Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.98.1
Konten Media Partner
Mengapa Umat Islam di India Menentang Perubahan Undang-Undang tentang Wakaf?
21 Februari 2025 12:10 WIB
Mengapa Umat Islam di India Menentang Perubahan Undang-Undang tentang Wakaf?

Usulan untuk mengubah undang-undang yang mengatur properti wakaf senilai jutaan dolar yang disumbangkan umat Islam di India selama berabad-abad telah memicu protes di negara tersebut.
Properti tersebut—yang meliputi masjid, madrasah, rumah penampungan dan ribuan hektare tanah—disebut wakaf dan dikelola oleh suatu dewan.
Rancangan Undang-Undang (RUU)—yang melakukan lebih dari 40 amandemen terhadap undang-undang yang ada—diperkenalkan pada Agustus 2024.
RUU terus dibahas di komisi parlemen meski para pemimpin oposisi telah menolaknya.
Mereka mengeklaim bahwa catatan penolakan mereka terhadap RUU ini telah dihapus. Namun, pemerintah federal membantah tudingan tersebut.
Jika disahkan oleh parlemen, RUU tersebut akan dikirim ke Presiden Droupadi Murmu untuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan menjadi undang-undang.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi mengatakan bahwa perubahan yang mereka usulkan pada RUU tersebut diperlukan untuk memberantas korupsi dalam pengelolaan properti-properti ini sekaligus memenuhi tuntutan reformasi dari komunitas Muslim.
Namun beberapa kelompok Muslim dan partai oposisi menyebut perubahan tersebut adalah upaya partai nasionalis Hindu—yang mendukung Modi—untuk melemahkan hak-hak minoritas.
Apa itu wakaf?
"Wakaf" atau "Wakf" berasal dari kata bahasa Arab "Waqafa".
Asal kata "Wakafa" berarti "menahan" atau "menghentikan" atau "tetap" di tempat atau tetap berdiri".
Dalam konteks agama, wakaf bermakna menahan harta benda untuk disumbangkan demi kepentingan masyarakat, bukan untuk mengalihkan kepemilikan.
Harta yang diwakafkan tidak dapat dijual atau digunakan untuk tujuan lain—yang berarti bahwa harta wakaf adalah milik Tuhan.
Sejumlah besar harta wakaf dalam bentuk properti difungsikan sebagai masjid, madrasah, makam, dan panti asuhan.
Tradisi wakaf di India dapat ditelusuri ke periode Kesultanan Delhi pada abad ke-12 ketika para penguasa Muslim dari Asia Tengah datang ke India.
Properti tersebut kini diatur oleh Undang-Undang Wakaf tahun 1995, yang mengamanatkan pembentukan dewan di tingkat negara bagian.
Dewan ini mencakup orang-orang yang ditunjuk oleh pemerintah negara bagian, anggota parlemen beragam Islam, anggota dewan pengacara negara bagian, ulama Islam, dan pengelola properti wakaf.
Pemerintah menyatakan bahwa badan wakaf merupakan salah satu pemilik tanah terbesar di India.
Setidaknya terdapat 872.351 properti wakaf di seluruh India, yang mencakup lebih dari 940.000 hektare, dengan perkiraan nilai 1,2 triliun rupee (sekitar Rp231 triliun).
Apakah ada keperluan untuk mereformasi UU Wakaf?
Kelompok Muslim sepakat bahwa korupsi merupakan masalah serius di badan wakaf—para anggotanya telah beberapa kali dituduh berkolusi dengan penyerobot lahan untuk menjual tanah wakaf.
Namun para kritikus juga mengatakan bahwa sejumlah besar properti tersebut telah dirambah oleh individu, bisnis, dan badan pemerintah—yang juga memerlukan perhatian segera.
Sebuah laporan yang diajukan pada 2006 oleh Komite Kehakiman Sachar—yang dibentuk oleh pemerintah yang dipimpin partai Kongres sebelumnya untuk menilai kondisi sosial ekonomi umat Islam di India—telah merekomendasikan reformasi wakaf, karena menemukan bahwa pendapatan dari dewan tersebut rendah dibandingkan dengan sejumlah besar properti yang mereka kelola.
Baca juga:
Komite memperkirakan bahwa penggunaan lahan yang efisien berpotensi menghasilkan pendapatan tahunan sekitar 120 miliar rupee (setara Rp22,5 triliun)
Pendapatan tahunan saat ini, menurut beberapa perkiraan, adalah sekitar 2 miliar rupee (setara Rp375,1 miliar)
Komite tersebut juga mencatat bahwa "perambahan oleh Negara, yang merupakan penjaga kepentingan Wakaf, adalah hal yang umum".
Mereka kemudian memberikan ratusan contoh "pengambilalihan tidak sah" atas tanah wakaf oleh otoritas pemerintah.
Menurut data pemerintah sedikitnya 58.889 aset wakaf saat ini telah diserobot, sementara lebih dari 13.000 aset masih dalam proses litigasi.
Lebih dari 435.000 aset masih belum diketahui statusnya.
Pemerintah mengatakan, amandemen tersebut mengatasi masalah ini dan memajukan rekomendasi yang dibuat oleh Komite Sachar.
Menteri Urusan Parlemen Kiren Rijiju mengatakan kepada surat kabar The Times of India bahwa reformasi tersebut juga diperlukan karena hanya sebagian elit di komunitas Muslim yang mengelola properti-properti ini.
Mengapa jadi kontroversi?
Banyak umat Muslim memandang perubahan yang diusulkan dalam RUU itu dengan skeptis.
Salah satu aspek yang paling kontroversial dari RUU ini adalah perubahan aturan kepemilikan, yang akan berdampak pada masjid dan kuburan bersejarah yang dimiliki oleh dewan.
Banyak di antara properti-properti ini—yang telah digunakan oleh umat Islam selama beberapa generasi—tidak memiliki dokumentasi formal karena disumbangkan secara lisan atau tanpa catatan hukum sejak puluhan atau berabad-abad yang lalu.
UU Wakaf tahun 1954 mengakui harta benda seperti itu dalam kategori "wakaf oleh pengguna", namun rancangan undang-undang tersebut menghapus ketentuan tersebut, sehingga nasib sejumlah besar harta benda tersebut menjadi tidak menentu.
Baca juga:
Profesor Mujibur Rehman, penulis "Shikwa-e-Hind: Masa Depan Politik Muslim India", menjelaskan bahwa menelusuri kepemilikan properti komunitas yang sudah ada sejak lama tergolong rumit.
Sebab, sistem pengelolaan dan kepemilikannya telah bergeser selama berabad-abad dari sistem Mughal ke sistem kolonial Inggris, hingga ke sistem saat ini.
"Anda dapat melacak harta pribadi hingga beberapa generasi, tetapi melacak harta bersama lebih sulit, karena pengelolaannya terus berubah seiring waktu," kata Rehman.
Komunitas Muslim khawatir bahwa rancangan undang-undang baru itu mungkin tidak mengatasi permasalahan masyarakat. Alih-alih, menghilangkan peran umat Islam dalam mengendalikan properti wakaf.
Pasalnya, perubahan yang diajukan mencakup susunan pengurus wakaf, yang mewajibkan orang non-Muslim untuk menjadi anggotanya.
Beberapa orang sepakat bahwa undang-undang umum yang mewajibkan orang-orang dari semua agama untuk menjadi bagian dewan yang menjalankan lembaga keagamaan bukanlah ide yang buruk—karena akan membuat prosesnya lebih sekuler.
Namun, langkah saat ini tampaknya lebih memihak pada politik mayoritas, kata Rehman.
"Tampaknya ada upaya untuk tidak hanya mendapatkan kendali negara atas properti milik umat Muslim, tetapi juga kendali komunitas Hindu atas kehidupan komunitas Muslim."
Apa saja perubahan lain yang diusulkan?
Perubahan penting lainnya adalah kewajiban dewan untuk mendaftarkan properti mereka kepada kolektor distrik, yang akan merekomendasikan kepada pemerintah apakah klaim wakaf atas suatu properti tergolong sah.
Para kritikus mengatakan hal ini akan melemahkan kewenangan badan wakaf.
Asaduddin Owaisi, seorang anggota parlemen Muslim terkemuka, menuduh bahwa perubahan ini dimaksudkan untuk merampas tanah milik umat Islam.
Undang-undang saat ini mengharuskan pemerintah negara bagian untuk menunjuk seorang komisioner survei yang mengidentifikasi properti wakaf, dan kemudian menyiapkan sebuah daftar.
Daftar tersebut kemudian dikirim ke pemerintah negara bagian yang mengeluarkan pemberitahuan yang diamanatkan secara hukum.
Jika tidak ada yang menentang selama satu tahun, properti tersebut menjadi wakaf.
Namun beberapa perubahan membuat status sejumlah properti wakaf harus diatur kembali.
"Banyak yang secara ilegal telah melanggar batas wakaf. Ini berarti mereka akan mendapatkan kesempatan untuk mengklaim bahwa properti tersebut adalah milik mereka," kata Owaisi baru-baru ini kepada wartawan.
Kelompok Muslim mengatakan, proses ini akan membahayakan banyak masjid bersejarah.
Mereka mengatakan reformasi memang diperlukan, tetapi harus tetap memperhatikan kepekaan dan kepentingan masyarakat.
"Diagnosisnya mungkin benar," kata Prof Rehman, "namun pengobatannya tidak."