Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengapa Warga Asli Papua Pesimistis Pilkada Bisa Cegah Mereka Tergusur Food Estate di Merauke? – ‘Percuma Kami Mengadu ke Calon Kepala Daerah’
18 November 2024 11:45 WIB
Mengapa Warga Asli Papua Pesimistis Pilkada Bisa Cegah Mereka Tergusur Food Estate di Merauke? – ‘Percuma Kami Mengadu ke Calon Kepala Daerah’
Berbagai unjuk rasa menentang proyek strategis nasional (PSN) lumbung pangan atau food estate telah dilakukan warga asli Papua, baik di Merauke maupun di Jakarta.
Kelompok warga dari sejumlah distrik di Merauke, Papua Selatan, merasa tidak dilibatkan dan diberi informasi oleh pemerintah terkait proyek yang mengejar swasembada pangan nasional tersebut.
Kantor Komunikasi Presiden membuat klaim PSN di Merauke merupakan “salah satu program terbaik” Presiden Prabowo Subianto. Merauke pun telah ditetapkan menjadi pusat lumbung pangan yang tengah dikerjakan pemerintah.
Prabowo telah datang ke Merauke, awal November lalu—yang menjadi kunjungan pertamanya ke Tanah Papua.
Ketika PSN lumbung pangan terus bergulir, dapatkah para calon kepala daerah di Merauke dan Papua Selatan menjadi harapan baru bagi warga adat yang berpotensi terdampak?
'Alam kami sudah rusak, habis'
Merujuk lagu “Dari Sabang sampai Merauke”, Yasinta Moiwend adalah warga yang hidup di bagian paling timur Indonesia.
Perempuan asli Papua berumur 60 tahun itu baru-baru ini untuk kali pertama keluar dari Merauke, tanah kelahirannya. Tempat yang dia tuju adalah Jakarta.
Tepat di seberang Istana Negara, pada Kamis sore, 17 Oktober lalu, Yasinta menguatkan dirinya. Sesaat Yasinta termenung. Akhirnya dia meneguhkan diri untuk mengambil pengeras suara.
“Saya mau tanya, negara ini punya aturan atau tidak?” kata Yasinta di hadapan puluhan peserta Kamisan—unjuk rasa mingguan yang digelar kelompok korban pelanggaran HAM.
“Kami mau makan dari mana? Alam kami sudah rusak, habis. Burung-burung di udara, bahkan sampai binatang yang di bawah tanah sudah digusur.
“Kami mau jadi apa? Anggap saja kami sudah mati,” ujarnya.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Yasinta tampak begitu berapi-api. Namun tangis Yasinta sebenarnya hampir pecah.
“Kalau bercerita penggusuran tanah kami, saya punya hati ini tidak bisa tahan. Tidak bisa,” kata Yasinta setelah selesai berorasi.
“Saya selalu berair mata kalau bercerita tentang kehadiran perusahaan,” ucapnya.
Yasinta, seperti leluhur dan keturunannya, lahir dan hidup di Kampung Wanam, Distrik Ilwayab.
Yasinta menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berkebun dan menjual sayur. Di kampungnya, dia memimpin sebuah kelompok tani.
Sekitar enam bulan lalu Yasinta mendengar kabar yang dianggapnya begitu buruk: Wanam menjadi bagian dari sekitar 1,1 juta hektare lahan di Merauke utara yang akan dibabat pemerintah menjadi persawahan padi.
Bagi Yasinta dan sebagian besar orang asli Papua di Wanam, proyek strategis nasional (PSN) itu berpotensi menghilangkan sumber pangan mereka.
Sebagai masyarakat yang hidup secara subsisten, mereka bergantung pada dusun sagu, kebun sayur, serta hutan—tempat berburu binatang dan memancing ikan.
Yasinta juga cemas karena proyek yang disebut pemerintah sebagai program lumbung pangan itu mengancam berbagai tempat sakral orang asli Papua di hutan-hutan Wanam.
Di sanalah, kata Yasinta, komunitasnya menjaga kepercayaan yang ditinggalkan leluhur.
Proyek pencetakan sawah di utara Merauke sudah mulai bergulir. Agustus lalu, setidaknya 2.000 ekskavator dan alat berat lainnya mendarat di pesisir Wanam.
Johnlin Group, korporasi milik pengusaha Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, telah mengoperasikan berbagai mesin itu untuk menyicil pencetakan sawah sepanjang 135 kilometer, dari Wanam ke arah barat, menuju Distrik Muting.
Jarak tersebut hampir setara dengan rute Jakarta-Bandung.
Wanam dalam beberapa bulan terakhir telah hiruk-pikuk, bukan hanya karena kedatangan perusahaan, tapi juga tentara yang dikerahkan pemerintah dari luar Papua.
Yasinta berkata, dia selama ini tak punya keberanian untuk melihat, apalagi menjejakkan kaki ke hutan di Wanam yang mulai ditebang pemerintah.
Namun Yasinta perlahan tetap mengumpulkan keberanian. Itulah yang mendorongnya ke Jakarta dan berorasi di depan Istana Negara.
”Yang selalu saya pikirkan adalah anak-anak. Mereka nanti akan cari makan di mana? Saya merasa hancur,” ujar Yasinta.
”Kalau saya tetap di Merauke, hati saya tidak bisa tenang. Saya akan tetap sakit."
”Tapi saya sudah datang ke Jakarta. Saya merasa lega,” kata Yasinta usai unjuk rasa di depan Istana Negara.
Yasinta datang ke Jakarta pada Oktober lalu bersama beberapa warga Merauke asli Papua, salah satunya adalah Vincent Kwipalo.
Vincent, berasal dari kampung Blandin Kakayo, Distrik Jagebob, memiliki kegundahan serupa dengan Yasinta: tanah kelahirannya masuk proyek pengembangan tebu dan bioethanol.
Proyek yang dicemaskan Vincent itu merupakan bagian dari wacana swasembada pangan yang hendak dicapai pemerintah melalui Kawasan Sentra Produksi Pangan di Merauke.
Dalam rombongan Yasinta dan Vincent, ada pula Simon Petrus Balagaize. Keduanya memanggil Simon dengan sebutan ‘anak’.
Simon, lahir di Merauke, menghabiskan sebagian kehidupannya dengan merantau ke luar Papua.
Dia menempuh studi pariwisata di sebuah perguruan tinggi mentereng di Bandung, Jawa Barat, lalu bekerja di industri pelayaran hingga ke perairan Skandinavia.
Pada 2020, Simon mencalonkan diri dan dipilih menjadi Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) cabang Merauke. Belakangan dia memimpin Forum Masyarakat Marind Anim Kondo-Digul menentang PSN ‘lumbung pangan’.
“Dengan hadirnya helikopter termasuk kapal-kapal milik Haji Isam, Juni lalu, beberapa kelompok warga mulai curiga dan mulai menanyakan isu ini ke pemerintah daerah,” kata Simon.
Salah satu peristiwa yang dirujuk Simon adalah sebuah acara pemerintah di Merauke, 25 Juni lalu .
Ketika itu, perwakilan marga Kima-kima dan Maklew meminta penjelasan kepada Bupati Merauke, Romanus Mbaraka, terkait helikopter yang berlalu-lalang dan kapal yang berlabuh di Wanam.
Dua komunitas adat ini hidup di Distrik Kimaam—sebuah pulau di barat daya Wanam. Mereka curiga, proyek investasi akan kembali masuk dan menggusur tanah adat di Kimaam.
Namun Romanus menyebut kecemasan itu tidak berdasar. Helikopter yang sempat terbang di atas langit Wanam dan Kimaam, kata dia, ditumpangi Menteri Pertanian Amran Sulaiman untuk memantau persawahan yang sudah ada, bukan untuk membidik lahan investasi baru.
Perkataan itu serupa dengan yang diutarakan Romanus kepada pers , satu bulan sebelumnya. Dia berkata, Kimaam sulit diubah menjadi lahan investasi karena dipenuhi hutan mangrove pencegah abrasi.
“Tidak ada izin. Belum ada pemberitahuan juga untuk investasi di sana,” ujarnya.
Bukannya mereda, keresahan warga Kimaam dan kelompok adat lainnya di Merauke justru semakin menjadi-jadi saat ribuan eskavator dan alat berat mulai berdatangan di Wanam, pada akhir Juli dan awal Agustus lalu.
Sejumlah perwakilan kelompok adat, termasuk dari subsuku Kima-kima dan Maklew, pada 10 Agustus lalu lantas berkumpul di Dusun Payum—di ibu kota Merauke.
Pada pertemuan itulah mereka menunjuk Simon menjadi koordinator. Dari forum itu pula, mereka menyusun siasat menentang penggusuran lahan.
Hingga Oktober lalu, perkumpulan itu tidak hanya bertemu Bupati Merauke, tapi juga perwakilan DPRD Merauke dan Majelis Rakyat Papua .
Dalam berbagai pertemuan itu, mereka meminta keterbukaan terkait investasi di atas tanah ulayat mereka.
Forum warga adat itu juga berupaya bertemu dengan pimpinan tertinggi Gereja Katolik di Merauke, Uskup Agung Petrus Canisius Mandagi. Namun mereka urung berjumpa dengan sang uskup.
Uskup Mandagi belakangan menyatakan dirinya justru “mendukung 100%” PSN di Merauke—sikap yang memicu kecaman dari umat Katolik asli Papua.
“Di situ ada tujuan memanusiakan orang dengan pertanian,” klaim Uskup Mandagi, 9 September lalu.
Dalam pernyataannya, Uskup Mandagi meminta pemerintah melibatkan warga adat dan tidak merusak alam.
“Sering kali orang Papua merasa ‘ini hak kami, tidak usah ada yang mengelola’. Tapi itu salah,” kata Uskup Mandagi.
“Tuhan menciptakan alam ini supaya dikelola,” tuturnya.
Baca juga:
Aspirasi warga asli Papua yang terdampak proyek lumbung pangan seperti bertepuk sebelah tangan, kata Simon. Realitas itulah yang mendorong mereka pergi ke Jakarta, Oktober lalu.
“Masyarakat sudah tolak, tapi perusahaan terus jalan, bongkar, gusur, dan caplok,” kata Simon.
Di tengah persoalan proyek lumbung pangan, warga Merauke yang berpotensi tergusur dan kehilangan lahan ulayat enggan menitipkan harapan pada calon kepala daerah yang akan bertarung di pilkada, 27 November nanti.
Yasinta dan Vincent tak banyak bicara saat BBC News Indonesia bertanya apakah pilkada dapat menghindarkan mereka dari potensi penggusuran.
Respons itu tidak sama seperti saat keduanya menjelaskan penolakan mereka terhadap proyek lumbung pangan.
“Percuma kami mengadu ke calon kepala daerah. Pemerintah tentu akan ambil mereka juga,” kata Ariston Moiwend, keponakan Yasinta.
Bersama Yasinta dan Simon, Ariston turut datang ke Jakarta, Oktober lalu, untuk menyampaikan aspirasi ke pemerintah pusat.
“Pemerintah daerah juga turut mengambil bagian dari proyek strategis nasional ini,” ujar Ariston.
Menurut Ariston, seluruh pejabat pemerintahan, dari tingkat distrik, kabupaten, dan provinsi, telah menyatakan dukungan kepada proyek strategis nasional di Merauke.
“Tidak ada keberpihakan kepada masyarakat,” tuturnya.
Bagaimana sikap calon gubernur dan wakil gubernur Papua Selatan terkait PSN di Merauke?
Darius Gewilom Gebze dan Yusak Yaluwo
Kandidat kepala daerah Papua Selatan nomor urut 1, Darius dan Yusak, disokong John Gluba Gebze, Bupati Merauke periode 2000-2010.
John merupakan figur kontroversial dalam persoalan tanah antara masyarakat adat dan pemerintah akibat proyek lumbung pangan.
Saat menjabat bupati pada 2007, John memulai proyek pertanian berskala besar bernama Merauke Integrated Rice Estate (MIRE).
Proyek itu disambut dan dikembangkan pemerintah pusat era Susilo Bambang Yudhoyono menjadi program pertanian pangan dan energi terpadu.
Proyek bernama Merauke Integrated Food and Energy Estate itu mengincar lahan seluas 1,2 juta hektare.
Binladin Group Global Holding Company—perusahaan milik keluarga Bin Laden yang berbasis di Arab Saudi—ketika itu telah bertemu pemerintah Indonesia . Mereka sempat berwacana menginvestasikan uang sebesar US$4,3 miliar (sekitar Rp68,3 triliun) untuk proyek beras di Merauke tersebut.
Di sela-sela kampanyenya untuk Darius dan Yusak pada Pilkada 2024, John Gebze juga turut melakukan sosialisasi PSN lumbung pangan ke masyarakat di Merauke.
Pada 12 Agustus lalu, misalnya, John mengikuti rombongan yang antara lain terdiri dari Haji Isam dan Mayjen Ahmad Rizal Ramdhani, pejabat Kementerian Pertahanan untuk proyek lumbung pangan.
Rombongan itu datang ke Wanam, menyosialisasikan proyek satu juta hektare sawah ke warga adat yang berunjuk rasa.
Serupa dengan John, pasangan Darius dan Yusak juga menyatakan dukungan mereka pada proyek swasembada pangan.
Sikap itu mereka sampaikan pada dua ajang debat calon kepala daerah Provinsi Papua Selatan dan Kabupaten Merauke, akhir Oktober dan awal November lalu,
“Merauke kami jadikan lumbung pangan...untuk mendukung program pangan yang ada,“ kata Darius.
Yusak, eks Bupati Boven Digul yang pernah divonis penjara 4,5 tahun dalam kasus korupsi senilai Rp64 miliar, juga menyebut niat meningkatkan produksi pertanian.
Tujuannya, klaim Yusak, adalah swasembada pangan dan pemenuhan kebutuhan pangan bagi warga lokal di Papua Selatan.
Nikolaus Kondomo dan Baidin Kurita
Dalam debat perdana, Nikolaus mendapatkan pertanyaan tentang sikapnya terhadap pengalihan fungsi hutan untuk PSN—pencetakan sawah dan perkebunan tebu.
Nikolaus menjawab, “regulasi memperbolehkan alih fungsi hutan untuk kepentingan umum”.
Walau begitu, kata dia, pemerintah perlu memperhatikan hak ulayat warga adat.
Tujuannya, menurut Nikolaus, agar masyarakat adat dapat menikmati investasi, sekaligus mempertahankan budaya asli Papua, seperti penghormatan terhadap tempat-tempat sakral di hutan.
Romanus Mbaraka dan Albertus Muyak
Romanus menjabat Bupati Merauke pada dua periode, 2011-2016 dan 2021-2024. Sebagai bupati, dia mendampingi para pejabat dari Jakarta yang menjalankan proyek lumbung pangan.
Pada 1 April 2024, Romanus datang ke kantor Kementerian Pertahanan di Jakarta untuk membahas rencana pengelolaan kawasan dan pengembangan lahan tidur di Merauke.
Sebagai kelanjutan, Romanus menerima para pejabat dari Jakarta pada 17 April.
Saat itu rapat koordinasi antara Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Wakil Menteri Pertahanan Muhammad Herindra digelar di kantornya. Rapat itu juga diikuti petinggi militer di Papua.
Baca juga:
Dalam pertemuan dengan warga di kantor Bupati Merauke, 25 Juni lalu, Romanus membuat klaim tidak mendapat informasi tentang rencana proyek lumbung pangan di Distrik Tubang, Ilwayab, Tabonji, Padua, Kontuar, Waan, dan Kimaam.
Yang dia ketahui saat itu, kata Romanus , hanya rencana optimalisasi lahan pertanian oleh pemerintah pusat.
Forum Masyarakat Marind Anim Kondo-Digul, kata Simon Balagaize, merasa Romanus membohongi mereka dengan pernyataan tersebut.
Dalam debat kedua, Albertus Muyak mendapat pertanyaan tentang caranya melindungi warga adat dan kedaulatan pangan lokal, ketika proyek lumbung pangan berjalan.
Albertus membuat klaim akan mengutamakan lahan tidur atau area pertanian yang selama ini tidak digunakan.
Jika memenangkan pilkada, dia berjanji akan melibatkan masyarakat dalam proyek lumbung pangan di Merauke.
“Di Papua ini, tanah berhubungan erat dengan manusia…tidak bisa dipisahkan antara kehidupan dusun dengan manusia Papua,” ujarnya.
“Sehingga pemerintah akan menjadi fasilitator untuk menjembatani dan juga menghargai hak masyarakat itu,” kata Albertus.
Apolo Safanpo dan Paskalis Imadawa
Apolo ditunjuk menjadi Penjabat Gubernur Papua Selatan pada November 2022—tak lama setelah wilayah itu dimekarkan melalui UU Otonomi Khusus Nomor 14 tahun 2022.
Selama menjadi orang nomor satu sementara di Papua Selatan, Apolo tercatat datang ke sejumlah wilayah yang masuk cakupan PSN lumbung pangan.
Apolo dua kali mendampingi Joko Widodo dan Ma'ruf Amin , yang saat itu masih menjabat, ke lahan yang diproyeksi menjadi ladang tebu di Merauke.
Sementara itu, pada 13 November lalu, Paskalis bertemu dengan Jokowi di Solo, Jawa Tengah.
Pada pertemuan itu, Jokowi bilang kepadanya, “Merauke harus jadi lumbung pangan nasional, oleh sebab itu food estate harus berhasil.”
Siapa calon bupati dan wakil bupati Merauke yang setuju dan tolak PSN lumbung pangan?
Martinus Guntur Ohoiwutun dan Prayogo
Dalam ajang debat pertama, Guntur berkata, saat ini tengah terjadi konflik terkait hutan, antara pemerintah, investor, dan masyarakat adat sebagai pemilik ulayat.
Walau hendak menyukseskan PSN lumbung pangan, Guntur menyebut “pemerintah daerah tidak bisa sembrono”.
“Apa artinya suatu jabatan kalau masyarakat dikorbankan,” ujarnya.
Adapun, Proyogo menyebut PSN lumbung pangan sebagai proyek pembangunan yang pasti berdampak pada lingkungan dan masyarakat.
Prayogo membuat klaim akan menyusun regulasi yang memastikan pelibatan warga di lokasi PSN.
Dia berwacana akan menyiasati deforestasi yang berpotensi muncul dari PSN lumbung pangan dengan dua cara, yakni “mereboisasi lahan tandus” dan “penanaman bakau di sepanjang garis pantai” Merauke.
Prayogo juga bilang, dia akan ”perjuangkan hak warga” untuk tetap bisa mencari sumber makanan meski tanah ulayat mereka dialihfungsikan ke proyek lumbung pangan.
Kristian Gebze dan Kusmanto
Kandidat ini didukung oleh John Gluba Gebze, mantan bupati Merauke yang sejak awal menggagas proyek pertanian berskala besar—seperti diulas sebelumnya.
Kritian dan Kusmanto, dalam ajang debat yang diadakan KPU, menyatakan rencana mereka menjadikan Merauke sebagai “gerbang pangan nasional“.
Keduanya menjanjikan anggaran pertanian sebesar 10% dari total APBD. Keduanya juga berwacana memberi bantuan Rp1,5 juta per kepala keluarga yang hidup di sektor pertanian.
Kristian menyebut proyek lumbung pangan di Merauke “bertujuan baik”, yakni meningkatkan ekonomi masyarakat.
Untuk melindungi kepentingan warga asli Papua, dia membuat klaim akan membentuk peraturan daerah tentang pengakuan masyarakat adat.
Regulasi itu, menurutnya, dapat melindungi kepentingan orang asli Papua sebagai pemilik ulayat, seperti kompensasi atas pengambilan lahan untuk proyek lumbung pangan.
Baca juga:
Hendrikus Mahuze dan H. Riduwan
Dalam ajang debat pertama, Hendrikus bilang bahwa “PSN adalah program yang sangat luar biasa“ dan “bisa menyerap tenaga kerja“.
Namun, kata dia, masyarakat adat merasa dirugikan. Jika memenangkan pilkada, Hendrikus berjanji akan menjadi mediator bagi warga adat, pemerintah pusat, dan perusahaan.
"Kami berkomitmen akan ada solusi yang kami berikan untuk perusahaan dan juga pemilik hak ulayat yang ada di tanah ini,” ujarnya.
Yoseph Bladib Gebze dan Fauzun Nihayah
Fauzun juga menyebut program lumbung pangan yang digelar pemerintah pusat dengan istilah “luar biasa“.
Namun, jika terpilih, dia ingin Pemkab Merauke bekerja sama dengan korporasi di bidang pangan dan tetap ”melibatkan masyarakat adat”.
Jawaban ini dikatakan Fauzun untuk menjawab pertanyaan panelis di debat KPU, tentang siasatnya mempertahankan pangan lokal ketika proyek lumbung pangan diproyeksikan Jakarta untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Fauzun berkata, komunitas orang asli Papua di Merauke perlu diberikan hak untuk mengawasi proyek strategis nasional itu.
”Yang terpenting dari pelaksanaan PSN itu adalah melibatkan mereka dalam pembangunan dan kerja sama yang baik,” ujarnya.
Apa harapan warga terdampak PSN?
Yasinta Moiwend yakin proyek pencetakan sawah lebih dari sejuta hektare akan mengganggu aktivitas berkebunnya. Padahal, kata dia, sayur-mayur yang dia tanam merupakan satu-satunya sumber penghasilan keluarganya.
”Kami kasih sekolah anak-anak dengan biaya sendiri. Tidak mengharapkan siapa-siapa atau perusahaan, makanya kami tolak kedatangan perusahaan,” kata Yasinta.
Pemerintah daerah, kata Yasinta, selama ini pernah memberikan bantuan benih sayur.
Februari 2022, pegawai Dinas Pertanian Merauke datang ke kebunnya untuk memeriksa manfaat dari bantuan benih itu.
Dari penanaman bibit itu, Yasinta bilang pemerintah membeli hasil kebunnya sebesar Rp750 ribu. Namun, kata dia, pemerintah tidak memborong seluruh hasil panennya.
Sisa sayur-mayur seperti kangkung, sawi, dan daun singkong, lantas dijual oleh Yasinta ke para awak kapal ikan yang rutin berlabuh di Wanam.
”Saya jualan daun ubi, contohnya 10 ikat, itu saya sudah dapat Rp100 ribu. Kangkung 10 ikat, saya jual Rp200 ribu. Itu sudah berapa? Belum lagi hasil jual bermacam ubi-ubian,” ujar Yasinta.
“Jadi kami masih bisa hidup. Anak saya dua orang bersekolah. Saya biayai dengan hasil tanaman kebun,” tuturnya.
Sementara itu di Distrik Jagebob—yang berpotensi terdampak industri tebu dan bioetanol—warga adat telah berbudidaya pohon karet selama puluhan tahun, kata Vincent Kwipalo.
Sayangnya, kata dia, pemerintah urung mengupayakan akses pasar terhadap hasil karet milik warga.
Akses jalan dari satu kampung ke kampung lainnya pun begitu buruk, sehingga menurut Vincent, menyulitkan pekebun karet mendistribusikan hasil panen.
“Akhirnya banyak orang menebang kembali karet-karetnya. Mau dijual ke mana? Pemerintah tidak menyiapkan pasar,“ ujarnya.
Dalam situasi warga asli Papua seperti itu, kata Teddy Wakum, Ketua Lembaga Bantuan Hukum Pos Merauke, pemerintah semestinya mendorong ekonomi kerakyatan berbasis tanah adat.
Pemerintah perlu memberi solusi atas hasil panen warga asli Papua yang sulit mendapatkan pasar, kata Teddy.
“Pemerintah daerah selama ini tidak responsif dan tidak melihat permasalahan yang ada,“ tuturnya.