Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Menteri LHK Terbitkan Aturan yang Larang Pejuang Lingkungan Dipidana, Akankah Menghentikan Kriminalisasi?
15 September 2024 15:25 WIB
Menteri LHK Terbitkan Aturan yang Larang Pejuang Lingkungan Dipidana, Akankah Menghentikan Kriminalisasi?
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yang menegaskan bahwa pejuang lingkungan tidak bisa dipidana, dipandang cukup progresif, menurut kalangan pegiat lingkungan.
Namun peraturan menteri ini tidak bisa mengikat lembaga penegak hukum yang “sering kali belum punya perspektif melindungi pejuang lingkungan”, kata pakar dan pegiat.
Trennya disebut terus meningkat setelah pemerintah mengesahkan regulasi mengenai proyek strategis nasional (PSN) serta Undang-Undang Cipta Kerja.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Raynaldo Sembiring, mengatakan salah satu tantangan dari implementasi peraturan ini adalah memastikan bahwa aparat penegak hukum memiliki pemahaman yang sama soal perlindungan pejuang lingkungan.
Menurutnya, ini bukanlah peraturan pertama dengan napas serupa. Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung pernah menerbitkan pedoman untuk menangani serta mengadili perkara terkait lingkungan hidup.
“Tapi aparat penegak hukum sering kali memilih tidak menggunakan ketentuan yang sudah ada. Saya melihatnya pemahamannya belum penuh, lalu [mereka] melihat para pegiat lingkungan ini sama seperti pelaku kejahatan lainnya, padahal kan tidak," kata Raynaldo ketika dihubungi, Jumat (13/09).
Sampai bulan ini saja, masih ada kasus-kasus pejuang lingkungan yang berhadapan dengan hukum.
Pada 5 September 2024, dua nelayan di Kwala Langkat, Sumatra Utara, divonis bersalah karena menolak hutan mangrove menjadi kebun sawit.
Tina Rambe, seorang ibu di Labuhan Batu, dituntut enam bulan penjara karena diduga melawan polisi saat berdemo menolak pabrik kelapa sawit. Video Tina memeluk anaknya dari balik jeruji sempat viral di media sosial.
Dari Halmahera Tengah, Cristina Rumalutu dipanggil oleh Bareskrim Polri imbas aksi protesnya menyoroti kerusakan lingkungan akibat tambang nikel. Dia dilaporkan atas tuduhan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Pada April 2024, aktivis lingkungan di Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan sempat divonis tujuh bulan penjara karena memprotes tambak udang yang merusak lingkungan. Daniel akhirnya bebas pada Mei lalu setelah mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi.
Tanpa komitmen dan pemahaman yang di lembaga-lembaga penegak hukum, peraturan ini dikhawatirkan akan sulit menghentikan bahkan mencegah kriminalisasi pejuang lingkungan.
Apa artinya Permen ini bagi perlindungan pejuang lingkungan?
Peraturan ini terbit sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang salah satu pasalnya juga menyatakan bahwa pejuang lingkungan tak dapat dipidana.
Aturan semacam ini dikenal juga sebagai Anti-SLAPP (Anti Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang menjamin perlindungan hukum masyarakat untuk tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Permen ini menyatakan akan memberi perlindungan hukum dan pencegahan dari "tindakan pembalasan".
Tindakan pembalasan yang dimaksud mencakup ancaman tertulis maupun lisan, kriminalisasi, kekerasan fisik dan psikis, somasi, pelaporan atau tuntutan pidana, hingga gugatan perdata.
Untuk mencegah terjadinya tindakan pembalasan itu, akan dilakukan pengembangan kapasitas bagi aparat penegak hukum, mendorong dibentuknya aparat penegak hukum yang bersertifikasi lingkungan.
Selain itu, akan dibentuk pula kanal pengaduan mengenai rencana, perizinan, pengawasan hingga dugaan pelanggaran lingkungan hidup.
Raynaldo Sembiring dari ICEL mengatakan salah satu poin penting dari peraturan ini adalah soal koordinasi dengan lembaga-lembaga penegak hukum.
Koordinasi itu bisa berupa nota kesepahaman soal kasus pejuang lingkungan yang tak bisa dipidana, hingga peluang memberi masukan terhadap penegak hukum soal perkara yang sedang berjalan.
“KLHK bisa mengkoordinasikan aparat penegak hukum lainnya seperti jaksa dan polisi, mencoba memberi masukan kepada penyidik untuk menghentikan suatu perkara karena ini tergolong sebagai pelanggaran hak bagi pejuang lingkungan,” kata Raynaldo.
‘Jangan cuma di atas kertas’
Usai banjir bandang melanda Kabupaten Halmahera Tengah pada Juli lalu, Cristina Rumalutu bersama kelompok masyarakat sipil lainnya menggelar aksi protes.
Mereka menuding banjir tersebut dipicu oleh deforestasi akibat aktivitas tambang nikel.
“Selama ini kami mengawal proses eksplorasi dan ekstrasi nikel di Halmahera. Saat itu, kami menuntut untuk hentikan aktivitas sementara karena banjir bandang yang menimpa Halmahera,” kata Cristina kepada BBC News Indonesia, Sabtu (14/09).
Bukannya aspirasinya didengar, Cristina justru berujung dilaporkan ke polisi atas ucapan yang dia lontarkan saat aksi.
Pada 27 Agustus 2024, Cristina menerima surat panggilan dari Bareskrim Polri dalam kasus dugaan pelanggaran UU ITE.
“Saya ditelepon, saya menyatakan tidak akan datang karena panggilan itu cacat secara formil,” kata Cristina.
Menurutnya, polisi tidak menyertakan nama pelapor dalam surat panggilan pertama itu.
Pada 6 September 2024, dia menerima surat panggilan kedua. Di situ disebutkan bahwa pelapornya adalah seorang purnawirawan jenderal TNI.
Cristina dan pendamping hukumnya memutuskan untuk tidak memenuhi panggilan Bareskrim karena menduga ini sebagai “upaya kriminalisasi”.
Sejak saat itu, Cristina mengaku merasa tertekan.
“Saya dilema. Saya tidak tahu prosesnya apakah mereka cabut atau akan ada lanjutan sehingga status kasus saya akan naik ke tingkat penyidikan,” tuturnya.
Situasi ini membuat Cristina merasa posisi para pejuang lingkungan begitu rentan, tanpa perlindungan, dan tanpa kepastian hukum.
“Sewaktu-waktu kami bisa dipersekusi, diintimidasi, nyawa kami bisa melayang,” katanya.
Di Kwala Langkat, dua nelayan bernama Ilham Mahmudi dan Taufik kini menjalani masa percobaan empat bulan usai divonis bersalah dalam kasus dugaan perusakan dan kekerasan. Mereka menolak hutan mangrove dijadikan kebun sawit.
Kuasa hukumnya, Hukban Sitorus, mengatakan sudah mengutarakan soal pasal-pasal perlindungan pegiat lingkungan yang tertuang dalam UU Lingkungan Hidup hingga pedoman Jaksa Agung dan MA.
Namun pada akhirnya, hakim hanya menjadikan itu sebagai pertimbangan untuk meringankan hukuman Ilham dan Taufik, bukan pertimbangan untuk tidak mempidana mereka.
Pada saat yang sama, Hukban mengeluh bahwa laporan yang diajukan kliennya terhadap pihak yang mereka tuduh telah merambah hutan, tak kunjung diusut oleh polisi.
Itu adalah realita yang dihadapi oleh pejuang lingkungan sampai saat ini.
Di tengah situasi yang kian mengkhawatirkan, Cristina dan Hukban mengingatkan agar Permen LHK ini tak hanya kuat di atas kertas.
Perlindungan itu, kata mereka, harus benar-benar terwujud di lapangan.
“Jangan cuma aturan yang melindungi di atas kertas tapi kemudian pelaksanaannya bukan berdasarkan hukum, tapi kekuasaan,” kata Cristina.
“Perlu sikap tegas pemerintah mengimplementasikan itu. Pemerintah harus punya telaah khusus agar ini menjadi referensi bagi penegak hukum dalam kasus-kasus terkait pejuang lingkungan.”
Sejauh apa aturan ini dapat mencegah kriminalisasi?
Sayangnya, regulasi ini tidak bisa menjamin sepenuhnya bahwa kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan dapat segera terhenti.
Sebagai peraturan menteri, aturan ini disebut punya keterbatasan wewenang dan jangkauan.
“Kalau bicara kriminalisasi aktivis, peraturan ini tidak bisa masuk ke ruang penuntutan karena itu wewenang jaksa, tidak bisa masuk ruang penyidikan karena itu ranah Polri,” kata Raynaldo.
“Jadi KLHK harus bisa menjelaskan apa itu anti-SLAPP, sehingga bisa diikuti oleh aparat penegak hukum lainnya.”
Penegak hukum juga dianggap masih sering punya penafsiran berbeda terhadap kasus-kasus yang menyangkut lingkungan hidup.
Padahal dari sisi lembaga penegakan hukum, telah ada pedoman Jaksa Agung dan Mahkamah Agung yang mengatur secara khusus soal penanganan hingga peradilan perkara terkait lingkungan hidup.
“Tapi mereka masih sering membacanya secara berbeda. Jadi bukan sebagai upaya perlindungan, tapi mereka justru mencari supaya unsur [pidana] itu terpenuhi. Jadi saya melihatnya, belum lazim bagi aparat penegak hukum untuk melindungi pembela lingkungan,” ujar Raynaldo.
Aparat penegak hukum juga disebut masih sering memposisikan pejuang lingkungan sebagai pelaku kejahatan umumnya tanpa melihat konteks perjuangan lebih luasnya.
Banyak pula kasus di mana para pegiat lingkungan dijerat oleh pasal-pasal pidana umum seperti pengeroyokan, perusakan hingga pasal karet seperti pencemaran nama baik.
Salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Cristina.
Pada tahun 2017, pejuang lingkungan hidup di Desa Mekarsari, Indramayu, dijerat pasal penghinaan bendera negara karena ada bendera Merah Putih terbalik saat mereka berunjuk rasa menolak PLTU.
"Padahal dalam konteks memperjuangkan haknya, harus dilihat juga kepentingan publik yang lebih besar," kata Raynaldo.
Belum lagi tantangan birokrasi yang berpotensi muncul, kata Direktur Eksekutif Walhi Sumatra Utara, Rianda Purba.
Permen 10/2024 menyatakan bahwa seorang pejuang lingkungan harus mengajukan permohonan kepada menteri untuk mendapat penanganan perlindungan hukum.
Ini berarti pejuang lingkungan harus proaktif ketika pemidanaan terhadapnya gagal dicegah.
“Birokrasi itu yang selalu kami sesalkan, karena biasanya sangat sangat lambat. Jadi ini menjadi tugas KLHK juga bagaimana mereka bisa membangun sistem respons yang cepat,” ujar Rianda.
Apalagi mengingat para pejuang lingkungan tersebar di berbagai daerah. Tak jarang mereka berada di lokasi yang sulit diakses.
Bagaimana respons lembaga penegak hukum?
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan pihaknya belum mengetahui secara rinci dalam konteks seperti apa pejuang lingkungan tidak dapat dipidana.
Oleh sebab itu, Harli mengatakan perlu ada sosialisasi perihal poin-poin yang diatur di dalam Permen LHK tersebut.
“Hukum kita mengenal prinsip persamaan bagi semua warga negara dimata hukum, lha ini menjadi pengecualian makanya perlu disosialisasikan sehingga tidak menimbulkan berbagai penafsiran. Apalagi peraturan ini kan hanya diatur dengan Permen,” kata Harli melalui pesan singkat kepada BBC News Indonesia.
BBC News Indonesia telah menghubungi Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rasio Ridho Sani, untuk menanyakan bagaimana koordinasi lebih lanjut dengan lembaga-lembaga penegak hukum.
Ridho tak menjawab, dan hanya menginformasikan bahwa pihaknya akan menggelar konferensi pers perihal ini pada Selasa (17/09).
Sementara itu, Divisi Humas Polri dan Mahkamah Agung –sebagai dua lembaga penegak hukum lainnya yang berperan penting dalam isu ini—tak merespons sampai artikel ini ditulis.