Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Mengubur Mimpi Punya Tanah di Bali – Warga ‘Terjepit’ di tengah Perkembangan Wisata dan Kebutuhan Hidup
3 Desember 2024 12:00 WIB
Mengubur Mimpi Punya Tanah di Bali – Warga ‘Terjepit’ di tengah Perkembangan Wisata dan Kebutuhan Hidup
Pesona Bali sebagai destinasi wisata paling populer di Indonesia—bahkan salah satu yang terpopuler di dunia—membuatnya tidak hanya menarik untuk turis, tapi juga investor. Perkembangan yang terlihat menguntungkan ini justru disebut menjadi gejala overtourism dan mendatangkan masalah buat warga lokal, meski pemerintah menyanggahnya.
Ni Made Fitri Apriyani lahir dan besar di Bali. Tapi memiliki rumah dan tanah sendiri di Pulau Dewata adalah “tidak mungkin” dan hanyalah impian semata baginya.
Penghasilannya sebesar Rp3 juta-5 juta per bulan sebagai staf di sebuah vila, sudah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Belum lagi kalau ada keperluan upacara agama. Kayaknya buat beli tanah [atau rumah], jauh banget,” ujar Fitri, nama panggilannya.
Harga tanah di Batubulan, Gianyar—yang menjadi impian Fitri—sekarang sudah mencapai Rp300 juta per 100 meter persegi.
Perempuan berusia 32 tahun itu menduga, kenaikan harga itu sebagian disebabkan oleh banyaknya pendatang—baik dari dalam maupun luar negeri—yang ke Bali bukan untuk berwisata, melainkan menetap.
Sejumlah data mengungkap kenaikan harga tanah dan rumah di Bali dalam beberapa tahun terakhir.
Menurut Realinfo, situs penyedia data properti Bali, harga properti di Bali naik 7% per tahun dalam lima tahun terakhir, didorong permintaan tinggi dan perkembangan infrastruktur.
Rumah123, sebuah loka pasar properti, mencatat kenaikan harga properti residensial tahunan di Indonesia tercepat terjadi di Kota Denpasar.
Kenaikan harga tahunan properti di Denpasar pada September 2024 mencapai 15,1% dibandingkan bulan yang sama di tahun sebelumnya. Artinya, kenaikan ini jauh lebih cepat dibandingkan tingkat inflasi dengan selisih 11,6%.
Gede, yang meminta nama lengkap dan umurnya tidak dipublikasikan, sehari-hari bekerja di Denpasar. Ia mengaku sudah menyerah mencari tempat tinggal di sekitaran ibu kota Provinsi Bali itu.
Harapan Gede untuk memiliki rumah yang dekat dengan tempat kerjanya—atau setidaknya bisa ditempuh dalam waktu 30 menit—sudah dia kubur dalam-dalam.
Dengan pendapatan bulanan mencapai Rp17 juta dan tabungan, Gede beranggapan “hanya keajaiban” yang membuat dia bisa punya rumah di lokasi itu.
“Kalaupun misalnya saya berhasil kumpulkan DP [uang muka], per bulannya kayaknya enggak cukup [untuk cicilan]. Karena di Denpasar sendiri rata-rata harganya sudah tembus Rp1 miliar untuk rumah 100 meter persegi,” kata Gede kepada BBC News Indonesia.
Ini jauh dari uang yang telah dianggarkannya untuk tanah dan rumah.
Gede menyiapkan Rp100 juta-Rp200 juta per seratus meter persegi untuk tanah. Sedangkan untuk rumah, dia mengincar harga Rp500 juta-Rp700 juta, yang bisa dicicil menggunakan sistem kredit pemilikan rumah (KPR).
Sepuluh tahun lalu, Gede mengaku pernah mengincar tanah di kawasan Tangtu, sekitar 20 menit dari Pantai Sanur.
Dia bercerita, harga tanah di sana kini juga sudah tidak masuk jangkauannya karena telah menembus harga Rp1 miliar. Padahal, kata dia, dulu harganya masih Rp80 juta-100 juta.
“Waktu itu masih sawah.. Nah, ternyata lokasi ini juga diminati oleh turis asing. Sudah banyak vila yang disewakan,” ujarnya.
Vila-vila di kawasan itu, sebut Gede, banyak yang tidak memiliki unsur budaya Bali, seperti pura. Karena itulah dia menduga target pasar atau pemilik bangunan tersebut bukan warga lokal.
Bersaing dengan ‘turis asing’
Denpasar bukan satu-satunya yang menjadi primadona investasi properti di Bali.
Kabupaten Badung—yang berjarak hampir tiga jam perjalanan ke utara Denpasar—juga disebut sebagai daerah di luar Pulau Jawa dengan pencarian hunian terpopuler tertinggi di Rumah123 pada September dibandingkan bulan sebelumnya, dengan kenaikan sebesar 1%.
Di wilayah-wilayah Bali yang lain, gejala serupa juga terjadi.
Gede, yang telah memperluas area pencarian hingga ke “kota-kota satelit”, termasuk Tabanan dan Gianyar—bahkan sampai ke wilayah Karangasem—mengaku tak kunjung menemukan tanah atau rumah yang harganya masuk di kantong.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp .
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Di Tabanan, Ni Made Ariyanti, atau yang akrab disapa Ari, menceritakan kisah serupa.
“Buat orang-orang kayak aku, yang mau beneran nyari rumah, harus bersaing sama yang nyari tanah bukan buat rumah. Tapi buat bisnis, diperjualbelikan lagi, atau buat properti.
“[Biasanya mereka] mau beli di harga berapa saja,” kata Ari kepada wartawan Ade Mardiyati yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Ari dan suami mengaku sudah setahun mencari tanah atau rumah impian mereka di Bali, tapi tak juga menemukan yang harganya terjangkau olehnya. Saat ini, Ari bersama suami dan anaknya tinggal di rumah mertuanya.
Dengan modal Rp450 juta, perempuan berusia 28 tahun itu berharap bisa mendapatkan rumah idamannya. Sementara suaminya menganggarkan Rp400 juta untuk tanah.
Sekarang, uang mereka sudah terkumpul 80%. Bila nanti menemukan tanah yang cocok, mereka berencana menutupi kekurangannya dengan mengambil kredit bank.
“Kenapa beli tanah di rumah sendiri jadi lebih mahal dan jauh? Enggak bisa dijangkau,” keluh Ari.
Senada dengan Ari, Gede mengatakan sedih harus “bersaing dengan turis asing” untuk mendapatkan rumah di kampung halaman sendiri.
Dia mengaku takut jika hal ini terus dibiarkan, situasi akan semakin tidak berpihak pada warga lokal seperti dia.
“Mereka tidak melihat 10 tahun ke depan. Bagaimana kalau saya punya anak nanti?” kata Gede dengan nada khawatir.
Menjadi dambaan
Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan Sensus Penduduk pada 2020 dan mencatat jumlah migran di Bali sebanyak 681.224 orang. Jumlah migran terbanyak berada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
Seseorang dikatakan ‘migran’ jika tinggal di tempat baru atau berniat tinggal di tempat baru paling sedikit satu tahun lamanya.
Ali, yang juga meminta nama lengkap dan umurnya tak dipublikasikan, sudah 10 tahun tinggal di Bali. Pria asli Jawa Barat ini mengaku kepincut dengan suasana di Ubud yang katanya mirip dengan suasana tempat tinggalnya di Bandung dulu.
Budaya Bali yang masih sangat kental—seperti banyak pagelaran seni dan orang-orang yang masih mengenakan baju tradisional dalam kesehariannya—membuatnya betah di Bali.
“Dari awalnya liburan dua minggu, dua bulan, dua tahun, jadi 10 tahun,” Ali bercerita melalui sambungan telepon.
Artikel-artikel yang direkomendasikan:
Setelah beberapa kali pindah kos dan kontrakan, dua tahun lalu Ali sudah membeli tanah dan membangun rumah impiannya di kawasan Gianyar.
Ia sengaja memilih lokasi yang belum banyak ditempati wisatawan asing karena ingin menikmati Bali “seperti masa lalu”.
Namun, belakangan Ali mulai memperhatikan banyak papan bertuliskan “dijual” tertancap di petak-petak sawah. Padahal, banyaknya sawah menjadi salah satu alasan dia memilih lokasi itu menjadi tempat tinggalnya.
Ali tahu betul betapa sulitnya tetangga-tetangganya itu mengurus sawah yang sebenarnya tidak seberapa menghasilkan. Kini, kata Ali, di desa tempatnya tinggal mulai banyak pembangunan. Wisatawan asing mulai banyak berdatangan.
Bahkan, dia menyatakan pernah didatangi warga negara asing yang “menawar” rumahnya, padahal rumahnya tidak dijual. Kejadian itu tidak hanya sekali.
“Tiga sampai empat kali,” Ali mengingat.
Pesona Bali tidak hanya memikat orang Indonesia dari luar Pulau Bali untuk tinggal dan menetap, tapi juga warga negara asing dari berbagai negara.
Wayne, yang meminta untuk tidak diungkap nama lengkapnya, dan istrinya adalah warga Australia yang sudah sering bolak-balik berlibur ke Bali. Sebelum memutuskan untuk menetap, mereka menghabiskan sampai 12 bulan untuk mencari lokasi yang tepat buat menghabiskan masa pensiun.
Pulau Dewata jadi pilihan menghabiskan masa tua setelah pria berusia 54 tahun tersebut mengaku bekerja puluhan tahun di bawah tekanan yang tinggi sebagai polisi. Apalagi belakangan istri Wayne sakit.
“Ini adalah tempat yang sangat bagus untuk membuat pikirannya tenang. Jadi kami berpikir, ayo pindah ke sini,” kata Wayne kepada wartawan Christine Novita Nababan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Baca juga:
Berbekal visa investor, Wayne dan istrinya tinggal di rumah seluas 240 meter persegi di Sanur, Denpasar, sejak Desember 2023. Mereka punya hak milik atas rumah itu.
Secara hukum, warga negara asing memang tidak boleh memegang hak milik atas tanah di Indonesia. Tetapi perusahaan penanaman modal asing dapat memiliki hak atas tanah dengan sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB).
Wayne dan istrinya tercatat memiliki sebuah perusahaan—semacam perusahaan penanaman modal—yang memegang hak atas tanah, tempat rumah pasangan ini dibangun.
“Kami di sini untuk bersantai, melepas lelah,” kata Wayne.
Ladang investasi
Menurut perencana keuangan profesional, Loecia Nhadilah Sannie, sektor properti di Bali menggiurkan sebagai investasi, dengan permintaan yang selalu ada dan ketersediaan pekerja serta lahan pun “terjamin”.
“[Warga Bali] punya tanah, tapi enggak produktif. Jadi mereka sewakan dengan harga murah. Sebagai gantinya, mereka mau bantu mengembangkan,” ujar Loecia, yang kelak ingin menghabiskan masa pensiun di Bali.
Salah satu orang asing yang tertarik berinvestasi di Bali adalah Mike, warga negara Inggris berusia 60 tahun. Dia pertama kali datang ke Bali pada 2019.
Baca juga:
Kala itu, Mike—yang meminta nama lengkapnya tidak dipublikaskan—menghadiri pernikahan temannya dan mengaku “melihat masa depan” di Bali dan ingin menghabiskan masa tuanya di Pulau Dewata.
“Saya suka Bali, saya suka orang-orang yang saya temui. Saya menyukai udara hangatnya yang menyehatkan tubuh saya yang masih muda ini,” kata Mike, sedikit berkelakar.
Keinginan itu baru terwujud pada 2021. Setelah bertemu dan jatuh cinta dengan perempuan Indonesia, Mike mempelajari regulasi terkait kepemilikan properti.
Mike menghabiskan enam bulan berkeliling Bali mencari tanah dan vila yang cocok. Akhirnya pilihannya jatuh pada sebidang tanah di kawasan Sanur, Denpasar.
Dia memiliki hak pakai atas tanah itu selama 20 tahun, sebab dalam hukum Indonesia warga negara asing dilarang memiliki hak milik atas tanah.
Di lahan seluas 130 meter persegi itu, Mike membangun rumah. Sebanyak Rp1 miliar dia gelontorkan untuk untuk menyewa lahan dan membangun rumah.
Baru-baru ini, Mike membeli tanah seluas 280 meter persegi dengan status hak milik atas nama istrinya, dan berencana mendirikan bangunan untuk investasi.
“Uang pensiun saya dari Inggris tidak banyak, jadi saya akan usaha menyewakan vila,” ujar Mike.
Dia tak menutup kemungkinan akan membeli properti lagi di Bali, seperti di Jimbaran dan Uluwatu, karena menurutnya “harga tanahnya lebih murah”.
Fenomena global
Keluhan Fitri, Ari, dan Gede—yang tidak mampu membeli properti di kampungnya sendiri—juga dialami warga di kawasan wisata populer lainnya, seperti Venesia di Italia, Yunani, Jerman, Prancis dan Spanyol.
Pada Juli lalu, Spanyol dihebohkan dengan demo besar-besaran . Ribuan orang turun ke jalan-jalan di Barcelona, memprotes perkembangan wisata gila-gilaan yang berdampak pada kenaikan biaya hidup warga lokal, termasuk kenaikan sewa properti.
Di pusat Kota Málaga, Spanyol bagian selatan, penduduk setempat mengatakan sulit untuk menemukan apartemen dengan harga sewa kurang dari €1.200-€1.300 per bulan (senilai Rp20,5 juta-Rp22,2 juta).
Dengan gaji rata-rata di kawasan Andalusia yang berkisar €1.600 per bulan (senilai Rp27,3 juta), mereka tidak mampu lagi tinggal di kota mereka sendiri.
Demo juga dilakukan di beberapa wilayah lainnya seperti di Pulau Mallorca, Kepulauan Baleares, dan Kepulauan Canary. Kedua kepulauan itu masuk ke dalam daftar destinasi wisata populer di Eropa.
Akhir Oktober, kemarahan warga terhadap dampak pariwisata yang berlebihan juga masih berlangsung di Basque City, San Sebastian—bagian utara negara itu.
Bizilagunekin, platform pengembangan pariwisata yang mengorganisasi demonstrasi di San Sebastian, menyebut pariwisata yang bagi sebagian orang adalah sumber pendapatan utama, menjadi “model ekonomi yang mencekik” warga.
Anggota Bizilagunekin, Asier Basurto, menegaskan bahwa jumlah kedatangan wisatawan asing bukanlah masalah utamanya. Yang mereka keluhkan adalah layanan-layanan di kota yang lebih pro pengunjung, bukan penduduk.
Ruang publik disesuaikan untuk kunjungan jangka pendek dan industri pariwisata menciptakan lapangan kerja yang tidak menentu, katanya.
Di sisi lain, sektor pariwisata menyumbang 13% dari total keseluruhan produk domestik bruto (PDB) Spanyol dan secara langsung menyediakan sekitar tiga juta pekerjaan.
Pada 2023, Spanyol menerima 85 juta wisatawan asing dan tahun ini diperkirakan akan ada lebih dari 90 juta pengunjung. Angka ini menempatkan Spanyol di bawah Prancis, sebagai tujuan wisata paling populer di dunia.
Beberapa pihak bersikeras industri pariwisata penting bagi perekonomian dan mendorong pemulihan ekonomi setelah pandemi, namun menurut sejumlah pakar, pariwisata massal yang berujung pada overturism justru merugikan warga setempat.
Merujuk Indeks Iritasi Doxey atau Teori Irridex —yang mengupas perubahan sikap penduduk terhadap kehadiran wisatawan dan perkembangan pariwisata—overtourism terjadi kala warga setempat merasa kehidupan sehari-hari mereka terganggu akibat kehadiran wisatawan.
Dalam penelitian yang diterbitkan di jurnal European of Tourism Research pada 2021, tim peneliti menyebut overtourism menciptakan gentrifikasi, kerusakan lingkungan dan sosial, kemacetan lalu lintas, pemogokan, dan aktivisme yang berpusat pada pariwisata.
Gentrifikasi adalah proses perubahan suatu kawasan yang ditandai dengan peningkatan nilai properti, alih guna lahan, dan masuknya kelompok sosial ekonomi baru yang lebih makmur.
Gentrifikasi pariwisata memainkan peran penting di daerah-daerah yang perkembangan ekonominya lebih rendah dengan mengandalkan pariwisata sebagai faktor pembangunan dan pertumbuhan.
Apakah Bali juga mengalami overtourism?
Perusahaan penerbitan panduan perjalanan global, Fodor’s Travel , menempatkan Bali dalam daftar destinasi yang tak layak dikunjungi pada 2025 akibat overtourism.
Setiap tahun panduan yang sudah dijadikan acuan selama puluhan tahun ini merilis daftar yang mereka sebut Fodor’s No List dengan tujuan menyoroti destinasi yang popularitasnya menurun drastis. Dan dalam rilisan terbarunya, mereka menempatkan Bali di posisi pertama.
“Pembangunan yang cepat dan tak terkendali akibat pariwisata yang berlebihan telah merambah habitat alami Bali, mengikis warisan lingkungan dan budayanya, serta menimbulkan “bencana sampah plastik,” tulis mereka di situsnya.
Di Indonesia, ahli dan pemerintah memiliki pendapat berbeda soal apakah Bali sudah mengalami overtourism.
Dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Brawijaya, I Wayan Suyadnya, sudah mengidentifikasi overtourism di Bali sejak 2019.
Dalam penelitian berjudul Tourism Gentrification in Bali, Indonesia: A Wake-up Call for Overtourism yang diterbitkan di jurnal Masyarakat: Jurnal Sosiologi pada 2021, Wayan mengindikasikan gentrifikasi pariwisata di Bali sudah dalam puncak perkembangannya.
Itu terlihat dari investasi modal, perubahan demografi, perubahan budaya dan gaya hidup, serta pertumbuhan fasilitas, lanskap, dan infrastruktur yang tidak terkendali.
“Dari gentrifikasi yang seperti ini, perkembangan pariwisata di Bali bisa dikategorikan sebagai overtourism karena ada penurunan kualitas destinasi wisata di tiga lokasi tersebut,” kata Wayan dalam simpulan studinya.
Penelitian itu dilakukan di Kuta, Sanur, dan Ubud—tiga kawasan wisata yang disebut segitiga emas—karena menunjukkan wilayah yang mengalami gentrifikasi.
I Gde Pitana, profesor bidang pariwisata di Universitas Udayana, tidak sepakat ketika seluruh Pulau Bali disebut mengalami overturism, seperti yang terjadi di Spanyol atau negara-negara Eropa lainnya.
Overtourism, menurut Pitana, bisa diukur dari tingkat gangguan kepada masyarakat, tingkat kemacetan lalu lintas, tingkat kepadatan objek-objek wisata, hingga persepsi masyarakat terhadap kehadiran wisatawan.
Dari kriteria-kriteria itu, menurut dia, Kuta, Canggu, dan Ubud, termasuk daerah-daerah di Bali yang sudah mengalami overtourism.
Namun dia menegaskan, secara keseluruhan, Bali “masih kurang turis”.
“Orang Bali sampai sekarang masih tetap berpromosi untuk mendapatkan turis, baik untuk Bali secara keseluruhan maupun semua objek wisata,” kata Pitana.
Mantan Kepala Badan Sumber Daya Pariwisata di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini mengatakan sudah lama memprediksi warga Bali akan bermasalah dengan tanah.
Ketika menjabat Kepala Dinas Pariwisata Bali pada 1985, Pitana mengaku “selalu mengimbau” warganya untuk tidak menjual tanah.
“Kalau bisa, tanah itu dikontrakkan. Peraturan pengontrakan tanah itu kan 30 tahun. Setelah 30 tahun, tanah itu tidak hilang,” ujar Pitana.
Ia mengimbau agar uang hasil sewa itu kemudian dialokasikan untuk membeli saham perusahaan yang membangun di tanah mereka.
Nyatanya, imbauan itu tidak digubris warga. Pitana menyebut ada saja pihak “yang sinis” karena tidak ada aturan tertulis, seperti undang-undang, yang melarang orang untuk menjual tanahnya.
Oleh sebab itu, pada 1992, ketika menjabat sebagai konsultan United Nations Development Programme (UNDP) dan meninjau rencana utama pariwisata Bali, Pitana dan rekan-rekannya mengusulkan membuat desa wisata.
Tujuannya, untuk mengembangkan pariwisata di desa yang berbasis masyarakat lokal, dimiliki oleh lokal, dikelola oleh lokal, “dan orang lokal itu tidak menjual tanahnya”.
Desa Wisata Penglipuran di Kabupaten Bangli, adalah salah satu contoh program ini.
“Pendapatan desa itu sekarang besar karena kunjungan wisatawan. Sehingga orang-orang Penglipuran enggak mau lagi kerja ke Denpasar atau ke Gianyar. Mereka kerja di desanya,” kata Pitana.
Pakar pariwisata dari Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya di Bali, I Nengah Subadra, juga mengatakan “Bali belum masuk ke overtourism”.
Sebab, kata dia, yang disoroti hanya daerah selatan yang memang sudah ramai wisatanya, seperti Kuta, Legian, Seminyak, dan sekarang sampai ke Canggu dan Pererenan.
“Sedangkan kalau di daerah lain, seperti di Bali Timur, misalnya Karangasem, atau Bali Utara di Singaraja, Buleleng, atau bahkan di Bali Tengah, di Bangli, itu masih perlu banyak wisatawan,” kata Subadra
Jumlah wisatawan yang datang pun, katanya, belum pulih seperti pada masa-masa sebelum pandemi Covid-19.
Data BPS mencatat pada 2023 kunjungan wisatawan domestik ke Bali mencapai 9,7 juta, sedangkan pada 2019 lalu, kunjungan wisatawan lokal tembus 10,5 juta—rekor tertinggi.
Untuk jumlah wisatawan mancanegara, pada 2023 BPS mencatat 5,2 juta pengunjung dari luar negeri yang berwisata di Bali, sementara pada 2019 jumlahnya mencapai 6,2 juta pengunjung.
Pada awal 2024, menteri pariwisata saat itu, Sandiaga Uno, yang kala itu menjabat sebagai menteri pariwisata, mengaku tak setuju kalau Bali disebut overturism . Hal yang sama diungkapkan pemerintah daerah.
Alih-alih overtourism, yang terjadi adalah wisatawan terlalu terkonsentrasi di Bali bagian selatan. Menurut mereka, persoalan ini bisa dituntaskan dengan penataan.
Lima bulan kemudian, Sandiaga mengatakan wilayah Bali Selatan dan Kabupaten Badung sudah mendekati pariwisata berlebih atau overtourism, sehingga perlu dilakukan pemerataan.
“Naik 10 persen lagi sudah sepenuhnya pariwisata berlebih. Jangan sampai terjadi seperti di Barcelona di mana turis malah menjadi musuh bersama,” ujar Sandiaga, seperti dikutip dari kantor berita Antara .
Meski jumlah wisatawan di Bali belum melampaui rekor tertinggi yang tercatat pada 2019, pembangunan fasilitas pariwisata yang tak terkendali telah menimbulkan peralihan lahan yang kemudian memicu berbagai masalah, salah satunya kemacetan.
Artikel-artikel yang direkomendasikan:
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah Bali mengajukan moratorium pembangunan hotel, vila, diskotek, dan kelab pantai di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan (Sarbagita) selama 1-2 tahun kepada pemerintah pusat.
Menurut Penjabat (Pj) Gubernur Bali, Sang Made Mahendra Jaya, moratorium ini dilakukan “demi mendorong terbentuknya pariwisata yang berkualitas”.
Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenkomarves) kemudian mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 163 Tahun 2024 tentang Satuan Tugas Penerapan Pariwisata Berkualitas di Provinsi Bali.
Kebijakan moratorium itu dinyatakan berlaku mulai Oktober 2024, tetapi hingga kini pemerintahan Prabowo belum membahasnya dan kebijakan ini masih jadi perdebatan di lapangan.
Pelaksana tugas (Plt) Bupati Badung Ketut Suiasa mengatakan moratorium ini menimbulkan "sebuah paradoks" sebab mereka memiliki target investasi yang harus dikejar. Menurutnya, moratorium ini “bukan satu solusi terbaik”.
“Kami di Badung belum sepakat tentang melaksanakan moratorium,” kata Ketut Suaisa dalam sebuah rapat koordinasi pada awal November .
Harga tanah ‘menyesuaikan’
“Ada gula, ada semut,” kata Kepala Dinas Pariwisata Bali Tjokorda Bagus Pemayun menanggapi banyaknya investor yang tertarik dengan Bali. Ceruk investasi itu kemudian “dipermudah” dengan birokrasi-birokrasi yang ada.
Salah satu adalah Online Single Submission (OSS) yang sengaja dibuat Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM untuk memudahkan perizinan. Pertumbuhan investasi dan bisnis itu pada akhirnya mendorong kenaikan harga tanah maupun properti.
“Dengan Bali sebagai destinasi [wisata], pasti demand/supply-nya akan menyesuaikan. Membeli tanah pasti menyesuaikan dengan harga yang sesuai dengan NJOP (nilai jual objek pajak). Itu saja,” ujar Tjokorda, kepada wartawan Christine Novita Nababan, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Meski demikian, pria yang akrab disapa Tjok ini tak memungkiri bahwa di tengah ramainya investasi di Bali, ada persoalan perizinan yang mempengaruhi tata ruang.
Itu sebabnya, sebelum moratorium benar-benar diterapkan, Tjok mengatakan pihaknya ingin mengumpulkan daftar masalah terlebih dahulu di wilayah-wilayah padat pembangunan wisata, salah satunya di Badung.
Pemda Bali, kata Tjok, sudah “menyurati” pemerintah pusat terkait hal itu.
Dalam surat yang sama, juga dibahas rancangan teknis pengelolaan investasi itu, khususnya Penanaman Modal Asing (PMA) oleh investor asing.
Pemerintah Bali meminta perizinan usaha yang berhubungan dengan PMA seharusnya dibatasi, hanya untuk usaha berisiko menengah tinggi, atau tinggi saja.
Semakin tinggi level risiko usahanya, semakin banyak syarat yang dibutuhkan, salah satunya dokumen lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Sementara di level risiko usaha rendah dan menengah rendah—yang persyaratannya lebih mudah—diperuntukkan bagi investor lokal saja, kata Tjok.
“Yang sekarang ini, PMA yang usaha [risiko] rendah, menengah-rendah juga boleh masuk,” ujarnya.
Dia menambahkan hingga kini belum ada respons pemerintah pusat terkait surat tersebut.
Apakah orang Bali akan protes?
Kembali ke Gede, Ari dan Fitri.
Gede menganggap bahwa orang Bali hanya bisa menerima nasib karena menurutnya, saat ini warga Bali hidup “seperti katak dalam tempurung”.
“Sangat menyedihkan, mayoritas warga sepertinya menormalkan hidup di kos-kosan yang kecil dan tidak tahu bahwa [harga] properti di luar Bali itu terjangkau dengan UMR [Upah Minimum Regional] lokal,” kata Gede.
Meski merasakan beberapa dampak yang menyulitkan, sebagai orang Bali asli, dia mengatakan tidak akan melakukan protes secara terang-terangan. Apalagi dia bekerja di industri pariwisata.
“Takutnya kalau ketahuan, pemerintah setempat menekan perusahaan, dan saya jadi kambing hitamnya,” ujar Gede.
Senada, Ari juga mengatakan untuk saat ini dia “belum ada kepikiran untuk melakukan protes secara terang-terangan”.
Namun, Fitri punya pemikiran yang berbeda karena menurut dia saat ini Bali “sudah cukup sumpek”.
“Jika mereka hanya sekedar untuk liburan tidak masalah karena durasi tinggal mereka tidak akan lama. Tapi jika mereka tinggal untuk jangka waktu yang panjang, saya akan ikut menolak atau ikut petisi tolak mereka yang tinggal lama di sini,” tegas Fitri.
Dosen fakultas ilmu sosial dan ilmu politik Universitas Brawijaya, I Wayan Suyadnya, memprediksi jika perkembangan pariwisata di Bali sudah di luar adaptasi warga lokal, mereka akan melakukan protes besar-besaran seperti di Spanyol.
“Kemungkinan itu ada,” jawab Wayan. “Tapi, pada titik mana?” lanjutnya.
Aksi serupa sudah pernah dilakukan warga Bali, seperti yang terjadi pada 1994 ketika kawasan Tanah Lot dijadikan destinasi wisata dengan pembangunan hotel bernuansa resor.
Selain itu, kata Wayan, pembangunan proyek Bali Pecatu Graha juga sempat ditentang keras oleh warga.
Perlawanan juga muncul lewat gerakan Bali Tolak Reklamasi, penolakan terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Bedugul.
“Orang Bali protes, tapi satu kesamaannya. Ketika kita melanggar sakralitas, yaitu pura, lingkungan pura, dan sebagainya,” kata Wayan.
“Tetapi selama tidak melanggar hal-hal yang sifatnya prinsip seperti keagamaan, mereka masih bisa menahan diri.”
Orang Bali, lanjutnya, sangat percaya dengan adat dan karma. Kala desa adat tidak mengambil sikap terhadap situasi yang mereka hadapi, warga tak akan mengambil langkah lebih jauh dan menyerahkan pada hukum karma.
Selain itu, ada budaya koh ngomong atau malas bicara—untuk menghindari perdebatan panjang dan menjaga keharmonisan di Bali.
“Orang Bali itu, ketika mereka sudah mengatakan alam yang akan membalasnya, itu berarti mereka sudah pada titik malas untuk berbicara ataupun menyampaikan aspirasinya ke wakil-wakilnya atau ke media,” ujar Wayan.
Dalam penelitian terbarunya yang membahas overtourism di Canggu, sebagian besar responden mengaku sangat terganggu dengan perkembangan pariwisata di kawasan yang tengah naik daun tersebut.
“Ada seorang anak yang bangun tengah malam hanya untuk belajar karena suara diskotik yang ada di sekitar rumahnya itu mulai dari jam 7 sampai jam 1 pagi,” tutur Wayan menceritakan hasil wawancaranya.
“Dia merasa terganggu sekali, tapi sekarang dia mengatakan itu sudah biasa,” lanjutnya.
Warga menyebut apa yang mereka alami merupakan “bagian dari konsekuensi sebagai hidup bersama turis” di destinasi wisata.
“Jadi bukan menganggap bahwa orang luar yang mendatangkan masalah, tetapi justru mereka berefleksi. Kita yang membutuhkan mereka. Turis kemudian datang, mau tidak mau, [warga] yang harus mengatur ritme hidup,” kata Wayan.
Sebagai orang Bali, Wayan tentu memahami sifat itu. Namun menurut dia, di sisi lain konsep ini sudah “kebolak-balik” jika dikaitkan dengan pariwisata.
Setelah melakukan penelitian dan melihat kondisi yang ada, Wayan menyimpulkan orang-orang Bali sudah “tertawan” oleh pariwisata. Perkembangan wisata dianggap sebagai “mantra yang kuat” yang bahkan bisa “membungkam” mereka.
Meskipun gesekan antara warga lokal dan para pendatang—termasuk wisatawan—mulai muncul, mereka masih merasa bahwa pendatang baru merupakan komponen pendukung dalam kemajuan kawasan wisata.
Akibatnya, penduduk setempat “terjepit” dan hanya bisa menerima konsekuensi perubahan yang mau tak mau harus mereka setujui.
Laporan tambahan oleh Ade Mardiyati dan Christine Novita Nababan.