Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengapa Seseorang Bisa Sangat Terdampak oleh Kematian Karakter Fiksi?
14 Oktober 2023 9:25 WIB
·
waktu baca 12 menitTrisha Husada
Wartawan BBC News Indonesia
Saat Olive melihat layar ponselnya, ia merasa seperti dunianya hancur sekejap. Karakter manga favoritnya, Gojo Satoru, telah meninggal dalam edisi terbaru manga Jujutsu Kaisen.
Olive, seorang guru sekolah swasta berusia 22 tahun, sempat tak bisa bereaksi sekalipun. Ia masih kesulitan memproses segala emosi yang ia rasakan saat itu.
“Saya terkejut, dan saya bertanya pada diri saya sendiri: 'apakah ini benar-benar reaksimu?' Saya belum sepenuhnya menerima bahwa Gojo meninggal karena saya juga marah,” ujar Olive, yang meminta agar namanya disamarkan.
Gojo Satoru merupakan salah satu penyihir terkuat – sekaligus karakter paling populer – dalam serial komik Jepang atau manga karya Gege Akutami. Dia adalah seorang guru di SMA Jujutsu Tokyo sekaligus sosok mentor bagi tokoh utama serial ini, yaitu Itadori Yuuji.
Dari segi fisik, Gojo Satoru adalah pria tinggi berambut putih, bermata biru berbinar-binar yang tinggal di Jepang. Ia menjaga negara tersebut agar tidak dikuasai oleh roh-roh terkutuk.
Olive pertama menyukainya saat melihat karakternya beraksi dalam serial anime buatan MAPPA Studio.
Setelah mendengar kabar kematian Gojo, Olive pergi ke musala bersama guru-guru lain. Ia mencoba berdoa sekaligus menenangkan hatinya yang bergejolak. Ia menangis diam-diam di musala itu.
“Saya benar-benar menangis dan saya tidak ingin melakukan apa pun. Tubuhku merasa seperti ingin shut down, tapi saya berusaha keras agar tetap tenang karena saat itu masih jam kerja,” katanya.
Olive mengaku kesulitan fokus bekerja dan sempat menelepon temannya yang menyukai manga itu juga. Ia mencari ruangan kosong agar ia dapat benar-benar melepas kesedihan yang ia rasakan.
Rekan-rekan kerjanya menjadi khawatir ketika melihat kondisi Olive. Saat ditanya mengapa ia menangis, Olive berusaha untuk menahan emosinya.
“Saya tidak memberi tahu mereka mengapa saya menangis. 'Itu hanya hal yang bodoh, tidak terlalu serius', kataku pada mereka. Meski rasanya seperti akhir dunia bagiku,“ ujar Olive.
Olive bukanlah satu-satunya orang yang merasa kehilangan. Ketika kabar kematian karakter Gojo viral di media sosial pada 19 September 2023, para penggemar Jujutsu Kaisen membanjiri media sosial dengan berbagai ucapan ‘duka cita’.
Bahkan di akun Instagram Presiden Joko Widodo, dalam gambar yang memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW, terdapat sosok pria yang menangis sambil memegang USB berupa karakter Gojo Satoru yang terbelah dua.
Di stasiun kereta bawah tanah di Cile, sebuah iklan yang mempromosikan Jujutsu Kaisen dan memampang wajah Gojo di dinding, telah berubah menjadi pojok untuk mengenang karakter itu.
Para penggemar Jujutsu Kaisen meninggalkan surat-surat cinta dan beberapa buket bunga di sekeliling iklan itu.
Mengapa seseorang bisa sedemikian sayang dengan karakter fiksi hingga meratapi kematiannya?
‘Dia seperti laki-laki idamanku’
Dua minggu setelah kematian Gojo Satoru, saya bertemu dengan Olive di sebuah kafe anime bertema Jujutsu Kaisen di Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Ia mengenakan busana serba hitam dan kacamata hitam bulat yang orang sering sebut kacamata John Lennon, personel the Beatles. Tetapi, bagi Olive, aksesoris itu adalah kacamata Gojo Satoru.
Setelah berpose di samping papan figura Gojo, Olive memesan minuman soda berwarna ungu yang diberi nama Gojo Satoru.
“Rasanya agak asam dan kurang manis, padahal Gojo suka banget segalanya yang manis,” kata Olive setelah mencicipi minuman itu.
Sulit dipercaya bahwa beberapa hari lalu, Olive sempat lemas dan terpuruk akibat kematian karakter yang mukanya menghias tembok-tembok kafe itu.
Wajahnya tampak berseri saat melihat kafe bernuansa Jujutsu Kaisen.
Saat ditanya bagaimana ia memandang Gojo Satoru, Olive menyebut Gojo bagaikan ‘calon tunangannya’.
“Dia seperti laki-laki idamanku. Dia memenuhi semua syarat pria idealku. Rasanya seperti sang penulis menciptakan sebuah karakter yang persis dengan tipe idealku,” ujar Olive.
Olive menggambarkan Gojo sebagai sosok yang keren, percaya diri dan serba bisa. Selain dijuluki ‘penyihir terkuat’, ia juga memiliki sisi bercanda yang jahil. Sifat-sifat itu membuat Olive mengagumi Gojo sekaligus mencintainya.
Meskipun ia paham betul bahwa Gojo merupakan karakter manga yang tidak nyata di dunia asli, tetapi Olive mengatakan perasaan yang ia miliki untuk Gojo tentu sangat nyata.
“Hanya karena orang lain menganggapnya tidak nyata, bukan berarti perasaan Anda tidak nyata. Anda tidak boleh membiarkan siapa pun menghakimi perasaan Anda pada karakter tertentu,” katanya.
Olive, yang sebelumnya pernah menyukai beberapa idola K-Pop dari berbagai grup, mengaku ada rasa aman yang ia miliki saat menyukai karakter fiksi ketimbang orang di dunia nyata. Sebab, Olive merasa karakter fiksi tidak mungkin mengecewakannya.
“Setiap kali saya mengalami sesuatu yang buruk, saya akan membayangkan apa yang akan dikatakan Gojo kepadaku, kata-kata bijak apa yang akan dia sampaikan kepadaku. Dia seperti sosok yang suportif dan membantuku melewati hari-hariku,” tutur Olive.
Psikolog Pendidikan dari Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya, Harini Tunjungsari, mengatakan orang yang menyukai karakter fiksi secara berlebihan dapat dikategorisasikan memiliki hubungan parasosial yang sudah sampai tingkat patologikal.
Hubungan parasosial merupakan hubungan imajiner sepihak yang dibentuk seseorang dengan sosok yang tidak mereka kenal secara pribadi.
“Identifikasi diri seseorang menjadi sangat besar terhadap tokoh karena dia terlalu banyak menitipkan harapan pribadinya pada karakter tersebut. Jadi nggak cuma sekadar hiburan saja bagi dia,” ungkap Harini.
Meski hubungan parasosial pada umumnya terjadi antara penggemar dengan selebritas, Harini mengatakan bahwa dengan karakter fiksi, ada potensi hubungan parasosial itu menjadi jauh lebih kuat dibandingkan dengan figur nyata.
“Walaupun kreatornya memberikan berbagai info tentang karakter tersebut, tetapi ruang imajinasi itu bisa lebih luas.
“Ruangan untuk berimajinasi lebih oleh orang patologikal itu semakin dicocok-cocokan dengan kebutuhan dia, jadi bisa menjadi sangat dalam ketika mengidentifikasi diri dengan tokoh ini,” ujar Harini.
Ia menyebut orang yang menyukai tokoh fiksi secara berlebihan seringkali memiliki kebutuhan dalam hidupnya yang kemudian dipenuhi oleh kehadiran karakter tersebut.
Sehingga ketika karakter itu kemudian mati dalam cerita fiksi, wajar jika sang penggemar merasakan kesedihan yang mendalam.
“Bagaimanapun, tokoh itu mengisi suatu kekosongan ruang dalam hatinya. Ketika hal yang mengisi kekosongan itu dicabut, dia akan merasa kehilangan,” jelas Harini.
Sosok Wolverine yang seperti ‘ayah kedua’
Hollyana Puteri Haryono, 23, masih mengingat momen ketika Wolverine, superhero favoritnya dalam serial X-Men, mati. Ia pergi ke bioskop bersama teman-teman SMA-nya untuk menonton film Logan yang rilis pada 2017 silam.
“Saya sudah tahu dia akan mati, karena dari trailer-nya kelihatan, karakter ini bakal mati. Dan sudah banyak muncul di internet. Jadi saya sudah menyiapkan batin,” kata Hollyana yang akrab disapa Holly.
Meski begitu, ia tak menyangka kematian karakter itu akan membekas, bahkan setelah film itu tamat. Seperti film produksi Marvel pada umumnya, Holly berharap ada adegan lanjutan atau post-credits scene yang dapat meyakinkan bahwa karakter favoritnya akan kembali.
Sayangnya, harapan Holly berujung kandas. Ia harus menerima kenyataan bahwa karakter yang sudah menemaninya sejak SMP tak akan muncul lagi.
“Saya marah-marah, karena sudah berharap [Wolverine] hidup lagi. Dia selama ini selalu bangkit lagi dan pulih, kenapa kali ini nggak balik lagi?!,” kata Holly dengan nada frustasi dan suara pecah.
Ia menggenggam gantungan kunci Wolverine dengan erat. Patung kecil itu merupakan hadiah dari mantan pacarnya. Sebelumnya, ia pernah menerima gantungan kunci serupa dari sahabat-sahabatnya, namun hiasan itu hilang setelah terjatuh dari tas.
Meskipun enam tahun sudah berlalu sejak kematian karakter yang diperankan Hugh Jackman itu, ketika Holly menonton ulang film Logan di laptopnya pekan lalu, ia tetap meneteskan air mata.
“Saya menangis lagi saat menonotn [film itu] sendirian, meskipun saya tahu endingnya tidak mungkin berubah. Dia nggak bakal hidup lagi di film itu,“ ujar Holly.
Berbeda dengan Olive, Holly memandang karakter Wolverine, yang bernama asli James “Logan“ Howlett, sebagai sosok ‘ayah kedua’.
Ia mengagumi Wolverine karena ia sangat setia pada orang-orang yang ia kasihi dan selalu berusaha untuk melindungi mereka.
Selain itu, alasan utama Holly menyukai Wolverine adalah sifatnya yang berbeda dengan pahlawan pada umumnya.
“Saya sebut dia anti-hero, karena dia menjaga apa yang dia punya. Dia tidak mau menolong orang lain kalau itu merugikan dia. Kalau superhero di Avengers kebanyakan self-less dan rela mati bagi orang lain, Wolverine tidak,” ungkap Holly.
Sifat anti-hero ini membuat Wolverine tampak semakin realistis di mata Holly. Wataknya serupa dengan manusia di dunia nyata yang tidak bisa sepenuhnya baik ataupun jahat.
“Stan Lee ketika membuat karakter ini, bagus sekali. Dan saya juga suka karakter-karakter lain di X-Men, banyak karakter yang bagus,” katanya.
Meski begitu, Holly mengaku kurang menyukai kedua film X-Men terbaru karena ketidakhadiran Wolverine yang membuat minatnya menurun.
Pengamat: Membunuh karakter populer dapat menjadi daya jual
Pengamat budaya populer serta dosen Ilmu Komunikasi dari Universitas Indonesia, Pranowo Tri Adhianto, mengatakan telah terjadi pergeseran dalam industri komik - baik itu komik superhero maupun manga. Khususnya dalam satu dekade terakhir.
Untuk komik Jepang khususnya, ia sebut genre shounen yang dulunya ditargetkan untuk pembaca anak laki-laki, kini sudah berkembang hingga menjadi bacaan orang dewasa.
“Kalau zaman dulu komik itu tema-nya persahabatan, membedakan baik dan buruk, dan lebih fokus ke visual. Kalau sekarang pembuat komik dan publisher sudah paham bahwa alur cerita itu nomor satu dalam komik,” kata Nowo kepada BBC News Indonesia.
Ia mengatakan para pembaca kini lebih menilai komik berdasarkan seberapa bagus penulisan ceritanya. Sehingga, ia menyebut komik zaman sekarang lebih menyerupai novel.
Karakter fiksi pun tidak lepas dari perkembangan gaya penulisan baru ini.
Pada intinya, Nowo mengatakan karakter fiksi adalah produk yang dipasarkan oleh industri hiburan kepada para penggemar. Sehingga, karakter tersebut harus diciptakan dengan sebaik-baiknya, hingga para penggemar ‘jatuh cinta’ kepadanya.
“Penulis sekarang sudah pintar membuat karakter yang relevan dan niche, seakan-akan bisa ada di dunia nyata. Sehingga cocok dengan karakter para fans,” ujar Nowo.
Meskipun sebuah karakter seperti Gojo Satoru atau Wolverine menjadi sangat populer di kalangan penggemar, Nowo sebut popularitas itu tidak akan menghambat sang pencipta dalam membunuhnya.
“Sebenci-bencinya orang dengan kematian Gojo Satoru, mereka enggak mungkin setop baca Jujutsu Kaisen. Komunitas penggemarnya tetap ada,” jelas Nowo.
Bahkan, kematian karakter populer bisa menjadi strategi pemasaran jitu, terutama di era media sosial. Nowo mengatakan kini industri komik sudah hampir setara dengan industri film Hollywood dalam hal pemasaran.
Film Logan (2017), yang disebut sebagai ‘terakhir kali’ Hugh Jackman akan berperan sebagai Wolverine, menjadi film rating R format IMAX paling laris kedua pada pekan rilisnya, dengan meraup untung US$440.9 juta dalam dua pekan awal rilis.
Bahkan, Logan berhasil melampaui seluruh pendapatan film The Wolverine (US$414,8 juta), film pertama dalam serial X-Men yang berfokus pada karakter yang diperankan Hugh Jackman.
Nowo mengatakan para pegiat industri komik sadar bahwa mereka harus berlomba-lomba untuk menangkap atensi publik yang berhadapan dengan ‘tsunami informasi’ berisi berbagai opsi hiburan, mulai dari gim hingga musik dan film.
“Bagaimana cara agar komik itu bisa menjadi topik pembicaraan dan meningkatkan exposure? Salah satu strateginya dengan membunuh karakter yang sangat populer dan dicintai,“ tuturnya.
Hal itu terbukti, sambungnya, ketika kematian Gojo Satoru kemudian mengangkat nama Jujutsu Kaisen di X, Instagram, dan TikTok lewat berbagai unggahan reaksi penggemar yang kesal dan meme kematian Gojo yang disebarluaskan.
Berdasarkan data penjualan Weekly Shounen Jump, Jujutsu Kaisen menjadi manga paling laris kedua di bawah One Piece dengan penjualan satu juta jilid terbarunya selama September 2023.
Dalam paruh pertama 2023, Jujutsu Kaisen menduduki peringkat empat dalam daftar manga shounen paling populer menurut Oricron, sebuah perusahaan Jepang yang terkenal akan grafik statistik penjualannya.
Sampai dengan akhir 2022, Jujutsu Kaisen memiliki pendapatan sekitar 14,8 miliar yen atau setara dengan Rp1,55 miliar.
“Ketika komik ini tamat, mereka [kreator dan perusahaan] tahu kematian Gojo akan tetap dibahas 10 tahun ke depan,” kata Nowo.
Psikolog: Harus bisa membedakan dunia imajinasi dan realita
Psikolog pendidikan, Harini Tunjungsari, mengatakan bahwa merasa sedih akibat kematian karakter fiksi sebetulnya wajar. Sebab, hal tersebut berarti sang kreator sukses dalam menciptakan tokoh yang dapat memikat hati para pembaca.
Namun, ia mengingatkan risiko dari menyukai karakter fiksi secara berlebihan. Salah satunya adalah membuat boros, tak hanya dari segi keuangan tetapi juga dari segi waktu dan energi.
Selain itu, orang-orang yang beralih ke dunia fiksi untuk memenuhi ekspektasi yang tidak bisa ia gapai di realita dapat dengan mudah membuatnya terjebak dalam dunia imajiner.
“Garisnya tipis sekali antara menghibur diri dengan masuk dunia imajinasi, padahal ada dunia realita yang harus dia jalani,“ ujar Harini.
Menurut Harini, dunia imajinasi dapat membuat seseorang terlalu nyaman dengan dunia yang ia ciptakan, sehingga lupa dengan dunia nyata.
Ia mengatakan mereka yang sering kabur ke dunia imajinasi memiliki potensi untuk tidak lagi menjadi orang yang cukup siap atau tangguh untuk menghadapi dunia nyata yang tidak sesuai dengan bayangan mereka.
“Karena untuk hidup di dunia itu butuh kekuatan mental tertentu untuk menerima hal-hal yang sebetulnya tidak kita senangi dan melampaui itu,“ tambahnya.
Agar tidak terlalu terjerumus dalam dunia fiksi, Harini mengatakan setiap orang perlu melakukan refleksi dari waktu ke waktu. Untuk menentukan arah hidupnya dan mengenal dirinya sendiri serta kebutuhan apa yang belum terpenuhi di dunia nyata.
Baca juga:
Sebab, kata Harini, dunia fiksi juga dapat mengecewakan kita. Contohnya, ketika sebuah karakter favorit mati dalam cerita.
“Mereka harus sadar pemegang kendali adalah kreatornya. Kita nggak pernah tahu kreatornya punya ide apa, jadi kita tidak bisa berbuat apa-apa,“ katanya.
Kembali ke Olive, dia mengaku sadar bahwa Gojo Satoru adalah karakter fiksi dalam serial manga favoritnya. Tetapi terkadang, ia juga perlu rehat dari kehidupan sehari-harinya yang cenderung membosankan dan stagnan.
“Saya perlu melepaskan diri dari kenyataan, saya perlu waktu istirahat. Siapa yang begitu menyukai kenyataan? Fiksi menjadi cara saya istirahat dari kenyataan,” ujar Olive.
Meski begitu, ia mampu membedakan realita dari fiksi. Salah satu caranya adalah dengan membatasi waktunya menghibur diri sekitar dua sampai tiga jam per hari. Sisanya, ia habiskan bersama keluarga dan teman-teman terdekatnya.
Untuk saat ini, ia sedang berhenti membaca menonton anime dan membaca manga Jujutsu Kaisen, sembari ia tetap berpegangan pada harapan bahwa suatu saat akan muncul kabar di media sosial tentang kembalinya Gojo Satoru dari alam baka.
“Saya masih percaya Gojo Satoru bisa hidup lagi. Karena perjalanan karakternya tidak mungkin selesai sampai sini saja,” tegas Olive dengan yakin.