Konten Media Partner

Mengapa Partai Ummat Gaungkan 'Politik Identitas'?

22 Februari 2023 7:40 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Mengapa Partai Ummat Gaungkan 'Politik Identitas'?

Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi saat ditemui di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, saat menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-1 Partai Ummat, Senin (13/2)
zoom-in-whitePerbesar
Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi saat ditemui di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, saat menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) ke-1 Partai Ummat, Senin (13/2)
Sejumlah pengamat politik memperingatkan bahaya yang dapat muncul jika politik identitas dimanfaatkan dalam pemilihan presiden yang akan datang. Namun, Partai Ummat - pimpinan politikus Amien Rais - menyatakan pilihannya menggunakan identitas keagamaan dalam Pemilu 2024, karena dunia politik tidak dapat dipisahkan dari agama.
Pengamat politik Yunarto Wijaya menilai politik identitas yang sifatnya mengkapitalisasi perbedaan di tengah masyarakat untuk kepentingan politik, berpotensi membahayakan pemilu.
“Apapun penggunaan-penggunaan simbol identitas menurut saya itu akan menurunkan kualitas dari pemilu dan berpotensi memecah belah,” ujar Yunarto kepada BBC News Indonesia pada Selasa (21/2).
Juru bicara DPP Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, menyangkal hal tersebut.
Ia mengatakan bahwa selama ini, istilah politik identitas sering disalahartikan oleh sejumlah pihak demi menyudutkan partai-partai yang secara terang-terangan menggunakan politik identitas.
“Saya duga keras [mereka] sengaja dihembuskan dengan narasi sesat, sehingga menyebabkan masyarakat ikut salah jalan.
"Menyebabkan kebencian ada di mana-mana. Politik Identitas sengaja dipakai untuk menakut-nakuti orang Islam dalam berpolitik,” jelas Mustofa.
Pada Senin (13/2), Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi, menyatakan bahwa Partai Ummat secara terang-terangan menyatakan bahwa mereka akan menggunakan politik identitas dalam menghadapi Pemilu 2024.
“Kita akan secara lantang mengatakan, 'Ya, kami Partai Ummat, dan kami adalah politik identitas'," kata Ridho kepada media.
Menurut Ridho, tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah. Oleh karena itu, ia merasa agama dan politik perlu disatukan.
"Kita akan jelaskan tanpa moralitas agama, politik akan kehilangan arah dan terjebak dalam moralitas yang relatif dan etika yang situasional.
"Ini adalah proyek besar sekularisme, yang menghendaki agama dipisah dari semua sendi kehidupan, termasuk politik," kata dia.
Menanggapi pengakuan Partai Ummat yang menyebut diri mereka politik identitas, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan pihaknya akan memberi teguran keras untuk partai tersebut.
"Kami akan tegur yang bersangkutan kalau ngomong seperti itu, kita punya keprihatinan bersama, kita punya concern bersama untuk tidak menggunakan politisasi identitas," kata Rahmat Bagja kepada wartawan, Senin (20/2).

Apa itu politik identitas?

Segerombolan ibu-ibu berkumpul di markas kampanye calon Presiden Prabowo Subianto pada 5 Juli 2014 di Jakarta, Indonesia.
Dosen ilmu politik dari Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengatakan politik identitas adalah upaya yang dilakukan para politisi untuk memanfaatkan identitas tertentu untuk memperoleh keuntungan politik.
Identitas yang dimaksud dalam hal ini dapat mencakup ras, suku, agama, jenis kelamin, atau aspek lainnya yang terikat pada identitas
“Karena pemilih kita kalau disurvei itu punya kecenderungan dia akan lebih memilih atas dasar kedekatan emosional. Karena sama-sama berasal dari suatu etnis yang sama, afiliasi kelompok yang sama, ormas yang sama misalkan. Sehingga kapan pun itu bisa terjadi di setiap even politik,“ ujar Aditya kepada BBC News Indonesia pada Selasa (21/2).
Menurut dia, politik identitas paling sering muncul menjelang ajang pemilihan Presiden.
“Karena para politisi itu ketika memanfaatkan identitas, dia punya ekspektasi nanti suaranya akan banyak, atau dapat pergeseran suara dari kandidat lain,” katanya.
Sementara, Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, mengatakan bibit-bibit politik identitas merupakan sesuatu yang memang ada di masyarakat negara manapun, bukan hanya di Indonesia.
“Kalau kita bicara Amerika Serikat sebagian pendukung Trump juga menggunakan politik identitas itu. White Supremacy, atau Anglo-saxon Protestan misalnya. Atau pada saat Jair Bolsonaro maju di Brazil itu juga terjadi pada skala tertentu,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa di sejumlah negara-negara Eropa dan juga Australia, adapun partai-partai politik yang secara terbuka mengedepankan warga ras kulit putih atau yang disebut dengan White Supremacy.
Menurut dia, kampanye politik seperti itu berbahaya karena berpotensi memecah-belah masyarakat yang terlalu mudah terbawa emosi dan sentimen identitas pribadi mereka.
“Akhirnya perbedaan itu akhirnya bisa berakibat pada konflik. Karena ketika berbicara mengenai pertarungan politik itu kan berbicara mengenai perebutan kekuasaan yang sifatnya konfliktual,” kata Yunarto.

Mengapa ada partai yang menggunakan politik identitas dalam berkampanye?

Lebih lanjut pengamat politik, Yunarto Wijaya, mengatakan Pemilu Presiden 2014 dan Pemilu 2019 dan khususnya Pilkada DKI, tidak dapat dilepaskan dari penggunaan politik identitas yang kemudian membelah kelompok satu dengan kelompok yang lain.
“Dalam Pilpres dua kali kemarin, termasuk dalam Pilkada DKI itu juga terjadi [politik identitas] pada skala yang kemudian bisa dikatakan menjadi perguncingan dan bahkan pembicaraan di dunia internasional,“ ujar Yunarto
Politik identitas muncul semakin kuat sejak Pilpres 2014 dan Pilkada DKI Jakarta pada 2017, namun tampil semakin gamblang di Pilpres 2019.
Dalam pemilihan presiden 2019, misalnya tercermin untuk panggilan "cebong" bagi pendukung calon presiden Joko Widodo dan "kampret" untuk pendukung Prabowo Subianto.
Yunarto menilai fenomena tersebut semakin terlihat dengan perkembangan era digital yang membuat masyarakat semakin mudah terpapar politik identitas.
“Yang menarik adalah belakangan ketika kita berbicara dalam fenomena politik modern, terutama setelah munculnya era sosmed, era digital, politik identitas ini kemudian menjadi sesuatu yang lebih berbahaya karena kemudian muncul dalam informasi-informasi hoaks,“ katanya.
Sementara, sejak Anies Baswedan dicalonkan sebagai gubernur atau presiden, isu politik identitas terus mengiringinya. Mulai dari Pilkada DKI Jakarta hingga Pemilu 2024 yang akan datang.
Namun, Anies berulangkali membantah tudingan tersebut dengan mengatakan politik identitas hanyalah persepsi yang muncul tanpa bukti nyata, bukan sekadar ucapan.
"Jadi bagaimana persepsi itu terbentuk? Dengan kenyataan. Kami bertugas di Jakarta, tunjukkan, sesudah berjalan lima tahun, apakah ada bukti bahwa yang ditudingkan (politik Identitas) menemukan pembuktiannya?" kata dia berdasarkan laporan Kompas.com.
"Bila yang ditudingkan tidak menemukan pembuktiannya dan ternyata memang tidak ditemukan, maka semua pernyataan-pernyataan itu batal demi akal sehat kita semua," ucap Anies.
Meski begitu, salah satu partai yang mendukung Anies dalam Pemilu 2024, yakni Partai Ummat, mengaku akan menggunakan politik identitas dalam berkampanye.
Juru bicara Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, membantah bahwa politik identitas memiliki konotasi negatif seperti yang sudah dikatakan sejumlah pihak.
Sebab, menurutnya, hampir semua partai di Indonesia selama ini mempolitisasi identitas untuk menggaet massa. Hanya saja, dia mengklaim bahwa Partai Ummat adalah satu-satunya partai yang berani mengakui bahwa mereka menggunakan politik identitas dalam berkampanye.
“Kami lebih berani mengakui bahwa itulah bentuk-bentuk kampanye politik identitas yang justru akan kami pakai dalam menarik massa untuk bergabung dengan Partai Ummat.
“Sebagai negeri mayoritas memeluk Islam, maka akan kita ajak seluruh basis massa Partai Ummat untuk lebih mempelajari dan mempraktikkan nilai Islam jika Partai kami menang,” sebut Mustofa.
Pakar politik UI yang sekaligus mantan Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Aditya Perdana mengatakan bahwa Partai Ummat mengaku menggunakan pendekatan politik identitas, karena ingin memposisikan diri mereka berbeda dari partai-partai lain.
Lebih lanjut, katanya, Partai Ummat memposisikan diri sebagai partai yang identitasnya memang jelas partai muslim.
Tapi apakah kemudian nanti hal tersebut dapat menjadi ‘daya jual’ masih dipertanyakan, kata Aditya.
“Yang pasti dari sisi elektoral, mereka mungkin tidak mendapat dukungan secara baik, tidak populer. Karena kan isu yang berkembang itu di wacana politik-kan. Identitas itu kan sesuatu yang buruk, nah dia mau ngambil sisi yang beda. Mengambil bagian untuk mempolitisasi itu,“

Mengapa politik identitas mendapat penolakan?

Seorang perempuan ditinta jarinya setelah mencoblos saat pemungutan suara ulang karena masalah logistik dalam pemilihan umum di Banda Aceh pada 25 April 2019.
Pengamat politik Yunarto Wijaya mengatakan bahwa politik identitas berbahaya jika diterapkan dalam masyarakat Indonesia yang bersifat pluralisme.
Dan menurutnya, politik identitas itu pun tidak hanya berlaku pada kelompok mayoritas, tetapi juga bisa dilakukan kelompok minoritas.
“Misalnya ada yang menggunakan istilah misalnya partai Kristen, atau misalnya partai yang menyiratkan di adalah partainya kaum Tionghoa, itu juga menurut saya bagian dari politik identitas.
"Dan saya juga termasuk yang tidak setuju dengan pilihan-pilihan tersebut."
Ia menjelaskan bahwa apapun penggunaan-penggunaan simbol identitas akan berpotensi menurunkan kualitas dari pemilu dan memecah belah bangsa.
Penilaian serupa dengan Wakil Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Andy Budiman.
PSI selama ini dikenal berseberangan secara politik dengan Anies Baswedan.
Andy Budiman meyakini bahwa politik identitas memiliki potensi untuk melahirkan produk politik atau regulasi yang diskriminatif serta mendorong intoleransi politik.
“Kami mengingatkan kepada Partai Ummat bahwa Indonesia ini adalah sebuah negara yang plural, negara yang beragam yang didirikan di atas hasil perjuangan dari semua kelompok masyarakat penggunaan politik identitas itu menurut kami adalah sesuatu yang tidak tepat dan akan membuat demokrasi kita mundur,” tegas Andy.
Namun, Juru bicara Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, mengatakan bahwa masyarakat termakan oleh ‘narasi sesat’ yang memposisikan politik identitas sebagai hal yang buruk.
Padahal, menurutnya, persepsi negatif politik identitas hanya digunakan untuk menghalangi orang Islam dari berpolitik.
“Sehingga menyebabkan masyarakat ikut salah jalan. Menyebabkan kebencian ada di mana-mana. Politik identitas sengaja dipakai untuk menakut-nakuti orang Islam dalam berpolitik.
"Umat Islam ditakuti dengan isu politik identitas, di sisi lain para pencuri identitas dibiarkan gentayangan di mana-mana,“ ungkap Mustofa.
Menanggapi pengakuan Partai Ummat yang menyebut diri mereka politik identitas, Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, mengatakan pihaknya akan memberi teguran keras untuk partai tersebut.
"Kami akan tegur yang bersangkutan kalau ngomong seperti itu, kita punya keprihatinan bersama, kita punya concern bersama untuk tidak menggunakan politisasi identitas," kata Rahmat Bagja kepada wartawan, Senin (20/2).
Namun, Bagja tidak menjelaskan lebih lanjut langkah apa yang akan dilakukan usai teguran diberikan.
"Pertama teguran dulu, sekarang kan diingatkan teman-teman Partai Ummat," kata dia.
Oleh karena itu, Bagja mengimbau agar partai-partai tidak menggunakan politik identitas.
Menurut dia, Indonesia memiliki beragam agama, sehingga tidak patut mereka saling meniadakan.

Bagaimana masyarakat seharusnya menyikapi politik identitas?

Dosen ilmu politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, mengatakan salah satu cara yang dapat dilakukan masyarakat agar tidak terjebak politik identitas adalah dengan memfilter informasi.
“Tidak sembarangan informasi yang kemudian dibaca dan dishare. Apalagi itu punya kecenderungan yang berdampak pada perpecahan dan sebagainya. Karena nanti penyebaran informasi hoaks berita bohong segala macem itu,” ungkap Aditya.
Sementara, juru bicara Partai Ummat, Mustofa Nahrawardaya, menegaskan bahwa agama dan politik seharusnya tak terpisahkan. Oleh karena itu, sebagai partai politik yang mengedepankan nilai-nilai Islam, mereka akan membuat semua program dan tindakan mereka berdasarkan syariat Islam.
“Kader Partai Ummat tetap berperilaku sebagai Muslim, baik itu sebelum, selama, maupun setelah pemilu. Pemilu bukan pembatas kami dalam berperadaban, maupun beragama. Itulah politik identitas,” kata Mustofa.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia, Yunarto Wijaya, tak setuju dengan hal itu.
Menurut dia, sebaiknya masyarakat yang hendak memilih dalam pemilu menempatkan identitas mereka di belakang agar mereka dapat memilih tanpa pengaruh isu-isu primordial seperti ras maupun agama.
“Yang terpenting dalam pemilu adalah bagaimana kita kemudian mencari pemimpin yang terbaik. Gagasan terbaik, track record terbaik, yang tidak boleh ditutupi oleh sekadar kesamaan identitas kita.
“Karena pada akhirnya kalau itu yang terjadi, kita akan memiliki pemilu yang tidak berkualitas dan pemilih yang tidak berkualitas juga akan memilih pemimpin yang tidak berkualitas juga,” kata Yunarto.