkan jalan dan rel kereta api yang dirancang untuk menghubungkan kedua negara ketika mereka menjadi satu.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Istilah reunifikasi, atau tongil dalam bahasa Korea, juga dihapus dari surat kabar dan buku pelajaran sekolah.
Kata itu bahkan dihapus dari satu stasiun kereta bawah tanah di Pyongyang—namanya diganti menjadi Moranbong.
Semua ini terjadi di tengah ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan.
Sebelumnya, meski fase konflik dan fase pemulihan hubungan terjadi silih berganti dalam beberapa dekade terakhir, kedua Korea tidak pernah sekalipun mempertanyakan tujuan suci reunifikasi.
Jadi, ada apa di balik perubahan paradigma Kim yang radikal?
Pentingnya reunifikasi
Semenanjung Korea, dan rakyat Korea, telah terbagi menjadi Utara dan Selatan selama hampir delapan dekade.
Barangkali 80 tahun terlihat seperti waktu yang lama.
Akan tetapi, periode ini relatif sebentar jika dibandingkan dengan masa bersatunya wilayah Korea selama lebih dari 12 abad di bawah dinasti dan kekaisaran yang berbeda dari tahun 668 hingga 1945.
Ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet memecah belah Korea setelah Perang Dunia II—Utara yang komunis dan Selatan yang kapitalis—pemisahan Korea dipandang sebagai anomali sejarah yang harus diperbaiki sesegera mungkin.
Kim Il-sung, pendiri Korea Utara dan kakek dari pemimpin saat ini, mencoba melakukannya dengan kekerasan dan hampir berhasil ketika ia menginvasi Korea Selatan pada tahun 1950.
"Kim memberikan banyak tekanan kepada Stalin dan Mao untuk mengizinkannya menginvasi Korea Selatan hingga berhasil pada 1950, dengan tujuan utama untuk mencapai reunifikasi sesuai keinginannya dengan mengambil alih kendali atas Korea Selatan," jelas akademisi Sung-Yoon Lee, profesor kajian Korea di Wilson Center di Washington DC, kepada BBC Mundo.
Akan tetapi, Perang Korea (1950-1953) menewaskan lebih dari dua juta orang di kedua belah pihak. Hal ini kemudian mengkonsolidasikan pembagian Korea.
Gencatan senjata yang mengakhiri konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak pernah dilanjutkan dengan perjanjian damai.
Secara teknis, Korea Utara dan Selatan masih dalam keadaan perang dan dipisahkan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang hampir tidak dapat dilewati.
Baca juga:
Sejak itu, dua sistem yang tidak dapat didamaikan mempertahankan cita-cita yang sama: penyatuan kembali alias reunifikasi.
Di Korea Selatan, Pasal 4 Konstitusi 1948 yang masih berlaku hingga saat ini menetapkan tujuan "penyatuan kembali bangsa di bawah prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi yang damai."
Di sisi lain, Korea Utara, mengusulkan "penyatuan kembali bangsa berdasarkan kemerdekaan, unifikasi damai dan persatuan nasional yang besar," menurut Pasal 9 Konstitusi mereka.
Konstitusi mereka juga menyebutkan "kemenangan sosialisme" sebagai tujuan.
Penyatuan kembali secara damai atau dipaksakan?
Akan tetapi, bagaimana caranya agar negara dan rakyat Korea dapat bersatu kembali?
Di sinilah kedua negara berbeda pendapat—masing-masing ingin melakukan reunifikasi dengan caranya sendiri.
Di Korea Selatan, dengan jumlah penduduk dua kali lipat lebih banyak dari Korea Utara dan PDB hampir 60 kali lebih besar menurut data pada 2023, pilihan yang paling banyak diminati dalam beberapa dekade terakhir adalah model Jerman: menyerap tetangganya di bawah sistem pasar bebas yang demokratis.
Adapun Pyongyang secara tradisi berkeinginan untuk menerapkan sosialisme di seluruh semenanjung.
Sejak 1980-an, mereka juga sempat mengajukan gagasan tentang negara konfederasi tunggal dengan dua sistem, seperti China dan Hong Kong.
Penyatuan kembali secara damai dengan koeksistensi dua sistem merupakan tujuan yang dinyatakan dalam deklarasi bersama yang ditandatangani pada Juni 2000.
Pemimpin Korea Utara saat itu, Kim Jong-il (ayah Kim Jong-un) dan Kim Dae-jung dari Korea Selatan menandatangani deklarasi bersejarah tersebut.
Tahun demi tahun berlalu dan deklarasi menjelma menjadi surat mati.
"Penyatuan secara paksa, tidak peduli berapa banyak nyawa yang hilang, selalu menjadi tujuan nasional tertinggi rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-un," kata Profesor Lee.
Cendekiawan dari Wilson Center ini meyakini bahwa, pada intinya, "metodologi prioritas Pyongyang selalu menjadi 'model Vietnam', yaitu memaksa Amerika Serikat untuk meninggalkan Korea Selatan melalui kombinasi kekuatan dan diplomasi."
Kim Jong-un telah menyerukan agar Konstitusi Korea Utara diamandemen untuk menghapus referensi tentang reunifikasi dan menyebut Korea Selatan sebagai "negara yang tidak bersahabat".
Hal ini menandai pergeseran ideologi yang mengejutkan di negara komunis tersebut sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dicari oleh pemimpin Korea Utara.
Kami menganalisis berbagai hipotesis yang mencoba menjawabnya.
Apa motif Kim?
Kim mengaitkan pergeseran ideologinya dengan "provokasi" yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Beberapa bentuk "provokasi" yang dimaksud antara lain memperkuat kerja sama dengan Jepang, membentuk grup untuk melakukan koordinasi menanggapi serangan nuklir, atau memperluas Komando PBB.
Akan tetapi, ketegangan di semenanjung Korea—bahkan yang lebih serius—sudah sering terjadi dalam beberapa dekade terakhir.
Baru kali ini Korea Utara mempertimbangkan untuk meninggalkan cita-cita reunifikasi.
Mengapa hal ini bisa terjadi?
Bagi Ellen Kim, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, "rezim Korea Utara tidak lagi menginginkan reunifikasi khususnya demi mempertahankan sistemnya sendiri."
"Mereka khawatir akan popularitas film, musik, dan serial televisi Korea Selatan di kalangan generasi muda di Korea Utara," kata akademisi tersebut kepada BBC Mundo.
Dia menjelaskan bahwa "dengan semakin banyaknya informasi yang dikirim ke Korea Utara dari luar, meningkatnya kesadaran publik akan kemakmuran ekonomi Korea Selatan dan seluruh dunia kemungkinan akan membuat kepemimpinan Kim Jong-un dipertanyakan."
"Cara yang paling efektif bagi rezim untuk membuat warga Korea Utara berbalik melawan Korea Selatan adalah dengan menjadikan Korea Selatan sebagai musuh utama," paparnya.
Christopher Green, seorang konsultan untuk semenanjung Korea di lembaga wadah pemikir International Crisis Group (ICG), menyatakan pendapat yang sama: Kim Jong-un mencoba untuk mengekang "pengaruh budaya dan politik Korea Selatan yang semakin besar" terhadap penduduk Korea Utara.
"Selama 30 tahun terakhir, budaya pop Korea Selatan—sebagian besar K-pop, opera sabun dan film—menerobos masuk ke Korea Utara dan menantang kontrol rezim atas aliran informasi."
"Pyongyang sudah berupaya menghalangi agar konten semacam itu tidak masuk ke perbatasannya, tetapi mereka tidak begitu berhasil," jelasnya dalam sebuah kolom yang diterbitkan di situs web ICG.
Baca juga:
Green menggarisbawahi bahwa Kim sebelumnya sudah memperberat hukuman bagi yang menjual atau mengonsumsi konten asing sejak 2020.
"Langkah baru Kim merupakan cerminan institusional dari tren yang telah berkembang selama beberapa tahun terakhir," ujar pakar itu.
Dia menambahkan bahwa langkah ini bertujuan untuk "melestarikan narasi yang melegitimasi rezim dan mempertahankan kontrol ideologis."
Rezim Korea Utara "unggul tidak hanya dari segi provokasi yang diperhitungkan terhadap AS dan Korea Selatan, atau dalam mencuci otak penduduknya, tetapi juga dalam manipulasi psikologis rakyat Korea Selatan," kata akademisi tersebut.
Dia menambahkan bahwa "gagasan untuk meninggalkan reunifikasi damai menciptakan ketegangan politik dan sosial di Korea Selatan".
"Tidak ada alasan untuk percaya bahwa Kim Jong-un benar-benar putus asa dalam keinginannya merebut wilayah Korea Selatan dan rakyatnya secara paksa," ujar Lee.
Pakar ini juga percaya bahwa dengan memandang negara Korea Selatan sebagai "musuh", pemimpin komunis itu berada dalam posisi yang lebih nyaman untuk membenarkan tindakan permusuhan.
"Mulai dari menerbangkan balon berisi tinja ke arah Selatan hingga mengirim pasukan tempur ke Rusia untuk memerangi Ukraina, atau terus-menerus mengancam untuk 'memusnahkan' Korea Selatan," ujarnya.
Sebuah momen penting
Bagaimanapun, pergeseran ideologi Kim terjadi pada saat yang krusial di panggung regional dan internasional.
Korea Utara dan Rusia telah menunjukkan pemulihan hubungan terdekat mereka sejak Perang Dingin, dengan Pyongyang memasok senjata—sesuatu yang bertentangan dengan sanksi internasional yang juga disetujui Moskow pada saat itu—dan masuknya pasukannya ke dalam konflik di Ukraina.
Ditambah lagi dengan ketidakpastian seputar pergantian pemerintahan di Washington setelah kemenangan Donald Trump pada November, yang pada masa jabatan sebelumnya menjadi presiden AS pertama yang bertemu dengan pemimpin Korea Utara.
Di sisi lain, rezim Kim Jong-un, terus memperkuat teknologi dan persenjataan militernya dalam beberapa tahun terakhir dengan rudal dan hulu ledak nuklir yang semakin banyak, kuat, dan canggih.
Menurut para ahli, semua ini adalah bagian dari strategi pemimpin Korea Utara untuk memperkuat posisinya di panggung internasional, mencari sekutu strategis yang memungkinkannya untuk melawan tekanan Barat dan memproyeksikan pengaruhnya di luar semenanjung Korea.