Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.1
Konten Media Partner
Mengapa Yogyakarta Tidak Gelar Pilkada Gubernur – Perlukah Perdebatan Pilkada Langsung di Yogya Dibuka Kembali?
28 November 2024 8:40 WIB
Mengapa Yogyakarta Tidak Gelar Pilkada Gubernur – Perlukah Perdebatan Pilkada Langsung di Yogya Dibuka Kembali?
Warga Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi satu-satunya kelompok masyarakat di Indonesia yang tidak memilih gubernur pada ajang Pilkada serentak tahun 2024.
Provinsi itu hanya menggelar pemilihan kepala daerah untuk empat kabupaten, yaitu Bantul, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul, serta satu pemerintahan Kota Yogyakarta.
Merujuk Peraturan KPU 17/2024, pemilih di DIY hanya mendapatkan satu jenis surat suara saat hendak mencoblos di tempat pemungutan suara, yaitu pemilihan bupati-wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota.
Ketentuan itu juga mengacu pada UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY—regulasi yang penyusunannya diwarnai pro-kontra serta berbagai demonstrasi.
Pasal 18 ayat 1 huruf c pada beleid itu menyatakan, jabatan Gubernur DIY diduduki oleh orang yang bertakhta sebagai Sultan Hangku Buwono. Adapun jabatan wakil gubernur menjadi hak orang yang berstatus sebagai Adipati Paku Alam.
Lantas bagaimana rasanya menjadi warga Indonesia yang tak bisa memilih gubernur dan wakil gubernur? BBC Indonesia merangkum pro-kontra regulasi tersebut lewat perbincangan dengan tiga warga provinsi tersebut.
'Warga menyumpahi kondisi, bukan pemimpin daerah'
Isu pemilihan Gubernur DIY semestinya menjadi isu yang dapat diperdebatkan kembali, kata Rama, warga Kota Yogyakarta berumur 25 tahun.
Menurut Rama, terdapat berbagai persoalan di DIY yang dia anggap tidak dapat diatasi di level provinsi, meskipun permasalahan itu berdampak luas pada masyarakat, terutama “orang-orang pinggiran”.
Polemik menahun yang disebut Rama, antara lain pertumbuhan hotel yang masif, perizinan mini market, rentetan kekerasan berupa pembegalan (klitih) serta kebijakan upah minimum provinsi.
“Mungkin sebagian besar orang Jogja yang dewasa kadang terjebak pada romantisasi cerita masa lalu tentang kesultanan yang orang-orangnya sangat membumi, termasuk dalam proses pembuatan kebijakan,” kata Rama.
Di sekitar tempat tinggalnya, Rama jarang mendengar atau terlibat perbicaraan tentang penting tidaknya pemilihan gubernur secara langsung. Situasi itu terjadi saat dia berkumpul dengan tetangga sebaya maupun saat menjalani tugas jaga malam alias ronda.
“Aku ikut ronda, main catur dan karambol dengan bapak-bapak. Mereka mengeluarkan sumpah serapah tentang kondisi sekarang, tapi aku jarang mendengar mereka menyumpahi pemimpin daerah,” ujar Rama.
Di lingkup keluarganya, Rama juga hampir tidak pernah membahas apakah mereka semestinya juga berhak memilih gubernur seperti warga Indonesia di provinsi lainnya. Menurutnya, isu ini hampir tidak pernah muncul di rumahnya karena sebagian kerabatnya “bekerja untuk Sultan Hamengku Buwono X secara profesional”.
Tidak adanya pemilihan gubernur di DIY, menurut Rama, berdampak pada tidak munculnya alternatif kebijakan terhadap persoalan sosial dan ekonomi yang terjadi. Transparansi dan evaluasi kinerja gubernur-wakil gubernur pun, kata dia, tidak membuat kepentingan warga secara luas terakomodasi.
“Jogja itu hanya digambar oleh satu orang. Jogja itu adalah bentuk dan buah imajinasi dari satu orang,” kata Rama.
“Karena dia tidak punya ancaman untuk lengser dari jabatannya, dia juga tidak merasa harus membuat ide-idenya jadi transparan.
“Kalau ada cagub atau cawagub yang menebar janji politik, walaupun mungkin itu janji-janji omong kosong, tapi itu bisa dijadikan indikator oleh warga untuk menilai mereka kerja beneran atau enggak,” ujar Rama.
'Ini isu yang sensitif'
Nadin, seorang mahasiswi di salah satu universitas di Yogyakarta, berusaha melihat isu kepemimpinan di level provinsi DIY dari dua sisi.
Dari aspek perencanaan pembangunan, Nadin menilai tidak adanya pergantian gubernur memungkinkan pemerintahan DIY menjalankan kebijakan yang berkelanjutan.
Situasi ini, menurut Nadin, lebih positif ketimbang daerah yang pemimpinnya selalu berganti setiap lima tahun.
“Itu menjadi keuntungan bagi DIY,” tuturnya. “Rencana kebijakan bakal terus berlanjut dan tidak berubah-ubah mengikuti pola pikir kepala daerah yang baru,” kata Nadin.
Namun di sisi lain, Nadin menilai tanpa pilkada gubernur warga DIY dapat terjebak tanpa inovasi pembangunan.
Padahal, kata dia, kebijakan pemerintah semestinya dapat terus disesuaikan dengan aspirasi warga, terutama ketika yang mendapat keuntungan hanya segelitir kelompok masyarakat.
Seperti Rama, Nadin menyadari bahwa pemilihan gubernur DIY merupakan isu sensitif yang hampir tidak dibicarakan secara terbuka.
“Tergantung kepada siapa kita berbicara,” ujarnya. “Tapi menurutku, kalau dibahas dalam lingkup akademis itu seharusnya tidak menjadi masalah,” kata Nadin.
'Kalau gubernur DIY dipilih langsung, memangnya persoalan akan beres?'
Dwi, warga kota Yogyakarta berumur 46 tahun, menyatakan tidak iri pada warga provinsi lain yang bisa memilih gubernur.
“Secara umum, daerah mana sih di Indonesia yang pemerintah daerahnya beres?” kata Dwi.
“Kalau di DIY ada pemilihan gubernur, belum tentu juga kami bisa mendapat pemimpin yang bagus,” tuturnya.
Menurut Dwi, status Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam yang melekat sebagai kepala daerah DIY justru membuat mereka memiliki kedekatan emosional dengan jabatan publik tersebut.
Kedekatan itu, menurutnya, tidak akan dirasakan oleh orang-orang lain yang menduduki jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY.
“Karena ini adalah wilayahnya, tanahnya, kalau ada hal-hal yang enggak beres, masa dia tega. Ini tanahnya sendiri, rumahnya sendiri,” kata Dwi.
Walau begitu, Dwi merasa keterbukaan dan evaluasi kinerja gubernur dan wakil gubernur DIY minim. Masyarakat, kata dia, semestinya bisa memberi masukan sekaligus kritik kepada mereka.
Namun merujuk sejarah bergabungnya Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman ke NKRI pascakemerdekaan, Dwi merasa warga memiliki kedudukan yang lebih rendah ketimbang gubernur dan wakil gubenur.
“Karena situasinya mereka adalah pemilik wilayah, jadi kadang kami masih berpikir kami adalah orang yang numpang di wilayah mereka,” ujar Dwi.
“Ini yang irisan yang agak bikin ribet dalam perdebatan ini,” tuturnya.
Isu pemilihan kepala daerah secara langsung di Provinsi DIY sempat mencuat pada era kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat UU Keistimewaan DIY masih dibahas di DPR pada 2010, SBY menyebut Indonesia tidak mungkin menerapkan sistem monarki.
Akibat polemik ini, pembahasan RUU Keistimewaan DIY sempat mandek. Sultan HB X sempat mengusulkan referendum agar warga menentukan pilihan mereka—pemilihan langsung atau tidak langsung.
Aksi unjuk rasa besar sepanjang pembahasan RUU itu juga terjadi di Yogyakarta.
Dalam demonstrasi bertajuk Sidang Rakyat, berbagai kalangan mendesak pemerintahan SBY segera mengesahkan status Sultan HB dan Paku Alam yang melekat dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur.
Akhirnya pada tahun 2012 UU Keistimewaan DIY disahkan di DPR. SBY mengubah sikapnya dan mengklaim diri sebagai presiden pertama yang melantik secara langsung Gubernur DIY.
Belakangan, perbincangan tentang pemilihan gubernur DIY kembali mencuat—kali ini di X (dulu Twiter). Mereka yang membahas isu ini merujuk sejumlah persoalan ekonomi dan sosial di DIY.
Merujuk data BPS tahun 2024, DIY merupakan provinsi paling miskin di Pulau Jawa. Penduduk DIY yang masuk kategori miskin mencapai 10,8% atau 445.550 orang.
BPS pada 2022 juga menyebut DIY sebagai provinsi dengan ketimpangan tertinggi secara nasional.
Persoalan kemiskinan itu, menurut aliansi buruh di DIY, dipicu upah minimum provinsi yang rendah—sebesar Rp2,4 juta untuk 2024.
"Upah buruh di Yogyakarta ini murah sekali sehingga para pekerja ini tidak bisa memiliki rumah dan bahkan untuk kebutuhan sehari-hari saja nggak cukup," kata Jumiyem dari Jala PRT, kelompok advokasi pekerja rumah tangga, pada 1 Mei lalu.
Sultan HB X dalam berbagai kesempatan telah memaparkan strateginya mengatasi persoalan ekonomi. Pada awal 2023 misalnya, dia berjanji membuat bantuan sosial yang berlaku seumur hidup untuk warga miskin berumur 60 tahun ke atas.
September lalu, dia menyebut hendak menggeser pertumbuhan ekonomi dari kabupaten ke tingkat kecamatan. Dia meminta pejabat kelurahan memanfaatkan tanah kas desa untuk kesejahteraan warga.
“Tolong diopeni warga masyarakat yang miskin dan menganggur. Yang lain sejahtera, terus yang miskin ditinggal. Jangan,” ujarnya di Kulon Progo , 3 September lalu.
Ajeng Nindias berkontribusi untuk liputan ini