Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Konten Media Partner
‘Mereka yang Banyak Bicara Itu Tidak Kena Dampaknya’ – ‘Hidup dan Mati’ di Wilayah Investasi Morowali di tengah Minimnya Wewenang Gubernur dan Bupati
20 November 2024 8:10 WIB
‘Mereka yang Banyak Bicara Itu Tidak Kena Dampaknya’ – ‘Hidup dan Mati’ di Wilayah Investasi Morowali di tengah Minimnya Wewenang Gubernur dan Bupati
Masyarakat Morowali, Sulawesi Tengah, bersiap menghadapi pemilihan kepala daerah (pilkada) di tengah setumpuk masalah sosial, kesehatan, dan lingkungan yang dipicu derasnya aliran investasi ke industri hilir nikel setempat.
Jumlah kasus berbagai penyakit di Morowali melonjak dalam beberapa tahun terakhir, termasuk infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, penyakit mata, penyakit kulit, bahkan HIV/AIDS.
Deforestasi tercatat tinggi dan pencemaran air pun disebut membuat kulit warga rutin mengalami iritasi.
Seorang warga mengatakan ia terpaksa bertahan di Morowali karena tak punya pilihan, meski di sana ia seperti terjebak “antara hidup dan mati”.
Menanggapi hal ini, para calon gubernur Sulawesi Tengah mengeluhkan keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola dan mengawasi aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel di wilayahnya.
Namun, mereka menjanjikan sejumlah rencana untuk mengakali situasi, entah dengan mengalihkan fokus pembangunan ke sektor non-tambang ataupun menuntut pemerintah pusat memberikan “kue” pajak lebih besar bagi daerah.
Seberapa realistis gagasan mereka?
'Perampasan lahan seperti zaman penjajahan'
Awalnya Sira—yang memilih diidentifikasi dengan nama panggilannya—dan keluarga enggan menjual tanah mereka di Ambunu, desa di Kecamatan Bungku Barat, Morowali, Sulawesi Tengah.
Sira, 25 tahun, lahir dan besar di Ambunu. Selama bertahun-tahun, keluarga besarnya hidup dari menggarap sawah dan sejumlah kebun di sana, termasuk sawit, kelapa, dan cokelat.
Pada 2020, seingat Sira, PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) mulai datang mendekati warga Ambunu, termasuk keluarganya.
Perusahaan bermaksud membeli lahan-lahan mereka untuk membangun Indonesia Huabao Industrial Park, kawasan industri pengolahan nikel dengan perkiraan nilai investasi hingga Rp200 triliun.
Mulanya, keluarga Sira hanya setuju melepas sawah mereka. Lama-kelamaan, kebun-kebun pun terpaksa direlakan. Total, lebih dari 10 hektare lahan dijual ke perusahaan.
“Dia [perusahaan] usahakan [lahan-lahan] yang di sekeliling kita itu diambil biar kitanya tinggal di tengah. Jadi akses jalannya kita susah kan. Mau enggak mau, kita serahkan,” kata Sira pada wartawan Fandy Ahmat yang melaporkan untuk BBC News Indonesia pada Oktober 2024.
Sira masih ingat bujuk rayu perusahaan agar keluarganya mau menjual lahan.
Menurut perwakilan perusahaan yang menemuinya, uang penjualan lahan bisa digunakan untuk modal membuka usaha di sekitar kawasan industri Huabao. Dengan begitu, Sira dan keluarganya tidak perlu capai berkebun setiap hari.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Namun, kenyataannya tidak seindah itu.
Dengan uang penjualan lahan, Sira dan sanak saudaranya memang bisa membuka beberapa tempat usaha, termasuk kios minuman, jasa laundry, dan tempat indekos.
Yang tidak Sira tahu, seiring berjalannya waktu PT BTIIG menerapkan sejumlah peraturan ketat bagi karyawannya.
Misal, kata Sira, karyawan dilarang berbelanja di luar kawasan industri. Yang ketahuan melanggar, imbuhnya, bakal mendapat Surat Peringatan 3 alias SP3.
“Demo lah masyarakat,” katanya. “Akhirnya [setelah demo] dibolehkan.”
Sempat pula muncul wacana untuk menutup jalan tempat banyak warga—termasuk keluarga Sira—membuka usaha, yang akhirnya batal setelah masyarakat kembali berunjuk rasa.
“Terus juga sekarang karyawan itu tinggal di mes kan. Jadi kayak kos-kosan itu banyak yang kosong,” kata Sira.
Selain itu, Sira bilang masih ada setengah hektare lahan keluarganya yang hingga kini belum juga dilunasi PT BTIIG, tapi telah digunakan untuk membangun menara saluran udara tegangan ekstra tinggi atau SUTET.
Padahal, katanya, perjanjian jual-beli lahan itu diteken pada Oktober 2023, lebih dari setahun silam.
“Perjanjiannya itu dalam satu bulan harus lunas. Terus, enggak boleh ada kegiatan sebelum lunas,” kata Sira.
“Tapi sampai sekarang, belum lunas sudah dikelola, sudah dibangun, sudah dipakai.”
Yang membuat Sira lebih gusar, pihak perusahaan disebutnya datang mengambil alih lahan setengah hektare itu saat ia sekeluarga sedang pergi ke Makassar, Sulawesi Selatan.
Tak hanya Sira yang merasa dicurangi PT BTIIG.
Baca juga:
Menurut catatan sejumlah aktivis lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti-SLAPP), tanah warga kerap “dirampas paksa” perusahaan dengan berbagai cara. Koalisi bilang, saat warga berusaha melawan, mereka justru menghadapi kriminalisasi.
Misal, kebun sawit di Desa Ambunu seluas 14 hektare mendadak “digusur pada malam hari tanpa sepengetahuan pemiliknya” pada 2022, kata koalisi tersebut.
Warga beberapa desa di sekitar kawasan industri pun tak terima dengan nota kesepahaman yang diteken PT BTIIG dengan bupati Morowali pada Maret 2024.
Melalui perjanjian itu, kata koalisi, pemerintah kabupaten Morowali sepakat menyerahkan jalan tani warga untuk dijadikan jalur angkut (hauling) material tambang perusahaan. Sebagai gantinya, perusahaan disebut berkomitmen melakukan perluasan Bandara Maleo di Morowali.
Setelah melakukan protes dengan memblokir jalan hauling itu pada Juni 2024, lima warga Desa Tondo dan Topogaro dilaporkan perusahaan ke polisi.
Lima warga itu kemudian digugat secara perdata dengan tuntutan Rp14 miliar atas kerugian penutupan jalan selama tiga hari dan pencemaran nama baik PT BTIIG.
Di samping itu, lima warga Desa Ambunu juga dilaporkan ke polisi oleh perusahaan karena masalah serupa.
BBC News Indonesia telah berulang kali meminta tanggapan PT BTIIG terkait sengketa lahan antara perusahaan dan warga. Namun, hingga artikel ini terbit, perusahaan belum memberi respons.
Yang pasti, koalisi Anti-SLAPP menilai yang selama ini terjadi adalah “praktik perampasan lahan” yang mirip “zaman penjajahan”.
“Masyarakat dibuat tidak ada pilihan lain, sementara pemerintah turut serta melindungi kepentingan perusahaan dan mengabaikan hak masyarakat.”
Morowali yang ‘strategis’ dan ‘rentan kolaps’
Bagi pemerintah, Pulau Sulawesi adalah salah satu wilayah penting untuk program “hilirisasi”, yang digadang-gadang Presiden Prabowo Subianto sebagai “kunci daripada kemakmuran ”.
Per 2023, ada 373 konsesi tambang nikel berstatus clean and clear (CnC) di Indonesia, entah dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan ataupun Kontrak Karya, yang mencakup area dengan luas total 960.117 hektare.
Sebanyak 309 di antaranya, dengan luas 691.929,6 hektare, berada di Pulau Sulawesi. Lebih dari setengah cadangan terbukti nikel Indonesia ada di sini.
Dan, dari enam provinsi di pulau tersebut, Sulawesi Tengah memiliki area konsesi nikel terbesar.
Apalagi, di sana ada Kabupaten Morowali, yang kerap dibanggakan sebagai simbol kesuksesan pemerintahan Joko Widodo dalam menarik investasi ke sektor hilir nikel.
Titik balik yang mengubah wajah Morowali ada pada Oktober 2013, saat produsen baja nirkarat raksasa Tsingshan Holding Group asal China meneken perjanjian kerja sama dengan penambang lokal Bintangdelapan Group untuk membangun kawasan industri Morowali sebagai pusat pengolahan nikel terintegrasi.
Selewat 10 tahun, kawasan industri yang dikelola PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) berkembang pesat dan diklaim berhasil menarik investasi hingga US$20,9 miliar (Rp327,9 triliun), dengan luas area sekitar 4.000 hektare.
Sejumlah smelter nikel di kawasan PT IMIP pun kini secara tak langsung memasok bahan baku baterai bagi berbagai produsen kendaraan listrik global, termasuk Tesla, Volkswagen, Ford, dan Volvo.
Indonesia lantas kena “demam nikel ”. Investor China berbondong-bondong datang mengikuti jejak Tsingshan, menggenjot eksploitasi bijih nikel dan membangun berbagai smelter untuk mengolahnya, entah untuk memproduksi baja nirkarat atau bahan baku baterai kendaraan listrik.
Walhasil, produksi bijih nikel tahunan Indonesia melonjak 395% dari hanya 39 juta ton menjadi 193 juta ton pada 2014-2023, merujuk data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Pada periode yang sama, jumlah smelter nikel yang telah dan akan dibangun naik 274,2% dari 31 unit menjadi 116 unit.
Di Morowali sendiri, sejumlah investor China tengah mengembangkan beberapa kawasan industri baru yang telah masuk daftar proyek strategis nasional (PSN) pemerintah.
Gotion High-tech, produsen baterai kendaraan listrik asal China, kini menggandeng perusahaan lokal PT Anugrah Neo Energy Materials untuk membangun Neo Energy Morowali Industrial Estate (NEMIE) di Desa Buleleng, Kecamatan Bungku Pesisir.
Dengan investasi Rp150 triliun, kawasan NEMIE rencananya akan fokus mengolah bijih nikel menjadi bahan baku baterai kendaraan listrik.
Konglomerat asal China, Zhenshi Holding Group, juga sedang membangun kawasan Indonesia Huabao Industrial Park melalui entitas lokal PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG). Nilai investasinya diperkirakan mencapai Rp200 triliun.
Zhenshi, yang memiliki 24% saham di Kawasan Industri Weda Bay di Halmahera Tengah, Maluku Utara, mulai membangun kawasan industri Huabao sejak Maret 2022.
Kompleks Huabao rencananya akan berdiri di lahan seluas 20.000 hektare yang masuk dalam wilayah enam desa berbeda: Topogaro, Tondo, Ambunu, Upanga, Larebonu, Wata, dan Wosu.
Berarti, setelah proyek ini rampung, ia bakal lima kali lebih luas dari kawasan industri PT IMIP.
Mengingat komitmen pemerintahan Prabowo untuk melanjutkan program hilirisasi yang telah dimulai di era Jokowi, plus kesepakatan yang telah diteken untuk berbagai proyek pengolahan nikel, tampaknya investasi masih bakal deras mengalir ke Morowali dan sekitarnya dalam beberapa tahun ke depan.
“Fokus pemerintahan Prabowo masih soal hilirisasi mineral,” kata Bhima Yudhistira, direktur eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios).
“Sehingga, Morowali memang masih dipandang sebagai lokasi yang strategis.”
Namun, Bhima mengingatkan, pertambangan dan pengolahan nikel masif tak hanya menarik investasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Morowali dan Sulawesi Tengah, tapi juga membawa setumpuk masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan.
“Jadi kalau ada tambahan kawasan-kawasan industri baru, sementara infrastruktur pendukung kesehatan, pengawasan lingkungan, hunian untuk pekerja, dan lain-lainnya itu enggak memadai, ya bisa kolaps daerahnya,” kata Bhima.
Dari lonjakan ISPA dan HIV/AIDS hingga rentetan kecelakaan kerja
Sira merasa kualitas hidupnya dan keluarga di Desa Ambunu menurun drastis dalam setahun terakhir.
Sebelum ada aktivitas industri, keluarga Sira biasanya mengambil air dari sumur galian sedalam tiga meter untuk kebutuhan minum, masak, mandi, dan sebagainya.
Namun, kini, Sira bilang air jadi keruh, bahkan setelah keluarganya beralih menggunakan sumur bor sedalam 16 meter.
“Sekarang, saya pakai sumur bor saja sudah agak bau, kayak bau besi begitu,” ujarnya.
“Airnya agak keruh. Apalagi kalau hujan itu dia warnanya cokelat.”
Karena itu, keluarga Sira hanya berani menggunakan air dari sumur bor itu untuk mandi dan cuci piring. Untuk minum dan masak, mereka memilih membeli air kemasan.
Air untuk mandi pun kerap membuat kulit Sira dan keluarganya gatal-gatal dan iritasi. Kulit anak dan suaminya yang sensitif jadi berulang kali merah-merah “sampai kayak melepuh”.
“Dalam sebulan tiga sampai empat kali [gatal-gatal atau iritasi]. Itu pun harus minum obat dari dokter, racikan dokter. Ada bedaknya, salepnya, obat minumnya,” kata Sira.
Debu jadi masalah lain yang menghantui warga Desa Ambunu, yang tinggal bersebelahan dengan kawasan industri Huabao.
Setahun terakhir, anak Sira yang berumur sembilan tahun rutin sesak napas. Setelah dicek ke dokter, ia ternyata kena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), yang diduga karena pekatnya debu dari aktivitas kawasan industri.
“Awalnya saya belum tahu, masih kayak cuek begitu kan, jadi enggak terlalu ambil pusing. Tapi makin ke sini, gejalanya makin parah,” ujar Sira sambil memperlihatkan surat hasil pemeriksaan anaknya dari RSUD Morowali.
“Bagaimana imunnya mau meningkat kalau lingkungannya enggak sehat? Jelas makin drop.”
Cipto Rustianto, manajer eksternal PT Baoshuo Taman Industry Investment Group (BTIIG) yang mengelola kawasan industri Huabao, mengatakan perusahaan telah berupaya menangani masalah debu.
Baca juga:
Misal, katanya, PT BTIIG rutin menyiram jalan yang dilalui kendaraan pengangkut bahan baku setidaknya dua kali sehari saat tidak hujan. Laju kendaraan pun disebut tak boleh lebih dari 40 kilometer per jam, terutama saat melalui wilayah permukiman.
“Area stockpile untuk bahan baku juga diletakkan pada area tertutup agar debu tidak menyebar keluar," kata Cipto, seraya menambahkan perusahaan telah memasang alat untuk mengendalikan partikulat yang muncul dari operasi PLTU dan smelter di kawasan industri.
Namun, lonjakan kasus ISPA di sekitar kawasan industri tampak tak terhindarkan.
Puskesmas di Wosu—desa yang bersebelahan dengan Ambunu—mencatat kenaikan kasus ISPA di Kecamatan Bungku Barat dari 735 pada 2021 menjadi 1.200 pada 2022.
Pada 2023, angkanya sedikit menurun menjadi 1.148 kasus ISPA. Sementara itu untuk tahun ini, hingga September saja jumlah kasusnya telah mencapai lebih dari 1.000, yang mencakup 53 balita.
Kepala Tata Usaha Puskesmas Wosu, Armawati Insani, menyebut pihaknya belakangan memang banyak menerima keluhan warga soal paparan debu.
"Debunya ini bukan hanya dari jalan, tetapi juga dari pabrik. Kami menunggu dari mereka juga untuk mengundang [memberikan penjelasan], tapi tidak ada. Jadi nanti kami akan menyurat ke perusahaan," kata Armawati.
Ini seakan mengulang apa yang terjadi di Kecamatan Bahodopi, lokasi kawasan industri Morowali yang dikelola PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP). Kompleks ini mulai dibangun pada 2013 dan resmi beroperasi sejak 2015.
Warga Desa Fatufia di Bahodopi, misalnya, kerap mengeluhkan debu dari aktivitas kawasan industri yang mengotori rumah mereka dan memicu ISPA, seperti dilaporkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).
Puskesmas Bahodopi mencatat lonjakan jumlah kasus ISPA dari 28.867 pada 2022 menjadi 55.527 pada 2023.
Pada Januari-September 2024, angkanya telah mencapai 46.739 kasus.
Sukri dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah mengatakan timnya sempat melakukan pemeriksaan air minum dari rumah ke rumah di Morowali dan, hasilnya, ditemukan bahwa air di sana terkontaminasi bakteri E. coli.
“Informasi yang kami dapat memang sumber cemaran itu berasal dari kawasan industri,” kata Sukri saat Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia pada 9 Oktober 2024.
Jumlah kasus penyakit lain di Morowali pun melonjak dalam beberapa tahun terakhir, termasuk diare, penyakit mata, penyakit kulit, bahkan HIV/AIDS.
Pemerintah Kabupaten Morowali mencatat 62 kasus HIV/AIDS sepanjang 2023. Selama Januari-September 2024, angkanya telah menyentuh 58.
Sukri hanya mengatakan salah satu pemicu kasus HIV/AIDS di Morowali adalah “perpindahan orang yang cukup besar”. Ia merujuk para pendatang yang berusaha mencari peruntungan dengan bekerja di kawasan industri Morowali.
Di sisi lain, masifnya operasi tambang nikel telah memicu hilangnya puluhan ribu hektare hutan di Pulau Sulawesi.
Secara lebih spesifik, deforestasi di 110 wilayah konsesi tambang nikel di Sulawesi Tengah setidaknya mencapai 22.874,9 hektare per 2023, merujuk data LSM lingkungan Mighty Earth.
Angka ini dihitung sejak masing-masing konsesi tersebut terbit atau mengalami penyesuaian terakhir.
“Deforestasi yang terjadi di Sulawesi akan berimplikasi terhadap menguatnya polycrisis lingkungan hidup yang ditandai dengan perubahan iklim, meningkatnya polusi dan pencemaran udara serta hilangnya keanekaragaman hayati,” tulis Satya Bumi dan Walhi dalam kertas kebijakan yang dirilis Oktober 2023.
Selain menghapus ruang-ruang hijau, aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel memaksa banyak orang beralih profesi.
Keluarga Sira di Desa Ambunu, misalnya, mesti meninggalkan sawah dan kebun yang telah jadi sumber kehidupan mereka selama bertahun-tahun.
Yang masih bertahan sebagai petani pun mengaku megap-megap.
“Lahan-lahan pertanian mungkin masih ada, tapi jauh, tidak terjangkau lagi. Perasaan kami saat ini seperti disembelih," kata Makmur, warga Desa Ambunu berusia 64 tahun.
Para nelayan memiliki cerita serupa. Zan, salah satu nelayan di Desa Ambunu, bilang kini ia makin susah mencari ikan. Wilayah jelajahnya kian jauh dan hasil tangkapannya terus berkurang.
“Aktivitas nelayan terganggu karena di lokasi yang menjadi tempat nelayan mencari ikan, di situ juga kapal berlabuh dan keluar-masuk," kata Zan, 39 tahun.
“Dulu kami bisa dapat ikan yang jaraknya dekat, tapi sekarang harus keluar jauh. Otomatis mengeluarkan biaya lebih tinggi lagi [untuk bensin].”
Lalu, bagaimana nasib para pekerja di kawasan industri?
Serikat Pekerja Industri Morowali (SPIM) mengatakan kecelakaan kerja telah berulang kali terjadi di kawasan industri yang dikelola PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Kecamatan Bahodopi.
Terakhir, terjadi ledakan yang menewaskan satu pekerja PT Dexin Steel Indonesia di kompleks PT IMIP pada 25 Oktober 2024.
Namun, yang paling menyedot perhatian publik adalah ledakan yang diduga berasal dari tungku smelter PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel di kawasan yang sama pada 24 Desember 2023. Kejadian ini menewaskan setidaknya 21 pekerja dan membuat 38 lainnya cedera.
Menurut LSM Trend Asia, setidaknya 53 pekerja smelter tewas karena kecelakaan kerja pada periode 2015-2022, termasuk di kompleks PT IMIP.
Abdul Kadir Jaelani, sekretaris jenderal SPIM, menilai rentetan kecelakaan kerja di kompleks PT IMIP menunjukkan lemahnya manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di sana.
“Kami menganggap sistem manajemen K3-nya belum siap untuk menangani industri sebesar ini. Penyusunannya pun luput dari berbagai aspek, tidak melibatkan ahli K3 maupun serikat pekerja,” ujar pria yang akrab disapa Jay ini.
Dedy Kurniawan, juru bicara PT IMIP, mengatakan beberapa kecelakaan kerja terjadi karena pelanggaran prosedur K3. Karena itu, imbuhnya, perusahaan rutin memberikan pelatihan K3 pada pekerja dan memeriksa seluruh peralatan kerja yang ada dari waktu ke waktu.
Jika terjadi kecelakaan kerja, kata Dedy, perusahaan pun berkomitmen memberikan santunan pada keluarga korban yang bisa mencapai ratusan juta rupiah, selain menanggung biaya rumah sakit dan penguburan.
Namun Michael, salah satu anggota SPIM yang hanya bersedia diidentifikasi dengan nama panggilannya, berkata lain.
Menurut Michael, yang bekerja di bagian tungku peleburan di kawasan PT IMIP, alat pelindung diri (APD) yang dikenakan para pekerja sebenarnya tidak memadai.
"Ini perusahaan besar, selalu dibangga-banggakan, tapi coba datang kemari dan masuk ke dalam. Lihat bagaimana bobroknya,” ujar Michael.
“Kalau cuma luka-luka ringan, luka-luka bakar, itu setiap hari kami alami.”
‘KIM Plus versus PDI-P’ dengan kearifan lokal
Di tengah setumpuk masalah sosial, lingkungan, dan kesehatan tersebut, masyarakat Sulawesi Tengah secara umum dan Morowali secara khusus akan memilih kepala daerahnya untuk periode 2024-2029.
Ada tiga pasangan yang bersaing untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tengah.
Ahmad Ali dan Abdul Karim Al Jufri adalah pasangan yang mengaku mendapat “mandat” dan “dukungan penuh” dari Presiden Prabowo Subianto.
Dengan slogan “Bersama Ahmad Ali dan Abdul Karim Aljufri” atau “Beramal”, pasangan ini diusung delapan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus: Gerindra, Nasdem, Golkar, PAN, PSI, Perindo, PKB, dan PPP.
Tiga partai KIM Plus lainnya, yaitu Demokrat, PBB, dan PKS, memilih melempar dukungannya pada pasangan Anwar Hafid dan Reny Lamadjido. Mereka memiliki slogan “Bersama Anwar-Reny” atau “Berani”.
Untuk melawan keroyokan partai-partai pendukung pemerintahan Prabowo, PDI-P menggandeng Hanura, Ummat, dan Buruh untuk menyokong pasangan Rusdy Mastura dan Sulaiman Agusto Hambuako.
Sementara itu, ada empat pasangan calon bupati di Morowali. Tiga di antaranya merupakan proksi kubu “Beramal” yang mendapat dukungan calon gubernur Ahmad—meski ada pula calon bupati yang disokong partai pengusung Anwar.
Di Morowali, ada A. Rachmansyah Ismail dan Harsono Lamusa yang didukung PBB, PKB, dan Gerindra, Taslim dan Asgar Ali yang didukung NasDem, PAN, dan PSI, serta Iksan Baharuddin Abdul Rauf dan Iriane Ilyas yang didukung Golkar, PKS, dan Perindo.
Di sisi lain, ada Kuswandi dan Syahnil Umar yang diusung Demokrat, Hanura, dan PDI-P. Ini satu-satunya pasangan yang tidak didukung kubu “Beramal”.
Menurut Aisah Putri Budiatri, peneliti di Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sebuah daerah bisa dikatakan strategis dalam konteks pilkada karena beberapa hal.
Pertama, katanya, jumlah pemilih di daerah itu besar, sehingga perlu diamankan untuk kepentingan pemilihan legislatif dan presiden di masa mendatang.
Kedua, daerah itu jadi pusat aktivitas politik yang dapat memengaruhi stabilitas nasional, misalnya Jakarta.
Ketiga, ada perputaran uang besar atau kontribusi ekonomi signifikan dari daerah tersebut.
Maka, Sulawesi Tengah jadi penting utamanya karena ia strategis secara ekonomi, kata perempuan yang biasa disapa Puput tersebut.
“Kontribusi ekonominya terhadap negara itu sangat besar, mulai dari nilai investasinya, perannya sebagai rumah bagi sejumlah kawasan industri, potensi dan peluang dari sumber daya alamnya, dan lain-lain,” ujar Puput.
Prabowo, ujar Puput, tentu ingin menjaga “kontrol politiknya” dari pusat ke daerah dengan mengamankan daerah-daerah yang dianggap strategis, termasuk Sulawesi Tengah.
“Makanya kenapa kemudian banyak fenomena koalisi presiden ini terbentuk di level daerah? Tujuannya ya untuk mengekalkan kekuasaan dari level pusat ke daerah,” katanya.
Meski begitu, pada kenyataannya koalisi gemuk KIM Plus tak melulu kompak mendukung satu pasangan kepala daerah yang sama.
Apalagi, pada Agustus lalu keluar putusan Mahkamah Konstitusi yang mengizinkan pencalonan kepala daerah oleh partai dengan 6,5% sampai 10% suara sah di daerah terkait—tergantung jumlah penduduk di sana.
Ini memungkinkan sejumlah partai untuk “membelot” dari KIM Plus.
Puput bilang konteks lokal jadi penting dalam pilkada. Partai bisa jadi mendukung calon kepala daerah sendiri karena kandidat terkait dianggap memiliki elektabilitas tinggi.
Atau, kata Puput, partai itu percaya diri dengan mesin politik mereka di daerah terkait, sehingga bisa berjalan sendiri tanpa bantuan koalisi gemuk.
Dan, itulah yang terjadi di Morowali dan Sulawesi Tengah.
Mayoritas partai-partai KIM Plus mendukung Ahmad dari NasDem di pilgub Sulawesi Tengah dan tiga calon bupati di Morowali.
Namun, Demokrat yang juga sebenarnya bagian dari KIM Plus memilih menyokong Anwar di pilgub, kadernya sendiri yang sebelumnya menjabat bupati Morowali dua periode dari 2007 hingga 2018.
Ahmad dan Anwar adalah putra asli Morowali, yang sama-sama menjadi anggota DPR periode 2019-2024.
Keduanya sempat bertarung di pemilihan bupati Morowali pada November 2012, yang diwarnai sengketa sehingga terjadi pemungutan suara ulang pada Maret 2013. Dalam dua kesempatan itu, Anwar keluar jadi pemenang.
Saat menjadi bupati Morowali, Anwar tercatat sempat menerbitkan ratusan izin usaha pertambangan (IUP) di daerahnya. Saat itu bupati memang berwenang memberi izin setelah terbitnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2004.
Namun, menurut laporan yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Yayasan Auriga Nusantara pada 2020, banyak IUP tersebut bermasalah.
Misal, per Februari 2014, terjadi tumpang tindih antara IUP dan kawasan hutan di Morowali seluas 398.553 hektare. Selain itu, puluhan IUP juga disebut memiliki wilayah yang tumpang tindih dengan area Kontrak Karya, utamanya milik PT Vale Indonesia.
Imbasnya, ratusan IUP bermasalah dicabut.
Menurut catatan Richard Labiro, pengamat kebijakan publik dari Universitas Tadulako di Palu, salah satu IUP bermasalah yang sempat dicabut adalah milik PT Oti Eya Abadi yang terafiliasi dengan Ahmad. Kini, IUP perusahaan itu sudah kembali berstatus clean and clear (CnC).
Keluarga Ahmad juga mengendalikan PT Graha Mining Utama, yang punya dua konsesi tambang nikel di Morowali, merujuk laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Sementara itu calon gubernur Sulawesi Tengah lainnya, Rusdy atau biasa disapa Cudy, adalah politikus senior yang tercatat pernah berulang kali ganti seragam partai.
Saat menjadi wali kota Palu selama dua periode dari 2005 sampai 2015, ia dikenal sebagai kader Golkar.
Rusdy lantas beralih ke NasDem sejak 2019, dan menang di pemilihan gubernur Sulawesi Tengah 2020 dengan dukungan 10 partai berbeda.
Selama Rusdy menjadi gubernur, ekonomi Sulawesi Tengah tumbuh rata-rata 12,9% per tahun pada periode 2021-2023, jauh di atas pertumbuhan nasional. Ini dipicu masifnya operasi tambang dan pengolahan nikel di sana.
Namun, pada periode yang sama, persentase penduduk miskin Sulawesi Tengah tercatat stabil di kisaran 12-13%, tidak ada penurunan berarti.
Pada 2023, Rusdy pindah ke Gerindra setelah mengaku “kecewa ” dengan Nasdem. Namun, meski berstatus petahana, ia tidak mendapat dukungan Gerindra untuk kembali berlaga di pemilihan gubernur 2024.
Karena itu, ia maju di saat akhir dengan sokongan PDI-P, Hanura, Ummat, dan Buruh.
Meski partai-partai KIM Plus memiliki sejumlah calon berbeda dan ada warna kompetisi lokal di pilkada Morowali atau Sulawesi Tengah, secara umum apa yang terjadi masih sejalan dengan tren nasional yang disebut Puput dari BRIN sebagai “KIM Plus versus PDI-P”.
Menurut Richard dari Universitas Tadulako, para calon kepala daerah berpeluang meraih simpati masyarakat bila bisa menyuarakan isu-isu populer yang dekat dengan mereka, misalnya terkait nasib pekerja di kawasan-kawasan industri.
“[Misalnya] bagaimana kandidat mendorong ada perbaikan terhadap K3 dan upah minimum sektoral sesuai dengan aspirasi buruh. Isu-isu semacam ini harus ditampung. Istilahnya, belanja masalah harus sampai pada persoalan tersebut," kata Richard.
‘Campur tangan pusat bikin daerah tak berwibawa’
Masalahnya, meski telah belanja masalah sebanyak apa pun, para calon kepala daerah di Morowali dan Sulawesi Tengah tak punya banyak ruang gerak untuk menanganinya.
Peraturan yang ada saat ini hanya mengizinkan pemerintah provinsi untuk menerbitkan izin, membina, dan mengawasi usaha pertambangan komoditas mineral bukan logam seperti pasir kuarsa dan batuan seperti andesit. Pemerintah kabupaten/kota bahkan tak memiliki kuasa sama sekali soal ini.
Untuk batubara dan mineral logam seperti nikel, wewenangnya ada di pemerintah pusat.
Belum lagi, sejumlah kawasan industri di Morowali merupakan proyek strategis nasional (PSN) yang mendapat setumpuk kemudahan dari pemerintah pusat dan tidak bisa seenaknya diutak-atik oleh kepala daerah terkait.
Melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016, misalnya, kepala negara meminta seluruh pihak terkait, termasuk para menteri, jaksa agung, dan para kepala daerah, untuk mengambil “langkah-langkah yang diperlukan” dan menyelesaikan segala masalah dan hambatan demi percepatan pelaksanaan PSN.
Dari sana, para pihak terkait bisa “mengambil diskresi” untuk mengatasi persoalan “mendesak”, “mencabut dan/atau mengganti” ketentuan perundang-undangan, ataupun menyusun kebijakan “yang diperlukan”.
Secara lebih spesifik, menteri dalam negeri diminta mengawasi gubernur serta bupati dan walikota dan memberi sanksi bila para kepala daerah “tidak memberikan dukungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
Ahmad Ali, calon gubernur Sulawesi Tengah yang paling banyak didukung partai-partai KIM Plus, mengatakan terbatasnya kewenangan kepala daerah membuat “daerah hanya menjadi penonton”.
“Ketika kemudian terjadi pelanggaran di kawasan, bupati tidak punya tangan yang cukup untuk menjangkau itu. Begitu pun dengan gubernur,” katanya kepada BBC News Indonesia.
“Kewenangannya ada di pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah hanya menjadi orang yang menanggung akibat.”
Maka, Ahmad mengusulkan agar pemerintah melimpahkan lebih banyak kewenangan, utamanya terkait pengawasan, agar pemerintah daerah bisa “lebih lincah” dalam mengelola usaha tambang.
Rusdy Mastura pun menyampaikan hal senada.
“Ada terlalu banyak campur tangan dari pusat, sehingga kita tidak punya wibawa,” kata Rusdy.
“Masalahnya, siapa yang mengeluarkan izin, dia yang didengar. Yang mengeluarkan izin [pemerintah] pusat. Jadi, semua bertumpu di pusat.”
Rusdy bilang pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah mesti “proporsional” agar daerah tidak hanya jadi penonton.
Bagi Anwar Hafid, meski kewenangan perizinan tidak lagi ada di pemerintah daerah, kewenangan pengawasan sebenarnya tetap melekat pada pemimpinnya.
Karena itu, kata Anwar, bila terpilih jadi gubernur Sulawesi Tengah, ia bertekad memperketat pengawasan untuk memastikan seluruh perusahaan tambang ataupun pengelola smelter menjalankan kewajibannya, termasuk dalam memulihkan lahan bekas tambang dan menerapkan standar keamanan kerja tinggi.
“Yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah memperketat sanksi terhadap pelanggaran pelaksanaan penerapan K3, baik itu di proses mining maupun di industri, sehingga kecelakaan tambang bisa kita hindari,” ujar Anwar.
Saat debat kedua calon gubernur Sulawesi Tengah pada 4 November lalu, Sulaiman Agusto Hambuako—pasangan Rusdy, bahkan berjanji akan menyeret para penambang yang merusak lingkungan ke pengadilan.
“Kita sudah tahu gara-gara penambangan di Morowali, Morowali Utara, hancur semua lingkungan kita,” kata Sulaiman dengan menggebu.
“Kalau bagi kami, tidak ada pilihan lain. Bawa ke meja hijau, pidanakan, penjarakan. Kemudian, izin usahanya itu dicabut. Enggak ada lagi dibiarkan orang-orang seperti ini.”
“Sikat sampai ke akar-akarnya.”
Di debat itu, Ahmad yang tercatat memiliki bisnis tambang nikel di Morowali mulanya tidak menanggapi Sulaiman. Abdul Karim Al Jufri, wakil Ahmad, yang duluan buka suara.
Abdul bilang ia sependapat dengan Sulaiman, tapi memiliki pendekatan berbeda. Bila ada perusahaan tambang yang melakukan pelanggaran, perusahaan itu bakal ditegur dulu. Bila tidak mempan, baru dibawa ke meja hijau.
“Upaya-upaya untuk memberikan penjelasan kepada para pengusaha-pengusaha itu wajib untuk dilakukan, karena bagaimanapun kita tetap butuh investasi,” kata Abdul.
Setelahnya, barulah Ahmad menambahkan. Ia bilang ada izin yang jadi basis setiap kegiatan tambang. Karena itu, imbuhnya, kepala daerah tidak boleh bertindak karena “amarah”.
Yang penting, kata Ahmad, perusahaan harus beroperasi sesuai kaidah-kaidah pertambangan.
Saat diwawancarai BBC News Indonesia, Ahmad berulang kali mengatakan bahwa kerusakan lingkungan hari ini di Sulawesi Tengah bisa terjadi karena penerbitan izin “ugal-ugalan” di masa lalu oleh pemerintah daerah.
Sebagai catatan, Anwar adalah mantan bupati Morowali yang di masa jabatannya dahulu sempat menerbitkan ratusan izin usaha pertambangan (IUP) di daerahnya—sebagian di antaranya kemudian diketahui tumpang tindih.
Menanggapi kritikan soal masifnya penerbitan IUP di masa lalu oleh pemerintah kabupaten/kota yang bahkan disebut sarat korupsi , Anwar mengatakan ia memang sempat menerbitkan banyak izin, tapi itu dilakukan semata untuk memetakan potensi nikel di Morowali.
“Buktinya, ketika dilakukan evaluasi pertambangan, waktu itu banyak sekali izin yang saya cabut,” kata Anwar pada BBC News Indonesia.
“Sekitar 200-an lebih izin yang saya cabut waktu itu karena kriteria tidak aktif, tidak membayar pajak, kemudian mereka mengatakan bahwa tidak ada isi di situ, tidak ada potensi [nikel].”
Upaya menggenjot pemasukan
Rusdy punya sejumlah gagasan untuk mendongkrak penerimaan pemerintah provinsi Sulawesi Tengah dari sektor tambang dan pengolahan nikel.
Meski pemerintah daerah tak berwenang mengurus izin tambang batubara dan mineral logam strategis seperti nikel, pemerintah pusat setidaknya diharapkan bisa mendorong para perusahaan untuk memindahkan domisilinya ke wilayah operasi mereka.
Dengan begitu, katanya, perusahaan terkait bakal membayar pajak penghasilan (PPh) badan ke kantor pajak daerah alih-alih di Jakarta seperti yang selama ini kerap terjadi.
“Coba itu NPWP (perusahaan) masuk di daerah tambangnya, naiklah kita punya pendapatan,” kata Rusdy pada BBC News Indonesia.
Selain itu, Rusdy mendorong pemerintah pusat mewajibkan perusahaan untuk menawarkan participating interest atau hak partisipasi 10% di sebuah proyek tambang kepada BUMD setempat, meniru skema serupa di sektor minyak dan gas bumi.
“Sehingga, setiap perusahaan memberikan 6% [hak partisipasi] ke kabupaten, 4% ke provinsi,” imbuhnya.
Lain halnya dengan Anwar, yang meminta pemerintah pusat meninjau kembali atau menghapus skema tax holiday atau pembebasan pembayaran pajak hingga 30 tahun untuk kawasan industri.
Kebijakan ini, katanya, membuat pajak kini hanya dikenakan pada penjualan bijih nikel di mulut tambang, bukan barang jadi hasil pengolahan bijih nikel tersebut di kawasan industri. Ini membuat pemasukan daerah jadi minim, kata Anwar.
Di sisi lain, Ahmad sedari awal tidak berharap banyak untuk bisa meningkatkan pemasukan dari sektor tambang yang dikuasai pemerintah pusat.
Ia lebih tertarik mendorong pengembangan sektor pertanian agar pertumbuhan Sulawesi Tengah bisa lebih merata dan provinsi ini bisa menjadi pemasok pangan utama bagi Ibu Kota Nusantara (IKN) di Pulau Kalimantan.
“Dengan pindahnya ibu kota ke Kalimantan, yang berhadapan langsung dengan Provinsi Sulawesi Tengah, maka Sulawesi Tengah ini menjadi satu-satunya pintu gerbang untuk Ibu Kota Nusantara,” kata Ahmad.
“Artinya, itu kan bisa jadi sumber pendapatan yang sangat besar ketika itu dikelola dengan baik.”
IKN juga jadi salah satu “jualan” Rusdy saat debat calon gubernur pertama pada 16 Oktober silam.
Rusdy bilang Sulawesi Tengah di bawah kepemimpinannya berkomitmen menjadi daerah penyangga IKN.
Karena itu, pemerintah provinsi Sulawesi Tengah kini tengah membangun Kawasan Pangan Nusantara di Kabupaten Donggala yang berhadapan langsung dengan IKN. Luas total kawasan ini diharapkan bakal menyentuh 15.000 hektare di masa depan, dengan komoditas utama jagung dan kedelai.
Sependapat, Anwar menilai ke depannya Sulawesi Tengah mesti fokus menyiapkan diri menjadi “lumbung pangan”, termasuk untuk memenuhi kebutuhan di IKN.
Apalagi, menurutnya kini sudah ada terlalu banyak kawasan industri dan smelter nikel, utamanya di Morowali.
Bila pemerintah pusat tidak membatasi pembangunan fasilitas tersebut, menurutnya pembebasan lahan bakal kian marak sehingga masyarakat terus kehilangan lahan-lahan pertanian dan perkebunannya.
Padahal, semakin rajin dikeruk, semakin cepat pula bijih nikel habis.
Dan, saat itu terjadi, Anwar khawatir wilayah tambang dan pengolahan nikel seperti Bahodopi di Morowali bakal ditinggalkan begitu saja, kehilangan daya tariknya.
“Kalau tidak ditata dengan sebaik-baiknya, saya yakin Bahodopi itu akan menjadi kota hantu.”
‘Antara hidup dan mati’
Bila bisa memilih, Sira dan keluarga sebenarnya merasa lebih baik pergi meninggalkan Desa Ambunu.
Kampung halamannya itu dulu sejuk, penuh sawah dan kebun.
Kini, tumpukan material tambang tampak menggunung di pinggir-pinggir jalan desa. Truk-truk tambang hilir mudik, menyebarkan debu dan penyakit ke warga sekitar.
Keuntungan dari sejumlah tempat usaha yang dibuka keluarga Sira pun disebut terus “menurun” dari waktu ke waktu.
“Kita bertahan di sini antara hidup dan mati,” kata Sira.
“Tapi, kita mau pergi juga enggak ada modal karena [aset-aset] sudah diserahkan.”
Menurutnya, tak ada jalan lain: pemerintah harus melakukan sesuatu untuk memperbaiki nasib warganya. Pemerintah yang mana saja boleh, entah di level kecamatan, kabupaten, provinsi, ataupun pusat.
“Mereka yang jauh di sana, yang banyak berbicara itu, yang tidak kena dampaknya,” kata Sira.
“Kalau kita yang kena dampak langsung di sini, mulai dari kesehatan, pendapatan kita, itu semuanya terpengaruh sekali dengan adanya perusahaan ini.”
Wartawan Viriya Singgih di Jakarta dan Fandy Ahmat di Sulawesi Tengah berkontribusi untuk liputan ini.