Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Misi Penjelajahan Kutub Selatan Bulan, Kenapa Banyak Negara Tertarik ke Sana?
22 Oktober 2023 14:55 WIB
·
waktu baca 8 menitMisi luar angkasa India, Chandrayaan-3, telah mengungkap hal baru mengenai Kutub Selatan Bulan yang selama ini penuh teka-teki. AS, China, dan Rusia kini juga merencanakan misi ke wilayah tersebut di masa depan. Apa yang membuatnya begitu menarik?
Ini adalah tempat yang belum pernah dicapai oleh objek buatan manusia sebelumnya. Namun pada Agustus lalu, robot penjelajah kecil bernama Pargyaan meluncur dari induknya, Vikram, dan mulai menjelajahi wilayah di sekitar Kutub Selatan Bulan.
Pesawat luar angkasa tanpa awak ini merupakan salah satu pionir yang mendarat di kutub bulan yang sangat dingin dan dipenuhi kawah.
Jika misi Apollo pada 1960-an dan 1970-an berlokasi di dekat ekuator Bulan, misi Chandrayaan-3 India berhasil mendarat sekitar 600 kilometer dari kutub selatan bulan.
Titik ini lebih dekat dibandingkan pesawat ruang angkasa mana pun yang pernah mencapai lokasi ini.
Chandrayaan-3 tiba setelah upaya Rusia, dua hari sebelumnya, gagal. Pesawat luar angkasa Luna-25 milik Rusia hilang kendali dan jatuh.
Misi India adalah awal dari serbuan aktivitas di bagian permukaan bulan yang penuh teka-teki ini, yang pada akhirnya akan mengantarkan manusia menginjakkan kaki di sana pada akhir dekade ini.
“Rasanya sangat luar biasa hal ini terjadi,” kata peneliti planet dari The Open University Inggris, Simeon Barber.
Selain India dan Rusia, AS serta China juga mengincar Kutub Selatan Bulan. Di sana, mereka berharap bisa menyelidiki sejumlah misteri yang paling menarik dari Bulan, bahkan mungkin mengeksploitasi apa yang mereka temukan.
Tapi ada apa dengan Kutub Selatan Bulan sehingga begitu menarik bagi para penjelajah?
Chandrayaan-3 dan robot penjelajahnya yang hanya seukuran koper, menemukan sejumlah petunjuk menarik terkait lingkungan yang mereka jelajahi di Bulan.
Dengan kecepatan sekitar satu sentimeter per detik melintasi permukaan berdebu, robot penjelajah Pragyaan berhasil menjauh beberapa meter dari induknya.
Pragyaan membenamkan sensornya ke dalam tanah Bulan di sepanjang perjalannya. Dia menemukan penurunan suhu yang sangat tajam di bawah permukaan tanah.
Di permukaan tanah, suhunya bekisar 50 derajat Celcius. Namun, 80 milimeter di bawah permukaan, suhunya turun menjadi -10 derajat Celcius. Perbedaan suhu itu “mengejutkan” para ilmuwan.
Peralatan analisis kimia di dalam pesawat juga menemukan kandungan belerang, aluminium, besi kalsium, titanium, mangan, kromium, dan oksigen di tanah bulan.
Kedua temuan awal ini memberi petunjuk mengenai alasan para ilmuwan begitu bersemangat menjelajahi Kutub Selatan Bulan.
Sumbu rotasi Bulan yang dangkal (1,5 derajat) dibandingkan dengan Bumi (23,5 derajat) menyebabkan beberapa kawah di kutubnya tidak pernah terkena sinar matahari.
Dengan fakta itu, ditambah dengan suhu rendah di titik ini, membuat para ilmuwan menyakini ada banyak es, sebagian besar terbuat dari air, yang tercampur ke dalam tanah atau terekspos ke permukaan.
Ada harapan bahwa es tersebut dapat menjadi suber daya bagi para astronaut dan menjadi batu loncatan penemuan ilmiah di masa depan.
Profesor geologi dari Universitas Jawaharlal Nehru India, Saumitra Mukherjee mengatakan “lokasinya unik”.
“Ketersediaan air sangat penting,” tuturnya.
Bukti terkuat yang menunjukkan ketersediaan air es di Bulan berasal dari eksperimen NASA pada Oktober 2009, ketika sebuah roket kosong sengaja dijatuhkan ke dalam kawah di Kutub Selatan.
“Gumpalan material di sana mengandung bukti adanya air,” kata peneliti planet dari Universitas Colorado AS, Margaret Landis.
“Itu adalah pengamatan langsung kami terhadap air es di Bulan.”
Data lainnya menunjukkan cahaya pantulan yang lebih tinggi di kutub, yang kemungkinan disebabkan oleh es, sedangkan kadar hidrogen yang lebih tinggi dikutub telah diteliti, dan kemungkinan disebabkan oleh air es.
Tahun lalu, ilmuwan William Reach dari Pusat Penelitian Ames NASA menerbangkan teleskop Sofia - yang sudah dipensiunkan- dengan sebuah pesawat demi mempelajari Bulan.
Misi itu menemukan bukti adanya hidrogen “di luar” lokasi pendaratan yang sekarang ditempati oleh Vikram milik Chandrayaan-3 dan penjelajahnya sejak mereka mendarat pada 23 Agustus.
Penemuan air es baru-baru ini telah membuat misi penjelajahan Bulan kian diminati, terutama di kutub selatannya.
Menurut mantan peneliti di Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (ISRO) Aanchal Sharma, yang kini bekerja di Universitas Trento, Italia, temuan ini memungkinan para ilmuwan untuk “menguji teori yang telah lama diajukan para peneliti mengenai keberadaan air es di tanah Bulan”.
Meskipun data Chandrayaan-3 akan berguna, tetapi misi selanjutnya yang akan mendarat lebih dekat ke Kutub Selatan lah yang menjadi perhatian para ilmuwan.
Di area ini, terdapat kawah yang dikenal sebagai daerah berbayang permanen (PSR) yang terkadang dijuluki “kawah kegelapan abadi”.
Kontur kawah ini sangat miring, sehingga sinar matahari tidak pernah mencapai bagian dalamnya. Itu berarti kawah tersebut berpotensi menyimpan es selama miliaran tahun.
Kutub Selatan Bulan memiliki lebih banyak kawah dibandingkan Kutub Utara, yang kemungkinan besar merupakan dampak dari banyaknya hantaman meteorit ke permukaannya.
Kondisi itulah yang menjadikan Kutub Selatan sebagai target yang lebih menarik.
Suhu di PSR mungkin mencapai -200 derajat Celcius, sehingga menjadikannya target utama untuk mencari keberadaan es.
Sebuah robot penjelajah NASA Bernama Viper yang akan menuju ke Kutub Selatan Bulan pada akhir 2024, akan memasuki beberapa area ini. Viper akan menyalakan lampu depannya untuk menunjukkan secara harfiah rahasia yang ada di sana.
Manajer proyek Viper di Pusat Penelitian Ames NASA, Dan Andrews, mengatakan misi tersebut akan memberi tahu kita apakah ada “bongkahan es besar” atau kristal-kristal kecil yang tercampur dengan pasir.
Namun, Viper mungkin bukan misi pertama yang memasuki PSR. Misi lebih dulu dilakukan oleh perusahaan AS, Intuitive Machines. Misi yang disebut sebagai Micro-Nova ini mungkin akan diluncurkan ke Bulan pada awal 2024.
Meski tidak dilengkapi instrumen berupa bor untuk menggali permukaan seperti yang dimiliki Viper, Micro-Nova akan menggunakan pendorongnya untuk “melompat” ke PSR di Kutub Selatan Bulan. Itu dapat memberi kita gambaran sekilas dari dalam PSR untuk pertama kalinya.
Ini bukan satu-satunya misi yang menargetkan Kutub Selatan Bulan.
Misi lanjutan India yang bekerja sama dengan Jepang, Chandrayaan-4, juga akan menuju ke sana, sedangkan China telah mengisyaratkan niatnya untuk mendarat di wilayah ini. Rusia juga mempunyai rencana misi Kutub Selatan lainnya.
Dugaan soal keberadaan air es meningkatkan minat tersebut. Jika jumlahnya berlimpah dan bisa diakses, ini bisa menjadi sumber daya berharga untuk pemukiman manusia di Bulan maupun eksplorasi lebih jauh ke Tata Surya.
Apabila es dapat dipisahkan dari tanah Bulan, maka es tersebut dapat terpecah menjadi hidrogen dan oksigen.
Keduanya merupakan komponen kunci bahan bakar roket, serta sumber potensial air minum dan oksigen untuk permukiman manusia.
“Cara paling sederhana untuk menambangnya adalah dengan menggali tanah yang mengandung es dan memasukkannya ke dalam oven untuk menyublimkan es,” kata asisten profesor geologi di Colorado School of Mines di AS, Kevin Cannon.
“Kita bisa memasukkan bahan bakar yang cukup ke dalam depot agar roket dapat mengisi bahan bakar dan mencapai bagian luar Tata Surya berkali-kali."
"Akan ada juga akses ke tempat-tempat yang mendapat penerangan hingga 90% sepanjang tahun, yang menghasilkan tenaga surya yang baik untuk mengolah tanah menjadi oksigen dan logam seperti aluminum.”
Impian-impian mengenai perjalanan luar angkasa dan tinggal di bulan, telah menjadi kian nyata.
Pada 2025, NASA berencana mendaratkan manusia di permukaan Bulan dengan pesawat SpaceX untuk pertama kalinya dalam setengah abad, sebagai bagian dari misi Artemis III.
Mereka akan mendarat di lokasi yang belum terjamah di Kutub Selatan dan langsung mencari es untuk pertama kalinya.
“Tujuan utama misi ini adalah mempelajari cara mendarat dan beroperasi di wilayah kutub,” kata Jacob Bleacher, kepala ilmuwan eksplorasi NASA.
Misi itu akan bergantung pada temuan misi sebelumnya seperti Viper, untuk mengetahui sifat es yang ditemukan. Para astronaut kemungkinan akan membawa peralatan untuk mengumpulkan sebagian es dan membawanya ke Bumi.
Misi Artemis di masa depan mungkin akan memanfaatkan es ini sebagai sumber daya.
“Ini adalah serangkaian upaya yang berulang,” kata Bleacher.
Prospek mineral dan logam lainnya yang berpotensi dapat digunakan di permukaan Bulan juga bisa ditambang dan digunakan oleh para astronaut untuk membangun infrastruktur yang mereka perlukan demi bertahan hidup di sana.
Ada banyak alasan ilmiah untuk menjelajahi Kutub Selatan Bulan.
Para ilmuwan sangat ingin mengungkap asal muasal air di Bulan, yang mungkin disebabkan oleh letusan gunung berapi purba di bulan miliaran tahun yang lalu, yang dihasilkan oleh asteroid atau komet, atau bahkan terbawa oleh angin surya.
“Hal yang menarik tentang keberadaan air di Bulan adalah memahami bagaimana planet berbatu mendapatkan air, yang penting untuk mengukur kelayakannya dihuni,” kata Landis.
“Memahami bagaimana Bulan mendapatkan airnya, dapat memberi tahu kita lebih banyak hal mengenai Bumi, juga planet berbatu lainnya di luar Tata Surya.”
Selain itu, robot penjelajah Chang’e-4 milik China juga telah menemukan bukti adanya kawah besar yang terkubur di dekat Kutub Selatan Bulan akibat dampak ledakan pada awal Bulan terbentuk. Bukti ini ingin diteliti lebih lanjut oleh para peneliti.
“Kami bisa melihat persilangan dari kawah yang terkubur” dengan menggunakan radar, kata Jianqing Feng dari Planetary Science Institute di Arizona.
Brett Denevi, seorang peneliti planet di Laboratorium Fisika Terapan Universitas John Hopskins, terpilih untuk memimpin tim geologi menetapkan tujuan ilmiah bagi para astronaut Artemis III pada awal September.
Dia mencatat medan di kutub selatan adalah salah satu yang tertua di Bulan, dengan sedikit bukti adanya aktivitas vulkanik.
“Ini memberikan peluang luar biasa untuk melihat proses awal terbentuknya Tata Surya yang tidak tercatat di Bumi,” kata Denevi.
Tim Denevi ingin memecahkan misteri lain tentang Bulan, antara lain mengenai alasan di balik sisi jauhnya yang memiliki lebih banyak kawah dibandingkan sisi dekatnya, serta sifat lautan magma yang kemungkinan pernah menutupi permukaannya.
“Kami masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Bulan,” katanya.
Chandrayaan-3 mungkin hanyalah permulaan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, juga permulaan dalam mengeskplorasi kemungkinan hidup dan beroperasi di Bulan dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya.
“Kami pergi ke Bulan untuk belajar bagaimana bertahan hidup di Tata Surya dan membangun rancangan untuk menjelajahi luar angkasa,” kata Bleacher.
“Dan kita akan bisa belajar tentang sejarah Tata Surya. Ini benar-benar merupakan langkah besar berikutnya bagi umat manusia."
--
Artikel versi Bahasa Inggris berjudul Why there's a rush to explore the Moon's enigmatic South Pole dapat Anda baca di BBC Future .