Konten Media Partner

Mengapa Timur Tengah Penting bagi Amerika Serikat?

3 Juli 2024 14:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Mengapa Timur Tengah Penting bagi Amerika Serikat?

Jumlah pasukan AS di Timur Tengah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
zoom-in-whitePerbesar
Jumlah pasukan AS di Timur Tengah menurun drastis dalam beberapa tahun terakhir.
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Amerika Serikat begitu aktif di Timur Tengah selama beberapa dekade dan terlibat dalam berbagai rangkaian kejadian, mulai dari invasi ke Irak, memerangi kelompok ISIS, hingga pengiriman senjata ke Israel dan Arab Saudi.
Para ahli menyebut energi, jalur perdagangan, stabilitas geopolitik, kontraterorisme, dan aliansi abadi AS dengan Israel sebagai faktor-faktor yang mendorong keterlibatan AS di wilayah tersebut.
Jumlah pasukan AS di Timur Tengah telah menurun drastis dari puncaknya pada 2007, ketika terdapat sekitar 160.000 serdadu di Irak saja. Sekarang jumlahnya kurang dari 40.000 serdadu di wilayah yang membentang dari Mesir hingga Afghanistan yang tercakup di bawah kendali Komando Pusat militer AS.
Kini, pertanyaan apakah kehadiran AS di Timur Tengah harus dikurangi kini menjadi bahan perdebatan bagi para pengambil kebijakan di Washington DC.
Berikut ini tinjauan terhadap faktor-faktor yang tadi disebutkan:

Energi

Cadangan minyak dan gas alam yang besar di Timur Tengah, yang mencakup Arab Saudi, Iran, Irak, Kuwait dan Uni Emirat Arab, telah menjadi faktor utama yang membentuk kebijakan AS selama beberapa dekade.
Namun lonjakan produksi minyak dan gas dalam negeri AS selama 15 tahun terakhir, yang sebagian besar didorong oleh pertumbuhan gas serpih (shale gas), telah membuat negara tersebut tidak terlalu bergantung pada impor energi. AS kini merupakan pengekspor minyak bumi dan gas alam.
Meski demikian, pasar minyak global tetap saling berhubungan dan gangguan pasokan di Timur Tengah dapat berdampak signifikan terhadap harga minyak dan stabilitas ekonomi.
Selain itu, China, tidak seperti Amerika Serikat, sangat bergantung pada minyak dari Timur Tengah, kata Gilbert Achcar, seorang profesor hubungan internasional di School of Oriental and African Studies (SOAS) di London.
Artinya “pengendalian Timur Tengah memberikan Amerika Serikat pengaruh yang besar terhadap China,” katanya.
China masih mengandalkan minyak dari Timur Tengah, namun AS kini lebih banyak mengekspor ketimbang mengimpor.

Kepentingan ekonomi dan rute maritim

Timur Tengah adalah pasar penting bagi barang dan jasa Amerika, khususnya perangkat keras militer.
Wilayah ini menerima ekspor senjata AS terbanyak antara tahun 2019 dan 2023, menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm.
Lembaga kajian itu menyebut bahwa 38% ekspor senjata AS ditujukan ke Timur Tengah. Adapun Arab Saudi, Qatar, Kuwait, dan Israel adalah penerima terbesar ekspor tersebut.
Serangan kelompok Houthi telah mengganggu pelayaran di kawasan Timur Tengah.
Selain persenjataan, Timur Tengah sangat penting bagi perdagangan maritim global, kata Hugh Lovatt, pakar kawasan Timur Tengah di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR).
Perang di Gaza telah memicu serangan terhadap kapal-kapal yang berlayar di Laut Merah oleh kelompok pemberontak Houthi yang didukung Iran di Yaman.
Lebih dari 17.000 kapal melewati Laut Merah setiap tahun – diperkirakan sekitar 12% dari perdagangan global. Kapal-kapal ini mengangkut makanan, obat-obatan, bahan bakar dan barang-barang penting lainnya di seluruh dunia.
AS memutuskan untuk campur tangan. Bersama dengan Inggris, dan didukung oleh beberapa sekutu internasional, mereka menargetkan sejumlah lokasi kelompok Houthi pada bulan Januari dan Februari 2024.
Hal ini menunjukkan bahwa AS “terus memprioritaskan kebebasan navigasi melalui rute maritim global”, kata Lovatt.
Ia mengatakan Terusan Suez di Mesir dan Selat Hormuz yang sempit di lepas pantai Iran juga penting.
“Ini adalah jalur maritim global yang masih penting bagi perekonomian AS,” tambahnya.

Stabilitas geopolitik

AS berupaya melanggengkan pengaruh dan status negara adidaya di Timur Tengah, menurut sejumlah pakar.
Lokasi strategis Timur Tengah yang menghubungkan Eropa, Asia, dan Afrika sangat penting bagi perdagangan dan operasi militer AS.
Karena itu, terdapat pangkalan militer AS yang terletak di Bahrain, Qatar, dan Kuwait.
AS mempertahankan kehadirannya yang kuat untuk mencegah kekuatan tunggal mendominasi dan mengancam stabilitas, kata Merissa Khurma, direktur program Timur Tengah di The Wilson Center, sebuah lembaga kajian di Washington DC.
Ditilik dari sejarah, kepentingan AS di kawasan ini didorong oleh minyak dan keinginan untuk membendung ancaman komunisme, jelas Khurma. Namun kini, lebih dari itu. Dia menyebut bahwa AS berupaya mempertahankan pengaruh dan status negara adidayanya.
Kawasan ini “tetap menjadi arena utama persaingan kekuatan besar dengan China dan Rusia,” tambahnya.
Khurma juga mengatakan perang di Gaza adalah pengingat betapa bergejolaknya wilayah tersebut “terutama ketika Amerika Serikat tidak terlibat dan secara politik menarik diri dari penyelesaian konflik yang masih ada – khususnya konflik Palestina-Israel serta ekspansionisme militer Iran di wilayah tersebut” .

Kontraterorisme

Sejumlah pakar menilai kehadiran AS di Timur Tengah justru mendorong ekstremisme.
Kehadiran militer AS dalam beberapa dekade terakhir “sebagian merupakan respons terhadap meningkatnya ancaman teror di kawasan”, kata Khaled Elgindy dari Middle East Institute (MEI).
Namun hal ini juga menjadi “pendorong utama ekstremisme kekerasan”, tambahnya, sambil mencatat bahwa kelompok al-Qaeda menyebut kehadiran pasukan AS di Arab Saudi sebagai salah satu alasannya melakukan serangan 11 September 2001 di wilayah Amerika Serikat.
Meskipun sebagian besar upaya AS membongkar al-Qaeda terfokus pada Afghanistan dan Pakistan, upaya ini juga melibatkan aktivitas dan aliansi di Timur Tengah.
Baru-baru ini koalisi global yang didukung AS mendukung pasukan lokal untuk mengusir kelompok ISIS keluar dari wilayah Suriah dan Irak.
Pada tahun 2019, ketua kelompok tersebut, Abu Bakr al-Baghdadi, bunuh diri dalam serangan pasukan khusus AS di barat laut Suriah.
Selain itu, kawasan ini adalah rumah bagi beberapa kelompok lain yang digolongkan sebagai organisasi teroris oleh AS dan negara lain. Di antaranya termasuk Hamas dan Hezbollah.
Elgindy mengatakan kehadiran AS di wilayah tersebut telah menjadi “alat rekrutmen utama” bagi kelompok-kelompok seperti ISIS dan afiliasinya.
Natasha Hall, pakar Timur Tengah di lembaga kajian Pusat Studi Strategis dan Internasional di Washington DC, mengatakan: “Terorisme muncul karena tata kelola yang buruk, kurangnya penentuan nasib sendiri, dan persepsi tirani dan imperialisme di Timur Tengah.”
“Jadi, ketika Amerika Serikat mencoba menghilangkan gejala-gejala terorisme, hal itu tidak menyelesaikan permasalahan yang mendasarinya. Hal ini diperkirakan akan terus berlanjut dan melonjak,” tambahnya.

Israel

“Keamanan Israel telah menjadi prioritas utama Amerika selama 60 tahun terakhir,” kata Elgindy.
Hal ini sebagian didorong oleh kesamaan ideologi serta tekanan politik dalam negeri yang kuat terhadap para pemimpin AS untuk mendukung Israel.
Achcar dari SOAS mengatakan dukungan Washington yang terus-menerus terhadap Israel juga merupakan investasi “sangat efisien”, yang menjadikan Israel sebagai sekutu militer penting di wilayah tersebut.
Namun, AS telah memediasi kesepakatan perdamaian penting antara Israel dan negara-negara tetangganya, termasuk Mesir – dan yang terbaru adalah UEA dan Bahrain.
Elgindy mengatakan perang Israel-Hamas yang terjadi saat ini telah menarik AS ke dalam bentuk keterlibatan yang lebih langsung, seperti ketika AS mengirim kapal perang ke Mediterania timur setelah serangan Hamas pada 7 Oktober. Lalu ketika AS membantu menangkis serangan rudal Iran terhadap Israel pada bulan April.
Presiden Biden sejak lama merupakan penyokong Israel.
Dia menambahkan bahwa komitmen pribadi dan ideologis Biden terhadap Israel “bisa dibilang melampaui komitmen presiden AS mana pun dalam sejarah”. Hal ini, menurutnya, menjelaskan “kontradiksi dalam kebijakannya”.
“Meskipun terdapat perbedaan yang serius dan semakin besar antara AS dan Israel mengenai perilaku dan tujuan perang Gaza saat ini, pemerintahan Biden telah memberikan dukungan militer, politik, dan diplomatik yang hampir tidak terbatas untuk kampanye militer Israel di hampir setiap tahap,” katanya.
Hall mengatakan tingkat dukungan AS saat ini tidak mungkin berubah jika mantan Presiden Donald Trump kembali ke Gedung Putih.
Namun dia yakin dukungan AS terhadap Israel saat ini “akan menimbulkan dampak geopolitik yang sangat besar dalam beberapa tahun dan dekade mendatang” mengingat AS “ditantang lantaran mereka dianggap munafik”.

Apa selanjutnya?

Beberapa analis mengatakan pengurangan jumlah pasukan AS akan menciptakan kekosongan yang mungkin diisi oleh Rusia dan China.
Terdapat beragam pandangan mengenai seberapa besar AS harus terus memprioritaskan Timur Tengah.
Elgindy mengatakan dia tidak melihat AS akan keluar dari wilayah tersebut “dalam waktu dekat”.
Untuk melakukan hal ini diperlukan “semacam perubahan paradigma”, termasuk penilaian ulang terhadap hubungan AS-Israel, tambahnya.
Achcar mengatakan “keluarnya Amerika akan menciptakan kekosongan yang bisa diisi oleh China dan Rusia”.
Namun, menurutnya, karena warga AS kurang berminat Washington melakukan serangan di Timur Tengah, salah satu fokus AS di wilayah tersebut kini adalah mengembangkan kapasitasnya untuk peperangan jarak jauh, seperti drone dan rudal.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa AS harus menarik pasukannya dari Timur Tengah, seperti Kelly A Grieco, dari lembaga kajian Stimson Center di Washington DC.
Dia menilai penarikan mundur pasukan akan memungkinkan AS untuk mengalihkan sumber dayanya “ke tempat yang membutuhkannya, khususnya di Indo-Pasifik”.
Dia juga berpendapat bahwa intervensi AS telah memicu sentimen anti-Amerika di Timur Tengah. Apalagi, menurutnya, dukungan AS terhadap Israel dalam beberapa bulan terakhir telah “menyebabkan pukulan tambahan” terhadap citra AS di wilayah tersebut.